Alfa Romeo
Hampir pukul lima sore saat aku dan para staf Romance Section lainnya bergerombol keluar dari gedung AksaSara. Dua editor Fantasy Section, Zahra dan Mbak Riska ikut bergabung.
Gedung kantor AksaSara adalah bangunan ruko tiga lantai bergaya minimalis modern yang diapit salon dan spa di sebelah kiri lalu toko kue dan roti di sebelah kanan. Maka enggak heran, setiap pulang kantor, staf AksaSara terbagi menjadi tiga kelompok besar: tim langsung pulang, tim memanjakan diri ke salon dan spa, dan tim berburu makanan.
Illa, Tantri, dan Mbak Ayunda lebih sering masuk tim dua. Sedangkan aku, setiap hari kerja selalu setia di tim tiga.
"Ikutan kita-kita dong, Far, sekali-sekali," Mbak Ayunda membujukku.
"Iya, ikutan sesekali, napa? Biar pikiran lu rileks. Nggak mahal amat paket pijatnya. Cuma empat ratus rebu. Itu udah sekalian luluran, mandi susu, potong rambut, sama creambath." Tantri tampak mengamati penampilanku dari atas sampai bawah. "Nyadar kagak, sih, lu? Tuh rambut udah perlu sentuhan ahli."
Farradita
"Ah, rambut Farra keren, kok," timpal Mbak Riska.
"Keren apaan, Mbak? Udah kayak surai singa gitu, perlu dijinakin," Illa terkekeh.
Aku mendengkus pelan, sama sekali enggak sakit hati. "Enggak apa-apa. Bulan depan deh, gue potong rambut."
Mereka akhirnya menyerah membujukku lalu berbelok ke kiri setelah berpamitan. Sebenarnya aku sempat tergoda untuk ikut. Betul kata Tantri dan Illa, rambutku perlu di-treatment. Tapi aku sedang malas bergabung dengan mereka gara-gara dugaan enggak berdasar Tantri tadi siang.
Mas Alendra naksir aku adalah pemikiran paling aneh yang pernah aku dengar. Entah apa yang membuat Tantri sampai membuat kesimpulan begitu. Seharusnya aku abaikan saja. Tapi ternyata sampai sore ini, hal itu cukup mengganggu pikiranku.
"Serius lo gak mau ikutan, Far?" Illa berteriak padaku, membuat aku berbalik. Dia berdiri di depan pintu kaca spa yang terbuka setengah. Sementara kepala Tantri dan Mbak Ayunda menjulur keluar dengan badan yang sudah berada di dalam.
Aku menggeleng sambil mengibas-ngibaskan tangan, menyuruh mereka segera masuk ke dalam. Setelah badan dan kepala mereka sudah masuk sepenuhnya ke spa, aku berbalik lagi menuju toko kue dan roti. Tapi sejurus kemudian aku menyesal enggak ikut mereka.
Ada Mas Alendra di sana. Duduk di bangku di dalam toko, dengan tangan kanan sedang mengangkat corong es krim menuju mulut yang terbuka lebar. Tatapan kami bersirobok saat bibir kissable-nya hampir menyentuh es krim vanila yang kelihatan menggiurkan.
Sialan!
Langkahku jadi ragu-ragu. Serba salah rasanya, mau berbalik saja. Tapi pasti nanti dia pikir aku sengaja menghindarinya. Dan kalau masuk, haruskah aku menyapanya? Setelah kejadian di rapat tadi pagi? Oh, tidak. Aku enggak punya muka setebal itu.
"Eh, elo, Far? Kenapa nggak masuk?"
Mampus! Ini lagi, Mas Abeng. Kenapa juga harus bertemu mereka berdua sekaligus di sini, sih?
"Oh, anu. Gue mau nelepon dulu, Mas. Silakan duluan," dustaku. Padahal enggak berniat menelepon siapa pun.
"Nelepon di dalam aja. Di luar banyak orang lalu lalang. Nggak aman. Ayok, masuk." Mas Abeng menarik lenganku tanpa permisi. Dan aku yang sedang belingsatan terpaksa melangkah mengikutinya.
"Nggak jadi nelepon?" tanya Mas Alendra tiba-tiba. Membuatku hampir meringis.
"Ng... Enggak jadi. Nanti aja, Mas."
"Kalau gitu ayo sini, duduk sini. Ngapain berdiri aja di situ?" Mas Abeng menepuk-nepuk bangku kayu persis di sebelah Mas Alendra.
Apa coba maksudnya? Bagaimana aku enggak curiga? Senyum usil Mas Abeng tersungging lebar sekali. Lirikan matanya yang bolak-balik antara aku dan Mas Alendra seperti mengandung makna tersembunyi.
Mas Alendra menatapku. Dan entah bagaimana, mendadak saja muncul dorongan spontan untuk mengusap bibirnya yang agak berlepotan es krim itu.
"Kamu mau?"
Hah? Apa?
Ekspresiku pasti aneh. Karena Mas Abeng cekikikan. Persis Illa, Tantri, dan Mbak Ayunda tadi siang. Buru-buru kunetralkan raut wajahku.
"Malah bengong. Ale nanyain elo, tuh. Mau es krim juga, nggak?"
Aku berdeham. "Enggak, Mas, makasih. Saya cuma mau beli donat."
Agak tergesa-gesa aku berjalan menuju konter pemesanan. Dengan menyesal, kutunjuk random dua buah donat dari luar etalase, padahal rencananya tadi aku cuma mau beli hotdog. Kenapa mulutku kacau begini?
"Mbak, tambah hotdog lima," bisikku pada pramuniaga. Setelah kupikir-pikir, kenapa juga aku harus bisik-bisik?
Menghela napas, kurogoh dompet dari dalam tas selempang di bahu kiri. Tapi sebuah suara membuat gerakanku membeku.
"Pesanan Mbak ini ditambah es krim saya tadi totalnya berapa?" Mas Alendra tahu-tahu sudah berdiri di sampingku.
Apa maksud, nih?
"Beneran lo yang traktir, 'kan, Le?"
"Iya, cepetan pilih," jawab Mas Alendra, terdengar begitu santai.
"Es krim cone vanila tambah satu lagi, Mbak!" Mas Abeng berseru dari area chiller es krim.
"Totalnya seratus lima ribu, Mas."
Mas Alendra menjulurkan dua lembar uang kertas, tapi segera kutahan. "Anu, Mas. Enggak usah. Biar saya bayar sendiri."
"Biar saya saja."
Ya ampun. Giliran bicara padaku, aura tegasnya terbawa-bawa. Nadanya resmi pula. Ini di luar kantor, Mas. Tolong, ya.
"Tapi pesanan saya yang paling banyak, Mas. "
"Nggak masalah."
"Tapi—"
"Saya ulang tahun hari ini. Jadi saya traktir kamu."
Eh?
***
"Tumben kamu beli donat?"
Mami langsung mencomot donat cokelat dari dalam kotak begitu aku meletakkan bungkusan ke atas meja makan. Sekali gigit, setengah bulatan ludes masuk ke mulutnya.
Mami suka sekali makanan manis. Sedangkan aku enggak. Toleransi pencernaanku terhadap gula cukup rendah. Bisa-bisa aku kembung dua hari hanya karena menyantap sepotong donat cokelat.
"Ditraktir temen," jawabku asal sambil membuka kulkas, memasukkan empat bungkus hotdog lalu membuka bungkusan yang kelima. Tiba-tiba saja aku ingin tersenyum setelah menyadari sesuatu.
Bagian ditraktir memang enggak asal jawab. Tapi menyebut Mas Alendra sebagai temanku terasa lucu.
"Kenapa kamu senyam-senyum begitu?" tanya Mami dengan mulut penuh.
Perempuan yang melahirkanku 28 tahun lalu itu memang sangat lihai melihat perubahan ekspresi sekecil apa pun di wajahku. Padahal rasanya bibirku belum melengkung terlalu lebar.
"Enggak kenapa-napa." Aku beranjak menuju kamar. Tapi kemudian Mami memanggilku.
"Duduk sini dulu, dong, anak gadisnya Mami."
Kalau Mami sudah menyebutku begitu, pasti ada sesuatu yang beliau inginkan dariku. Aku mendesah pelan lalu berjalan ke arahnya.
"Ada hal penting apa, Mi?"
Mami kelihatan serius. Nah, pasti UUD, nih. Ujung-ujungnya duit.
"Gini, lho, Sayang." Kalimat pembuka yang selalu sama setiap kali Mami ingin meminta uang dariku.
Bukannya aku enggak mau memberi uang kepada ibu kandung sendiri. Sudah kewajibanku sebagai anak satu-satunya untuk menyokong segala kebutuhan Mami, mengingat beliau enggak pernah bekerja seumur hidupnya. Apalagi keadaan ekonomi kami sekarang sangat jauh berbeda sejak hijrah ke Jakarta dari Pekanbaru, kota kelahiranku.
"Tante Hanna, sahabat Mami sejak SMA itu, kamu ingat dia, 'kan?"
Aku mengangguk. Enggak ada satu pun sahabat Mami yang enggak aku kenal. Tante Hanna adalah sahabat Mami yang paling makmur hidupnya. Tapi kalau dibandingkan dengan kehidupan Mami dulu, kekayaan Tante Hanna enggak ada apa-apanya.
"Dia mau jual apartemennya, Far. Lokasinya di daerah Menteng—"
"Enggak, Mi," potongku seketika. Semakin jelas arah pembicaraan Mami ke arah mana.
"Dengerin Mami dulu, Farra." Mami menggenggam tanganku. Pandangannya memohon.
"Apartemennya nggak gede, kok. Cuma dua kamar. Dan lokasinya strategis, Sayang. Kita nggak perlu ngontrak lagi. Coba kamu pikir, uang buat sewa rumah ini kalau kita kumpulin, bisa kebeli satu unit apartemen, lho."
Aku tahu itu. Tapi uangnya dari mana? Aku enggak mungkin meminjam di bank lagi. Uang hasil pinjaman di bank untuk operasi kelenjar getah bening Mami baru saja lunas. Dan penghasilanku sebagai editor enggak mungkin cukup untuk membayar cicilan.
"Kita jual si Alfa ya, Sayang."
Mataku melebar ngeri. "Enggak! Enggak boleh!"
Mami terlihat putus asa. "Farra, Sayang. Kita nggak bisa terus mempertahankan si Alfa. Ingat, Nak. Kita nggak sanggup lagi bayar pajaknya. Udah nunggak dua tahun. Dan perawatannya juga mahal. Memangnya kamu mau si Alfa cuma jadi rongsokan berkarat di garasi? Dipakai juga enggak. Mending kita jual, buat beli tempat tinggal. Biaya hidup juga, Sayang."
Dadaku naik turun karena emosi. Aku enggak bisa menjual Alfa. Satu-satunya kenangan dari Papi yang masih tersisa. Dan satu-satunya benda paling mewah yang kami miliki saat ini. Alfa Romeo Duetto Spider, mobil klasik yang dihadiahkan Papi saat ulang tahunku yang ke-17.
Mami menatapku dengan sorot mata yang terlihat khawatir. Tangannya kemudian merogoh saku baju. Lalu keluarlah sebuah buku kecil dan tipis.
"Ini, Sayang."
Keningku berkerut, menunduk menatap buku tipis yang diletakkan Mami di atas pangkuanku. Perasaanku mulai enggak enak.
"Apa ini, Mi?" Suaraku bergetar.
"Maafin Mami ya, Sayang." Bibir Mami mengerut. "Itu Alfa. Ada yang beli dia sembilan ratus juta."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top