Tujuh

Alea melompat-lompat kegirangan sambil sesekali melahap gula-gula kapas di tangannya. Ia tidak peduli orang-orang menatapnya aneh ataupun cibiran-cibiran norak dari mereka. Adam pun tak kalah senangnya. Setidaknya ia mampu membuat Alea melupakan sejenak kesalnya. Itu lebih dari cukup baginya.

"Aku antar kau pulang, ya? Ini cukup larut untuk perempuan pulang sendirian," ucap Adam ketika melihat jam di tangannya menunjukkan pukul dua belas malam.

"Aku bisa sendiri, Dam. Masih ada taxi."

"Al, aku tidak mau sesuatu hal buruk terjadi padamu."

Alea menggeleng. Ia bersikeras ingin pulang sendiri. Adam menghela nafasnya. Akhirnya ia menyerah, membiarkan Alea masuk ke dalam taxi. Tentu saja ia tidak melepas Alea begitu saja. Ia membuntuti dengan mobilnya sampai Alea benar-benar sampai di rumahnya.

Alea termenung bersandar di tempat tidurnya. Perempuan tadi sungguh membuat Alea teramat kesal. Siapa Maura sebenarnya? Sepertinya ia cukup tau banyak tentang Kafka. Alea mendesah. Di lihatnya layar ponselnya. Ia tersenyum miris. Tak ada satu pesanpun atau panggilan tak terjawab dari Kafka. Keterlaluan! Pria itu tak mencemaskannya. Setidaknya ia menanyakan Alea ada di mana atau kalau tidak seharusnya tadi Kafka mengejarnya saat ia meninggalkan mereka.

"Huuuu.." Alea tersedu, "Kenapa harus Adam yang menyebalkan yang selalu ada di saat aku merana."

Ia kembali termenung. Sesekali ia mengerjabkan matanya yang sudah berat. Sesaat kemudian ia merelakan matanya tertutup rapat, terlelap dalam posisinya, bersandar di tempat tidur.

***

Alea melangkah lesu memasuki ruangan kerjanya. Seluruh badannya terasa pegal gara-gara ia tertidur bersandar. Sesekali ia menguap. Ia membanting tasnya ke kursi sekaligus menghempaskan pantatnya di sana. Adel melirik sekilas. Aneh. Pasti ada sesuatu dengan Alea.

"Kau begadang, Al?" tanya Adel.

Alea hanya menggeleng sambil mengecek ponselnya. Sungguh miris! Tak ada pesan dari Kafka. Ia melempar kembali ponselnya ke dalam tasnya.

"Hari ini aku ijin mau mengerjakan laporanku di luar. Nanti minta tolong sampaikan ke Adam." ucap Alea sambil merapikan berkas-berkasnya dan laptopnya.

"Kau sedang ada masalah?" tanya Adel bingung.

Alea menghela nafasnya, tersenyum getir. Kalau saja Maura bukan temanmu mungkin aku ingin menceritakan kekesalanku terhadapnya padamu, batin Alea. Ia menggelengkan kepalanya perlahan.

"I'm okay, Del. Hanya butuh sedikit udara segar aja." ucap Alea lirih seraya meraih tasnya.

Adel mengangguk mengerti. Mungkin Alea butuh waktu untuk merenungkan apa yang tengah ia hadapi, pikir Adel sambil menatap kepergian Alea.

"Alea sudah datang?" tanya seorang wanita rekan kerja satu ruangan mereka sambil masuk ke ruangan itu.

"Oh, Alea ijin hari ini. Ada apa?" sahut Adel sambil terus menatap layar monitor.

"Tadi aku berpapasan dengan Mister Adam di tangga. Beliau menanyakan Alea."

"Okay, biar nanti aku menghadap ke ruangannya." ucap Adel tersenyum tipis.

Adel beranjak segera menuruni anak tangga menuju ke ruangan Mr. Adam. Ia mengetuk pelan pintu yang terbuat dari kaca yang tak tembus pandang itu. Sayup-sayup terdengar suara percakapan.

"Masuk!"

Adel membuka pintu. Ia sedikit tersentak ketika mendapati Mister Adam tidak sendirian. Tapi juga ada Mister Aditya Kafka tengah duduk di sofa memeriksa beberapa berkas.

"Ada apa, Adel?" tanya Adam ramah.

"Maaf, Mister. Alea hari ini meminta ijin."

Kafka tersentak. Ia menegakkan wajahnya menatap Adel. Adam pun tak kalah kagetnya.

"Alea sakit?" tanya Adam khawatir.

Adel tersenyum tipis. Hati kecilnya terasa sakit melihat Adam begitu cemasnya terhadap Alea, tapi segera ia tepis pikiran kotor itu. Ia memaklumi perasaan Bos-nya ini. Sekilas ia melirik Big bos-nya, Kafka yang menatapnya menanti penjelasan darinya.

"Tidak. Alea baik-baik saja. Dia hanya meminta ijin untuk melanjutkan pekerjaannya di luar kantor."

"Oh, syukurlah. Kalau baik-baik saja. Okay, baiklah. Tidak masalah, Adel. Terima kasih atas keterangannya."

"Baik, saya permisi, Mister."

Kafka tertegun. Ia kembali membuka lembaran berkas-berkas itu. Tapi pikirannya tak pernah pergi dari Alea.

"Bagaimana, Mr.?"

Suara Adam membuatnya tersadar dari lamunannya. Ia segera mengontrol kembali kesadarannya.

"Ada beberapa yang harus direvisi. Sudah saya tandai di mana saja letaknya."

"Baik, Mister. Besok pagi akan sudah ada di meja Mister."

"Baiklah. Saya ada schedule mengontrol perusahaan saya yang lain setelah ini. Kalau ada apa-apa hubungi Beny, assisten sekaligus sekretaris saya."

"Baik, Mister." ucap Adam seraya membungkuk hormat.

***

Kafka melangkah cepat keluar dari kantor itu. Ia segera melajukan mobilnya sambil sesekali melirik ponselnya apa ada balasan dari Alea atas beberapa pesan yang ia kirim sejak ia mendengar Alea ijin keluar kantor. Ia mendengus kesal, menepikan mobilnya lalu menelpon Alea.

"Alea, come on. Aku tau aku salah. Kumohon angkat telfonku." desah Kafka.

Tak ada jawaban. Ia segera melajukan mobilnya ke apartemen Alea.

"Alea sayang.." panggil Kafka begitu ia membuka pintu apartemen Alea dengan kunci duplikatnya.

"Baby, are you here?" panggilnya lagi.

Tak ada jawaban. Ia tak menemukan Alea meski ia sudah memeriksa ke segenap penjuru. Ia mengumpat dirinya sendiri atas kebodohannya.

"Kemana ini anak?"

Kafka kembali melajukan mobilnya. Kecemasannya semakin menyerang perasaannya ketika lewat dari jam dua siang ia belum menemukan Alea. Hampir dua puluh kali ia mencoba menelpon Alea tapi tak satupun yang dijawab oleh Alea. Ia menggeram kesal, meremas rambutnya. Sesekali ia mengumpat tak jelas, memukul lingkaran bulat kemudinya. Lalu menelungkupkan wajahnya dibalik kemudi.

Terdengar ringtone dari ponselnya. Segera ia raih dengan semangat namun ia harus menelan kecewa. Ternyata bukan dari Alea, malah dari Beny.

"Ya, Ben?"

"Pak, ada ibu Maura di kantor menunggu bapak."

Ck! Dia lagi! Sahabat masa SMA itu tidak berubah. Masih saja mengejarnya. Ia menggeleng kesal. Beny pun yang juga sahabat Maura dan dirinya juga tak mau ikut campur.

"Kau bilang hari ini tidak ada meeting dengan partner."

"Iya, memang tidak ada. Beliau ingin mengajak bapak after lunch."

"Bilang padanya tidak ada after lunch dalam schedule kerja saya."

Klik. Kafka memutuskan telfon tanpa menunggu jawaban dari Beny. Ia kembali menginjak pedal gasnya. Terlihat garis-garis kesal dan putus asa di wajah tampannya.

Taman kota. Kafka menepikan mobilnya ke parkiran. Lalu ia melangkah gontai. Ia sering mengunjungi tempat ini bersama Alea. Ia tersenyum mengingat apa saja yang pernah ia lalui bersama Alea di tempat ini.

Kafka mengerjabkan matanya memastikan apa yang ia lihat. Seseorang yang ia cari-cari tengah merapikan berkas-berkas ke dalam tasnya di bawah rindangnya pohon akasia tempat biasa mereka menghabiskan waktu. Dilihat nya gadis itu kini tengah menyematkan handsfree ke kedua telinganya lalu menikmati snack ringan di tangannya. Kafka melangkah cepat menghampiri gadis itu.

"Ternyata kau di sini." gumam Kafka seraya duduk tepat di samping Alea.

Alea melirik sekilas lalu kembali sibuk dengan cemilannya.

"Al, maafkan aku. Aku tau kau pasti jengkel denganku."

Alea tetap mengacuhkannya. Kafka menatap Alea dengan penuh sesal. Ia tau Alea kecewa padanya.

"Al, please.. say something."

Alea menoleh, menatap nanar pria yang ada di sampingnya. Lalu menghela nafasnya dalam-dalam.

"Untuk apa kau minta maaf?" tanya Alea sinis.

"Kau tak perlu meminta maaf, Kaf. Seharusnya aku yang sadar diri. Kau terlalu baik segalanya buatku."

Kafka menatap Alea nanar. Tanpa banyak kata ia peluk Alea dengan erat. Ia tak mau kehilangan medan magnetnya. Alea tersentak kaget.

"Tetaplah bersamaku, Al. Jangan pernah berpikir untuk meninggalkanku. I'm nothing without you."

"Yang hilang akan segera diganti dengan yang lebih baik, Kaf. Bahkan jauh lebih baik." bisik Alea.

"Whatever! Kau. Tetap. Yang terbaik, Alea."

Aku bukan perempuan luar biasa yang bisa bertahan dengan kesakitan-kesakitan yang siap menyerang kapan saja, Kaf. rintih hati Alea.

"Kita terlalu jauh berbeda. Kamu seperti bintang. Sementara aku di sini seperti anak kecil yang bermimpi bisa meraih bintang itu. Ini sungguh menyakitkan. Aku tak bisa bohongi itu."

"Ssh.. kita sama, Alea. kita sama-sama memiliki rasa itu. Kita bukan apa-apa kalau kita tak bersama."

Alea terdiam. Ia bersusah payah menahan sesaknya. Apa iya Alea mampu bertahan untuk perasaannya? Untuk sebaris janji mereka berdua? Alea memejamkan matanya, meyakinkan hatinya.

Secepatnya aku harus mencari tau tentang Maura. Bagaimanapun caranya. Tanpa perlu kau tau, Kafka. Gumam Alea.

"Yakinkan aku untuk tetap stay bersamamu."

"I'll do it, Baby," ucap Kafka sepenuh hati. Ia kembali mengetatkan pelukannya. Janji, kesempatan ini tidak akan ia sia-siakan.

***

"Alea, are you okey?" tanya Adam ketika Alea kembali ke kantor saat jam pulang.

Alea tersenyum lebar seraya menyerahkan berkas laporannya yang ia kerjaan seharian di luar kantor. Adam menerimanya dengan kening terlipat.

"Kalau kau sedang butuh istirahat, ijin saja tak apa. Jangan kau paksakan, Alea."

"Aku mengerti. Aku hanya butuh udara segar saja."

Adam mengangguk-angguk seraya membuka lembar per lembar berkas laporan itu.

"Good. Aku tidak mengerti. Aku tau kau sedang kacau tapi kau tak meninggalkan ketelitianmu dalam mengerjakan laporanmu. Aku sangat sangat suka." puji Adam

Alea hanya tersenyum lebar lalu meminta diri untuk pulang.

"Alea, kau dari mana saja?" tanya Adel sambil berlari menuruni anak tangga berusaha mengejar langkah Alea.

"Aku kan sudah bilang. I need refresh. Oya, Del. Aku mau tanya tapi kamu janji tidak boleh kesal atau marah atau sejenisnya."

Adel mengangguk heran.

"Maura.."

"Maura? Aku sudah menduga sebelumnya. Kau kacau seperti ini pasti ada hubungannya dengan perempuan itu."

Alea tersenyum tipis.

"Maura sebenarnya perempuan baik-baik, Al. Ia memang ambisius. Maklum ia wanita karir, pewaris tunggal kekayaan ayahnya. Dulu kita berteman akrab sebelum ia sibuk dengan pekerjaannya."

Alea terdiam. Maura sepertinya cocok dengan Kafka jika dilihat dari latar belakang keluarga mereka yang berlimpah kekayaan. Maura sangat agresif. Maura cantik. Maura.. Ah! tetap saja perempuan itu menyebalkan di matanya.

"Hidup mereka penuh glamour, Alea. Dunia malam bukan hal tabu lagi. Itu malah menunjukkan sosialita mereka. Mereka kaum metropolis."

"Kau dulu pernah bergabung bersamanya?"

Adel menggeleng, tersenyum tipis.

"Aku sudah lama tak bertemu lagi dengannya. Terakhir pas pesta ulang tahunnya tiga tahun lalu di Center Club. Clubnya orang-orang berduit. Dan di situ aku di kenalkan dengan Aditya Kafka."

"Kafka?"

"Maura sangat menyukai Kafka. Sejak dulu katanya. Tapi Kafka tak pernah menanggapi. Bagi Kafka semua perempuan itu sama. Hanya sekedar have fun. Kurasa Maura masih menyimpan rasa itu sampai detik ini."

Alea terdiam. Separuh jiwanya serasa lolos. Ini terlalu menyesakkan untuk ia dengar.

"Tapi kurasa Kafka sudah berubah sejak bertemu denganmu."

"Hah?" Alea tergagap.

"Kafka dulu raja nya dunia malam. Idolanya kaum hawa. Bahkan sampai saat ini masih banyak yang memuja nya. Kau beruntung memilikinya."

Tapi kenapa tak ada rasa bangga saat aku memilikinya? Kenapa aku hanya merasa nyaman saat bersamanya, sesak saat ada wanita lain menggoda Kafka. Tapi tidak dengan bangganya. Apa rasa ini salah?

"Kurasa Maura dan Kafka cocok. Tinggal menunggu waktu untuk menjawabnya." gumam Alea lirih.

Adel menoleh seketika. Menatap Alea tak mengerti. Alea tertunduk lesu tanpa menyadari tatapan Adel. Adel merangkul pundak sahabatnya itu seraya tersenyum.

"Tapi hanya kamu yang mampu membuat Kafka meninggalkan dunia kelamnya, Al."

"Jika memang Kafka kini telah berubah baik, aku yakin dia akan lebih dewasa mengambil sikap ataupun menentukan yang terbaik untuk masa depannya. Tak ada yang patut untuk dipertahankan dariku."

"Al.."

"Aku menyadari itu. Cepat atau lambat waktu akan membawanya pergi dariku. Dan aku harus menerima itu, Del." ucap Alea getir.

Adel terdiam. Ia juga tau cepat atau lambat waktu akan membawa Adam semakin jauh dari jangkauannya. Bahkan bisa saja takdir menyatukan Adam dengan gadis yang dicintainya. Tentu saja Alea. Dan Adel harus menerima kenyataan itu seperti Alea bersiap menerima kenyataan pahit tentang Kafka.

***

"Kaf, dulu kita pernah dekat. Bahkan dekat sekali. Sebelum aku pergi mengejar impianku ke Paris. Ku pikir sepulangku dari sana kita akan kembali dekat.."

Maura menerawang langit malam dari atas balkon rumah Kafka. Ia tersenyum tipis membayangkan kedekatannya dulu dengan pria maskulin itu. Sejenak ia menghela nafasnya. Kafka hanya ber-hm tanpa mengalihkan tatapannya dari laptop yang ada di hadapannya.

"Kaf, apa aku salah jika aku menginginkan itu?"

"Maksudmu?"

"Kita partner bisnis. Bisakah kita lebih dari sekedar partner bisnis?"

Kafka menutup laptopnya, menatap dalam-dalam perempuan yang ada di hadapannya. Apa yang Maura inginkan darinya?

"Bukankah kita sudah berteman?" Kafka memicingkan matanya.

"Ya, aku tau, Kaf."

Kafka menaikkan alisnya. Maura kini sibuk merangkai kata-kata untuk Kafka. Ia berpikir sejenak apa ini lancang? Apa ini terlalu cepat? Tapi ia tau Kafka. Sejak dulu Kafka tak pernah menjalin hubungan serius dengan wanita manapun. Dan ia ingin Kafka berubah menjalani suatu komitmen. Ia ingin membuat Kafka luluh kepadanya, menjadi miliknya seutuhnya.

"Kapan kau akan serius menjalani sebuah komitmen? Kurasa usiamu sudah cukup. Kaf, aku ingin.."

"Ingin apa?"

"Kau dan aku dalam satu komitmen."

"Becandamu terlalu garing, Maura." kekeh Kafka.

"It isn't a joke, Kafka. Aku serius."

"Oya? Okay, aku sudah punya pilihan. Kuharap kau bisa memahaminya."

Maura tersenyum getir. Apa yang dapat kau banggakan dari gadis ceroboh seperti dia, Kaf? Banyak yang jauh lebih sempurna, batin Maura.

"Apa yang telah gadis itu lakukan sampai seorang Kafka yang terkenal menjaga harga diri sampai bertekuk lutut padanya?" tanya Maura lirih penuh tekanan.

"Yang jelas dia yang membuatku berubah menjadi seperti sekarang. Tidak ada lagi yang mengumpatku egois, arogan, keras kepala ataupun tak berperasaan. Dulu kupikir sikapku yang seperti itu akan membuat orang menghargai keberadaanku, hormat kepadaku. Tapi ternyata aku salah. Dia mengajariku tentang ketulusan. Dengan ketulusan, kita akan mendapatkan segalanya. Harga diri, kehormatan dan semuanya."

"Cih! Kau terlalu bodoh, Kafka. Untuk apa kau sekolah jauh-jauh ke Amerika jika kau hanya akan merendahkan dirimu demi gadis itu." cibir Maura.

"Suatu saat nanti kau akan memahami apa yang ku maksudkan."

Maura mengerling kesal. Sumpah demi apapun aku akan merebut kembali Kafka yang ku kenal dulu. Aku akan mengembalikan ke dalam dunia nya yang dulu. Cepat atau lambat, janji Maura dalam hati.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: