10. Beside
Kim Taehyung mencoba untuk menerima dengan baik ofensif cahaya yang merobek retinanya. Mengikis selaputnya hingga timbulkan rasa perih nyata pada iris-irisnya yang hazel. Seakan itu belum cukup atas dosa yang ia komidikan, rambatan pening itu mendobrak tempurung kepalanya hingga timbulkan sensasi mual yang begitu eksesif. Pahit-pahit pada pangkal lidahnya tersimpan sempurna, dan pagi ini—atau siang—ia merasakan lapisan penyimpan yang dikumpulkan semalaman penuh itu pecah; melebur sempurna dalam mulut Taehyung dan merusak kinerja bagian lidah yang lain; seluruhnya tentang pahit.
Oh, wajar saja. Si tua gila itu tampak salah memilih minuman semalam. Setelah sindiran serta kata selingkuhan yang Kara bisikkan pada telinganya, ia menjadi hancur sendirian. Sebuah kesialan bagi lelaki yang lemah alkohol adalah efek setelah meracuni tenggorokannya dengan tirta setan. Lagi pula, Taehyung terlalu tua untuk menuruti pemikirannya yang imbesil itu, hanya karena merasa terhina dan tidak dapat melampiaskan perasaannya, ia menjadi setuju saja dengan pemikiran selintas untuk melayang-layang di periode gila dan waras.
Sekarang adalah finalnya, tepat ketika Taehyung menarik paksa daksa lelakinya untuk pontang-panting menuju wastafel kemudian tumpahkan apa saja yang berlindung pada lambungnya yang asam. Astaga, lelaki berusia separuh abad itu benci alkohol.
"Si benalu itu pergi?" gumam Taehyung sendirian usai mengakhiri acara sapaan mesranya dengan wastafel cucian piring.
Jawabannya ia dapatkan ketika membuka pintu kamar dan menemukan keheningan di sana. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, padahal jika saja dirinya telah lupa, bahwa hari ini Kara tidak memiliki jadwal kelas pagi di kampusnya. Oh, sialan! Tentu saja gadis itu akan melakukan hal lain. Ada yang ia lewatkan, Jukyung. Gadis itu pasti sedang dalam bahaya sekarang.
Sebabnya ia bergegas mandi, meraih pakaian secepatnya kemudian pergi dari rumah dalam keadaan berantakan. Ia mencoba merangkai kancing kemejanya dalam perjalanan, kerepotan sendiri sebab dua tangannya menjadi sibuk dalam pekerjaan berbeda. Ada masalah di universitas, dan Taehyung benci mengakui bahwa Kara terlibat di dalamnya.
Kekhawatirannya benar terjadi, sebab setelah ia mulai memasuki gerbang kemudian melewati beberapa gedung fakultas—tepat setelah ia menerima telepon dari Jukyung—iris-irisnya menemukan pelaku utamanya tengah direngkuh lelaki lain. Ah, jadi begitu cara gadis itu merayu lelaki? Akan tetapi segalanya menjadi cepat termakan, sebab emosi Taehyung sedang berada di puncak. Itu sebabnya ia menyingkat waktu bersama dua manusia yang rekat seperti kinerja tentakel gurita, sebelum melayangkan satu-dua tonjokan pada rahang-rahang mereka.
"Saemnin." Jukyung lekas berhambur pada tubuhnya begitu ia membuka pintu ruangan. Gerak reflek yang ditimbulkan dua lengan lelaki itu untuk merengkuh pinggang ramping sang gadis tampaknya bagus juga.
"Bagian mana yang terluka?" Taehyung langsung menuntun gadis itu untuk duduk pada sebuah sofa panjang yang merekat pada dinding. "Kau sudah bersihkan agar tidak infeksi?"
Jukyung mengangguk-angguk. "Perih, Saem. Aku tidak melanjutkannya hingga bersih."
Setelahnya Taehyung hanya membebaskan karbon dioksida dengan pelan sebelum melangkah menuju kotak obat yang berserakan di atas meja kerjanya. Meringkus segala isinya kemudian ia bawa menuju tempat Jukyung menunggu bersama goresan luka ringan pada bagian tulang selangkanya.
"Kemari." Taehyung menarik satu lengan gadis itu untuk merapat padanya. "Bersihkan hingga benar-benar steril, kau tidak tahu bahwa bakteri di sana nanti malah bekerja melebarkan lukanya."
Jukyung diam saja merasakan kapas antiseptik kembali menyentuh tulang selangkanya yang terluka, ia sibuk menatapi wajah Taehyung yang berahang tegas itu. Rasanya, tidak ingin momen ini berakhir.
"Bagaimana Kara menyakitimu? Lukamu hanya di bagian sini, sedang kulihat dia tampak lebih buruk daripada dirimu," tanya Taehyung pelan, dan itu membuat beberapa kerutan pada wajah Jukyung mendadak timbul.
"Dia membuatku menubruk ujung wastafel. Sedang setelahnya dia terpeleset dan aku menggunakan kesempatan itu untuk lari."
Taehyung tahu itu bohong. Ia... selalu tahu setiap kali Jukyung tidak bicara jujur.
Sayangnya lelaki itu hanya diam saja, memberi obat merah sebelum menyembunyikan goresan luka pada tulang selangka Jukyung dengan perban. Sejujurnya Taehyung lelah, menyikapi segala kerumitan hidupnya yang tak segera menemukan sebuah ujung dari perjalanannya yang kehilangan arah. Selama ini ia terlalu menekan perasaannya sendiri, mencoba untuk menjadi orang lain, sejak kecil. Semakin dewasa, masalahnya semakin berkembang saja, dan keadaan mendesak dirinya untuk menjadi sesuai. Kemudian Taehyung menjadi lupa, siapa sebenarnya ia? Dari sisi yang dirinya munculkan, sebenarnya bagian mana yang bisa ia sebut dirinya sendiri?
Ia lelah, Taehyung ingin segera menuntaskan hidupnya kadang-kadang. Ada banyak alasan sebenarnya untuk itu, akan tetapi tidak ia lakukan, sebab satu gadis menjadi alasan kuat mengapa dirinya ingin terus bertahan dari segala keterpurukannya sendiri.
"Oh, aku benci melihat raut itu." Jukyung menyipitkan dua kelopaknya tepat setelah Taehyung meringkus kembali obat-obat yang habis digunakan.
"Malam ini, kau ingin makan apa?"
"Tae, kau tahu obrolanku sedang berarah ke mana." Jukyung menolak peralihan keadaan lagi, sudah cukup. Ada banyak yang tidak disukainya, tetapi wajah keras Taehyung yang barusan adalah list pertama dari segala hal yang ia benci.
"Jangan mulai lagi," pinta Taehyung lelah.
"Tentu saja, memang siapa yang lebih dulu memulainya? Kau dan ekspresi brengsekmu tadi, Tae."
Taehyung diam saja, barangkali akhir-akhir ini ia memang terlalu memperempuankan kehidupannya. Dirinya kehilangan arah begitu sering, dan membiarkan pikirannya kecanduan sakit. Disadari atau tidak, sepertinya kegigihan yang selama ini coba ia tunjukkan telah meredupkan presensi dari dalam tubuhnya sendiri. Taehyung patah, bahkan barangkali lebih patah dari sebelumnya. Lalu, bagaimana bisa mengandalkan tubuhnya yang mulai renta untuk melindungi gadis yang membutuhkan proteksi darinya?
"Saemnim, ingat apa perjanjian kita?" Jukyung mengulurkan tangan, menggeser arah pandang Taehyung agar kembali menatapnya.
Lelaki itu menarik diri selembut mungkin kemudian bergerak menjauhi tempat duduk, berniat meletakkan kembali kotak obat pada laci mejanya. Setidaknya begitu alasannya, meski akan terdengar lebih logis jika ia mengakui saja kekacauan yang tengah berperang dalam batinnya sendiri.
"Saem," panggilan Jukyung masih menyusul meski daksanya masih duduk di kursi. "Kau cukup hentikan perasaanmu pada Kara, dan aku akan membantumu melindungi gadis itu dari ayahnya. Ingat?"
Rahang Taehyung mengeras, cengkeramannya pada kotak obat itu menguat sebelum memberi satu jawaban hangat, "Aku sudah berusaha, dan aku telah melepaskan afeksi itu sejak lama padanya. Kyung-ah, kau tenang saja. Setelah rencana ini selesai, kau boleh memilikiku sepenuhnya."
Namun segalanya memang tidak pernah semudah itu, sekalipun Taehyung bersikeras untuk menolak keadaan, rengkuhan Jimin pada tubuh mungil di tempat parkir tadi adalah sebuah bayangan yang mendadak kental dan melilit pikirannya. Barangkali takdir sejak awal memang memantangkan afeksi dalam dirinya, sebab Taehyung menjadi begitu sadar akan fungsi dirinya hidup hingga kini, tepat setelah ponselnya berdering membawa satu nama pada kelip layar. Taehyung mengerti, untuk siapa sesungguhnya ia tercipta.
Ya, dari awal aku memang telah ada untuk diisolasi dengan Jukyung. Hidupku adalah milik gadis itu. Bukan Kara, bukan.
*****
Hanya satu pukulan lagi, dan Taehyung semakin mengeratkan rahangnya. Ya, barangkali hanya tinggal menerima satu pukulan lagi maka segalanya selesai. Namun, dari awal porsinya tidak pernah serendah itu, lelaki yang kini menjulang di atasnya adalah iblis paling nyata daripada apa yang orang-orang pikirkan, jadi wajar saja jika Taehyung membaca dengan baik jenis hukuman seperti apa yang akan menimpanya jika melalaikan perjanjian.
Rantai itu masih melilit kaki serta dua tangannya, tubuh bagian atasnya telanjang dan perih di beberapa sisi usai menerima terjangan gagang sapu pada bagian rusuk. Tidak, Taehyung tahu itu belum cukup, sebab tangan kasar dan besar itu kembali menyapa wajahnya dengan kepalan tinjuan.
"Oh, brengsek."
Taehyung mendengar suaranya, suara-suara yang begitu Kara benci. Barithone tua yang kerap membuat Kara terbangun tengah malam karena bermimpi buruk, suara yang kadang membuat gadis itu menutup telinga di tengah pelajaran kimia yang ia ajarkan. Suara ayah gadis itu, dan Taehyung sekali lagi benci sebab ia memiliki barithone yang hampir sama dengan iblis itu.
"Aku sudah memperingatimu jutaan kali, Anak Muda," katanya. "Jika kau tidak bisa memukulnya dengan baik, maka kembalikan gadis itu padaku. Biar aku yang memberinya hukuman dengan benar."
Taehyung muntah darah setelah bagian rahang kanannya kembali menjadi sasaran amukan iblis itu. Ia mengerjap menarik kesadaran di antara serbuan kunang-kunang mungil yang mengitari kewarasannya. Sesungguhnya jika boleh jujur, siksaan ini nyaris tidak bisa ia tanggung, sering menggeram menahan dan berharap segera lepas kesadaran. Namun usai memikirkan itu, Taehyung menjadi kembali bepikir, begini rasanya sakit yang membuat gadis keras kepala itu menjadi arogan, kasar, dan bar-bar.
Sekarang ia mengerti, bahwa Kara memang pantas arogan, sebab ia adalah gadis terkuat yang wajib untuk diberi gelar tertinggi dari ketangguhan-ketangguhan yang ada. Pun gadis itu memang pantas untuk kasar, sebab lemah tidak memberinya ruang untuk menjadi bahagia. Pengecualian paling besar yang Taehyung pikirkan, bahwa bar-bar yang dilakukan Kara adalah tindakan benar untuk melampiaskan perasaan yang bercokol sekian lama dalam rongga dadanya. Taehyung membenarkan segalanya tentang Kara, sebab sakit-sakitnya luar biasa. ia nyaris bersyukur sebab Kara hanya berubah menjadi iblis seperti dirinya dan juga ayah gadis itu, karena menjadi gila adalah kejatuhan diri hingga paling dasar.
Taehyung membenarkan, namun sisi lainnya tidak setuju dengan kesalahan-kesalahan pemikiran tersebut. Kisah ini rumit, dan ia enggan menjelaskan secara naratif.
"Aku melakukan yang terburuk, Ayah. Dia kusakiti dengan cara yang berbeda." Taehyung mengaku.
"Aku butuh bukti."
"Aku selalu mengirimkannya padamu. Apa yang kurang? Apa kau bahkan tidak percaya pada mata-mata yang Ayah tugaskan?" Oktaf Taehyung meninggi.
Maka, satu pukulan kembali menyapa wajah Taehyung setelahnya. Keras dan mengundang darah lain untuk menyapa lantai.
"Aku perlu memastikan bahwa kau dan Jukyung jalang itu tidak bersekongkol."
Taehyung memejamkan mata, apa lagi yang harus ia lakukan sekarang?
"Kau dengar, Kim Taehyung. Aku bisa saja menariknya paksa untuk kembali kepadaku, kemudian mencincang tubuhnya hingga halus. Apa menurutmu, aku tidak bisa menghentikan kerja jantungnya dengan mudah?"
Ada yang berdentum keras dalam dada Taehyung. Ada yang memberontak di sana, dari itu, tepat ketika sang iblis kembali hendak melayangkan pukulan pada wajahnya, ia melancarkan defensif lebih dulu dari mulutnya, "Apartemen Mapo, dekat dengan Hongdae Street." Taehyung mengepalkan tangannya. "Tungu aku di tangga perbatasan lantai 11 dan 12, akan kutunjukkan padamu seperti apa kondisi Kara saat ini."
Setidaknya, Taehyung perlu menekan Jimin dan satu lagi bocah yang tidak ia kenali, agar tidak mengikuti dirinya saat memboyong Kara pergi. Ia merasa remuk pada tubuhnya begitu Kara memberontak dalam gendongannya, sebab punggung yang tak lagi kuat itu barangkali nyaris patah akibat serangan yang dilakukan ayah gadis itu padanya tadi.
Lelaki itu marah, kesal, dan segalanya bercampur menjadi satu. Itu sebabnya, tepat di perbatasan tangga lantai 12 dan 13, ia membanting tubuh dalam gendongannya hingga menubruk dinding. Sebelum melihat apa yang terjadi pada gadis itu, Taehyung memejam sejenak, menghindari koneksi sebelum akhirnya menyorot penuh keangkaraan.
"Jadi, sekarang ini detensinya?" Gadis itu menyeringai. "Kau akan membuatku jatuh dari tangga karena menyakiti selingkuhanmu?"
Bayangan pada perbatasan anak tangga itu bergerak dan menghilang—ayah Kara telah pergi dari sana, dan Taehyung menjadi hilang kendali. Gadis ini dengan mulut sinisnya, ia harus memberinya pelajaran.
Mati di tanganku, hanya itu pilihannya.[]
Ayo, tebak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top