Sembilan

"Ayolah, Al. Kita pulang bareng dari kantor. Aku tidak mau lagi menunggu kamu di jalanan." Untuk kesekian kalinya Kafka protes, menolak dan merajuk.

"Tidak mau, Kaf.."

"Kenapa? Why? Lagipula orang sekantor juga sudah pada tau kalau kita in a relation ship."

"Sejak kapan mereka tau?" tanya Alea tanpa dosa seraya berkacak pinggang.

Kafka hanya menggelengkan kepala. Apa iya lupa kemarin ada drama romantis di ruang karyawan?

Alea bergegas menuruni anak tangga tanpa mendengar ocehan dari Kafka.

"Kau sangat keras kepala." geram Kafka.

Ia menyingsingkan lengan kemejanya hingga sebatas siku lalu berlari kecil mengejar Alea. Tanpa banyak kata ia membopong Alea menuju ke pelataran parkir. Beberapa karyawan yang melihatnya hanya mengulum senyum.

"Kafkaaaa!!!" pekik Alea seraya meronta.

Tapi percuma saja tenaga Kafka jauh lebih kuat dibanding dirinya. Alea mengerucutkan bibirnya ketika ia telah terduduk manis di samping kemudi.

"Kau membuatku malu! Kau sinting! Gila!" umpat Alea kesal.

Kafka hanya tertawa ringan seraya mengacak lembut rambut Alea.

"Kalau kau menurut apa kataku mungkin aku tidak akan menggendongmu dengan paksa seperti barusan."

Pria itu menaik-turunkan alisnya. Bibirnya tersenyum lebar penuh kemenangan.

"Kau menyebalkan!! Oya, sejak kapan orang-orang sekantor tau?"

"Hey, apa kau lupa kemarin ada drama romeo juliet di ruangan karyawan?"

"Apa?"

"You and me!"

Alea terdiam. Ia berusaha melupakan kejadian itu dan menganggap semua itu hanya mimpi. Oh, Alea! Kau bodoh! umpatnya pada diri sendiri. Tapi lucu juga. Mendadak ia tersenyum sendiri tidak jelas. Lalu ia menatap Kafka jenaka. Huh, pria ini telah membuatnya kehilangan kesadarannya.

"You're mine forever, Alea."

Alea terdiam ketika Kafka mendekatkan wajahnya. Sesaat hidung mereka bersentuhan. Tangan Kafka bergerak merangkum lembut wajah Alea. Nafanya hangat menyerbakkan harum mint. Membuat Alea mabuk, menunggu hal yang lebih. Tanpa sadar ia memejamkan matanya ketika Kafka mulai menempelkan bibirnya pada bibir Alea. Kedua tangan Alea kini melingkar perlahan di leher Kafka. Dua bibir itu kini menyatu, saling mencecap. Bahkan tangan Kafka kini bekerja mendorong tengkuk Alea, menciumnya lebih dalam lagi.

Aku akan membuatmu membayar kesakitanku, Alea. Kau akan menangis pilu. desis Maura yang berdiri terpaku di samping mobilnya menatap nanar ke dalam mobil Kafka.

"Kau tidak akan bisa memisahkan mereka selamanya karena hati mereka telah terpaut."

Maura menoleh ke sumber suara. Laki-laki yang selalu bersama Kafka. Untuk apa dia ada di sini?

"Kau?"

" Beny, assisten Aditya Kafka. Dan apa kau sudah tidak mengenaliku lagi?" Beny menaikkan alisnya.

"Sedang apa kau di sini?" tanya Maura tak senang.

"Mengantar laporan untuk ditandatangani beliau."

Maura memalingkan mukanya. Beny hanya mengulum senyum, ia tak akan membiarkan hidup Boss nya yang sekaligus sahabatnya, hancur berantakan karena perempuan ini.

***

"Kita balapan lari, siapa yang duluan sampai ke kamarmu. Yang menang harus kasih ciuman, yang kalah harus kasih hadiah." tantang Kafka begitu turun dari mobil.

Alea mendelik. Kegilaan apa lagi yang akan Kafka lakukan?

"Come on, Al!" Pria ini menatapnya sengaja memberikan tatapan meremehkan.

Kafka bersiap untuk berlari. Alea mengerling jahil. Oh, rupanya ia serius dengan tantangannya.

"Okay, go!!" ucap Alea.

Ia membiarkan Kafka berlari lebih dulu melewati lorong biasa mereka lewati. Alea tertawa ringan membelokkan langkahnya melewati lorong-lorong pintas tanpa ia harus berlari cepat. Dengan santai Alea membuka pintu apartemennya lalu menghempaskan tubuhnya ke sofa.

Lima menit kemudian Kafka muncul, ia mengerjabkan matanya. Mana mungkin Alea lebih dulu sampai? Tapi kemudian ia menyeringai.

"Kau kalah cerdik, Kaf. Lorong utama apartemen ini menuju ke kamarku kan cukup jauh. Ada beberapa lorong pintas dan kau melewati semuanya." ucap Alea dengan senyum kemenangan.

Kafka menatap gemas Alea. Tanpa banyak kata ia berlari untuk menubruk Alea.

"Kafka!!!! kau gilaa!!! menyebalkan!!!" teriak Alea tepat di muka Kafka yang kini hanya berjarak beberapa inchi di hadapannya.

"Whatever!!! Okay, you win. Give me a kiss." ucap Kafka dengan nada menggoda.

Alea gelagapan. Mukanya mulai bersemu merah. Ah!! bodoh!! ia melupakan apa yang harus dilakukan jika menang taruhan itu.

"Come on, Al. Kau tak bisa mengingkarinya atau aku akan membuatmu meleleh dengan ciumanku." Kafka menyeringai nakal. Menatapnya dengan tatapan menggoda.

"Dasar mesum!!!"

Kafka terkekeh. Alea memalingkan mukanya. Sumpah demi apapun ia tak mampu lagi berpikir harus bagaimana.

"Al, look at me!"

"No!!"

"Okay, aku akan menciummu tanpa ampun," ancam Kafka dengan tatapan serius.

Alea mendelik. Kafka terkekeh melihat gadisnya panik setengah mati.

"Okay, I'll kiss you." desis Alea seraya memejamkan matanya.

Ekspresi Alea membuatnya ingin melumatnya tanpa ampun. Ia sungguh menggemaskan. Kafka terbengong saat Alea mendaratkan ciuman ringannya di ujung bibir Kafka.

"Just it?" tanya Kafka tak percaya.

"No more!!!" ucap Alea tegas.

Kafka tertawa, menarik hidung Alea gemas. Ia kemudian bangkit dan duduk di samping Alea.

"Okay, kau kalah. Mana hadiahmu?"

"Close your eyes, Baby." perintah Kafka tersenyum penuh arti.

Alea mendengus. Perlahan dipejamkan matanya menanti Kafka memberi aba-aba untuk membuka matanya kembali.

"Okay, buka matamu." ucap Kafka setelah beberapa menit ia menutup matanya.

Alea mengerjabkan matanya lalu menatap Kafka tak mengerti ketika ia hanya mendapati Kafka tersenyum lebar seraya merentangkan kedua tangannya.

"Pria handsome inilah hadiahnya." ucap Kafka santai sambil menarik Alea ke dalam pelukannya.

"Sumpah demi apapun kau norak sekali hari ini!!" umpat Alea.

Alea terdiam melihat apa yang di sembunyikan di balik punggung pria itu. Kotak kecil berlapis beludru berwarna merah marun tergeletak di atas bantal sofa di belakang Kafka.

"Ambilah. Itu untukmu, Alea Salsabill." ucap Kafka lembut.

Tangannya bergerak perlahan mengambil kotak itu. Ia bangkit dari pelukan Kafka dan mengamati kotak kecil itu yang kini ada di tangannya.

"Bukalah."

"Cincin?" desis Alea tak percaya menatap apa yang tersembunyi di dalam kotak itu.

Cincin emas putih berhias diamond membuatnya takjub, matanya berkaca-kaca. Mulutnya ternganga dan ia tak tau harus melakukan apa.

"Will you marry me?"

Alea masih terdiam terpana. Ia tak mendengar jelas apa yang di katakan Kafka. Sedetik kemudian Ia menghambur memeluk Kafka. Kafka gila, norak, sinting, penuh kejutan dan mampu mengikat kuat batinnya. Ia meleleh di hadapan pria itu.

"You make me melt everytime.." bisik Alea sambil menenggelamkan wajahnya di leher Kafka.

"And you make me fear everytime.." desah Kafka, "Kau membuatku takut, tak tenang kalau-kalau kau meninggalkanku." lanjut Kafka.

"Tak akan. Selama kau mencintaiku sama seperti aku mencintaimu."

Kafka tersenyum menciumi harum rambut Alea.

***

Adel tak menyangka, semuanya terjadi begitu cepat. Nyatanya sebuah luka mampu mendekatkan Adam padanya meskipun hanya sebatas teman sharing. Tapi buatnya itu sungguh luar biasa.

"Rasa ini lebih besar dibanding lukaku karenanya." desah Adam menatap bentangan langit malam.

Ia bersandar pada sandaran bangku taman. Adel menatapnya sendu. Itu yang kurasakan pula padamu, Adam.

"Ah, sudahlah. Alea sedang berbahagia bersama cintanya, bukan? Adel, kau mau menemaniku bersenang-senang malam ini?"

"Kalau kau mau, kenapa tidak?" ucap Adel seraya tersenyum lebar.

Adel menyambut uluran tangan Adam. Keduanya beranjak membelah malam.

***

Pagi-pagi sekali Maura sudah berdiri manis di Lobby kantor Aditya Group. Kali ini ia mengenakan dress hitam supermini-nya dengan belahan dada rendah dibalut dengan blazer silver. Rambut bercat coklatnya ia sanggul tinggi. Penampilannya yang cukup wow tentu saja mengundang decak kagum setiap orang yang melihatnya. Ia termasuk miss perfect dalam setiap penampilannya.

Hampir satu jam jam ia menunggu seseorang. Sesekali ia melirik jam mahal di tangannya.

"Shit! You're so long!!" umpatnya kesal.

"Miss Maura, selamat pagi. Apa kau butuh bantuan?" ucap seseorang dengan nada menggoda.

Maura mendengus kesal, memalingkan wajahnya dari pria chinese itu. Entah kenapa ia begitu kesal dengan pria itu.

"Tidak!!" ucapnya ketus.

"Oh, baiklah. Saya tau anda tengah menanti Mr. Kafka. Dan sayangnya.."

Seketika Maura menatap pria itu penasaran. Pria itu terkekeh, mengulum senyum.

"Kafka dimana?"

"Sayangnya anda telah menolak lebih dulu sebelum saya memberi tahu." ucap pria itu sambil berlalu menaiki anak tangga.

"Hey, wait!! maaf." teriak Maura.

Pria itu hanya menoleh sekilas sambil menarik sudut bibirnya ke atas. Sejenak Maura terdiam tak percaya. Ia? Wanita yang dipuja banyak pria bisa-bisanya dibuat penasaran oleh sekretaris Kafka. Maura menggeram.

"Beny!!!"

Mau tak mau Maura berlari menaiki anak tangga mengejar pria itu. Nafasnya naik turun begitu sampai di ruangan pria itu. Pria itu tersenyum sinis, bersandar di meja kerjanya. Maura terdiam menatap ke seluruh ruang kerja pria itu. Kecil, sederhana tapi sangat elegan. Rupanya selera pria itu cukup berkelas. Dia cukup pintar memilih desain interiornya. Cukup nyaman untuk bekerja.

"Ada apa kau mengejarku?" Pertanyaannya bernada sinis meremeh. Pria itu selalu bersikap demikian sejak dulu. Ia tidak menyukai kalau Maura mendekati Kafka.

Maura tergagap. Wajahnya bersemu merah menahan malu.

"Emm..."

"Ruang kerjaku memang cukup sederhana. Kenapa? Ada masalah denganmu?"

"Cukup elegan."

Maura mengatupkan mulutnya menyadari mulutnya yang tak bisa lagi dikontrol. Ia berusaha secepat mungkin menguasai kegugupannya.

"Kafka mana?"

"Di perusahaan barunya tentu saja."

"Okay, terimakasih."

Maura segera membalikkan badannya meninggalkan ruangan itu. Beny hanya menyunggingkan senyum liciknya.

"Akan kubuat kau kelimpungan mencari Kafka." desisnya.

***

Perjalanan yang cukup melelahkan untuk mengejar seorang Kafka. Maura menghela nafas lelahnya sambil keluar dari mobilnya. Kantor ini cukup sepi. Maura mengerutkan keningnya seraya berjalan menghampiri receptionist. Hanya ada segelintir orang. Padahal waktu masih menunjukkan pukul sebelas siang.

"Mr. Aditya Kafka ada di tempat?"

"Anda sudah membuat janji.."

"Tidak perlu. Bilang saja dari tunangannya." potong Maura penuh percaya diri.

Receptionist itu mengerutkan keningnya, menatap Maura penuh selidik. Dilihat dari penampilannya cukup meyakinkan. Tapi bukankah Bigboss-nya tengah menjalin hubungan dengan Alea?

"Mbak.." panggil Maura.

"Oh, Mr. Aditya sedang tidak di tempat. Beliau ada keperluan di luar kantor."

Maura menggeram kesal. Bagaimana bisa ia dikerjai oleh pria menyebalkan itu. Beny!!!!! Ia segera bergegas membalikkan badannya. Namun sial, ia menubruk pria berjas rapi. Keduanya terdiam. Terlebih pria itu. Ia mencoba mengingat-ingat wajah perempuan yang cukup familiar di matanya. Rasanya ia pernah melihat perempuan itu tapi entah di mana.

"Maaf." ucap Maura lirih.

Pria itu hanya tersenyum. Sesaat kemudian ia ingat jelas siapa wanita itu.

Bukankah ia yang waktu itu membuat gadisku menangis? Ya! wanita itu yang bersama Aditya waktu itu, batinnya.

"Kau?"

"Saya Adam, gerenal manager perusahaan ini."

"Okay, Aditya Kafka.."

"Tidak bisa ke sini karena ada keperluan di luar kantor."

Maura menelan kembali kekecewaannya. Ia pikir receptionist itu membohonginya. Ia melangkah gontai meninggalkan Lobby kantor itu.

Aarrgh! Kafka, kau membuatku sial hari ini, umpat Maura sambil melajukan mobilnya.

***

tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: