Tiga Belas
-Ketika kau tak tau berbuat apa lagi untuk mengobati lukamu, maka biarkan waktu yang mengobatinya.-
Sebuah kata bijak yang terselip di novel yang pernah Alea baca kembali teringat olehnya. Ia tersenyum tipis, memeluk lulutnya yang tertekuk. Ia menarik napasnya menatap sekeliling kamarnya.
Apartemen ini menyesakkan sekaligus menyimpan kenangan manis tentangmu, batin Alea.
Genap tiga bulan ia tertatih melupakan Kafka. Nyatanya tak semudah saat dulu ia mencintai Kafka.
"Alea!!" seru Adel memecahkan lamunannya. Rupanya ia telah selesai dari kamar mandi.
"Hm.." Gumam Alea menjawab panggilan Adel.
"Aku baru saja dapat kabar dari Adam."
"Oya?"
"Ia iseng membuka media online. Kau tau tidak? Kafka tengah mempersiapkan sebuah pernikahan."
Alea tersentak. Ia gagal membuat Kafka mengingat janjinya. Bukan gagal, tapi memang ia tak pernah berbuat apa-apa. Bertatap muka dengan Kafka saja tak pernah lagi. Jadi bagaimana mungkin ia bisa membuat Kafka mengingat janjinya. Alea tertawa lirih menertawakan kebodohannya.
"Dengan wanita yang sangat ia cintai. Tapi ia tak menyebutkan siapa wanita itu. Tapi Maura sudah berkoar-koar kalau ia adalah wanita yang akan Kafka nikahi. Bahkan ia memamerkan desain baju yang akan ia kenakan nanti."
"Memang mungkin seharusnya begitu." ucap Alea datar menanggapi Adel.
"Tapi, Al.."
"Cinta tak harus memiliki, bukan?" jawabnya diplomatis.
Adel terdiam pasrah, menatap Alea yang seakan tak mengharap lagi tentang Kafka. Alea telah menyerah. Itu yang Adel tangkap saat ini.
***
Beny menatap Kafka tak mengerti. Kafka tersenyum. Tapi jelas senyum itu menyimpan misteri. Benaknya bertanya-tanya apa yang Kafka rencanakan dengan berita pernikahan itu.
"Kaf,.."
"Berita pernikahan itu benar adanya. Tenang saja, aku akan bahagia dengan keputusanku. Kurasa ini yang terbaik." ujar Kafka yakin menjawab tatapan Beny.
"Dengan menikahi Maura?"
Lagi-lagi Kafka hanya tersenyum.
"Percayakan semua padaku, Ben."
"Kau mengingkari janjimu pada gadis itu." desis Beny tak suka.
"Whatever!!" sahutnya cuek.
Kafka beranjak meninggalkan ruangan kerjanya. Langkahnya tegap. Beny hanya menatap punggung sahabatnya.
Kali ini ia menjamin keputusannya tak akan salah lagi. Ia tak ingin terus menerus di cap pria bodoh oleh orang-orang terdekatnya. Terlebih Beny, sahabatnya yang tau bagaimana Kafka luar dalam.
***
"Ia akan menikah, Adam." desah Alea dengan kepala tertunduk.
Adam mengusap bahunya lembut. Ia mengerti gadis di sampingnya ini belum benar-benar bangkit. Hatinya masih retak. Lukanya masih merah meski sedikit mengering.
"Apa yang harus kulakukan agar kau bisa kembali berdiri tegak, Alea?"
Alea menggeleng lemah. Ia sendiri tak tau harus bagaimana untuk melawan keterpurukannya.
"Lebih baik aku resign saja."
"Al, come on! Don't give up. Kau pasti bisa, Alea."
Alea menatap Adam. Hampa.
"Jangan resign, please. Kau bisa ambil cuti akhir taunmu, Al. Satu bulan cukup? Aku beri kau dispensasi. Atau kalau perlu aku rela bolak-balik lagi seperti dulu hanya untuk mengirim berkasmu."
"Kau terlalu baik padaku." lirih Alea tersenyum getir.
"Karena aku mencintaimu..," Adam mendelik menyadari mulutnya yang seenaknya saja berbicara.
Alea tersenyum saat Adam meminta maaf padanya.
"Aku tau."
"Kau tau?" tanya Adam sedikit takut jika setelah ini Alea membencinya.
Alea tersenyum mengangguk.
"Aku tidak memaksamu untuk menerima bahkan membalas cintaku, Al. Benar!"
"Iya, aku juga tau. Adel cerita semuanya. Adam, aku menganggapmu sudah seperti kakakku sendiri. Apa kau keberatan jika aku memanggilmu kakak?"
Adam sedikit kecewa. Namun ia juga bahagia. Setidaknya sebagai kakak, ia akan selalu ada untuk menjaga Alea. Lebih dekat dari sekedar pacar. Adam tersenyum merentangkan kedua tangannya.
"Come to me, my little girl."
"Kamu serius?" tanya Alea terpana.
Adam mengangguk yakin. Senyumnya lebar.
"Mau menjadi kakak untukku?" tanya Alea memastikan
Sekali lagi Adam mengangguk.
"Terimakasih, Kak." bisik Alea terharu seraya menjatuhkan dirinya ke pelukan Adam.
"Apa kau akan tetap menyerah?" tanya Adam seraya melepaskan pelukannya.
"Menurutmu?"
"Bersenang-senanglah di puncak. Aku ada villa di sana. Kau masih punya jatah cuti akhir tahun, bukan?"
"Kau yakin?"
"Percayalah, sekarang aku kakakmu."
"Baiklah --Kak." ucap Alea mengerlingkan matanya. Kemudian tawanya pecah.
"Maaf, aku terlambat."
Seseorang menyeruak di antara keduanya. Alea mendengus kesal. Begitu juga Adam. Wanita itu mengerutkan keningnya. Ada apa mereka? Kenapa reaksinya bisa sama?
"Kalian..." Adel menatap curiga keduanya bergantian.
"Kak, bagaimana kalau kau pacari saja wanita ini. Aku jamin kau langsung di terima." ujar Alea tanpa dosa.
"Aleaa!!!" pekik Adel menuntup mukanya yang memerah.
Kenapa gadis ini tak bisa menahan mulut usilnya??? geram Adel. Lalu apa tadi, 'Kak'? Adel menatap Adam dan Alea secara bergantian. Tapi keduanya serentak menengadahkan wajahnya menatap bentangan langit malam taman kota.
"Kalian menyebalkan!!!!" geram Adel.
"Kupikir kau wanita lemah lembut. Oya, jangan-jangan itu karena kau terlalu banyak menghabiskan waktumu bersama gadis kecilku yang super ceroboh." seloroh Adam.
"Kau mem-bully ku." desis Adel.
"Tapi aku jadi tertarik padamu." gumam Adam menggoda.
Adel menoleh seketika. Adam hanya meringis, matanya mengerling jenaka. Sesaat Adel gugup, menunduķkan kepalanya.
"Aku sudah menganggapnya adik. Makanya dia memanggilku 'Kak." jelas Adam.
"Kau sudah berburuk sangka padaku. Jadi, kau harus membelikan aku sebatang coklat kalau kau mau ku ampuni dan kubiarkan kau memacari kakakku."
Adam terkekeh mendengar ucapan Alea. Adel hanya terdiam, pasrah. Apapun akan ia lakukan yang penting harapannya akan Adam tak pupus begitu saja.
"Okay, besok tunggu akhir bulan." ucap Adel seraya mengerucutkan bibirnya.
"Oya, Al. Kapan kau akan berangkat?" tanya Adam mengalihkan pembicaraan.
"Kau mau kemana, Al?" Adel tersentak.
"Kupikir akan lebih baik kalau ia mengambil cuti akhir tahunnya untuk menenangkan diri di puncak. Bagaimana menurutmu?" tanya Adam pada Adel.
"Ide yang bagus. Kapan akan berangkat?"
"Nanti saja akhir pekan." jawab Alea.
"Kita akan mengantarmu tentu saja." ucap Adel di tanggapi dengan anggukan dari Adam.
"Baiklah."
***
Akhir pekan tiba. Alea sudah tak sabar lagi untuk segera meluncur ke puncak. Bersama kakak barunya, tentunya. Adam dan Adel. Begitu jam menunjukkan pukul 12.30, Alea segera memberesi berkas-berkas di mejanya yang agak berantakan. Mulutnya bersenandung lirih.
"Ready?" tanya Adel memastikan.
"Tentu saja, Del. Nanti kau kan tau mengapa aku menyambut baik tawaran Kak Adam. Aku bisa berdansa seperti di atas awan!" ucapnya penuh semangat.
"Semoga kau bisa cepat melupakan kesedihanmu."
"Tentu saja, Adel." Alea mengedipkan matanya.
Adel tersenyum miris. Ia merindukan Alea yang serampangan. Ya! Tiga bulan terakhir ia telah kehilangan Alea yang dikenalnya.
Tepat pukul 13.00 Alea segera bergegas bersama Adel menuruni anak tangga. Adam ternyata sudah menunggu mereka di bawah tangga. Langkahnya yang cukup semangat, yang membuat Adam sedikit lega, kini tiba-tiba mengendur saat melihat keributan di Lobby. Para pemburu berita sedang sibuk mengekspos perempuan itu. Maura!!
"Memang Aditya Kafka belum secara resmi datang ke rumah melamarku. Itu karena ia cukup sibuk dengan bisnisnya. Mungkin akhir pekan ini. Karena kalian pasti paham bagaimana Aditya Kafka yang penuh kejutan.." beber Maura dengan penuh percaya diri.
Alea mendengar jelas semua itu. Ia memejamkan matanya, menarik nafasnya dalam-dalam.
"Ada aku di sini, Little girl." ucap Adam lembut menggenggam tangan Alea erat.
Alea mengangguk lemah. Sesaat kemudian Kafka datang dari ruangannya. Ia mengernyit heran menatap kerumunan di Lobby kantornya.
"Ada apa sih?!" gumam Kafka menyeruak kerumunan itu.
"Hey, honey. Mereka meminta penjelasan padaku kapan kau akan melamarku," terang Maura dengan mata berbinar-binar.
Kafka terdiam. Apa sekarang saat yang tepat untuk melanjutkan rencana selanjutnya? pikirnya. Ia menatap sekeliling. Matanya terpaku pada seorang gadis yang tengah berada di genggaman seseorang.
Aku akan segera kembali menebus segenap kebodohanku.
"Kaf," panggil Maura membuyarkan lamunannya.
"Ya? Okey, Baik. Saya memang tengah mempersiapkan sebuah pernikahan tahun ini. Dengan gadis yang sangat saya cintai. Saya memang belum melamarnya. Karena kami tengah terlibat kesalahpahaman."
"Saya lihat, anda dan Maura baik-baik saja." ujar salah seorang wartawan.
"Kami memang baik-baik saja. Dia partner bisnisku. Teman lamaku." ucapnya tegas.
"Kaf.." desis Maura tak percaya.
"Memang sampai kapanpun rasa itu tak pernah ada untukmu. Permisi." ucapnya dingin sambil bergegas pergi, sekilas matanya mencari-cari sosok Alea tapi sayang gadis itu telah menghilang entah sejak kapan. Padahal ia ingin Alea mendengar kebenarannya. Seketika bahunya merosot. Kenapa Tuhan tidak mengijinkan ia untuk menjelaskannya?
Maura terpaku. Ia bukan saja menanggung malu tapi sakit yang tak pernah ia bayangkan. Ini sangat menyakitkan baginya daripada apa yang telah ia lakukan untuk merebut Kafka dari gadis itu. Ia tak pernah menyangka jika laki-laki yang sudah ada di genggamannya akan memupus bersih harapannya di depan media massa. Padahal ia sudah mengumumkan jika Kafka akan segera melamarnya dalam waktu dekat. Ia bahkan sudah memesan desain baju pengantin dari designer kondang. Ia gila. Ia tak mampu mencerna dengan baik omongan Kafka waktu itu. Ia terlalu gelap mata.
"Sudah kuputuskan aku akan menikah tahun ini. Aku akan melamarnya nanti."
Ia terlalu percaya diri. Maura bersandar di meja receptionist, tubuhnya seakan tanpa tulang. Ia hanya mampu menangisi nasibnya, meratap pilu tak peduli dengan media yang tengah mengeksposnya. Ia yakin, esok akan ramai membicarakan dirinya. Namanya akan jatuh dan keluarganya akan mencibirnya tanpa ampun. Atau bisa saja papanya akan mengirimnya ke Kampung neneknya di Manado.
Sementara itu Kafka tersenyum sinis di dalam mobilnya. Beny yang ada di balik kemudi hanya menepuk bahunya. Sekarang ia mengerti apa maksud dari rencana gila Kafka.
"Tenang saja, aku selalu mengingat janji itu. Aku hanya ingin membereskannya, melihatnya menangis pilu bahkan lebih sakit dari yang telah ia lakukan."
"Kau balas dendam?"
"Mungkin iya. Ayo jalan."
Beny segera menginjak pedal gasnya. Mobil itu segera meluncur cepat. Kafka menghela nafasnya. Ia tersenyum sinis saat mengingat Maura mencoba mempengaruhi dirinya dengan video-video kebersamaan gadisnya dengan Adam. Sejenak ia menertawakan kebodohannya yang menutup telinga atas penjelasan Alea ataupun Adel bahkan Beny, sahabatnya sendiri.
"Kau telah kembali?" tanya Beny memastikan.
"Aku kembali bersama janji itu." jawabnya yakin.
***
"Waktu akan membawanya kembali, Al. Tenang saja. Tadi kau sudah dengar kan? Maura bukan wanita yang akan ia nikahi tahun ini." ujar Adel yang duduk di bangku penumpang.
Adam mengangguk di balik kemudinya, membenarkan ucapan Adel. Alea yang duduk di samping kemudi hanya menghela nafas.
"Kau mau ia kembali tidak?" tanya Adel.
Alea menatap Adel. Matanya berkaca-kaca.
" Jangan kau tanya lagi. Kau kan tau aku mencintainya lebih dari sakit yang ku dapat." ucap Alea sedikit kesal.
Adel tertawa. Adam hanya mengulum senyum seraya mengacak ringan kepala Alea.
" Kau merindukannya?" goda Adel.
" Seperti kau merindukan pria yang ada di sampingku ini." Alea membalas menggoda Adel.
Adel tersipu malu. Mendadak ia terdiam menatap ke luar jendela mobil yang tengah meluncur menuju ke puncak.
" Sikapmu membuatnya tau kalau kau tersipu malu-malu." seloroh Alea.
Adel mendelik. Mulut gadis ini tak bisa menahan ucapannya yang memalukan!
" Alea!!!!" pekik Adel seraya menutup mukanya dengan kedua tangannya.
" Biarkan saja, Adel. Gadis kecilku telah kembali rupanya." ucap Adam menengahi.
Mau tak mau Adel tersenyum menatap Alea yang tengah menertawakan dirinya. Ia lega, Alea yang serampangan telah kembali.
" Bisa ku pastikan dalam sebulan kemudian kalian akan sudah in a relation ship." ujar Alea sambil mengedipkan matanya.
" Bagaimana bisa?" tanya Adam.
" Kalau tidak, aku akan memaksamu untuk melamarnya."
Adam mendelik. Gadis ini benar-benar menggemaskan, berucap tanpa dosa.
Kau benar-benar telah kembali, Alea. Aku senang melihatmu seperti ini, menggemaskan! batin Adam.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top