Tiga
Alea merebahkan tubuhnya di tempat tidur kesayangannya. Ia kembali memikirkan siapa Aditya Kafka. Rasa penasarannya semakin membuncah.
Apa aku tanya langsung saja pada Kafka? Ah, bisa saja dia pura-pura tak tau lalu mengarang cerita seperti sinetron-sinetron itu, gumam Alea.
Alea menghela nafas. Internet sudah ia jelajahi semua hampir setiap saat demi informasi tentang Aditya Kafka. Hasilnya NOL. Adel? Aha! Mungkin dia bisa membantuku mencari sedikit informasi. Alea segera meraih ponselnya.
"Ya, Al?" ucap Adel di seberang telfon.
"Del, kamu tau Aditya Kafka yang kau bilang Eksekutif muda?" tanya Alea tanpa basa-basi.
"Ada apa tiba-tiba kau bertanya tentang dia?" tanya Adel heran.
"Aku.. hanya penasaran aja, Del."
"O, gitu? Tidak banyak yang ku tau tentangnya, Al. Aku hanya pernah dikenalin temanku waktu hang-out bareng beberapa waktu lalu."
"Kau punya fotonya?"
"Tidak. Coba nanti aku tanya temanku ya?"
"Okey, thanks, Del."
"Youre well, Baby."
Alea terdiam. Huhft! Kafka. Maafkan aku kalau aku harus mencaritahu tentangmu tanpa sepengetahuanmu.
***
Pagi-pagi sekali Adel sudah menyambangi meja kerja Alea. Ia sudah mendapatkan sedikit informasi tentang Aditya Kafka. Alea menyambutnya dengan antusias. Ya, hari ini ia sengaja berangkat pagi-pagi naik ojek tanpa memberi tahu Kafka demi sedikit informasi dari Adel.
"Aku sudah dapat informasi dari teman SMP ku yang bernama Maura tadi malam."
"Oya? Apa?" tanya Alea penasaran.
"Kebetulan Maura ada kerja sama dengan perusahaan yang sedang dirintis Aditya Kafka. Dia ada meeting kecil sore ini di Restoran jepang samping BizzPark."
"Kau ada acara sore ini?"
Adel menggeleng. Alea menyeringai.
"Good. Kita makan di sana nanti sore."
Adel terbelalak matanya. Tak menyangka kalau Alea akan mengambil keputusan senekat ini. Ia menatap Alea ragu.
"Tenang saja aku yang traktir. Tapi kau harus selalu siap membantuku."
"Kau yang benar saja?"
Alea mengangguk mantap. Adel hanya terdiam pasrah karena ia hafal sifat Alea yang sedikit ambisius.
"Saya boleh gabung?"
Sebuah suara tiba-tiba mengagetkan keduanya. Adam menyeringai, dengan tetap bertahan pada posisinya, bersandar santai di depan pintu. Alea mendelik kesal.
"Tidak!!" jawab keduanya dengan serempak.
Adam tertawa. Apalagi ketika melihat Adel yang buru-buru membungkam mulutnya dan menatap kepadanya dengan tatapan memohon maaf.
"Well, kalian mau hang-out kan sepulang kerja?"
"Lalu masalahmu apa?" tanya Alea menantang.
"Aku ikut dan kalian tidak boleh melarang. Titik! Okay, sampai ketemu nanti sore," ucap Adam tegas sebelum meninggalkan mereka berdua. Tentunya sebelum Alea membantah ucapannya.
"Tak akan ku ijinkan kau mengacaukan semuanya, Adam El Pasha!!!" teriak Alea kesal.
Adam hanya tertawa mendengar teriakan Alea yang cukup keras hingga radius sepuluh meter di luar ruangan. Alea, kau! Aku suka semua tentang kamu, gumam Adam sambil menuruni anak tangga.
***
Kafka menggerutu kesal di dalam mobilnya yang kini berbaur di tengah macetnya jakarta pagi hari. Keterlaluan sekali gadis itu berangkat sendiri tanpa memberi kabar terlebih dahulu kepadanya. Sesekali ia menatap ponselnya dengan raut wajah kesal karena untuk yang ke sepuluh kalinya telfonnya diabaikan oleh Alea. Kalau saja ia tau dimana kantor Alea mungkin ia sudah menyambanginya dan menarik hidung kecil Alea agar Alea tahu betapa Alea sudah membuatnya kesal di pagi hari. Kafka menepikan mobilnya ketika ponselnya berkedip-kedip. Telfon dari Alea!
"Kau dimana? Bagus sekali kau meninggalkanku tanpa kabar! Aku sudah ke apartemenmu dan kalang kabut mencarimu saat mendapati apartemenmu kosong!" cerocos Kafka dengan kesal.
"Sudah?! Okay, My man. Pertama, aku minta maaf karena meninggalkanmu. Kedua, aku buru-buru. Dan ketiga, aku ada urusan dengan Adel jadi aku harus berangkat pagi-pagi."
Kafka menghela nafas panjang. Sedikitnya ia bisa lega mendengar suara berisik Alea yang baik-baik saja.
"Begitu? Okay, dimaafkan. Tapi tidak untuk lain kali."
"Of course, my man."
"Happy working, Baby."
Alea hanya mengangguk. Sejenak ia tersadar, lalu meletakkan ponselnya sambil menertawakan kebodohannya. Ini kan via telpon? Mana mungkin Kafka mengerti kalau ia sudah menjawab ucapan Kafka dengan anggukan kepala?
***
Alea sudah siap meluncur meski jam pulang masih kurang lima belas menit lagi. Adel hanya mengulum senyum melihat kegelisahan di wajah sahabatnya ini.
"Al, kau yakin?" tanya Adel memastikan.
"Tentu saja."
Alea membuang nafasnya berusaha menetralisir kegelisahannya. Sesekali ia melirik jam yang melingkar cantik di tangannya.
"Ayo, sekarang. Sebelum Adam mengacaukan misiku," ucap Alea sambil beranjak menenteng tas-nya.
Adel agak terseok-seok mengimbangi langkah Alea yang begitu cepat. High-heels nya ternyata cukup membuatnya sulit mengikuti langkah kaki Alea yang saat itu memakai flat shoes berwarna coklat muda.
Restoran Jepang. Alea keluar dari taxi, matanya menatap sebuah tulisan yang terpampang besar di atap restoran itu. Lalu ia berganti menatap Adel, meminta kepastian.
"Iya, tak ada tempat lain. Hanya ini, Al," ucap Adel.
Sejenak Alea termangu. Ia segera bergegas mengikuti langkah Adel yang sudah lebih dulu memasuki restoran itu. Sebuah meja agak terpencil di dekat kolam ikan koi menjadi tujuannya.
"Kenapa duduk di sini?" tanya Alea bingung.
"Di sini tempatnya agak terpisah jadi jarang ada orang yang lalu lalang dan di sini kau bisa melihat seluruh table tanpa perlu kau sembunyi-sembunyi macam detektif."
Benar saja. Ia dapat melihat seluruh table di hall itu.
Tak berapa lama segerombol orang datang dengan pakaian setelan jas rapi layaknya seorang bos kantoran.
"Mereka orang-orang dari kantor Maura, temanku. Itu perempuan yang memakai blazer putih dan rok sepaha, dia Maura." jelas Adel.
Alea hanya mengangguk-angguk sambil menatap ponselnya yang bergetar. Sebuah panggilan masuk. Kafka!
"Iya, Kaf?"
"Kau di mana? Aku lagi di jalan terjebak macet, Al. Ku dengar ada kecelakaan si depan sana."
"Aku minta maaf, aku lupa memberimu kabar kalau hari ini aku ada janji sama Adel," ucap Alea dengan nada menyesal yang dibuat-buat.
"O, gitu? Baiklah. Hati-hati, Al. Kalau ada apa-apa hubungi aku," jawab Kafka dengan sedikit kecewa.
"Oya, Al. Aku harus segera balik ke kantor ada pekerjaan sedikit yang belum selesai. Karena tadi kupikir aku akan menjemputmu pulang lalu setelah itu baru aku balik lagi ke kantor," tambahnya.
"Ehem? Begitu ya? Baiklah, jangan terlalu diforsir nanti kau tumbang."
"Iya, sayang. Bye."
Kafka bilang ia akan lembur di kantor. Ia berharap Kafka yang akan ia lihat sore ini bukan benar-benar Kafka-nya. Alea kembali membuang nafasnya. Relaks, Al! Relaks! perintah batinnya.
Setengah jam kemudian serombongan orang hadir lagi. Kali ini gaya pakaian mereka bisa ditebak mereka hanyalah anak buah bos.
"Aku rasa mereka anak buah Aditya Kafka," bisik Adel ketika mereka mengambil duduk di meja panjang rombongan Maura.
Tanpa sadar Alea meremas tangannya yang sudah keringat dingin. Sesekali ia menundukkan kepala. Ia tersentak ketika Adel menyenggol tangannya.
"Dia datang!" bisik Adel seraya menunjuk ke arah pintu dengan lirikan matanya.
Alea terpaku, mengerjabkan matanya berkali-kali. Laki-laki itu mengenakan jas hitam dengan kemeja biru langit di dalamnya. Ia berjalan agak tergesa menuju ke meja rombongan tadi. Laki-laki itu sangat mirip dengan Kafka-nya. Sesaat Alea kehilangan nafasnya.
"Kau yakin dia Aditya Kafka?" tanya Alea tercekat. Ia masih berharap semuanya hanya mimpi atau setidaknya ada Aditya Kafka yang lain.
"Iya, Dia. Ganteng, ya?" ucap Adel tanpa mengalihkan tatapannya dari laki-laki yang bernama Aditya Kafka.
Alea terpekur. Adel saja terlihat begitu sangat memujanya. Tangannya beralih pada ponselnya.
Kalau memang ia Kafka-ku, ia pasti akan mengangkat telfonku, batin Alea sambil menekan tombol Dial di ponselnya.
Mata Alea tertuju pada laki-laki itu, menunggu apa yang akan terjadi. Dua kali panggilan diabaikan. Ketiga kalinya, Laki-laki itu mengeluarkan ponselnya, terlihat seperti sedang menerima telfon. Iya! dari Alea. Laki-laki itu mengerutkan keningnya ketika telfonnya terputus begitu saja.
Jadi benar ia Kafka-nya? Alea terdiam, ia tak tau harus bagaimana. Yang ia tau, ia harus menyiapkan diri untuk kemungkinan-kemungkinan terburuk. Tanpa sadar, pipi tembemnya kini basah oleh air matanya. Alea mulai terisak.
"Jadi benar?" desis Alea tak menyangka.
"Harusnya kau bahagia bisa dapetin seorang dewa." ucap Adel sambil mengusap pundak Alea, tersenyum menenangkan.
Alea menatap nanar laki-laki itu. Ada sedikit sesak di dadanya. Alea buru-buru beranjak ketika laki-laki itu menatap ke mejanya.
"Kita pulang, Del," ucap Alea seraya meninggalkan beberapa lembar uang di meja untuk membayar pesanannya.
"Alea?" desis laki-laki itu tak percaya.
Matanya menatap punggung Alea yang melangkah terburu-buru.
***
Kafka terdiam, bersandar di kap mobilnya yang ia tepikan di pinggir flyover. Kedua tangannya terlipat di dada.
"Ku harap yang kulihat tadi itu bukan benar-benar Alea," ucap Kafka lirih.
"Memang kenapa?" tanya sahabatnya yang sekaligus menjadi secretaris-nya, Beny.
"Kau tau lah aku menyembunyikan sesuatu darinya. Aku tak ingin dia kecewa lalu pergi dariku."
"Aku tau maksudmu baik. Kamu lelah dan bosan dengan wanita-wanita metropolis. Tapi apa kamu memikirkan sikapmu akan menjadi boomerang bagimu, hm?"
Kafka memicingkan matanya. Ini yang tak pernah terlintas di benaknya. Sejenak ia berpikir. Alea jauh berbeda dengan mereka. Alea memang gadis ceroboh, blak-blakan dan seakan tak punya sopan santun tapi hatinya bersih. Kafka termenung, sisi hatinya seperti diremas kuat karena rasa bersalahnya pada Alea.
"Itu yang ku takutkan, Ben. Aku tau cepat atau lambat Alea akan meninggalkanku saat tau yang sebenarnya. Aku tak mau itu menjadi nyata."
"Kalau kamu laki-laki kamu tau cara menaklukkannya, membuatnya bertahan di sisimu. Aku tau kamu sangat mencintainya dan baru kali ini aku melihat cinta di hidupmu."
Kafka tertawa getir saat Beny memberinya semangat. Ia tak yakin Alea mampu menerima keadaan Kafka. Apa bisa ia meyakinkan Alea? Membuat Alea tetap bertahan di sisinya?
***
"Wake up, Alea! semuanya itu cuma mimpi. Kafka-mu bukan seorang dewa. Jangan takut, jangan kecewa!!"
Sisi hati Alea berusaha menepis kenyataan. Alea mendesah. Ia beranjak menatap jendela.
Harusnya kau bahagia, Al. Banyak wanita yang sangat ingin mendapatkannya.
Ucapan Adel tadi sore masih terngiang-ngiang dibenaknya. Ia berteriak frustasi. Untuk apa aku bahagia? Untuk apa aku kecewa? Lalu untuk apa semua ini? Ia tertawa sumbang menertawakan ketidakjelasan itu.
Ponselnya berdering nyaring. Sebuah lagu dari Celine Dion melantun nyaring. Ia tau itu telfon dari Kafka untuk yang kesekian kalinya. Tapi Alea hanya meliriknya.
Hampir tengah malam dan Alea masih terpekur menatap kosong ke luar jendela. Brakk!! terdengar suara pintu terbuka. Alea tak menyadari kalau pintu apartemennya dibuka seseorang. Ia masih tetap pada posisinya.
"Al.." panggil orang itu penuh kekhawatiran melihat Alea diam tak bergeming dengan penampilan acak-acakan.
Ia mendekat, menyentuh pelan bahu Alea. Alea tersentak.
"Are you okey?" tanya Kafka lirih dengan tatapan cemasnya.
Alea hanya mengangguk lemah. Matanya menatap Kafka dalam-dalam. Penampilan Kafka juga tak jauh beda, acak-acakan. Lipatan lengan kemeja yang tak sama panjang serta tatanan rambutnya yang sudah tak beraturan. Namun masih menyisakan ketampanannya. Bibir Alea bergetar.
"Al, I'm really sorry for mistake that i made," bisik Kafka seraya merangkum wajah Alea dengan kedua tangannya.
Alea tersedu. Ia sendiri tak mengerti kenapa ia menangis, kenapa dadanya begitu sesak, dan kenapa kekecewaannya luruh seketika saat berada di hadapan Kafka. Lalu kenapa Kafka meminta maaf kepadanya, serta apa salah Kafka kepadanya.
"Kau menangis.."
Kafka merengkuh Alea ke dalam pelukannya. Setitik nyeri ia rasakan saat Alea terisak dalam pelukannya. Ia bukan hanya membuat Alea kecewa tapi juga menangis untuk yang pertama kalinya setelah sekian lama Alea tak pernah lagi menangis.
"Al.."
Alea menarik nafasnya dalam-dalam, melepaskan diri dari pelukan Kafka. Tangannya menggenggam jemari Kafka lalu menatap Kafka seraya tersenyum lembut.
"I'm okey, Kaf," ucapnya dengan suara yang timbul tenggelam. Ia terdiam beberapa saat kemudian tertawa sumbang.
"Kau ingin bicara sesuatu, kan? Okey, kau bisa bicarakan besok saja. Kebetulan besok akhir pekan dan aku bekerja setengah hari. Itu pun kalau kau ada waktu. Sekarang kau pulang, istirahatlah," ucap Alea kemudian.
"Tapi, Al.."
Ssh,.. You're still my man, Kaf."
Kafka mengangguk lemah. Ia melangkah gontai. Sekali lagi ditatapnya Alea yang kini masih saja bisa tersenyum hangat saat hatinya kecewa karena nya.
Maaf, bisik Kafka dalam hati.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top