04. Loser
Tungkai kembar itu masih sama lapuknya barangkali; karena sekali pun lambung baru saja terisi dua lembar roti yang dipanggang sambil melamun tak mampu berikan rasa lain selain hambar dan hampir gosong. Alih-alih merasa mengisi tenaga, Kara pikir keadaan semakin membuatnya tak nyaman saja. Meski roti terasa pahit menyapa indera cecapnya, Kara bersikeras tak ingin berbagi kenyang dengan tempat sampah. Ia jejal semuanya ke dalam mulut, makan dengan rakus seakan itu adalah makanan terakhir dari Kim Iblis Taehyung untuknya.
Selai kacang kesukaannya sedang laknat habis di waktu yang tidak tepat, ramen yang biasa mengisi lemari gantung sisi kanan juga tiba-tiba lenyap tak tersisa. Ada sisa hasil olahan tangan Taehyung di meja makan yang nampak menggugah untuk Kara cicipi barang sedikit. Sayang sekali, kebencian yang dipupuk itu tumbuh kelewat fertil hingga membuat Kara enggan menyentuh apa-apa yang asalnya dari dua tangan lelaki bejat itu.
Ya, mungkin tidak secara holistik. Karena jika Kara menolak seluruhnya, jelas dirinya akan melarat dan terombang-ambing mencari makan seperti pengemis jalanan. Konklusi singkatnya, Kara hanya tak suka berbagi masakan yang Taehyung olah sendiri menggunakan tangan-tangan yang gemar berikan memar pada tubuhnya. Bahan mentahnya mungkin, iya. Namun sial lainnya adalah Kara ternyata tak cukup mampu ciptakan rasa nikmat dari tangannya lewat bumbu-bumbu dapur. Menyerah; Kara tak lagi mencoba konsumsi hal lain selain ramen juga roti di rumah, ah kadang-kadang ia suka mencuri buah-buahan segar dan beberapa botol selai kacang untuk dibawa ke kamar kemudian makan sepuasnya.
Gadis itu melempar botol susu pisang usai tandaskan isinya sembarangan. Meleleh membasahi dagu juga kerah kaos yang ia kenakan. Pun mungkin meninggalkan bekas berupa garis vertikal putih manis di leher. Pupilnya bergerak menuju dinding sayap kiri, temukan jarum jam yang tak lelah bergerak sekalipun kadang informasi yang diberitakannya lupa untuk ditanggapi manusia lain. Kara juga begitu; enggan sekali menghitung berapa kali jarum terkurus di sana menyentuh angka dua belas. Hanya saja, kali ini dirinya harus memastikan bahwa dua jam yang Taehyung berikan padanya tak ia lewatkan.
Sepuluh menit lagi.
Dan Kara buang napas kasar dua kali untuk itu. Otaknya mendadak tak dapat temukan ekuilibium kinerja. Terpumpun beberapa fragmen-fragmen lampau yang mengalami friksi berlebihan. Diolah berapa kali pun, Kara tetap hanya temukan luka-luka di sana. Sekeras juga sebanyak ia coba memancing fragmen indah, Kara tenggelam kembali bersama kepung-kepung lubang pekat. Untuk apa sebenarnya ia mengintip kembali masa lalunya yang tak ada satu ukir kurva di bibir? Apa gunanya mencari orang yang pernah ajari dirinya bermain dengan tawa-tawa tipis? Tidak ada. Orang-orang seperti itu tidak ada di dalam hidupnya.
Hanya ada Ayah dan juga Kim Taehyung yang tiba-tiba menariknya menuju dunia Iblis yang lain. Ah jika dipikir ulang, kapan pertama kali keduanya bertemu? Dan pada detik selanjutnya, Kara hampir membenturkan tempurung kepalanya pada ujung meja karena berani me-reka ingatan bersama si Iblis yang ingin ia jejali pada Neraka terbawah.
"Aku akan bawa Kara."
Ucapan Taehyung yang masih berdesibel jemawa itu merayap menuju lobus frontalisnya. Mengepulkan ingatan paras lelaki itu yang arogan kemudian menarik dirinya dari sisi sang Ayah yang masih genggam cambuk penuh darah. Saat itu Kara diam saja, tatapi dua lelaki beda usia namun miliki pancaran aura ekuivalen. Dia tidak berontak pada tarikan kasar Taehyung ketika membawa dirinya yang berjalan tertatih mengimbangi langkah. Bukankah harusnya Kara protes atau setidaknya tanyakan kemana lelaki asing itu akan membawa dirinya pergi? Ke surga? Atau justru tempat penghukuman selanjutnya?
Nyatanya Kara hanya rajut langkah dalam diam. Mengabaikan nyeri-nyeri pada betis juga lengannya yang mengelupas juga keluarkan darah baru. Hangat rasanya cairan itu ketika basahi epidermis di setiap sisi. Bodohnya karena Kara dulu pernah berpikir akan dapatkan nuansa lain bersama lelaki asing. Sementara di semenjana sengsaranya, Kara tetap jatuh ribuan kali pada kubangan darah-darah segar. Tak ada hentinya dan Kara hampir-hampir bosan yang condong pada kehausan akan kematian.
"Hentikan, Kara." Satu pukulan menjadi penanda bahwa dirinya harus segera sadar dari belaian kurang ajar fragmen Neraka itu.
Tampar otak sendiri untuk segera aktifkan saraf kaki menuju ruangan dimana Taehyung akan lakukan detensi padanya. Bukan hal baru mengalami penyiksaan. Kara sudah lewati masa-masa itu seumur hidupnya. Sakit adalah Kara dan Kara adalah sakit. Keduanya tak akan saling menyakiti, bukan? Mereka sahabat yang menyatukan rasa dalam satu tubuh.
Daun pintu Kara dorong pelan; sedikit memberikan tendangan lewat kakinya lantaran kesal harus kembali mengalah pada Taehyung yang kini duduk bersandar pada kursi putarnya; memejamkan mata dengan tenang. Sejenak langkah Kara stagnan, memperhatikan dari kejauhan dengan cahaya remang. Oh si iblis itu sedang tidur rupanya? Haruskah Kara yang beri dia pelajaran lebih dulu? Bagaimana tentang mencongkel biji matanya hingga keluar? Atau menggunting bibirnya yang sialan itu? Memotong jemari lentik panjangnya? Baiklah itu ide bagus semua, dan Kara harus melangkah mendekat untuk mengaplikasikan keinginannya.
Meninggalkan daun pintu di belakang sana yang masih terbuka; timbulkan cahaya parsial ruang berbentuk segi memanjang membelah gelap. Efek dari pantulan cahaya lampu terang di luar sana. Kara melangkah dinamis dan tenang, menuju sisi kanan Taehyung. Menatapi lelaki tua itu yang tengah biarkan dua labiumnya berjarak hingga intipkan gigi rapih di dalamnya. Akan lebih bagus kehilangan labium atas atau bawah? Oh astaga Kara menerima dengan baik jiwa psikopat yang Taehyung salurkan. Dimana gunting sialan itu?
"Sialan!" umpatan lirih yang ternyata timbulkan ketidak nyamanan istirahat sang monster. Terusik dan bergerak ringan kemudian entah efek tidur atau bagaimana; jemari panjang itu meraih tangan Kara dengan entah sengaja atau tidak. Menariknya mendekat kemudian si lelaki tua memiringkan kepala ke sini lain sembari bergumam.
"Jangan ganggu, Bae. Aku mengantuk sekali."
Oh mulut lelaki sialan itu ternyata bisa penuh racun juga. Kara menyungging senyum paling menyeramkan yang ia simpan rapat-rapat. Begitu juga dengan rahasia yang ia temukan tak lama ini; ketika dirinya tak sengaja temukan dompet Taehyung terselip di bawah bantal dengan kondisi sedikit terbuka. Sebuah potret palaroid kecil yang disimpan dengan sangat baik. Seorang gadis berambut panjang yang terlihat aneh sekali bersama paras anggun.
"Kau iblis, Kim. Apa kau pikir gadis itu akan menyukaimu?"
Kara menarik paksa tangannya dari genggaman Taehyung yang masih sama lelapnya. Tidak berusaha bersikap lunak atau takut tidur si lelaki terusik. Bahkan jika seandainya Taehyung bangun kemudian meminta untuk memulai hukuman, Kara sudah lebih dari sekedar siap.
Ada ledakan bahagia mengetahui kelemahan Taehyung saat ini. Atau mungkin Kara salah mengartikan deguman jantungnya yang tiba-tiba menggila saja. tak terkendali dan bertalu mati-matian. Saat ini, Kara tak perlu lagi menjelaskan perasaannya hingga naratif. Tak akan ada gunanya. Karena Kara berinisiatif membalas sang Iblis dengan cara yang lebih sadis dari pada luka-luka yang Taehyung berikan pada tubuhnya.
'Oh Kim, kau tak seharusnya lengah pada musuhmu sendiri. Jukyung-- sayang sekali karena kau harus kembali berurusan denganku sebab dicintai oleh lelaki yang salah.'
*****
Bisik-bisik yang terlalu nyaring digumamkan lewat mulut menuju telinga-telinga di sana mungkin bukan lagi sesuatu yang baru; dan ini sudah dijelaskan jutaan kali lewat definisi-definisi jam terkutuk Kara.
Langkah kakinya menjadi lebih berat saja begitu tatap-tatap menusuk itu dihunjam terang-terangan padanya. Oh astaga, mereka adalah penggemar Dosen brengsek yang geram mendengar kabar skinship lekat beberapa hari lalu; antara Kara dan juga Taehyung. Sebagian menonton langsung adegan hidung berdarah juga gendongan erat dengan langkah tungkai tenang kapan hari. Lewati lorong-lorong universitas menuju mobil kemudian pulang begitu saja.
Manusia memang gemarnya mengusik, menelan momen manusia lain kemudian jadikan fantasi buruk bahkan alasan tak suka pada kebahagiaan orang. Rupanya bukan hanya Kara yang gila akan dengki. Banyak topeng yang bertebaran pada muka-muka mereka yang kerap berpoles cantik. Berhias senyum dan gemulai tubuh yang cantik. Astaga, Kara semakin sadar saja bahwa semesta memang tempat terluas dusta-dusta berada. Drama-drama yang diperankan kemudian diaplikasikan lewat realita. Sungguh cerdik sekali mereka, menghujat kemudian bersikap lembut setelahnya hanya demi sebuah relasi hubungan yang begitu baik. Sebenarnya, Kara pikir, mereka semua tak punya jati diri.
Dan ya, barangkali Kara terlalu frontal, sebab memang itu kenyataannya. Semua orang berpura-pura bahagia hanya agar tak terlihat menyedihkan di depan orang lain. Banyak antonim di sana. Begitu pun dengan Kara sendiri, sebab hakikatnya gadis itu adalah kumpulan-kumpulan antonim yang sesungguhnya. Tak ada deskripsi naratif, Kara tahu semua orang hanya akan membaca guratnya namun tak benar-benar pahami perasaannya yang terbungkus cerita. Palsu, ya Kara akui. Hakikatnya, manusia memang tak suci, dan Kara tak ingin ingkari kebenaran sekalipun dirinya ingin sekali.
Kara pikir gumaman itu hanya tentang Taehyung saja. Ternyata ada satu nama dan satu nama lagi yang terseret di dalamnya. Kara tak mengerti, namun telinganya menangkap sua itu dengan baik. Ada nama Jungkook yang diucapkan lirih sekali dan juga Jimin dengan vibes sebal; iri mungkin? Entahlah. Otak Kara rasanya mulai mengalami vandalisme. Lektur dalam pelukaannya juga tak dukung apa pun guna tenangkan pikiran. Tiba-tiba dia cacat mengingat siapa itu Jungkook dan Jimin? Apa Kara mengenalnya? Dan oh ya, dia kini ingat keduanya. Lelaki-lelaki yang katanya jadi dambaan itu, bukan? Jimin si kasanova dan Jungkook yang ia lupa lelaki itu siapa.
Rupanya bisik-bisik kesal itu Kara temukan jawabnya begitu melihat sosok tubuh menjulang di depan pintu kelasnya. Tubuh yang awalnya bersandar pada dinding dengan kaki menyilang jemawa dan sok cari perhatian itu langsung memijak dengan benar. Ah, itu dia alasannya? Mereka menatapinya benci karena Park Jimin itu menunggunya di depan kelas?
"Kara, ada banyak yang perlu diluruskan. Bisa ikut aku sebentar?" suara Jimin lebih dulu dilantunkan.
Kara hanya tatapi sepatu pantofel berhak mini itu. Menjauh kemudian ia ikuti tanpa banyak bicara. Biarlah, Kara sengaja ingin undang desus mereka yang siap bergosip tentang sosok Iblis yang dijemput malaikat dengan sangat manis. Berjalan berdua mirip sejoli yang akan pergi kencan dengan begitu bahagia. Sayang sekali, Kara tak bisa jabarkan bagaimana perasaannya sekarang. Puas yang tak bisa disampaikan lewat ketipisan senyum. Wajahnya mengalami pantangan dengan ekspresi semacam itu.
Pada persimpangan Kara tak sengaja lirik pojok lorong kemudian temukan Taehyung tengah sedikit berdebat dengan seseorang di sana. Oh seperti dugaannya, Jukyung tersenyum penuh minat yang kadang layangkan sentuhan pada dada Dosen itu. Rupanya Kara tak salah duga, lelaki tua brengsek tersebut memang menaruh rasa pada anak didiknya. Dan ya ampun, perempuan murahan mana lagi yang sebelumnya merayu Jimin lalu kemudian berbalik menggoda suaminya? Jukyung barangkali memang tengah memilih jalan kematian terbaiknya kali ini; di tangan Kara.
"Kara, dengar." Jimin menutup pintu laboratorium kemudian berbalik menatap Kara yang tengah biarkan dua tangannya melekat memeluk lektur. "Aku tak pandai memulai percakapan, jadi kuputuskan untuk katakan intinya secara langsung. Kara, hanya karena aku pernah membantumu satu kali, bukan berarti aku miliki perasaan padamu. Tolong jangan salah paham, kita berdua tak pernah berjumpa selain waktu aku mengembalikan bukumu yang tak sengaja terjatuh waktu itu. Tolong jangan begini, aku merasa tidak nyaman."
Sunggingan senyum pada wajah gadis itu tersirat menyeramkan. Kara memainkan lidah di dalam mulut sembari pandangi rona wajah Jimin yang memang tak wajar. Lelaki ini kelihatan baik, dan akan kontras sekali jika terfriksi dengan Kara yang tak pernah lekat dengan kata-kata lunak.
"Apa yang kau bicarakan, Park Jimin?" Kara layangkan suaranya dengan begitu tenang. "Kau pikir aku menyukai lelaki sepertimu?"
Jimin rotasikan wajahnya jengah. Begitu pun dengan Kara yang kemudian terkekeh ringan guna tanggapi keadaan. Kekehan yang jelas tak disertai sebuah kurva baik condong pada senyuman.
"Seseorang bilang padaku kau menyiksa satu mahasiswi yang datang padaku minggu lalu. Kau katakan padanya untuk menjauhiku. Kara, tolong. Semua orang menjauhiku karena kelakuanmu. Kau merusak pikiran mereka yang sebelumnya berlaku begitu baik padaku. Mereka takut alami kejadian yang sama mirisnya dengan dia yang aku lupa namanya." Jimin menghentikan sejenak aksen-aksen itu. Benahi kalimat lalu lanjutkan berujar lebih lembut. "Tolong gunakan hatimu, Kara. Aku tahu kau bisa menjadi baik. Hidupkan sisi kemanusiaanmu. Jangan usik aku dan juga mereka semua. Selesaikan masalahmu dengan benar, jangan dilampiaskan."
Barangkali Jimin bermaksud baik. Namun bagi Kara pengucapan itu diberikan pada makhluk yang salah. Karena Kara kembalikan ucapan itu pada pemiliknya dengan menjejal balik, penuh dan kasar. "Kau suruh aku menggunakan hatiku sementara kau tak fungsikan hatimu dengan benar. Kau bicara sisi kemanusiaan sedangkan dirimu tak jalani itu dengan semestinya. Park Jimin... sinkronkan dulu hati, mulut, serta tindakanmu sebelum berniat menceramahiku."
Jimin sipitkan matanya, menyorot lebih dalam lagi sebelum biarkan mulutnya bicara guna tanyakan apa maksudnya. Jimin jelasnya tak mengerti mengapa Kara jadi menyerangnya hanya karena dirinya ingin meminta adil bagi dirinya sendiri? Maksudnya, Jimin tak ingin ikut campur dalam kasus apapun yang timpa gadis di depannya. Pun ia ingin tegaskan untuk jangan mengusik, lalu balasan macam apa ini?
"Aku tidak suka bertemu kemudian mendengar petuah dari seseorang yang tak dewasa sama sekali namun ingin terlihat menghakimi; mengajari kemudian bermaksud untuk mengajak diriku menjajaki tempat paling tinggi di bumi. Jimin, aku selalu hidup di lembah-lembah. Kau perlu tali lebih kuat juga tenaga maksimal untuk selamatkan aku lebih dulu sebelum mencoba berteriak padaku guna beri nasehat bijak."
"coba kutanya, bagaimana bisa kau menasehati tentang hati juga sisi kemanusiaan dengan begitu gampangnya? Dari mana asumsi itu kau temukan, hm? Kau tak setuju dengan laku diriku yang berusaha berikan pelajaran pada mereka, kau anggap itu siksaan sementara kau tak baca maksud sesungguhnya bahwa yang kulakukan adalah sedang berbagi? Aku membagi perasaanku pada mereka, aku mencoba katakan bahwa dunia tidak terus merujuk pada poin bahagia. Ada luka yang dipikul orang lain, dan mereka seakan buta. Jim, atas dasar apa kau memberiku petuah untuk hidupkan hati? Sedang kau ingin berbahagia saja tanpa mau mengerti apa yang menyayat di dalam sini?" Kara tunjuk dadanya sendiri. Biarkan ia terlihat lemah dan merendah sekali saja. Di hadapan lelaki yang awalnya ia anggap begitu baik.
Lelaki yang sebulan lalu menepuk pundaknya begitu pelan kemudian tebarkan senyum hangat dengan ramah. Mengulurkan sebuah buku dan berusaha ciptakan beberapa obrolan ringan padanya sepanjang lorong. Kara pikir ia temukan satu teman, Kara pikir Park Jimin itu berbeda. Namun hanya karena satu senyum dan juga sentuhan hangat pada pundaknya, Kara menjadi buta. Ternyata memang hakikatnya manusia sama saja. Egois seperti biasa.
"Kau masih berani katakan padaku bahwa hatimu tidak malfungsi sementara kau terus tersenyum di atas runjam-runjam kericil runcing yang kuinjak setiap hari? Sisi kemanusiaanmu sudah sama matinya dengan milikku."
Jimin tertegun, tiba-tiba kehilangan vokal yang biasanya melantun sempurna. Kenapa Jimin jadi pihak yang disalahkan? Dirinya hanya berusaha menuntut keadilan; yang ternyata pada manusia hampa keadilan. Dirinya meminta kebebasaran; yang ternyata pada manusia terjerat jeruji transparan. Terjerat dan tersiksa diam-diam. Jimin... maksud baiknya ternyata salah tempat.
"Kara... tetap saja. Kita bahkan tidak saling mengenal dengan baik."
Kara menyungging seringai miringnya. Mengangguk cepat kemudian memakan ganas ucapan Jimin barusan. Satu-satunya harapan untuk memiliki teman hangus sebelum dimulai.
"Kita tidak mengenal. Itu sebabnya kau tidak perlu temui aku kemudian berceramah memberi pencerahan. Cukup lihat saja apa yang kulakukan, perlu kau ketahui. Aku tidak mengusikmu sama sekali, aku hanya membenci mereka yang tebarkan tawa dengan lancang di hadapan orang yang tengah sekarat melangkah bersama tubuh tak utuh karena tercoret garis luka. Bukankah kita perlu mengajari mereka untuk tahu bagaimana rasanya hidup tak bahagia, Jim? Mereka tak berhak mencuri oksigen melalui penghidunya jika empati pun mereka bunuh begitu saja. Aku... benci mereka yang seperti itu. Membencimu dan membenci semuanya."
Kara langkahkan kaki kemudian tubruk pintu keras sekali. Menghentak kasar sembari rapalkan mantra umpatan. Wajahnya sangar dipadu dengan tangan mengepal. Ucapannya tadi kurang ajar sekali, bukan? Kara tidak perduli. Semesta bahkan hanya mengajarinya tentang menjadi jahat sembari memahami Iblis. Jangan salahkan dirinya yang hidup tak terdidik.
Begitu mencapai persimpangan, Kara temukan Jukyung tertawa lebar bersama beberapa rekan lainnya obrolkan hal seru. Waktunya bagus sekali, Kara sedang mendidih kemudian temukan seseorang seakan tengah mentertawai kesakitannya saat ini. Ia mempercepat langkah, terobos serdak-serdak di udara kemudian nyalakan sisi kejamnya. Setidaknya ia harus memulai sesi pembelajarannya lagi. Tuntasi amarah dan sebagainya. Kegilaannya semakin mendidih saja kala mengingat bahwa gadis yang kini lebarkan bahak itu tengah diincar oleh seseorang untuk menggantikan posisinya. Kim Taehyung. Dan itu membakar emosinya hingga ke dasar.
Kara menghitung setiap langkahnya namun tiba-tiba terhenti paksa kala sebuah tangan menangkap lengannya begitu gesit. Sedikit terpental ketika tarikan itu membawa tubuhnya merapat pada aroma maskulin familiar. Iblis itu datang.
"Buru-buru sekali, hm." Taehyung edarkan pandangan pada sosok yang sedari tadi fokus Kara soroti hingga mengabaikan presensi Taehyung di sisi kiri pintu ruangannya. "Mengincar sesuatu?"
"Lepas!" Kara menarik tangan sia-sia, karena selanjutnya Taehyung mencengkeram hingga mungkin sebagian kuku dari jari panjangnya menancap sapa daging.
"Kau tidak akan kubiarkan menyakiti siapapun di wilayahku. Untuk itu, sebelum kau lakukan hal gila lainnya. Bagaimana jika kita lakukan detensi yang semalam tertunda? Akan kubuat kau mati lemas kali ini, Kim Kara."
Dan sumpah demi apapun, Kara menemukan Jukyung tersenyum leceh padanya dari kejauhan ketika dirinya ditarik kasar oleh Kim Iblis lainnya.[]
Ngga ngerti lagi jalan ceritanya kaya gimana?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top