01
BOGOR 2011
Malam itu, tepatnya malam setelah acara kelulusan, awalnya Dilara mengira bahwa malam tersebut akan menjadi malam terindah dalam hidupnya. Namun, semuanya tidaklah sesuai dengan yang Dilara bayangkan; ternyata malam itu adalah malam yang paling mengecewakan dalam hidupnya.
Malam di mana awalnya Dilara kira bahwa Sunny akan mengungkapkan perasaan padanya, untuk itulah Dilara menyiapkan dirinya secara maksimal. Bahkan, ia rela meminjam make-up milik mamanya hanya untuk tampil cantik di hadapan orang yang ia suka.
Sejak awal bertemu, tepatnya di lapangan upacara pada tahun 2008, saat itu Dilara datang terlambat karena supir angkot yang terus saja berhenti menunggu penumpang yang padahal pada akhirnya orang tersebut tidak berniat naik angkot tersebut. Di hari itu, Dilara juga lupa membawa dasi dan ikat pinggang. Saat itulah Sunny muncul sebagai penolong. Sunny memberikan Dilara ikat pinggang dan dasi miliknya. Tak hanya itu, bahkan Sunny pula memasangkan dasi kepada Dilara karena Dilara tidak bisa memakainya.
Padahal saat itu adalah saat di mana Kepala Sekolah yang jadi pembina upacara. Jadi, tidak ada sedikitpun kesempatan bagi mereka yang melanggar untuk kabur karena penjagaan begitu ketat di kanan, kiri, depan, dan belakang. Alhasil, Sunny diharuskan berdiri di depan semua siswa sebagai murid yang tidak disiplin.
"Anak laki-laki mah udah gak aneh kalau dihukum, tapi kalau anak perempuan, itu gak pantes dihukum di depan, apalagi perempuannya cantik," goda Sunny kepada Dilara saat ia diperintahkan untuk berdiri di depan.
Betapa bersalahnya Dilara saat itu. Seharusnya, ia yang dihukum, namun kalau bukan karena kejadian tersebut, mungkin saja ia takkan mengenal sosok Sunny, yang ternyata bisa membuat dirinya merasakan sesuatu yang aneh untuk pertama kalinya.
Selama ini, Dilara selalu menunggu Sunny menyatakan perasaannya. Namun, Dilara rasa Sunny takkan pernah melakukannya. Dilara selalu berpikir bahwa perlakuannya selama ini adalah bentuk rasa suka yang Sunny berikan padanya. Namun kenyataannya, apa semua itu? Itulah yang selalu menjadi pertanyaan Dilara.
"Aku mau lanjut studi ke Paris. Ibu Melly sudah memberitahuku kalau ayahku ada di Paris. Aku harap aku bisa bertemu ayahku," ucap Sunny.
Mengetahui keputusan Sunny, betapa hancur hati Dilara. Walaupun ia tahu bahwa alasan Sunny merupakan keinginannya sejak dulu, tetap saja sulit bagi Dilara menerima kenyataannya saat ini.
"Aku tahu ini begitu mendadak, tapi keputusan ini sudah aku ambil saat awal kita naik kelas dua belas. Aku hanya menunggu waktu yang pas untuk memberi tahu kamu."
"Ternyata sudah selama itu kamu mengambil keputusan," ucap Dilara, mencoba menahan air matanya yang sudah benar-benar ingin keluar.
"Iya, begitulah," jawab Sunny, yang lagi-lagi berhasil membuat hati Dilara merintih. "Aku harap kamu bisa jaga diri kamu, jangan ceroboh lagi, ya." Sunny mencoba tersenyum kepada Dilara.
"Akan aku usahakan." Hanya kalimat tersebut yang dapat keluar dari mulut Dilara karena pikirannya sudah benar-benar kacau. "Aku rasa ini sudah malam. Kalau begitu, aku duluan ya, Sun." Dengan air mata yang tak bisa ditahan, Dilara beranjak meninggalkan Sunny.
Malam tersebut merupakan malam yang mengecewakan, tak hanya bagi Dilara, tetapi juga bagi Sunny. Sejak awal Dilara datang dengan tampilan yang berbeda, Sunny sudah tahu apa yang sebenarnya perempuan itu tunggu adalah pernyataan cintanya.
"ARGH...." Erang Sunny setelah mendapati Dilara tak lagi terlihat oleh dirinya.
Sepanjang jalan, Dilara tak kuasa menahan air matanya. Jalanan tampak sepi saat itu, kendaraan yang lalu lalang pun tak banyak. Saat itu pula kesempatan bagi Dilara untuk melepaskan semua perasaannya dengan satu teriakan.
"AAHH!!" Rasanya sangat sakit sekali, namun setidaknya ia telah melepaskan apa yang sejak tadi mengganjal di dalam hatinya.
Tak ada lagi hal yang bisa Dilara lakukan. Rasanya ingin sekali Dilara berlari untuk melepas kekecewaannya. Namun, tiba-tiba saja hak sepatu yang ia kenakan lepas, membuat dirinya hampir saja terjatuh kalau saja Sunny tidak menangkapnya.
"Sudah kuduga, kamu memang ceroboh," ucap Sunny sambil memegang kedua pundak Dilara.
Dilara masih saja diam. Pikirannya benar-benar kosong; ia tak tahu harus berbuat apa di saat seperti ini. Satu hal yang ia harapkan hanyalah berhentinya waktu karena ia tak mau kehilangan Sunny.
Sunny langsung membawa Dilara ke salah satu bangku kayu di sebuah warung kecil yang sudah tutup. "Kamu itu... dari dulu, kan memang gak suka pakai sepatu tinggi, tapi kenapa sekarang kamu pakai sepatu tinggi?" ucap Sunny sambil menggantikan sepatu Dilara dengan sepasang sandal yang selalu ada di bagasi motornya.
"Udahlah, Sun! Kenapa sih kamu tuh baik banget sama aku?" lirih Dilara yang lagi-lagi mengeluarkan air matanya. "Kalau kamu gini terus, gimana bisa aku ngelepas kamu...."
Sunny melihatnya, melihat Dilara yang sekarang menangis karena dirinya. Hal itu rasanya jauh lebih menyakitkan dibandingkan dengan apapun.
"Dil, please jangan nangis. Kamu tahu aku paling gak bisa lihat perempuan nangis...," lirih Sunny sambil menghapus air mata Dilara. "Aku tahu ini sulit, tapi aku yakin kamu pasti bisa. Lagipula, tanpa aku bilangpun kamu sudah tahu kenapa aku selalu baik sama kamu," lanjutnya.
Dilara langsung diam, mencoba mencerna apa yang baru saja Sunny katakan. "Maksudnya?"
Diambilnya kedua tangan Dilara. Mungkin belum terlambat. Hanya inilah cara agar Dilara tidak menangis lagi. "Kamu sudah tahu alasan aku yang sebenarnya adalah karena aku suka sama kamu. Kenapa aku baik sama kamu, itu semua karena aku cinta sama kamu!"
Sejenak Sunny mengambil napasnya. "Tapi kamu tahu cinta itu bukan hanya soal saling suka, tapi juga saling percaya. Terlebih lagi, kita harus bisa memberi kebahagiaan satu sama lain, dan aku rasa itu belum waktunya untuk kita berdua." Sunny terus saja mengusap tangan Dilara.
"Karena... kita masih tergolong muda untuk hal itu. Aku hanya takut akan menyakiti perasaan kamu suatu hari nanti karena ketidaksiapanku. Untuk itulah aku gak pernah nyatain perasaanku, walaupun aku mau," ucap Sunny mewakili isi hatinya.
"Terus sekarang apa?" timpal Dilara sambil sesenggukan.
"Beri aku kesempatan untuk bisa jadi yang terbaik buat kamu. Jika aku sudah berhasil, aku janji akan kembali lagi padamu."
"Terus gimana aku bisa percaya? Kamu tahu semua laki-laki itu awalnya selalu berjanji, tapi akhirnya—"
"Itulah mengapa cinta dibutuhkan kepercayaan. Kamu gak akan pernah tahu kalau kamu gak menjalaninya," timpal Sunny. "Percayalah, aku akan kembali lagi kepadamu. Itu janji seorang Sunny pada orang yang ia sayang... seperti yang kamu tahu, kalau aku selalu menepati janjiku karena aku tidak mau memiliki utang di kehidupan ini."
Malam itu adalah malam di mana Sunny mengutarakan perasaannya, namun tetap saja tak ada perubahan apapun yang terjadi di antara hubungan mereka. Tepatnya pukul 21.30 di sebuah warung kecil, daerah Jl. Jend. Ahmad Yani, Kota Bogor, adalah waktu di mana Sunny mengutarakan semuanya dengan ikatan sebuah janji.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top