17. Lotte
Kara telisik kembali isi kepalanya, berjalan dengan senyap menuju ruang kelas, dan membiarkan tasnya menggantung di sebelah kiri pundak. Kaus tipisnya kini ditelan sweter rajut yang baunya mirip sekali dengan keringat Jimin. Ia terima dengan galak tatapan beberapa mahasiswa yang tak sengaja bersenggolan di lorong universitas, bahkan bisukan mulut serta untuk pertama kalinya biarkan cibiran orang-orang mengudara bebas.
Bulu-bulu di tengkuknya meremang bukan disebabkan oleh udara dingin yang berembus di sekitaran tubuhnya, ia diingatkan kembali oleh kejadian yang beberapa saat lalu buatnya lekas pergi dari apartemen Jimin. Bukan, tentu saja bukan karena mulut sial lelaki itu yang berusaha makan habis kewarasannya, melainkan karena Jungkook terbangun dan menemukan dirinya bersama Jimin tengah berbagi kecupan yang miliki arti sama-sama membutuhkan. Biarlah, dirinya memang egois, bahkan tak pikirkan segala tingkahnya dengan nalar. Menerima begitu saja kecupan pertama Jimin yang tak ia sangka begitu ingin dirinya teruskan. Kemudian pada saat dirinya sunggingkan seringai tipis, lelaki itu benar lanjutkan inginnya untuk habisi bibir Kara dengan lebih banyak.
Walau gadis tersebut tentu tak miliki afeksi apa pun pada Jimin yang mulai lumati labiumnya atas dan bawah, nyatanya ia tetap biarkan lima menitnya mengubah Kara yang keras menjadi jalang gampangan. Bahkan tak segan beri satu-dua sesap balasan yang pancing kinerja labium lawan semakin aktif dan berantakan. Sejujurnya, yang ia pikirkan pun bukan sebenar-benarnya Park Jimin, melainkan Bajingan Taehyung yang dibayangan sedang memejam sembari ciumi dirinya sehalus ketika lelaki itu lakukan dengan Nona Selingkuhan.
Kara tidak menganggap Jimin sebagai pelampiasan, walaupun substansinya, lelaki tersebut beri ciuman itu dengan alasan yang kontradiksi. Ia berikan saja bibirnya secara suka rela sebab ketika Jimin mengecupnya untuk kali pertama, hatinya porak-poranda saat itu juga. Rasanya seolah lelaki tersebut tengah ingin sampaikan pada Kara bahwa yang butuh teman adalah dirinya; Jimin. Bahkan seakan otak dan hatinya kembali aktif dalam konotasi yang begitu baik, ia biarkan Jimin tuntaskan gelisah di atas bibirnya. Menemani lelaki tersebut dengan kuriositas tinggi di tengah danau gelap yang coba habisi setiap sisi.
Kara merasai bahwa Jimin memang tak ada maksud lain selain untuk menuntut tenang yang nyaman dari isapannya. Dan Kara mendadak tersentuh saja, mengizinkan semesta untuk tertawai kegilaannya yang seolah coba menjadi cerdas dengan bantu kurangi kembali beban orang lain. Lupakan belai udara di pahanya yang coba bisikkan sesuatu yang tak bagus. Lihat, Sayang? Semesta tak biarkan dirimu untuk menjadi pemain, pemenang, dan pemeran utama. Sekarang ia membawa Jimin untuk bantu wujudkan kehancuranmu.
Kara menjadi sakit kepala.
"Ada yang ingin kau sampaikan padaku?"
Demi Tuhan yang tak pernah berikan kebahagiaan untuknya, Kara berdecak keras sekali ketika dongakkan kepala dan temukan Taehyung di depannya halangi jalan. Tidak peduli pada fakta bahwa mereka mulai jadi pemeran utama yang selalu jadi pusat perhatian di mana saja, yang ada dalam kepala Kara kini hanya ingin pingsankan pikiran dari segala hal yang sebabkan kewarasan memudarkan presensi. Sudah cukup dengan apa yang dilaluinya sepagian ini; disakiti oleh Taehyung, kemudian dikejutkan oleh perilaku Jimin yang undang lebih banyak tanya-tanya yang lain.
Ketika ia pilih untuk lebih dulu palingkan muka, Taehyung justru dengan sengaja ulurkan tangan lantas menarik kembali perhatian Kara yang enggan lagi ditujukan ke arahnya. Ini sama sekali bukan hal baik, jemari Taehyung di bawah dagunya hantarkan hangat yang eksesif, merayap pada bagian lain dan barangkali telah penuhi belah pipi dan bagian isi kelopaknya. Tiba-tiba Kara ingin biarkan air matanya terjun, ingat kembali bagaimana Taehyung perlakukan dirinya tak lebih sampah daripada ketika beri perhatian manis pada perempuan lain. Sekarang, Taehyung menyentuhnya dengan lembut, gerakkan ibu jarinya pada kulit dagu; beri usapan pelan yang hampir-hampir tak pernah ia terima selama hampir delapan tahun.
Kara hanya tak mengerti mengapa Taehyung menjadi lebih lembut begini, ada asumsi berbeda dalam kepalanya yang kontradiksi dengan apa yang sedang ia terima. Taehyung menjadi manis, tetapi ia justru lebih tersiksa oleh perlakuan tersebut.
"Ayo, katakan." Itu jelas perintah seperti biasa, tetapi mengapa meski sarat akan tuntutan, Taehyung seolah berikan banyak kisi bagi Kara untuk berpaling dan abaikan hal itu?
Kara kerjapkan mata beberapa kali, usir genang hangat di balik kelopaknya. Kini keduanya tak lagi peduli dengan apa itu bisikan, atau apa itu gunjingan yang sedang dilantangkan di tengah-tengah mereka. Seakan ini hanya waktu keduanya, Taehyung pun tak gertak tiap pasang mata di lorong yang cabuli seluruh inci tubuh keduanya. Bahkan pikirannya sedang menolak membayangkan bahwa barangkali Jukyung tengah berada di antara kerumunan sekitaran sana, ia tak peduli. Kini Kara di hadapannya, memakai sweter rajut yang baunya begitu maskulinitas. Ada jalan lurus di hatinya yang sedang lebih terang untuk ia jajaki dibanding yang lain.
"Tolong menyingkir, Kim. Aku ada kelas pagi."
"Kalau begitu kita selesaikan ini dengan cepat saja. Apa yang ingin kau jelaskan padaku?"
"Tidak ada," jawabnya secepat mungkin, meloloskan dagunya dari jemari Taehyung dan hendak aktifkan kaki untuk beralih kaburkan diri. "Kau hanya si brengsek yang tak ingin kukenal lagi."
Taehyung tarik sudut bibirnya, palingkan wajah pada gerumulan mahasiswa yang kini bentuk kurungan manusia di sekitaran dirinya serta Kara. Baguslah, ada banyak yang mendengar seperti apa kebesaran rasa benci Kara terhadapnya, jadi kalau-kalau nanti ia lupa, akan ada banyak orang ingatkan dirinya bahwa gadis ringkih yang kini diam di depannya tak akan pernah jadi bagian material yang akan dirinya miliki. Taehyung harus tahu diri.
"Kalau begitu tolong jelaskan si brengsek ini lebih terperinci. Ruanganku adalah tempat yang bagus di mana tak akan ada telinga lain yang curi dengar dengan kurang ajar. Jangan lepaskan genggamanku, Kim Kara."
Lalu, sekarang semuanya dengar begitu baik sindiran yang baru saja Taehyung lantangkan, ada sebentuk jalan memanjang yang kini dibuka lebar-lebar untuk keduanya lewati. Sebagian membubarkan diri sesegera mungkin setelah tangkap dengan baik maksud dari ucapan Taehyung baru saja, mengatai mereka semua pencuri. Dan faktanya itu adalah benar, walaupun sebagian masih tetap kukuh dengan perannya dan mengikuti Taehyung serta Kara yang menjauh menggunakan tatatapan.
Kara bukannya sedang patuh dengan tidak beri berontakan pada genggaman Taehyung yang baru saja beri peringatan untuk tidak diputuskan. Gadis itu memang benar ingin katakan banyak hal, tentang seberapa patah hatinya menerima perlakuan manis ini, tentang bagaimana kalbunya tangkap dengan baik bahwa sebentar lagi Taehyung pasti akan katakan banyak hal yang tak ingin dirinya dengar. Bukannya ia tengah coba menebak asal, seolah lelaki tersebut sampaikan dengan tepat sasaran maksud lewat sentuhan lembut, rasio Kara pun terbuka lebar-lebar meski dadanya sedang bergemuruh tak siap untuk terima kesialan lain pada sebuah pagi yang kedinginan.
Hangat dan dingin berbaur menjadi satu begitu korelasi genggam keduanya dilepas satu pihak, Taehyung berdiri memunggungi dan berhenti ketika dua tubuh itu dimakan oleh ruang yang dindingnya kedap suara. Pintu ditutup dengan sekali dorongan kaki, tinggalkan bunyi memantul yang bergema cari posisi nyaman dalam telinga. Tentu saja ini tidak nyaman bukan hanya bagi Kara, Taehyung pun merasa tak beres dengan kejadian yang tak harusnya ia buka hari ini hanya karena dirinya sedang patah hati. Begini rasanya, ya? Ketika ia pura-pura mencampakkan Kara demi gadis lain, apakah sesakit ini?
"Sekarang apa?" Kara buka suara di belakangnya.
"Dua menit," jawabnya. "Beri aku waktu dua menit untuk kendalikan diri."
"Kau—"
"Kecuali kau ingin aku mulai bicara sembari menusuk tubuhmu, Yeah, tetaplah bicara semaumu, Jalang."
Kara kerutkan keningnya dengan sengaja, memangnya siapa yang seharusnya wajib marah-marah di sini? Jika miliki waktu untuk dijadikan kesempatan bertanya dari hati ke hati, jelaslah bahwa Kara memiliki potensi besar untuk meledak yang seluruh partikelnya adalah patah-patah hati yang berserakan. Taehyung tidak hanya robek hatinya menjadi bagian-bagian yang halus, tetapi sebelumnya sempat bolongi beberapa sisi hingga kehilangan sedikit kinerja rasanya.
Lihat sekarang? Bahkan Kara yang tengah genggam alasan besar untuk marah menjadi lenyap ketika Taehyung meledak lebih dulu bersama suara beratnya yang beraksen sempurna. Apa lagi kesalahan yang ia buat? Padahal dalam setiap waktu, lelaki tua itulah yang pegang penuh kendali untuk buat kesalahan-kesalahan.
Dibanding memikirkan banyak hal yang pasti akan makan banyak domisili dalam kepala, Kara memilih untuk duduk saja di kursi, menatapi punggung Taehyung yang masih bergerak teratur seiring tarik-buang napas. Ada kesal yang kembali merambat diam-diam, keduanya telah habiskan waktu satu minggu untuk saling menghindar, dan bertengkar pagi tadi untuk alasan yang begitu subal. Apa tidak bisa, ya loka beri keduanya sedikit waktu untuk bermain-main dengan aksen-aksen lembut? Tidak perlu saling adu pikir sembari jadikan hati sebagai camilan selagi mulut-mulut keduanya tengah mengobrol?
"Kau...." Taehyung tarik napas panjang sejenak sebelum berbalik dan menatap Kara yang duduk santai di atas kursi, lelaki itu mundur beberapa langkah, benturkan bokongnya pada sisi meja kerja dan menopang diri di sana. "Selagi aku dalam keadaan yang baik, jelaskan maksudmu dengan tepat dan benar."
Begitu lagi? Padahal Kara tak sedang mengerti ke mana arah pembicaraan ini mengarah. Lantas apa yang harus dirinya keluarkan dari belah labiumnya?
"Tidak ada, sudah kubilang padamu." Kara jawabi itu dengan desibel tenang. "Daripada menuntutku tidak jelas, kau perlu waktu berkaca di depan cermin lebar. Ajaklah hatimu bicara, kau itu sudah begitu tua untuk berselingkuh dengan seorang gadis belia seperti dia."
"Kita bicarakan tentangku lain waktu. Jelaskan dulu bagianmu dengan rinci."
Kara tak heran lagi rupanya. "Kau selalu saja begitu, Kim. Aku heran mengapa kau tidak bosan berlagak diktator seperti itu? Aku saja—"
"Kau mencintaiku?" Tidak ada yang pernah menyangka bahwa Taehyung akan interupsi ucapan Kara dengan satu tanya yang bungkam seluruh sudut pikirannya.
Tentu saja Kara dengar itu dengan baik, selagi kalimat Taehyung merambat menuju ulu hatinya, rupanya ada satu saluran yang tersumbat dalam pita suaranya. Gadis tersebut menjadi tak dapat keluarkan vokal untuk beri klarifikasi atau penyangkalan terhadap tanya yang baru saja suaminya itu lantunkan. Bagaimana bisa Taehyung tanyakan hal krusial itu di saat seperti ini?
"Aku bukan tipe lelaki yang mudah mengerti dengan perasaan perempuan. Kau harus katakan padaku agar aku paham. Apa kau cinta aku?" Taehyung ulangi itu sembari tunggu jawaban yang bahkan tak pernah ada tanda-tanda akan keluar dari belah bibir lawan tatapnya.
"Ah, baiklah." Taehyung menyerah juga. Tangannya terkepal di samping tubuhnya, menahan ambisi luar biasa untuk mencekik gadis di depannya yang tak kunjung keluarkan suara. "Jadi, itu Jimin, ya? Bukan Jungkook?"
Sampai sini Kara masih gemar beri tanggapan lewat kerutan kening, sesungguhnya ke mana arah pembicaraan ini? Atau apa tujuan Taehyung mengajaknya bicara berdua seperti ini? Karena sweter yang ia kenakan? Atau perasaannya? Bahkan udara yang terfriksi oleh pendingin ruangan semakin membuat perutnya mual.
"Bisa tolong perjelas saja? Aku malas membuang waktu."
Taehyung lepaskan satu napas berat. "Jika kau melakukan itu dengan Jimin hanya berdasarkan alasan balas dendam. Tolong hentikan, aku bahkan bisa lakukan hal lebih parah daripada apa yang kau bayangkan. Jadi, katakan saja dengan jujur padaku, kau mencintai Park Jimin? Kau menyukainya? Ingin dia?"
Baiklah, sekarang Taehyung sedang menuntutnya untuk bicara mengenai isi hati? Atas dasar apa? Apakah dia melihatnya di halte pagi tadi? Serius?
"Wah, kau benar-benar tak bisa ditebak, ya, Pak Tua?" Kara tarik sebelah bibirnya. "Kau kelihatan cemburu saat ini."
Taehyung diam saja, menyoroti dua obsidian Kara dengan lekat lewat hazelnya yang besar dan memikat. Lelaki itu serius sekali, dan Kara nyaris tak pernah temukan ekspresi seperti itu selama beberapa tahun terakhir. Tatapan yang lurus dan hangat, bagian terpentingnya adalah hari ini ia menemukan intipan luka di balik kornea lawan bicaranya. Taehyung kelihatan lebih emosional dan tahan segalanya dalam kandungan sabar. Kara rasakan dadanya bergetar hebat. Serius? Taehyung cemburu pada Jimin?
Itu seharusnya akan menjadi alasan bagus bagi Kara untuk balas menyakiti, ia bisa pamerkan kejadian pagi tadi pada Taehyung. Tunjukkan dengan jelas pada lelaki tua itu bahwa ia bisa saja cari kesenangan lewat lelaki lain, tetapi mengapa mulutnya terkunci sementara hatinya disapa nyeri?
"Aku dan Jimin—"
"Ya, aku bisa lihat seperti apa perasaanmu padanya. Ciuman kalian berdua hebat sekali."
Apa ... katanya?
Seolah-olah Taehyung benar telah sepakat dengan dunia untuk menghabisi jantungnya saat itu juga, Kara merasa benar ditampar hebat begitu suara Taehyung menyusul dan berderet semakin banyak hingga tak dapat ditampung otak. Kara semakin kacau dalam konotasi yang teramat sialan, tak cukup dengan tanya tentang bagaimana Taehyung tahu ia berciuman dengan Jimin, serbuan kalimt Taehyung setelahnya benar-benar bawa dirinya dalam kubangan air danau yang mana bagian dasarnya tak pernah ada pijakan. Ia tenggelam, terus begitu hingga tak dapat lihat permukaan atau menyapa dasar.
Rahasia yang tak akan pernah Kara pikirkan selama ini.
"Aku telah menunggu lama sekali, mencari-cari waktu yang tepat sembari siapkan diriku dan kebutuhan-kebutuhan yang lain. Ternyata kau membuatku ingin berhenti saat ini juga, Kara. Dan aku menyetujui pemikiranku itu." Taehyung katakan itu dengan tangan yang terkepal kelewat erat, buku-buku jarinya memutih.
Kara ingin tuli saja begitu Taehyung berkata lirih sekali setelahnya. Menyabet banyak sekali hatinya, dan merampas banyak tanya dari dalam kepalanya. Tidak berguna, Kara merasa seperti tak memijak dunia.
"Aku menemukan ibumu. Temui dia diam-diam hari ini, Jungkook akan mengantarmu."
Kara bersumpah, ia mendengar nama Jungkook dari mulut Taehyung. Dan untuk apa lelaki tua tersebut menghapus air bening di sudut matanya seperti itu? Taehyung tidak akan menyerah secepat itu, bukan? Dia akan memperjuang aku, kan?[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top