How to Let Go

Kalau kemarin-kemarin aku enggak terlalu bersemangat ke kantor gara-gara harus berkutat dengan naskah novel yang bukan seleraku, hari ini semangatku melorot ke titik nol gara-gara Mami. Tega-teganya Mami menjual Alfa tanpa bicara dulu denganku.

"Kalau kita bicarakan dulu, udah pasti kamu bakalan nggak setuju, Sayang," jawab Mami saat aku menyerukan keberatanku.

Aku paham alasan Mami menjual Alfa. Perawatan mobil klasik enggak bisa dikatakan murah. Dan uang pajaknya keterlaluan untuk ukuran ekonomiku saat ini. Karena itulah aku enggak pernah mengendarai Alfa lagi, hanya mengeluarkannya sesekali dari garasi untuk dipanasi.

Kupandangi garasi yang kosong melompong dengan sedih. Rumahnya Alfa Romeo kesayanganku yang sekarang ada di garasi entah siapa. Mami menolak memberi tahu identitas si pembeli. Karena tadi malam aku bilang ingin menghubungi orang itu dan memintanya menjual Alfa kembali padaku.

"Udah dong, Farra. Jangan dilihatin terus garasinya. Cepetan mandi. Nanti kamu terlambat ke kantor. Kalau kena pecat lagi gimana?" panggil Mami dari teras kontrakan. Tangannya memegang handuk berwarna merah lalu diacung-acungkannya ke arahku.

Mami kelihatan enggak merasa bersalah lagi seperti tadi malam. Hanya karena aku sudah menyerah memaksanya membeli Alfa kembali, bukan berarti aku bisa berdamai secepat itu.

"Biar aja aku dipecat, Mi. Uang di tabungan kita 'kan penuh banget sekarang," sindirku.

"Ya nggak gitu juga, dong, Sayang. Kamu harus tetap kerja. Kalau nanti kita beli apartemennya Tante Hanna, uangnya udah berkurang banyak, lho. Harga negonya 650 juta. Itu udah turun jauuuh banget dari harga pasar, Far. Mana ada apartemen bagus di Menteng seharga segitu."

Kepalaku menoleh cepat ke arah Mami demi mendengar harga murah yang beliau sebutkan. "650 juta, Mi?"

"Iyaaa," Mami tersenyum semringah. "Murah banget, 'kan?"

Aku memejam frustrasi lalu berkata lirih, "Iya, Mi. Murah banget kalau kita masih sekaya lima tahun lalu."

Dengan langkah lebar, kuhampiri Mami yang masih tersenyum. Rasa sakit hatiku kembali menggelegak.

"Mami tolong dengerin aku. Sekali ini aja. Please...." Kutangkupkan kedua tangan di depan dada. "Aku akan ikhlasin Alfa. Benar-benar ikhlas, seeeikhlas-ikhlasnya. But, in one condition."

Senyum Mami belum pudar. Dan itu semakin membuatku ingin marah. Kurenggut handuk merah di tangan Mami lalu berkata, "Enggak ada apartemen di Menteng, Mi. Titik!"

***

"Far, gua barusan kirim hasil proofreading naskahnya si May ke email lu," Tantri berkata dari kubikelnya.

"Iya.... Nanti gue baca...," sahutku lemas, masih memikirkan Alfa.

Ternyata susah sekali untuk mengikhlaskannya. Beratnya sungguh enggak terkatakan. Pasalnya, selama dua hari sebelum Mami menjual Alfa, aku lupa menyambanginya di garasi saking sibuk mengedit naskah. Kalau Mami berdiskusi denganku terlebih dahulu, aku 'kan bisa mempersiapkan hati dan kami bisa berpamitan dengan layak. Setidaknya, kesedihanku enggak akan sebesar ini.

"Masih ada plot hole-nya, Far. Lu kagak fokus apa gimana pas ngedit?"

Tantri cereweeet! Tapi lagi-lagi aku cuma bisa menjawab pelan, "Iya.... Nanti gue baca ulang...."

"Lu tegasin deh, minta si May belajar lagi soal PUEBI. Masih juga dia ketuker-tuker awalan di– sama preposisi di. Kalo perlu lu pake capslock jelasinnya: AWALAN DI– NULISNYA DISAMBUNG SAMA KATA YANG MENGIKUTINYA, PREPOSISI DI DIPISAHIN!"

Aku mendesah untuk ke sekian kali. "Oke, Tantri.... Nanti gue bilangin...."

"Eh, lu kenape, sih?" Tantri menepuk ringan bahuku. "Lemes amat? Tumben-tumbenan lu kayak begini?"

"Lo putus cinta?" celetuk Illa di sebelahku tiba-tiba.

"Wah, kamu udah punya pacar, Far?" Mbak Ayunda sampai berdiri dari kursinya.

"Kok gue baru tau?" Mas Abeng mulai bergabung. "Anak mana? Bukan dari AksaSara, 'kan?"

Astaga, Tuhan tolong. Aku ingin sendirian saat ini. Tenagaku semakin terkuras habis rasanya. Pertanyaan-pertanyaan aneh dari mereka membuat kepalaku berdenyut-denyut.

"Nggak mungkin sama staf AksaSara." Mbak Ayunda menggerak-gerakkan telunjuknya ke kiri dan kanan. "Kalo iya pasti udah ketahuan sama kita-kita dong, Beng."

"Jadi penasaran gue, kriteria cowok lo yang kayak gimana sih, Far?"

Yang pasti bukan yang seperti Mas Abeng. Boleh tidak, aku jawab begitu supaya makhluk Adam paling cerewet yang pernah kukenal ini terdiam?

"Gua, sih, yakinnya bukan yang suka rumpi kayak elu, Mas."

Thanks, Tantri!

Bibir Mas Abeng langsung manyun. Tapi detik berikutnya, mukanya seketika kembali kelihatan penasaran. "Eh, tapi lo beneran lagi putus cinta?"

Mulutku mendesah. Kalau patah hatiku karena kehilangan Alfa bisa disamakan dengan putus cinta, maka ya, aku memang sedang putus cinta.

"Ya, ampun! Beneran?" Satu ruangan Romance Section seketika heboh.

"Baru banget putusnya? Kemarin gue lihat lo masih baik-baik aja, deh." Illa kedengaran sangat khawatir. Dan saat aku mengangguk, dia jadi semakin kelihatan khawatir.

"Duh, poor Farra." Mbak Ayunda juga sama. Dia tiba-tiba memelukku dan mengusap-usap punggungku. "Yang sabar, ya, cantiiik. Masih banyak cowok lain yang jauh lebih baik dari dia."

Dalam situasi normal, aku akan bilang ini berlebihan. Bahkan saat putus dari pacarku yang sebenarnya, aku akan memutar mata jika ada yang menghiburku seperti yang Mbak Ayunda lakukan. Tapi Alfa berbeda, dia jauh lebih berharga daripada pacar. Ini hampir sama seperti ketika aku kehilangan Papi, untuk selamanya....

Dan mendapatkan penghiburan seperti ini membuatku ingin menangis.

Thanks, Mbak Ayunda. Tapi enggak akan ada yang jauh lebih baik daripada Alfa, Mbak. Dia enggak tergantikan....

"Jadi begini ya tampang lo kalo lagi putus cinta, Far?" Mas Abeng menatapku lekat-lekat.


"Tuh, kan, Mas. Bener, 'kan, yang gue bilang. Farra masih normal, kok," timpal Illa, kedengaran berpuas diri. "Mukanya nggak sekaku yang lo pikir."

Kenapa oh, kenapa, Tuhan, mereka harus membahas soal ekspresiku di saat seperti ini?

"Tapi gue masih penasaran, nih. Gimana ya ekspresi Farra kalo ada cowok yang nembak dia?"

Kulirik sebal Mas Abeng dari balik pelukan Mbak Ayunda. Ini orang sebenarnya kenapa, sih? Obsesinya terhadap ekspresiku mulai mencurigakan.

"Baru juga putus, Beng. Nanti aja kalo lo ada niat mau kenalin Farra ke temen lo yang potensial." Mbak Ayunda membuat gerakan tangan mengusir Mas Abeng.

Yang diusir malah terkekeh-kekeh. "Nggak perlu dikenalin juga udah kenal."

"Oooh, yang itu, yaaa?"

Romance Section kembali heboh. Mbak Ayunda melepaskan pelukannya, langsung cekikikan lalu bergabung dengan Illa dan Tantri.

Here we go again....

"Yah, tapi kalo Farra masih dalam masa pemulihan perasaan, gue bakal bilangin ke dia jangan dulu aja. Biar Farra move on dulu gitu. Dia orangnya sabar banget kalo soal tunggu-menunggu."

"Olalaaa, co cwiiit!"

Tuhaaan! Mereka sedang membicarakan apa? Ini aku sedang patah hati kehilangan Alfaaa!

Tapi lagi-lagi yang bisa kulakukan hanya mendesah. Beginilah nasib punya teman-teman kantor paling enggak peka sedunia.

***

"Sayang, maafin Mami, ya? Oke, Mami akan turuti keinginan kamu. Kita nggak jadi beli apartemennya Tante Hanna. Jangan diemin Mami terus, dong."


Seminggu berlalu dan aku masih berkabung. Aku bahkan mogok bicara di rumah. Mami sampai kelihatan serba salah. Tapi aku enggak peduli. Aku justru puas karena sikapku membuat Mami menganggap serius rasa kehilanganku.

Bagi Mami, sepertinya Alfa enggak lebih hanya sebuah benda yang bisa dijual kapan saja. Jika benda itu enggak lagi berguna, tinggalkan, kalau perlu buang. Sama seperti saat Mami meninggalkan Papi. Walaupun aku enggak sepenuhnya tahu apa permasalahan mereka, tapi yang aku tahu, Mami membawaku pergi setelah usaha Papi bangkrut. Saat Papi meninggal dunia, Mami baru memberi tahu tiga hari kemudian.

Aku masih ingat betapa marahnya aku pada Mami saat itu. Tapi Mami mengabaikan perasaanku. Dan sekarang Mami melakukannya lagi. Karena itulah, aku merasa berhak untuk menghukum Mami atas sikapnya.

Kutinggalkan Mami tanpa berpamitan atau mencium tangannya seperti biasa. Biar saja dianggap anak durhaka. Toh, Mami duluan yang mendurhakai anaknya. Ya, 'kan?

***

Motor matic yang kukendarai memasuki halaman parkir khusus bagi para penghuni ruko di blok yang sama dengan kantor AksaSara. Letaknya ada bagian belakang blok.

Sesuatu yang cukup mencolok menarik perhatianku setibaku di sana. Sesuatu yang besar dan berwarna merah.

Tunggu, tunggu. Itu, 'kan....

"Wow! Keren! Lo nyolong mobil klasik dari mana, Le?"

Gelegar suara Mas Abeng membuatku terperanjat. Cepat-cepat kusembunyikan diri di balik Kijang Innova hitam di sebelah motorku. Entah kenapa aku merasa harus bersembunyi. Bahkan lebih konyol lagi, kukeluarkan kertas entah apa yang entah kapan berada di dalam tas selempangku lalu kututupi kepalaku dengan itu. Jantungku berdentam keras sekali.


"Enak aja nyolong." Mas Ale tertawa. "Ini hadiah ultah gue."

"Gilak! Gini, nih, enaknya punya bokap kaya raya. Pasti mahal banget nih mobil."

Mas Alendra berdecak. "Bukan dari bokap. Lo 'kan, tahu, nggak ada sejarahnya bokap ngasih gue hadiah."

"Trus? Dari siapa?"

"Dari Daryl."

"Oh."

Dan siapa itu Daryl, aku enggak lagi sempat mengetahuinya. Karena sosok Mas Alendra dan Mas Abeng sudah berjalan masuk ke dalam kantor, meninggalkan aku dengan jantung yang menggedor-gedor.

Itu dia. Kesayanganku, Alfa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top