• | Day 2

A Wrong Turn

Day 2 : Villain

Danganronpa series © Spike Chunsoft
Amazakura Shion [OC] & this fanfiction © Cordisylum

Komaeda Nagito x OC

_start_

Bilah dalam genggamanku bergerak. Robekan yang sekaligus menghancurkan besi dalam balutan kulit palsu. Sayatan yang hebat sekali, jika boleh jujur. Kau tidak akan pernah menyangka akan ada benda bernama pedang dengan ketajaman yang mampu mengalahkan hampir segalanya.

Dalam beberapa menit, dengan pedang ini saja aku telah berhasil menghentikan robot-robot Monokuma yang menyerang. Ruang yang semula sempit terisi oleh para musuh mengepung kini hanya tersisakan aku. Udara yang menyambutku terasa sangat asing. Sewajarnya tempat ini bukanlah zona familier untuk kupijaki.

Aku tidak melihat apapun lagi. Dan dengan itu kupaksakan kaki yang sebelumnya hampir kelelahan untuk bergegas pergi. Jebakan musuh telah berhasil aku sambut dengan hangat dan keadaan berbalik. Jika aku tidak segera kembali ... aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada dua gadis yang seharusnya kulindungi.

Tapi aneh. Untukku mengingat kembali jalan yang kulewati sebelumnya harusnya hal yang mudah. Kenapa sekarang--

Tap-tap-tap...

Aku mendengar suara langkah berlari. Tepat dari arah belakangku, ketika lirikan mata merahku mendapati bayangan anak kecil keluar dari pintu utama bangunan ini. Ia ... seolah berusaha kabur dariku. Aku yakin sekali ia juga mengenakan helm menyerupai kepala Monokuma.

Bolehkah aku mengutuk dalam hati?

"Tunggu!"

Aku tahu ia tak akan berhenti meski aku berteriak seperti itu. Malahan, ia mungkin akan segera mempercepat larinya mendengar kebisingan dari arah belakang bersamaan laju langkahku mengejar. Tapi itu semua seperti spontan. Aku bahkan tak habis pikir bagaimana mungkin aku langsung mengikutinya seolah benar-benar yakin anak itu tau apa yang terjadi.

Tapi, berhenti di tempat tadi bukanlah hal yang bagus, benar?

Aku berpikir akan berhasil mendapatinya ketika menyadari gang dimana ia berbelok adalah jalan buntu. Sampai kemudian, dengan bodohnya aku mengikutinya ke tempat yang sama. Tidak ada apapun di sana.

Kosong.

Apa ... aku tertipu lagi?

"Sialan!"

Jika detik selanjutnya aku menemukan diriku lagi-lagi terkepung oleh para Monokuma, itu tidak akan mengherankan. Dengan pemikiran seperti itu, aku berhati-hati bergerak. Pedang dalam genggaman seolah siap menebas apa saja yang akan menyapa. Dan benar, mereka tiba-tiba bermunculan hampir dari segala arah. Belasan--tidak, mungkin ada lebih dari dua puluh robot Monokuma berlari ke arahku di saat yang bersamaan. Itu gila!

Aku harus kabur dari sini. Aku benar-benar kalah jumlah!

"Hmph--!"

Sebuah tangan tiba-tiba menarikku ketika kaki berpacu menyusuri jalanan sepi. Seolah bermaksud menyembunyikanku ke dalam gang sepi nan minim cahaya. Tangan yang sama kemudian bergerak membungkam mulutku sehingga tak ada suara yang mampu kukeluarkan. Aku bisa merasakan tubuhku terengkuh lengan yang lain. Secara logika dimana wajar untukku memberontak pada keadaan seperti ini, aku hanya terdiam. Suara yang tak asing berbisik seolah tidak ingin para Monokuma mendengarnya. "Diam sebentar."

Berikutnya, bisa kudengar para Monokuma berlari menjauh seolah arah dimana aku bersembunyi tidaklah terpikirkan oleh mereka. Sungguh aneh, sebenarnya. Maksudku ... tidak mungkin mereka tak melihatku berbelok arah tadi. Atau apakah aku hanya sedang beruntung saat ini? Setelah itu, kekangan pada diriku sama sekali tak menjadi masalah. Cengkraman itu melonggar begitu saja. Sehingga aku bisa dengan pasti membalik punggung dan bertemu muka dengan si penyelamat itu.

"Komaeda-kun?" Tebakanku tidak salah. Ia adalah teman sekelasku, Komaeda Nagito. "Kenapa kau di sini?"

Ia tidak segera menjawab pertanyaanku. Tertawa kecil sebagaimana biasanya--sangat santai untuk situasi semencengangkan ini, aku heran--dan kemudian membalik pertanyaan yang kuberikan. "Lebih tepatnya, apa yang kau sendiri lakukan di sini ... Shion-san?"

Merengut, membuang muka. Mungkin itu yang bisa kulakukan. Aku punya janji pada diriku sendiri untuk tidak mengatakan apa yang sedang dan akan kulakukan. Sangat sulit untuk mempercayai orang-orang yang kau temui pada masa-masa hancurnya kedamaian dunia, seperti sekarang.

Sepertinya ia paham. Karena setelahnya tak lagi memusingkan itu. Komaeda-kun memilih untuk mengabaikan pertanyaannya sendiri dan mengangkat topik lain. "Omong-omong, tadi aku berpapasan dengan dua gadis yang sepertinya mencarimu."

Oh! Astaga aku lupa....

"Kalau tidak salah mereka memasuki Menara Towa," ibu jarinya menunjuk pada arah belakang kami. Ada sebuah menara agak jauh dari sini. Itu tempat yang ingin dituju Komaru-chan tadi. Lantas aku mengangguk.

"Kau ... kau tidak apa? Kau mau kemana?" Kalimat itu teruntai saat langkah kakiku berhenti sejenak dari gerakan ancang-ancang untuk berlari. Melirik pada sosok jangkung itu, rasanya agak tidak tega untuk meninggalkannya sendiri.

"Ah? Apa kau ingin aku ikut bersamamu?"

"Uh ... kalau kau tidak keberatan?" Yang kuberikan justru adalah pertanyaan balik. Telunjuk menggaruk pipi yang tak gatal. Rasanya agak canggung meski lawan bicaramu tampak biasa saja. Kalau dipikir, kami sudah lama tidak bertemu. Dan juga ... dia tampak lebih pucat dari biasanya. Apa dia baik-baik saja? "Maaf karena tiba-tiba menghilang waktu itu."

"Hm? Ah, ya ... banyak yang terjadi ketika kau tidak ada, Shion-san." Ia menunduk. Rasa seolah menyesal tergambar pada wajahnya. Ekspresi dimana kau seolah menyesal dengan apa yang terjadi di masa lalumu.

Aku mengerti....

"Oh, dan teman-teman sekelas mencemaskanmu. Sangat." Ekspresi Komaeda-kun dengan cepat berubah menjadi ceria. Seolah bermaksud menjauhkan kami dari suasana suram, ia lagi-lagi mengangkat topik lainnya. Ah, tentu saja. Aku juga merindukan yang lainnya. Meskipun telah secara tak sengaja bertemu beberapa dari mereka--

Huh? Tunggu sebentar, teman-teman...?

"Baiklah, ayo pergi."

"Huh?" Itu ajakan yang terlalu tiba-tiba. Tapi aku kemudian mengangguk. Berbalik bermaksud memimpin jalan menuju Menara Towa. Di sisi lain, pikiranku masih memproses pertanyaan tak terjawab yang sempat terbesit dalam pikiranku. Ada yang tidak beres di sini....

Ah--benar. Monokuma juga.

Langkah kakiku terhenti.

"Eh? A-ada apa?"

Tanpa ba-bi-bu bilah pedang yang semula bertengger manis di sarungnya kembali bergerak. Aku, dengan tatapan waspada, mengarahkan ujung benda itu tepat pada sosok itu. Komaeda-kun tentu terkejut. Ia tak akan menyangka--atau mungkin, tidak ingin menyangka. Karena sedari tadi ia pasti berusaha membuatku tidak sadar apa yang sebenarnya terjadi.

Ya, yang sebenarnya terjadi. Kenapa aku begitu bodoh?

"Jangan bergerak," ancamku. Mata memicing kepadanya. Dan ia angkat kedua tangan tepat di samping kepala. Tanpa kalimat apapun tersuarakan. Tanpa jejak untukku melantunkan tanggapan.

Tidak ada suara menyahut diantara kami untuk sejenak. Pandanganku masih menusuk ke arah yang sama. Aku kembali memikirkan kemungkinan-kemungkinan kejam yang awalnya tak ingin kupertimbangkan.

"Para Monokuma tadi, mereka bukannya tak melihat kita. Tapi mereka tak bisa menyerangmu," kututurkan ide liar itu dengan hati-hati. Dan betapa terkejutnya, ketika yang menjadi balasan adalah sosok Komaeda-kun yang hanya tersenyum tenang seolah itu bukan masalah.

"Bagaimana kau yakin?" Pertanyaan terdengar lirih, terdengar seperti dengan sengaja hanya ditujukan kepadaku. Meski begitu, sangat jelas untuk dapat aku tangkap mengingat keadaan ditemani sepi.

"Teman-teman ... beberapa dari kalian berubah. Seolah menghancurkan dunia adalah satu-satunya tujuan mereka hidup." Aku benar-benar tidak ingin mengingat kenangan dimana aku bertemu dengan beberapa dari mereka sebelum ini. Sungguh, aku mungkin hampir melupakan mimpi buruk itu seandainya ini tidak terjadi. "Aku tak tahu apa yang terjadi, tapi ... bukan tidak mungkin kau juga berubah."

Pada dasarnya, tidak perlu dipertanyakan lagi. Komaeda-kun memang selalu aneh, tapi aku yakin melihat reaksinya tadi ... jelas ada yang tidak beres.

Sepertinya tebakan yang paling berbahaya dalam benakku benar-benar menjadi nyata.

Aku tidak ingin memikirkan itu, tapi ... kenyataan ada di depanku.

"Kau ... apa yang terjadi pada kalian sebenarnya? Kenapa kalian jadi seperti ini?!"

"Kenapa ... kau bertanya?" Ia menurunkan kedua tangannya. "Jalan menuju harapan masih panjang. Kau harus melewati keputusasaan."

Detik itu, aku seperti melihat sesuatu yang mengerikan. Tatapan mata yang bagai terdistorsi, dan ... tawa lirih yang terdengar penuh oleh kegilaan.

Hal gila yang paling tidak ingin aku percayai sebelumnya.

_end_

Updated : 4 Oktober 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top