Crush On You

Illa:

Far, sori gue pulang duluan. Adek gue barusan nelepon, mau pake mobil sore ini. 🙏🙏

Kubaca pesan Illa lalu mendesah pelan. Enggak masalah bagiku pulang naik transportasi umum, tapi hanya jika tanpa tentengan belanjaan seberat ini. Belum lagi nanti aku harus berjalan kaki dari jalan poros menuju kontrakan yang jaraknya cukup jauh.

Tapi mau bagaimana lagi? Mau cari tumpangan lain rasanya enggak mungkin. Sebenarnya Mas Alendra dan Mas Abeng masih ada di pameran buku. Hanya saja aku enggak cukup berani minta tebengan. Takut menyusahkan. Kontrakanku belum tentu searah dengan rumah mereka.

"Masih mau lihat-lihat?"

Tubuhku otomatis memutar begitu mendengar pertanyaan dari arah belakang. Mas Alendra berdiri sendirian sambil menenteng kantong dan ransel warna biru dongker, benda yang enggak pernah absen dia bawa kalau ke kantor. Kurasa dia suka sekali ransel itu. Enggak mungkin anak orang berada seperti dia cuma punya satu tas, 'kan?

"Udah mau pulang kok, Mas." Aku berusaha tersenyum. Tapi bibirku sepertinya cuma membentuk garis lurus alih-alih lengkungan sempurna.

"Sama. Saya mau ke parkiran. Bareng?"

Aku menggeleng. "Silakan duluan, Mas."

"Nggak usah sok nolak, Far." Mas Abeng muncul mendadak di belakangnya. "Bawaan lo kayak orang mau ngungsi gitu. Berdayakan bantuan dari kita-kita. Itu gunanya cowok, 'kan?"

Mas Abeng mendekat lalu tanpa permisi menyambar kantong di tanganku. Kupikir dia akan membawanya sendiri, tapi ternyata detik berikutnya benda berat itu dia pindahtangankan ke Mas Alendra.

"Berat, anj*r!" Teriakan keras Mas Abeng berhasil membuatku terperanjat. Dia mengibas-ngibaskan tangan kanannya seolah baru saja terkena bara api.

"Lebay lo, Beng. Segini mah ringan." Mas Alendra yang sudah menyandangkan ranselnya menjinjing kantong belanjaanku bersama kantong miliknya di kedua tangan.

"Ya makanya lo aja yang bawa, Le." Mas Abeng sekarang meniup-niup tangannya dengan heboh. "Lagian gue masih belum mau pulang. Duluan, gih. Tebengin Farra sekalian naik Alfa Romeo baru lo itu. Dia tadi ke sini bareng Illa. Tapi berhubung Illa pergi duluan, pasti Farra nggak punya tebengan buat pulang. Iya, kan, Far?"

Aku mau-mau saja mengangguk. Toh aku memang butuh tumpangan. Terlebih lagi, Mas Alendra membawa Alfa! Pucuk dicinta ulam tiba sekali, 'kan? Aku memang ingin menaikinya!

Tapi yang kulakukan malah menggeleng. "Saya bisa naik bus kok, Mas. Lagian rumah saya jauh, di Pulo Gebang."

"Nah!!"

Aku terlonjak demi mendengar suara tepukan keras yang sumbernya dari kedua tangan Mas Abeng. Lama-lama aku bisa jantungan kalau begini.

"Deket banget itu, mah. Paling sepuluh menitan doang dari rumah lo. Rumah Ale di Ujung Menteng."

Eh? Jadi selama semingguan ini aku dan Alfa enggak terpisah terlalu jauh?

"Kalau gitu, ayo saya antar. Daripada kamu naik bus." Aku baru menyadari suara Mas Alendra kembali ke mode tegas. Dan perubahan itu mau enggak mau membuatku menurutinya. Yah, tapi enggak bisa bohong juga, peranan Alfa lebih besar di sini.

"Nah, gitu dong. Gaskeun, Le!" Mas Abeng bersorak. Ditambah kibasan pom-pom pasti akan membuatnya terlihat seperti bagian dari cheerleader.

"Berisik lo, Beng. Ya udah, gue cabut." Mas Alendra bergegas berjalan meninggalkan Mas Abeng yang masih heboh sendiri.

Segera kususul dia setelah berpamitan dengan Mas Abeng. Langkahnya cukup lebar. Tentu saja, kakinya jauh lebih panjang. Tapi karena dia berjalan agak terlalu cepat, aku jadi kesulitan menjejerinya, membuatku harus berlari-lari kecil.

Tanpa kuduga, dia mendadak berhenti berjalan lalu membalikkan tubuh. Beruntung aku masih sempat berhenti berlari kira-kira satu meter sebelum terjadi tabrakan dengannya. Bisa-bisa malah jadi drama Korea nanti.

"Sori, saya terlalu cepat, ya?"

Iya, Maaas! Kok baru nyadar, sih?

Kuatur napas sebelum menjawab, "Bisa santai sedikit, Mas?"

Dia malah terkekeh. "Efek jarang jalan bareng cewek ya begini."

"Perlu banget saya tahu soal itu ya, Mas?" Astaga, mulutmu, Farra!

Kekehan Mas Alendra malah berubah jadi tawa. "Tergantung, sih. Kamu nggak kepo memangnya?" Nada suaranya berubah lagi. Usil-usil menggoda begitu apa maksudnya?

Ya ampun! Memangnya dia mau bertanggung jawab, kalau aku jadi salah tingkah lagi seperti tadi?

"Kenapa saya harus kepo?" Dan kenapa topik pembicaraan kami mendadak jadi aneh begini?

Mas Alendra mengedikkan bahu lalu sekonyong-konyong bibirnya tersenyum manis sekali. Dia kembali berjalan, tapi kali ini lebih pelan. Aku jadi bisa mengikuti langkahnya dengan nyaman.

"Karena saya atasan kamu, bisa jadi bahan gosip bareng kolega kamu di kantor?" Dia kembali tertawa.

Hampir saja aku ikut tertawa mendengar nada penuh percaya diri di balik ucapannya. Walaupun yang dia katakan sama sekali enggak salah.

"Tapi karena yang jalan bareng saya sekarang itu kamu, saya nggak keberatan." Mas Alendra enggak tertawa lagi.

Keningku mengerut. "Enggak keberatan soal apa?"

"Ya digosipin."

"Percaya deh, Mas. Jalan sama saya enggak bakal bikin Mas digosipin, kok."

Farra, lo lupa apa Tantri cs heboh-heboh di ruangan gara-gara mereka kira Mas Alendra naksir elo??

Kugigit bibir setelah menyadari hal itu. Mas Abeng pasti akan berkoar-koar hari Senin di Romance Section. Mampus!

"Tapi seandainya iya, saya nggak keberatan digosipin bareng kamu, Farra," ulangnya. Kata-katanya kali ini penuh penekanan. Dia bahkan berhenti berjalan lalu menatap lekat kedua mataku.

Kami sudah tiba di parkiran. Kuedarkan pandang ke sekeliling, berharap enggak ada orang lain yang menangkap basah rona merah di pipiku gara-gara ucapan Mas Alendra. Panasnya bahkan menjalar sampai ke leher dan telinga.

Sayangnya, parkiran JCC cukup ramai. Tapi entah kenapa, lalu lalang orang-orang di sekitarku jadi kabur seperti di-blur. Mungkinkah ini yang dinamakan kasmaran?

Ingin rasanya kutoyor kepalaku karena berani-beraninya berpikir begitu. Lo kasmaran sama bos sendiri? Dasar, Farra ganjen!

Tapi Mas Alendra duluan yang memulai, 'kan? Aku bisa apa selain tersipu malu karena mengira dia benar-benar ada rasa juga terhadapku?

Tunggu, tunggu. Juga? Apa aku ada rasa terhadapnya? Karena dia salah satu novelis idolaku atau-?

"Kalau kamu gimana?"

"Apa?"

Mas Alendra masih menatapku. Dalam sekali tatapannya itu. Membuatku semakin malu.

"You know what I'm talking about, Farra."

Oke. Oke. Aku terlalu tua untuk pura-pura enggak mengerti apa maksud pertanyaannya. Ditambah lagi sikapnya yang akhir-akhir ini diam-diam perhatian sekaligus menghanyutkan. Terlebih tadi saat sesi foto penggemar....

Masalahku adalah, aku masih enggak yakin mau bilang apa. Aku sudah bilang, 'kan? Sebelum tahu siapa Mas Alendra sebenarnya, aku enggak punya rasa apa pun kepadanya. Kecuali rasa hormat terhadap atasan. Karena itulah, aku takut perasaan yang kupikir adalah kasmaran ini ternyata hanyalah tipuan semata.

"Ah, oke. Saya paham, kamu masih sedih."

Eh? Aku sedih kenapa?

"Abeng bilang kamu baru putus." Mas Alendra kelihatan prihatin.

Mulutku mengeluarkan tawa kikuk. Dalam hati diam-diam lega, tapi anehnya juga terselip rasa kecewa? Lho?

"Maaf, ya. Saya jadi terkesan memaksa kamu. Saya bisa paham kalau kamu memang belum siap."

Duh! Jadi aku benar-benar ditembak Mas Alendra, nih? Rasanya masih enggak percaya!

Kami terdiam. Mas Alendra mengambil inisiatif untuk kembali melangkah dan aku mengikutinya.

"Waktu di parkiran kantor," Mas Alendra membuka percakapan setelah kami terdiam cukup lama, "kamu bilang suka mobil klasik juga. Kamu tahu seluk beluk Alfa Romeo Duetto Spider?"

Aku mendongak menatapnya. Dadaku menghangat begitu nama Alfa disebut dan bibirku tersenyum seketika. Kali ini aku yakin lengkungannya sempurna.

"Tahu banget, Mas. Mas boleh tanya apa pun soal Alfa ke saya. Alfa yang ada sama Mas itu keluaran tahun 1969. Termasuk yang paling langka di Indonesia. Kapasitas mesinnya udah di-stroke up ke 1800cc dari 1300 cc. Jadi bandel banget, lho."

Sudah terlambat untuk menyadari bahwa aku terlalu tahu banyak soal Alfa-ku. Buru-buru kuhapus senyum di wajah.

Mas Alendra belum bereaksi. Dia menatapku seakan-akan aku benda langka. Lalu dia tiba-tiba berujar, "Wow. Baru kamu cewek yang bicara soal mesin sama saya."

Tubuhku yang tadi kaku perlahan mulai rileks. Syukurlah Mas Alendra enggak terlalu menyimak penjelasanku tadi. Aku enggak yakin mau bereaksi bagaimana. Jadi kuulas senyum lagi saja.

"Sama kayak kamu, saya juga suka mobil klasik. Alfa Romeo yang paling saya cari-cari. Sayangnya, yang satu itu susah sekali didapat. Tapi ternyata, adik saya bisa menemukannya. Dia sampai ubek-ubek pasar lelang otomotif khusus mobil klasik di luar negeri. Ketemu, sih. Tapi kamu tahu sendiri, 'kan, susah sekali membawanya ke Indonesia. Peraturannya maksud saya. Jadi ajaib banget dia bisa menemukan satu di dalam negeri."

Raut wajah Mas Alendra berseri-seri dan matanya berbinar-binar ketika mengatakan semua itu. Sulit menjelaskan apa yang paling membuatku takjub: fakta bahwa untuk pertama kalinya aku mendengarnya berbicara panjang lebar; atau betapa menggemaskannya dia ketika mengatakannya.

Dia terlihat seperti laki-laki yang sudah lama sekali mencari belahan jiwa. Dan ketika akhirnya bertemu, kerinduannya terbayar dengan manis.

Dan ketakjubanku semakin bertambah setelah menyadari bahwa belahan jiwa yang Mas Alendra cari adalah belahan jiwaku juga. Alfa Romeo. Lalu tiba-tiba saja, tanpa tedeng aling-aling, aku merasa kami memang ditakdirkan untuk suatu hubungan.

"Mas," ujarku tanpa berpikir panjang.

Mas Alendra menoleh. Sorot matanya masih berbinar-binar.

"Oke, saya mau," sambungku.

Binar di matanya berganti keheranan. "Mau apa?"

"Digosipin bareng Mas."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top