09. Badworld
Kara membenci Kim Taehyung.
Satu hal yang tidak akan pernah bisa Kara lupakan; mendekam di jeruji-jeruji lingkar pernikahan bersama lelaki itu. Tentu saja Kara selama ini tidak pernah menimbang banyak, perihal relasi ajaib yang tercipta tanpa negosiasi antara dua makhluk yang sama tak sehatnya; bukan fisik yang sedang dibicarakan, melainkan sebuah psikologis yang tercipta begitu kembar dengan pola-pola pikir iblis.
Sesungguhnya, Kara sendiri tidak terlalu memusingkan perkara lemahnya identitas dirinya dalam lingkar hidup Taehyung. Jelasnya, Kara telah begitu banyak memahami kelaziman lelaki tua itu. Namun, melupakan segalanya tentu tidak mudah, terlebih setelah debaran anomali yang belakangan lebih sering menggedor organ di balik rusuk berhasil ia artikan dengan baik.
Mengerikan, tapi itu sungguhan perasaan sialan yang sering orang sekitarnya sombongkan. Itu suka. Namun, barangkali fase yang dirasakan Kara mulai merangkak menuju hal dengan sebutan yang lebih serius. Tidak dapat dipungkiri.
Masalahnya, Kara kesulitan menanggapi keteledorannya sendiri. Bagaimana cara Kara menghadapi rasa ambivalen yang belakangan menjadi begitu sering racuni daya berpikirnya? Fakta-fakta yang disembunyikan Taehyung justru semakin menguatkan perasaan gadis itu. Sebuah kesalahan yang dimulai tanpa kesengajaan. Harusnya Kara mengendalikan afeksinya sendiri dan merasa tak dihargai dengan menjadi peran yang dibodohi setiap hari. Lalu, semakin ke sini, hatinya menjadi lebih aktif memproduksi resan-resan yang berujung menjadi hasrat menelan manusia berambut panjang dengan isi tempurung laknat bernama Ahn Jukyung.
Sejak awal, Kara benci menjadi peran yang harus rela berbagi, kendati Taehyung tidak benar-benar menjadi miliknya. Lelaki itu hanya suami dalam gereja, teman seks di atas ranjang, sebuah senjata yang dengan lapang dada ia berikan tubuhnya sebagai percobaan ketajamannya, dan juga satu bongkah tubuh; sekumpulan daging dengan tulang belulang yang ia butuhkan pada jam-jam mimpi buruk. Serengsa itu hubungannya dengan si iblis tua.
Segalanya semakin penuh kabut saja. Memangnya sejak kapan ada debaran seranah semacam itu di hatinya? Kara semakin hilang akal saja dibuatnya. Haruskah ia pedulikan resan-resan yang memberontak dalam dadanya? Apakah ada cara balas dendam yang lebih cantik daripada ikut Park Jimin ke apartemennya?
"Em... kalau ingin pulang, tinggal sebutkan saja alamatmu. Kenapa hanya diam saja seperti itu?"
Kara menoleh setelah sebelumnya sempat bergosip sendirian dengan isi kepalanya, ribut kemudian kosong begitu saja. Tiba-tiba saja rasanya menjadi dua kali lipat lebih hampa hanya karena pak tua itu tidak berada dalam jangkauannya. Padahal, Park Jimin lebih beraura dan penuh dengan pemikat pada rahang-rahang lancipnya.
"Gunakan kesempatanmu dengan benar. Taehyung sudah memberimu izin untuk melakukan apapun padaku, kenapa malah ingin mengantarkan pulang?"
Jimin berdecak terang-terangkan sebelum bergerak mendekat, kemudian membuka sabuk pengaman yang melilit daksa ringkih perempuan di sampingnya. Aroma keduanya berbaur dengan sempurna, membuat Jimin justru tertegun sendirian ketika penghidunya mencium aroma lavendel pekat.
"Aku hanya berpikir kau tidak akan senang berada di tempatku." Jimin menjauhkan diri, membuang napas pendek-pendek; menghemat aroma bunga ungu yang betah ia simpan di dua lubang indranya. "Aku tinggal bersama kekasihku. Apa kau terganggu dengan itu?"
Kara melengos, kemudian menatap telapak tangan yang nyerinya berpindah semua pada hati. Organ itu pasti retak luar biasa, atau barangkali memang sudah hancur sejak lama. Jika iya, lalu apa yang terasa nyeri pada bagian dalam penjara rusuknya?
"Aku terganggu dalam segala hal. Aku terganggu ketika melihat orang lain tertawa, aku terganggu ketika mereka lebih bahagia, lebih beruntung, dan lebih baik kualitas hidupnya, aku selalu merasa terganggu. Jadi, apa kau akan mengantarku pulang?" tanya Kara bernada dongkol.
Jimin menaikkan alis sejenak sebelum berujar tenang, seakan-akan Kara bukan manusia kejam seperti yang mayoritas katakan, "Sepertinya, kau terdengar ingin masuk saja ke apartemenku."
Decakan kedua dilepaskan Kara begitu saja tepat setelah Jimin memutuskan untuk turun dari mobil lebih dulu. Berjalan memutar lalu membuka pintu mobil dekat Kara. Menunduk untuk segera membantu gadis itu turun dari mesim kuda miliknya. Namun, sayang, ketika Kara ingin membuka mulut untuk protes, Park Jimin lebih dulu membantahnya, "Iya, aku yang bersikeras menolongmu. Tenang saja, harga dirimu masih tinggi di depanku untuk sekadar meminta bantuan. Aku yang keras kepala. Sudah, sekarang kalungkan lenganmu pada leherku."
Kara mencebik, atas dasar apa Park Jimin berani berkata demikian padanya? Memangnya setelah pertemuan terakhir mereka, lelaki bertubuh tidak jangkung ini mengubah pola makan hingga berubah sedemikian pesat? Jika saja tidak ada kendala cedera kaki, Kara sudah pasti membanting Jimin lebih dulu.
"Aku bisa sendiri. Tetapi, aku juga tidak suka membuang kesempatan untuk menyiksa lengan seseorang. Nikmati beban tubuhku, Park." Kara mendesis sebelum membiarkan tubuhnya diangkat dan menelan sekat dengan tubuh keras Jimin.
Jimin menendang pintu mobil sebelum melangkah menuju lift. Berjalan tanpa bicara bahkan setelah kembali menurunkan Kara di depan sebuah daun pintu. Bertulisan 905, dan Kara sempat menangkap digit sandi yang baru saja Jimin masukkan pada bagian bawah interkom. Oh, jadi itu? Tak berselang lama bunyi 'klik' ringan tertangkap rungu dan Jimin mendorong pintu pelan sembari terus pegangi lengannya.
Aroma maskulin yang kental menyerbu ruang-ruang tanpa aroma dalam penghidu gadis itu. Sepertinya, sedikit terfriksi dengan pewangi ruangan yang beraroma vanilla. Kara membiarkan tubuhnya lagi-lagi direngkuh untuk menjajaki kesenyapan ruangan yang alami. Tidak ada tanda-tanda kehidupan selain nada-nada persisten yang ditimbulkan alat penunjuk waktu pada dinding sebelah kanan. Tatanan ruang yang rapi, Kara sedikit tidak menyangka bahwa Jimin hidup sedikit berbeda dengan Taehyung yang berantakan.
"Seperti peti mati berukuran besar," cetus Kara tiba-tiba usai menjelajahi ruangan dengan iris kembarnya.
Jimin keberatan. "Tidak ada peti mati semewah ini."
"Namun aku suka." Kara mengimbuhi, "Di sini auranya tidak jauh beda dengan rumahku dan Kim Taehyung. Sepi, seperti sedang menumpang hidup pada sebuah peti mati."
Sepersekon berikutnya tatapan taduh Kara berubah seperti biasa, tajam, dan mirip pemangsa. Intimidasi menjadi porsi paling banyak yang mendominasi dua irisnya, membuat Jimin menjadi bingung sendiri, kesulitan hidup Kara tidak pernah mampu dibacanya dengan baik.
"Aku tidak sedang ingin mendengar kemalanganmu," pungkas Jimin akhirnya. "Kita bisa lanjutkan masalahmu nanti setelah kau istirahat dan setelah otot lenganku membaik. Kau pikir tubuhmu tidak berat? Lenganku nyaris patah."
Gerutuan-gerutuan kecil keluar dari celah bibir Kara begitu Jimin membuka pintu kamar dengan susah payah. Kara seharusnya tidak menjadi pendiam dan penurut begini, tetapi jujur saja, selama ini gadis itu belum pernah berurusan dengan temperamen orang seperti Jimin. Hanya ada si jahat Kim Taehyung dan Ayahnya, serta beberapa mahasiswi yang membuatnya kesal tanpa kendali. Bagi Kara, wajar saja jika dirinya kesulitan mengatasi menusia bersama temperamen penuh perhatian akan tetapi tidak terlalu manis juga. Itu hal baru. Jimin baru bagi dirinya.
"Oh, sial. Dia sedang tidur rupanya." Satu desisan yang Jimin ucapkan membuat Kara tersadar bahwa mereka berdua masih berada di ambang pintu tanpa gerakan.
Kara mengikuti ke mana arah pandang Jimin terfokus, lalu gadis itu nyaris saja kehilangan kontrol atas pikirannya sendiri. Jika tidak salah, ia sempat mendengar bahwa Jimin tinggal bersama kekasihnya di sini. Ya, itu Jimin yang ucapkan sendiri. Hingga kemudian rasa tak menyangka itu menguap menjadi satu rasa lain dalam lubuk hatinya. Kara terlalu menganggap hidupnya penuh penyakit, akan tetapi dirinya lupa menggunakan kacamata semestanya. Bahwa barangkali semesta memang telah menjadikan golongan orang-orang sakit sebagai bagian dari kodratnya. Lahan-lahan di bawahnya mungkin sejak lama menangis sebab menjadi tampungan manusia-manusia kelainan.
"Kau serius?" Kara mengangkat sebelah alisnya. "Dia kekasihmu? Wah, hebat sekali."
Jimin mengedikkan bahu tak acuh sebelum berbalik arah menuju kamar lain. Membawa serta daksa ringkih itu. "Kenapa? Kau heran karena hidupku tidak sesempurna bayanganmu?"
Kara bungkam, menatap paras Jimin yang tergurat tenang hingga tiba di kamar seberang. Salivanya mengalir ketika diteguk rakus, Kara sungguh tidak salah lihat. Manusia yang tidur di ranjang tadi itu adalah seorang laki-laki, ia Jeon Jungkook.
*****
Kara tidak pernah peduli dengan orang lain. Namun hari ini, ia menjadi lebih banyak berpikir tentang keluhan tak tersirat yang sering dirinya lakukan. Oke, jika dibahas lebih panjang ini akan sangat rumit, sebab Kara sama sekali tidak mampu tidur bahkan setelah Jimin meninggalkan ruangan. Baiklah, katakan saja ini bukan hal yang mustahil, kelainan seksual memang bukanlah kasus yang langka. Semesta juga menampung orang-orang seperti itu pada belahan bumi yang lain.
Semua orang memakai topeng. Kara tahu bahwa tidak ada satupun orang yang dikenalnya adalah normal. Semuanya pesakitan, bahkan dirinya sendiri juga menyandang gelar itu, barangkali. Lalu Kara harus bagaimana? Apakah lebih baik jika dirinya berbagi saja dengan orang-orang seperti Jimin dan Jungkook? Mereka akan saling berbagi kesakitan jiwanya bersama-sama, gila bertiga kedengaran lebih bagus daripada sendirian.
Gadis itu masih duduk di tengah-tengah ranjang dengan sebagian tubuh penuh perban, tangan kanannya, dua kaki, serta kening yang terluka kecil. Semalam Kara tidak pernah terbayang, bahwa ternyata menginjak pecahan beling bisa membuatnya seperti manusia yang mengalami kecelakaan mobil dengan parah. Ia tidak memproteskan rasa sakitnya, Kara hanya kesal sebab buah dari kebodohannya justru membuat banyak hal menjadi lebih sulit dilakukan. Ia tidak bisa berjalan, tidak mampu makan dengan benar, kemudian hal yang paling dibencinya adalah ketika dirinya tidak bisa mandi sendiri hingga bersih.
"Jadi, mereka semua salah tentangmu. Kau bukan kasanova?" Kara sempat menanyakan ini sebelum Jimin pergi tadi.
Lelaki itu mengerutkan kening setelah menyurai rambut ke belakang. "Menurutmu mereka akan menyebutku begitu jika tidak melihat langsung? Aku, yea, bisa dikatakan memang kasanova."
"Tetapi dirimu gay." Kara ikut membuat lipatan pada keningnya. "Oh, apa kau mendekati banyak perempuan untuk menutupi kecacatanmu?"
Jimin berhenti sejenak dari kegiatannya mengolesi salep luka pada kaki Kara. "Mengapa kau berpikir begitu? Kalau kau menganggap seksualku terganggu dengan serius, aku bahkan bisa memperkosamu sekarang juga sebagai bukti."
"Kau menakutiku? Kau pikir karena sedang terluka, aku tidak bisa membuat asetmu itu mati untuk selamanya?"
"Aku hanya tidak suka kau anggap pesakitan parah. Katakan saja aku separuh normal."
Kara memutar bola mata. "Tidak ada manusia normal yang memiliki seorang kekasih sesama gender. Kecuali mereka sama sakitnya."
Kemudian gadis itu termenung. Tidak bisa tidur bahkan setelah senyap mengisi udara di ruangan itu. Setidaknya, Kara tidak ingin terlalu ikut campur dalam urusan Jimin dengan Jungkook. Namun sesuatu terus menganggu pikirannya. Kebaikan dan juga ketelatenan Jimin dalam mengurusnya mau tidak mau membuat Kara berpikir berulang kali. Jadi, begini ya rasanya diperhatikan? Begini rasanya diperlakukan dengan baik? Kara jadi tidak ingin menyalahi orang-orang yang selama ini tertawa bahagia.
Jika ia pergi dari Taehyung dan menumpang hidup pada dua pemuda kelainan seksual ini, apakah Kara akan memiliki hidup lebih baik? Barangkali dirinya mampu melunturkan kekakuan bibirnya sendiri dengan mencoba mengukir senyum pelan-pelan setiap hari. Sebab, rasanya memang menyenangkan ketika kita diperhatikan. Rasanya begitu dilindungi dan kita hanya akan merasa aman.
Tetapi hatiku sudah terlanjur pergi pada si tua brengsek itu.
Kara menggigit bibir bagian dalamnya. Terus berpikir banyak hal tentang apa tujuan semesta membuat pola hidup seperti ini? Tentang dirinya dan juga luka-luka yang tak kunjung mengering. Tentang Park Jimin dan juga Jeon Jungkook yang tak diberi kesempurnaan. Kemudian, Kara sadar bahwa hidupnya memang terkepung dalam lingkup orang-orang tanpa nalar.
"Aku memiliki alasan mengapa menerima Jungkook untuk menjadi kekasihku, Ra."
Memang tidak salah, sebab Kara mengerti semua orang memiliki alasan. Tentu saja, tanpa terkecuali, karena Kara mengetahui banyak hal dari pada yang orang-orang bayangkan. Oleh karena itu, dirinya sama sekali tidak masalah dengan kelainan yang terjadi antara Jungkook dan juga Jimin. Itu wajar, terlepas dari perspektif orang-orang bahwa golongan seperti mereka adalah kaum-kaum yang menjijikkan, bahkan kaum seperti Kara. Gadis yang suka dengki pada banyak hal, gadis yang suka melukai orang lain ketika meremehkan dirinya dengan keterlaluan, memukul ketika hatinya dilukai, dan gadis seperti Kara bagi sebagian besar orang adalah sampah yang layaknya dibakar saja.
Namun mereka lupa, bahwa orang tidak akan berlaku demikian tanpa alasan. Gay tidak akan terjadi jika tidak ada unsur yang mendasari. Mereka yang mencela hanya karena mereka tidak pernah berada di posisi itu. Kebingungan, putus asa, dan juga kecamuk pikiran yang terus terfriksi ironi. Mereka tidak akan tahu rasanya, dan Kara membenci semua orang yang hanya menilai satu sisi dari kelainan yang diderita orang lain. Mereka lebih suka menggunjing dari pada merangkul. Kara benci itu semua. Semuanya.
Aku hanya akan mencintai Kim Taehyung. Cukup dia.
Namun, Kara sendiri masih meragukan afeksi itu, meski alasannya telah kuat untuk mengakuinya, ini masalah serius.
"Lagi pula, mengapa aku harus jatuh cinta pada Kim Taehyung?" Kara bertanya pada diri sendiri.
Melalui pendengarannya, Kara menangkap adanya keributan di luar ruangan. Apakah Jungkook sudah bangun? Berniat untuk merebahkan diri kembali setelah bergelut beberapa menit dengan isi kepalanya yang rancu luar biasa. Namun, sedari awal memang tidak ada ketenangan dalam hidup gadis itu. Sebab setelah ia membiarkan separuh tubuhnya miring pada ranjang, pintu kamarnya menganga, mengekspos satu tubuh dengan tatapan nyalang luar biasa. Seringaian itu hanya dimiliki oleh satu orang, Kim Taehyung.
"Pulang sekarang!"
Kara memperbaiki posisinya kembali, meski tidak bergerak lebih. Dua irisnya menatap Taehyung yang kini mendekat sembari diikuti Jimin dan juga Jungkook di belakangnya. Keduanya tidak berusaha menahan atau melakukan sesuatu, hanya menatap dari ambang pintu bersama raut campuran cemas dan juga kesal.
"Kubilang pulang!" Taehyung kembali membentak di sisinya.
Kara perhatikan ada banyak lebam pada wajah lelaki itu. Kali ini lebih parah, dan Kara yakin bahwa masih ada beberapa lebam lain pada bagian tubuh Taehyung. Apa lagi yang dilakukan iblis itu?
"Aku muak, Kim." Kara tanggapi perintahnya dengan intonasi rendah. Lelah dan sakit secara bersamaan menatap wajah si tua ini. "Aku lelah melihat wajahmu."
"Berhenti bicara omong kosong."
"Bagaimana jika kau pulang sendirian saja? Aku akan bersenang-senang bersama dua lelaki tampan di belakang sana." Kara mengangkat sebelah alisnya.
Maka, tidak menunggu waktu lama bagi Taehyung untuk meraih daksa mungil itu. Dipikul pada pundaknya kemudian berjalan keluar menerobos Jungkook juga Jimin yang mengikuti dalam diam hingga pintu utama.
Kara rasakan otot lengan Taehyung pada pahanya, sedang yang dirinya lihat hanya punggung lelaki tua itu. Netranya temukan ada noda darah pada bagian belakang kemeja yang dipakainya, pasti ada luka di sana. Kara menyeringai tepat ketika Taehyung membelok langkah, turun dari lantai tiga belas menggunakan jalur tangga.
"Aku tidak menyangka kau akan menjemputku sedemikian manisnya." Kara lantangkan sindiran itu.
Pandangannya masih menyorot pada tiap anak-anak tangga yang Taehyung tinggalkan usai dimanfaatkan sebagai pijakan. Kepalanya pening karena lelaki ini membawanya dengan cara sedikit kurang ajar. Perutnya terasa mulai sakit menekan tulang bahu iblis di bawahnya.
Kara juga tidak menyangka bahwa Taehyung akan menurunkan tubuhnya dengan cara tak kalah kasar. Dilepaskan begitu saja pada permukaan pijakan datar di belokan anak tangga. Tubuhnya membentur dinding dengan keras lalu jatuh seketika sebab dua kakinya yang cedera tak mampu menopang seluruh daksa dengan lebih lama. Kara meringis sebentar, memegang belakang kepalanya yang terbentur sebelum membuka mata dan menemukan Taehyung menatapnya horor.
"Jadi sekarang ini detensinya?" Kara menyeringai, memakan segala sakit yang memporak-porandakan seluruh daksanya yang ringkih. "Kau akan membuatku terjatuh dari tangga karena telah menyakiti selingkuhanmu? Lalu kau sendiri akan merekayasa kejadian ini sebagai sebuah kecelakaan?"
Sepersekon berikutnya Kara nyaris saja kehilangan seluruh oksigen tatkala tubuh jangkung yang semula menjulang di hadapannya mensejajarkan diri kemudian merampas dua labium miliknya. Kara diam saja, menatap Taehyung bersama mata terpejamnya tengah menghabisi daging kenyal miliknya menggunakan labiumnya sendiri.
Kara diam saja, tidak membalas atau melawan cumbuan tiba-tiba yang Taehyung berikan padanya. Hingga suaminya ikut membuka mata, menubrukkan iris hazelnya pada obsidian milik Kara sendiri. Menatap di antara cumbuan kasar yang dilakukan sendirian oleh si iblis tua, Kara terus diam saja, membiarkan bibirnya dihabisi dengan sempurna. Bahkan setelah tangan berjemari lentik milik lelaki itu merambat menuju rambut miliknya kemudian menjambak kencang sekali hingga Kara terdongak dan ia melepaskan bibir hanya untuk beralih pada epidermis putih pada leher jenjang Kara.
Gadis itu hanya diam saja, karena dirinya tahu bahwa Taehyung memiliki alasan mengapa bersikap demikian.
"Kau hanya boleh menghentikan kinerja jantungmu ketika aku mengizinkan untuk itu, Kara. Hanya dengan izinku."[]
Seluruh penumpang dipersilakan turun dari komedi putar pelan-pelan. Aman?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top