05. Demon


Obsidian kembar itu masih menusuk hazel di hadapannya dengan sinis. Sementara hazel di depannya sibuk tatapi lengan yang kini terekspos setelah sebelumnya menyingkap kain yang menutupi kulit seputih susu tersebut. Tetapi kemudian jika dilihat lebih seksama lagi, putih yang dimaksud belakangan ini memang lebih cenderung pucat alih-alih susu. Ada rona samar yang menandakan bahwa urat-urat yang saling terjalin itu masih menjadi jalur terbaik darah-darah dalam tubuhnya. Bekas cambukan; yang kadang tak sengaja lecuti bagian lengan begitu diayunkan.

Kara masih diam saja sementara yang Taehyung lakukan tak jauh berbeda. Hampir-hampir lupa bahwa tujuan terseretnya Kara ke dalam ruang neraka ini karena akan segera diadili hanya karena pernah menumpangi lengan suami sendiri. Oh ia ingat sekarang. Tetapi mengapa Iblis ini hanya diam saja? Taehyung bahkan telah pegang jarum tumpul itu sambil tatapi lengannya yang akan dijadikan landasan perdana. Lalu Kara tak habis pikir apa lagi yang lelaki itu tunggu?

"Jangan sakiti Jukyung."

Usai mengapungi sepi, Kara jelas tak berpikir bahwa Taehyung akan kembali menjauhkan jarum itu kemudian berucap hal yang tak ia pikirkan sama sekali. Apa maksudnya? Taehyung memohon padanya? Akan tetapi tentu saja tidak, karena ada desibel diktator di sana. Dan Kara tahu apa artinya.

"Ini peringatan."

Kara timbulkan seringai di wajahnya. Namun tetap biarkan lengannya dalam genggaman jemari Taehyung. Merasakan bagaimana gelenyar hangat merambati epidermis kemudian mencuri tempat pada pori-pori kulitnya; berlindung dan enggan pergi hingga timbulkan hangat berlebih yang condong pada rasa panas.

"Kau tahu 'kan bahwa telingaku tuli dengan kalimat semacam itu?"

Kara pastikan apa yang dilihatnya benar; nyata dan hempaskan ilusi yang sebelumnya Kara ingin yakini sebagai realita. Wajah itu marah, tonjolan urat-urat di leher serta rahang yang berubah menjadi lebih keras menjadi indikasi bahwa Taehyung benar-benar tak sedang bermain dengan kalimat peringatannya. Kara gamang.

"Kara, aku bisa menyakitimu lebih dalam lagi jika berani lukai Jukyung. Dan aku bersumpah." Taehyung tegaskan bahwa dirinya tidak sedang bergurau.

Lelaki itu soroti paras Kara yang tersetel datar sekali seakan sedang membaca apa yang kini berlindung di balik tengkoraknya. Sejujurnya Taehyung ingin menusuk jarumnya pada daging di hadapannya sedari tadi. Karena memang akan berakhir percuma lakukan negoisasi dalam bentuk apapun pada manusia yang tak miliki hati sebagai indera perasa. Taehyung barangkali juga kehilangan organ itu sejak lama; namun diakui atau tidak, dirinyalah malaikat di sini. Malaikat sesungguhnya yang bagi Kara ada kematian dibelakang namanya.

"Memangnya aku akan berhenti hanya karena kau melubangi tubuhku kemudian menjahitnya asal berkali-kali?" Kara menantang. Ikut sertakan rahangnya untuk mengeras seiring emosi yang menanjak naik dengan sebab tak skeptis sama sekali.

Taehyung undang kembali endemi-endemi jahat dalam tubuhnya akibat merasa dilecehkan lagi dan lagi oleh sosok sama setiap hari. Bagaimana caranya ia mengubah pola pikir menjijikkan Kara jika gadis itu bersikeras untuk menjadikan dirinya sebagai Iblis wanita? Dan, ya, bukankah akan membosankan jika dirinya harus melakukan hukuman pada satu orang saja setiap harinya. Sejujurnya, iya. Tetapi Taehyung tak miliki pilihan untuk tidak melakukan hal itu. Hasrat menghukum sering timbul setiap kali Kara tak dengarkan dirinya. Sebagai lelaki yang memiliki kendali penuh dalam keluarga yang biasa disajikan dalam hukum-hukum patriarki, Taehyung turut merasa direndahkan karena sikap-sikap buruk Kara yang semakin hari semakin terpumpun.

"Aku benci kau tidak dengarkan aku." Taehyung tahan kemarahan hingga munculkan geraman pada kalimatnya. Kara rasakan lengannya semakin diremas keras. Daging yang terhimpit kecil-kecil di sela jemari Taehyung sisakan nyeri sakit. Namun Kara diam saja, biarkan kurva di bibirnya menjadi manipulasi keadaan bahwa ia tegar meski rontaan luka itu membuat dadanya berteriak tak nyaman.

Prinsip Iblis tidak pernah ingin kalah. Mereka tak ingin tunjukkan bahwa dirinya lemah; selalu menjadi yang terkuat dan mendedikasikan diri sebagai penantang pertama pada sayat-sayat luka. Itu hal biasa, dan jika kalian belum tahu, semu itu adalah diri Kara. Sosok manusia yang ingin meninggalkan eksistensinya dalam semesta untuk menjadi salah satu Iblis dari Neraka.

"Kau pikir kebencianmu adalah satu hal yang akan kupedulikan."

Taehyung tancapkan jarum tiba-tiba pada lengan putih itu. Menyelam pada daging utuh kemudian tertawa di dalam sana begitu semburkan nyeri tak terbantahkan. Kara berjengit kaget kemudian mengaduh ringan, ada darah yang langsung basahi kulitnya. Bergelanyut kemudian warnai jari Taehyung yang masih setia menggandeng jarum itu. Oh sebaiknya kalian ingat bahwa apa yang kini berlindung dalam dagingnya adalah benda yang ujungnya tumpul. Kara lebih berharap ujung tajam dan runcing dari pada benda yang baru saja Taehyung paksa masuk ke dalam lengannya.

"Kau selalu saja brengsek!" Kara memaki setelah tegarkan diri kembali. Menelan sakit kemudian mengindikasikan kesakitannya lewat bulir-bulir keringat dingin pada kening; seperti biasa. Kara terbiasa dengan pecutan, ia berteman dengan rasanya sehingga tak temukan sakit baru setiap kali Taehyung daratkan pada tubuh. Kemudian hari ini Kara menyambut rasa lain ketika sebuah besi terselip nyaman pada daging.

Taehyung menarik jarumnya perlahan, seakan-akan memberikan Kara waktu untuk merasai hal itu lebih lama. Seakan Taehyung ingin Kara mengerti bahwa ia dirinya yang paling berkuasa juga berhak berikan banyak gambar seni pada tubuhnya. Taehyung berhak dan Kara mengiyakan hal itu.

"Ya, aku memang brengsek. Dan kau tak ada bedanya denganku." Taehyung gesekkan ujung tumpul itu pada permukaan lengan lainnya.

"Dan satu lagi." Kara berhasil redam kemudian hentikan suara pekikan lewat mulutnya ketika lengan lelaki itu meraih ketiaknya kemudian mengangkat begitu mudah.

Sejenak Kara merasakan dirinya melayang, kemudian dihempaskan pada permukaan meja yang berkasnya disingkirkan hingga berakhir bercumbu lantai. Baiklah, Kara perlu berpikir lebih keras lagi mengenai detensi selanjutnya. Sebab, Taehyung berikan kesempatan bagi bokongnya menyapa meja kerja yang setiap hari hanya berisi dokumen-dokumen juga buku-buku materi penting. Tak cukup di sana, Kara harus olah otak secepat mungkin begitu lelaki itu membuka pahanya untuk memberi sekat lebar; berakhir mengangkang dengan pinggang Taehyung yang bergerak maju mengisi celah. Kara mundur.

"Aku tak suka ucapanmu." Taehyung tekan suaranya ketika menatap wajah Kara dari dekat.

Gadis itu tidak memundurkan wajah, tetap pada posisi mempertahankan harga dirinya. Ia biarkan saja napas si tua menerpa wajah. Memasuki lobang hidungnya serta. Membuat kepala Kara penuh cytrus memabukkan. Dan itu jelas berbahaya. Kara tahu dirinya harus segera pergi sekarang juga jika tak ingin berakhir jijik pada seluruh tubuhnya sendiri.

"Kau tahu 'kan Kara bahwa aku mampu dapatkan apapun kehendakku? Aku tak suka diabaikan, dan kau baru saja mengatakan secara telanjang bahwa aku serta ucapanku tak memiliki tempat pada rasa pedulimu." Taehyung serahkan seringai terlicik pada sebongkah tubuh yang kini biarkan obsidiannya menusuk jantungnya. "Aku bersumpah atas nama Kim Taehyung. Kau tak akan pernah membagi rasa seperti itu lagi pada hal lain. Hanya aku, pedulimu hanya akan tentang diriku. Dan aku berjanji bahwa itu akan segera terjadi."

*****

Kara kenakan baju lengan panjang selama tiga hari terakhir. Tutupi bagian luka pada lengan yang terbungkus perban; sebab darah masih suka mengalir dari lubang mirip pori-pori yang agak lebih besar itu. Taehyung menusuknya enam kali, dan Kara akui sakitnya merusak tulang. Barangkali Iblis itu menusuk terlalu dalam?

Oh Kim sialan. Hanya karena aku berniat lukai perempuan incarannya, dia lakukan detensi lebih gila.

Akan tetapi bukan Kara namanya jika berhenti sebelum niatnya terealisasi. Ia susuri lorong universitas hari itu dengan tungkai tegak dan langkah dinamis. Sorotnya keras dan ia tahu hari ini ia akan temukan keberhasilan sabtu adalah hari cuti mingguan Kim Taehyung. Dan Kara mendapatkan kesempatan besar untuk mengaplikasikan niatnya.

Sayang sekali, karena pada langkah ke delapan menuju ruang laboratorium, seseorang memaksa kakinya untuk berhenti. Dan Kara bersiap dengan kepalan tangannya untuk menghadiahi satu peringatan keras pada sosok tubuh jangkung dengan rambut yang agak terlalu panjang jatuh pada kening; menutupi matanya secara parsial.

"O wow, aku minta maaf jika membuatmu kaget." Pemuda itu memundurkan langkah sembari angkat tangan, seakan-akan tengah berhadapan dengan sekumpulan polisi yang tengah todongkan senjata api padanya.

"Kau lagi." Kara injak kakinya sebelum lelaki itu semakin jauh. "Dengar, aku tidak tahu kau itu siapa. Berhenti menghalagi jalanku atau kau akan berakhir mengenaskan di atas lantai."

Jungkook sumbangi kekehan ringan yang cenderung konyol sebab terlalu lebar pada Kara; yang disambut dengan lirikan sebal kemudian hendak hengkang dari sana.

"Tidak ada Jukyung di sini." Jungkook bersuara lebih dulu. Kembali interupsi langkah tungkai-tungkai jenjang yang hari ini terekspos tanpa busana. Tak ada bekas memar seperti hari kebanyakan, sebab tidak ada lagi cambukan.

Sejemang Jungkook perhatikan kondisinya, masih seputih porselen dan terlihat licin. Barangkali Taehyung memberinya bermacam-macam obat mahal usai memberi tanda kekerasan di sana. Tapi tidak tahu lah, Jungkook hanya senang tak temukan tanda penyiksaan pada tungkai jenjang kembar yang indah itu.

Beda Jungkook, beda lagi dengan Kara. Gadis itu bersiap ayunkan kaki untuk sekedar memberi tendangan pada pangkal paha lelaki mesum yang terus menatapi kakinya penuh minat. Seakan-akan dua jenjang itu lebih indah dari pada wajahnya sendiri, dan Kara tidak suka. Kara tidak suka dibanding-bandingkan, bahkan sekalipun itu dengan tubuhnya sendiri.

"Kau lihat apa?" bentaknya kasar.

Mengabaikan penasaran sejenak sebab lelaki di depannya tahu siapa yang tengah ia incar sekarang. Apa manusia inosen tampan di depannya itu cenayang? Atau sasaeng yang mencari tahu segala gerak-geriknya? Baiklah, berhenti berpikir tinggi. Kara bahkan tak miliki orang-orang semacam itu; tidak butuh juga.

"Maaf, kakimu seksi." Jungkook tertawa sendirian. Sedang Kara sipitkan mata guna beri pancaran intimidasi.

Apa itu lelucon? Kara tak mengenal hal itu, hidupnya serius dan Kara tak sempat untuk membagi waktunya dengan bermain dengan bocah ini. Belum lagi ia perhatikan mulai banyak mata memandang ke arah mereka berdua. Menyusul bisik-bisik basi juga senggolan-senggolan ringan pada lengan sesama. Kara semakin muak saja.

"Menyingkir!" Kara tubruk tubuh jangkung itu, yang astaga sayang sekali rasanya seperti menubruk batu raksasa. Keras dan tangguh.

Alih-alih membuat Jungkook bergeser, Kara hampir terpental jika saja lengan-lengan pemuda itu tak segera menangkap pinggangnya kemudian menahan gravitasi yang semangat sekali menarik tubuhnya. Kara tidak suka menjadi konyol, tetapi dirinya juga tidak suka menjadi lemah dihadapan pemuda ini.

Namun masalah lain tandangi harinya, bahwa Kara tak pernah belajar bagaimana cara mengatasi makhluk dengan temperamen seperti Jungkook. Dia hanya memahami orang-orang bersikap keras, kasar, dan semena-mena; tetapi tidak untuk mengerti perawakan lainnya. Pemuda ini terlihat keras kepala, hanya saja dalam konotasi berbeda dengan si tua Kim. Ada banyak tawa konyol terpasang pada wajahnya alih-alih seringai seperti pak tua Kim.

Ini bukan antara memilah perbedaan juga kesamaan, tetapi Kara hanya coba pasangkan beberapa ekspresi kemudian belajar memahami waktu untuk mengatasinya. Ia tidak ingin salah langkah dan berakhir tak masuk akal seperti pemuda itu. Kara harus sempurna, dan ia tak boleh beri celah pada apapun yang mencacatkan peripurna tersebut.

"Dan pinggangmu juga ramping, hampir terlalu kecil." Susulan komentar dari Jungkook berhasil membuat Kara benturkan keningnya dengan kening si pemuda, keras sekali.

Gaungan pening mendera seiring lengan yang lepas rengkuh pada pinggangnya. Sejujurnya Kara turut rasakan pening di kepala, namun ini hukuman yang ia berikan pada lelaki itu; sebabnya Kara tak boleh turut andil menerima akibatnya. Jadi ia diam saja sekali pun keningnya tersiksa.

Jungkook masih sibuk mengelus kening sembari mendesah lirih-lirih. Meraih dinding untuk menopang tubuhnya yang oleng sejenak sebelum akhirnya terkekeh sinting. Oh barangkali di sini memang sama gilanya.

"Bar-bar sekali, girl." Jungkook paksa buka kelopak guna aktifkan fungsi irisnya, menatapi wajah Kara yang nampak kabur sejenak. Dan, ya, Jungkook akui gadis itu tangguh. Dia tidak mengeluh padahal Jungkook yakin kening gadis itu analog sakitnya. "Kau beda sekali, Ra. Kau tak sama lagi. Bukankah saat ini kau perlu berpikir sejenak bagaimana aku tahu bahwa kau yang sekarang drastis berantonim?"

"Hei dengar, kau--"

"Jungkook, Jeon Jungkook. Astaga namaku sekeren itu tetapi kau terus lupa."

"Apapun itu, kau jangan lagi temui aku. Jangan komentari apapun yang berhubungan denganku. Pahami ini, Jeon. Kau dan aku tak sama, berhenti mendekatiku seakan-akan kau mengerti segalanya. Jangan buat kadar kemuakanku padamu berhimpun menjadi benci."

Jungkook diam, ia tatapi Kara yang berkobar begitu semangat memarahinya. Ya, gadis sok tegar itu berusaha sembunyikan kesepiannya. Ia terbutakan gengsi untuk menerima orang lain; barangkali merasa jera akan hal itu. Tetapi percayalah, Jungkook menyelami tatapan gadis itu. Dan melihat apa yang tak orang lain temukan pada paras cantik antagonisnya.

Kara kesal bukan main, ia hentakkan kaki kuat-kuat sebab telinganya kembali ditandangi suara lelaki di belakang sana. Penuhi rungu kemudian merambat menuju otak dan berlindung pada sel-sel tubuhnya yang lain.

"Aku Jeon Jungkook, jurusan seni dan gedung fakuktasku berjarak 400 meter dari sini." Jungkook jeda sejenak, ulangi perkenalan seperti beberapa pekan lalu. "Aku memiliki rahasia tentang hidupmu, temui aku kapan saja jika kau siap menjadi temanku, Kim Kara."[]




Ngga punya plot khusus, cerita ini ditulis tiap ada ide doang. Wajar dong kalo berantakan. Wkwk :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top