Sebelas
Rasanya baru kemarin ia merasakan bahagia mendapat kejutan cincin dari Kafka. Namun semuanya kini telah berlalu. Genap seminggu Alea meratapi sesak di dadanya. Ia bahkan belum menampakkan diri di kantornya. Hati remuknya belum siap untuk mendengar gosip-gosip menyakitkan. Terlebih lagi ia belum siap bertatap muka dengan Kafka. Adam memaklumi itu.
"Al, kau tak bisa terus-terusan bersembunyi di balik lukamu. Buktikan pada mereka kalau kau baik-baik saja." ucap Adam yang siang itu menyambangi apartemen Alea untuk mengantar berkas laporan yang harus Alea selesaikan.
Alea hanya tersenyum hambar. Selama seminggu Adam rela bolak-balik ke apartemen Alea untuk mengantar laporan yang harus ia kerjakan. Ya! Ia tidak masuk kantor, ia meminta ijin untuk menyelesaikan pekerjaannya di rumah.
"Kau kurusan. Berat badanmu turun berapa kilo? Kau terlihat pucat. Menyedihkan sekali sahabatku ini. Ayolah, Al. Move on!!" cerocos Adel sok galak padahal ia sedih melihat sahabatnya begini.
"Sebegitu seramkah keadaanku sekarang?" tanya Alea seraya memutar bola matanya sebal.
Adel terkekeh. Adam hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Bahkan di saat rapuh seperti ini, Alea masih menunjukkan sisi keras kepalanya.
"Jadi kapan kau akan masuk lagi? Kantor jadi sepi tanpa kekacauanmu."
Alea mendelik kesal. Seenaknya saja Adam berbicara.
"What am i trouble maker, Adam?!" geram Alea. Ia melotot kesal.
Adam dan Adel hanya terkikik. Alea beruntung. Di saat ia terpuruk ia masih memiliki dua orang yang peduli padanya.
"Aku akan memulai semuanya awal pekan." ucap Alea lirih. Tapi hatinya masih ragu. Sesulit inikah move on?
Keduanya menatap Alea penuh selidik.
"Kau serius?" tanya Adel dan Adam bersamaan.
"Hey, bukannya kalian yang tadi merayuku untuk segera kembali ke kantor?" teriak Alea geram.
Keduanya bertatapan. Sesaat kemudian keduanya tertawa. Alea hanya mendengus kesal.
"Tapi aku belum siap." ucap Alea lirih.
Sakit itu kembali menelusup di hatinya. Ia menundukkan wajahnya. Adam dan Adel terdiam, menatap Alea prihatin. Gadis ini rupanya benar-benar terluka.
"Kita akan selalu ada untukmu, Al." ucap Adel seraya mengusap bahu Alea pelan.
Aku tak sanggup jika bertemu pria itu. Aku terlalu naif. Aku tak bisa menganggap semua baik-baik saja. Terlebih aku tak mampu menerima kenyataan bahwa tak ada lagi Kafka di hidupku, rintih batin Alea.
***
Hari-hari Kafka berubah setelah ia memutuskan meninggalkan Alea. Ia kembali dalam buku hitamnya, dunia kelamnya. Ia menghabiskan setiap malamnya dari club ke club. Dan Maura tak pernah jauh dari Kafka. Maura cukup senang dengan kembalinya Kafka. Memang itulah tujuannya. Kembalinya Kafka membuat dunia malam seakan hidup kembali. Sang raja telah kembali.
Beny menatap miris sahabatnya. Ia tak menyangka Kafka begitu bodohnya, begitu egoisnya. Kafka tak berpikir panjang. Kafka kini hancur berantakan. Perusahaannya mulai terbengkelai karena Kafka terlalu banyak menikmati sebotol martini, vodka dan sejenisnya setiap malam. Mau tak mau Beny kelimpungan menjaga kestabilan beberapa perusahaan milik Kafka. Apalagi kini tersiar kabar tak sedap tentang Kafka. Namanya tak lagi baik di media massa. Kafka yang dulu hangat, berwibawa kini jatuh.
"Kau telah menghancurkan hidup Kafka. Dan kau harus membayar semuanya." desis Beny seraya menatap tajam foto Maura di ponselnya.
Sejenak ia terdiam. Alea! Aku harus menemui Alea untuk membawa Kafka kembali. Meski aku tau ada kesalahpahaman di antara mereka. Aku harus menyatukan mereka kembali. Tak peduli dengan Alea yang telah tersakiti oleh Kafka, gumam Beny.
Ia segera bergegas menuju kantor Alea. Membutuhkan satu jam perjalanan untuk sampai di kantor tersebut.
"Mr. Aditya tidak di tempat, Pak." ucap receptionist begitu melihat kedatangan Beny yang sudah paham bahwa Beny adalah sekretaris Aditya Kafka.
Beny menggeleng sambil tersenyum.
"Saya ingin bertemu Alea Salsabill."
Alea Salsabill? Receptionist itu mengerutkan dahinya.
"Alea sudah satu minggu ijin, Pak."
"Ijin? Ada telfon atau alamat yang bisa saya hubungi?"
"Ponselnya tidak aktif sejak seminggu lalu, Pak."
Beny mendesah. Ia penasaran bagaimana keadaan Alea.
"Baik. Nanti kalau Alea sudah masuk tolong kabari saya."
Receptionist itu mengangguk sambil tersenyum ramah.
***
"Sudah kubilang Alea bukan gadis yang tepat untukmu." ucap Maura dengan pongah.
Kafka hanya tersenyum getir menanggapi ocehan Maura. Ia kembali menenggak vodka nya.
"Kaf, kau terlalu banyak minum malam ini." protes Maura seraya menyingkirkan botol vodka dari hadapan Kafka.
Kafka hanya menggeram tanpa sepatah kata. Kemudian menyandarkan kepalanya yang mulai terasa pening ke sandaran sofa. Ia terdiam, hatinya merintih dalam kesendiriannya.
Nyatanya gadis itu sangat berarti buatnya. Ia hancur tanpa gadis itu. Namun sayangnya gadis itu telah mengecewakannya. Ingin rasanya ia melupakan dan memaafkan apa yang telah membuatnya kecewa tapi sayang ia tak mampu mengalahkan egonya sendiri. Ia sadar ia telah hancur tapi ia tak mampu dan tak tau bagaimana caranya untuk bangkit kembali.
"Aku pulang!"
"Kaf, kau.."
Kafka memotong ucapan Maura dengan lambaian tangannya. Ia berjalan cepat dengan sedikit terhuyung. Tak peduli dengan Maura yang mengejarnya. Ia menginjak pedal gas, melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Beberapa pengendara mengumpatnya namun ia tak peduli.
"Hey! sinting kau!!"
"Mau mati, Hah?!!"
"Tak punya otak! Memang ini jalan punya moyangmu?!!"
Persetan!! Ia tetap melajukan mobilnya tanpa menurunkan kecepatannya. Ia baru menghentikan mobilnya ketika memasuki pelataran parkir sebuah apartemen.
Tangannya mengeluarkan kunci di kantong celana jeans nya, membuka pintu. Langkahnya terhuyung memasuki apartemen itu lalu menghempaskan tubuhnya ke sofa. Aroma ruangan ini... ia sangat merindukannya. Ia tersenyum tanpa sadar.
Bukk!!
Alea terbangun dari tidurnya mendengar suara seperti orang membanting bantal. Ia mengerjabkan matanya. Tangannya meraih jam beker di dekat lampu tidur. Pukul setengah tiga malam. Ia bangun menarik tubuhnya malas. Suara itu membuatnya penasaran. Langkahnya terlihat hati-hati menuju ke saklar lampu ruangan tengah.
"Kafka?!!"
Ia terpaku menatap sosok yang terlentang di sofa. Tak mungkin ia kembali, batin Alea. Tapi sosok itu? Perlahan ia menghampiri tubuh itu. Tangannya tergerak untuk menyentuh tapi tertahan di udara. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Apa itu kamu?" desisnya masih tak percaya.
Sekilas ia mencium bau tak sedap. Alea mengibaskan tangannya di depan hidungnya. Ia paham mengapa Kafka bisa ada di sini. Ini karena di luar kesadaran pria itu. Ia tengah tenggelam dalam pengaruh alkohol.
"Kau telah kembali dalam duniamu, Kaf?" tanya Alea lirih sambil menahan sesaknya.
Ia menatap miris pria yang masih sangat ia cintai. Pria itu terbangun. Ia melangkah payah menuju kamar mandi untuk mengeluarkan isi perutnya. Dalam mabuknya ternyata pria itu masih tau dimana letak kamar mandi. Alea segera bergegas menuju ke lemari pendingin mengambil sebotol orange juice.
"Minumlah." ujar Alea serak seraya menyodorkan orange juice yang telah ia tuang ke dalam gelas pada Kafka yang baru saja kembali dari kamar mandi, yang kini terduduk lemas di sofa.
Kafka meraih gelas itu dan meminumnya sampai habis. Ia terdiam, menatap gadis yang berdiri di hadapannya dalam-dalam. Ia sangat merindukan gadis itu. Tapi rasanya segalanya telah berbeda dan ia sendiri yang membuat perbedaan itu.
"Istirahatlah. Ini sudah menjelang pagi. Aku akan mengambilkanmu selimut atau kau mau tidur di kamarku biar aku yang tidur di sini? Kasihan badanmu." ucap Alea berusaha tegar.
"Aku merindukanmu." bisik Kafka parau.
Alea hanya tersenyum getir menanggapi ucapan pria setengah mabuk itu. Ia beranjak mengambil selimut dan bantal.
"Aku mencintaimu teramat sangat. Tapi kenapa kau selingkuh, Alea?" Kafka mulai meracau tak jelas.
"Kita bahas nanti saja." ucap Alea lirih sambil menyelimuti tubuh Kafka yang sudah berbaring di sofa.
Kafka menahan pergelangan tangan Alea saat gadis itu akan beranjak menuju ke kamarnya. Tatapannya menyiratkan rindu yang teramat sangat, luka, kecewa dan sesal semuanya bercampur dalam satu tatapan. Alea terdiam, tak kuasa menatap Kafka. Cinta dan luka itu telah bergumul di hatinya, menambah sesak dadanya.
"Good night, Baby." bisik Kafka lalu mengecup lembut punggung tangan Alea.
Alea memejamkan matanya, berusaha tetap tegar di hadapan Kafka. Kemudian ia melangkah cepat menuju ke kamarnya. Tubuhnya merosot ke lantai begitu ia telah mengunci pintunya. Ia tak kuasa menahan sesaknya. Dalam terpuruk pun pria itu masih mampu membuatnya meleleh.
Kenapa rasanya sangat menyakitkan? Rindu ini.. kenyataan ini..
***
Awal pekan di mulai. Alea harus menepati janjinya untuk kembali ke kantor awal pekan. Sebelum berangkat ia menyempatkan diri membuat setangkup roti bakar dan menuang segelas susu lalu meletakkannya di meja sofa. Ia menatap sekilas pria yang tengah terlelap itu. Lalu bergegas pergi sambil meletakkan secarik kertas di dekat nampan sarapan.
Kafka terbangun. Sedikit tersentak ketika menadapati dirinya bukan di kamar miliknya. Ia menatap nampan yang tersaji di hadapannya. Sekilas ia membaca tulisan singkat itu lalu segera melahap sarapannya.
Morning, ini sarapanmu. Maaf, aku berangkat lebih dulu.
-Alea-
Ia baru menyadari kembali bahwa hubungannya telah berakhir ketika ia selesai membersihkan diri. Matanya menatap sendu kamar Alea seraya mengancingkan kancing lengan kemejanya.
"I'm nothing without you, Alea." desisnya lemah.
Ia menghela nafasnya yang mulai terasa sesak. Dering telfon menyadarkannya dari sesaknya. Maura! Perempuan itu tak bosan-bosannya menghubunginya. Kafka melemparkan ponselnya ke tempat tidur Alea dan bergegas pergi. Ia kembali lupa kalau dirinya dan Alea sudah berakhir.
Begitu sampai di kantor perusahaan barunya, Kafka segera ke pantry. Kebetulan ia sampai pas saatnya jam makan siang. Matanya mencari-cari sosok Alea. Sejenak ia kembali tersadar, bukankah Alea bukan miliknya lagi?
"Kurasa Kafka mencarimu." ucap Adel begitu melihat Kafka yang berdiri tak jauh dari tempatnya duduk.
Alea tertawa sumbang.
"Untuk apa?"
"Memperbaiki hubungan denganmu, mungkin?"
"Tak akan, Adel. He was free. Dia telah kembali ke dunianya. Aku tak akan mengharapkannya kembali. Bukankah aku dan dia terlalu jauh berbeda?"
"Tapi perbedaanlah yang menyatukan semuanya."
"Dan perbedaan pula yang memisahkan semuanya."
Adel menyerah. Alea memang sangat keras kepala. Sekilas Alea melirik pria itu yang masih berdiri tak bergeming. Sementara Adel terus mendesak Alea untuk menghampiri pria itu. Alea mengerling kesal sambil beranjak.
"Ehm.."
Kafka terkesiap menatap Alea yang kini berdiri di hadapannya. Ia berusaha menutupi kerinduannya pada gadis itu.
"Apa kau ingin bicara sesuatu?"
"Ya.." ucap Kafka lirih.
"Dimana?"
"Di sini saja."
"Okay, please.."
Kafka terdiam. Ia tak tau harus memulai darimana. Begitu juga Alea.
"Kau dan Adam.."
"Bukankah kau sendiri yang bilang aku selingkuh? Untuk apa kau bertanya lagi?"
Alea berujar seolah semua itu benar. Padahal di dalam hatinya ia berteriak, apa kamu tidak melihat kebohongan di sana.
"Kenapa, Alea?" tanyanya lirih. Matanya menatap lurus.
"Karena aku tau cepat atau lambat perempuan itu akan membawamu pergi dariku." ucap Alea parau membalas tatapan Kafka dengan sisa-sisa ketegarannya.
Kafka menatap Alea nanar. Ia tak mengerti apa maksud Alea.
"Aku, melihatmu bersama perempuan itu bertatapan. Dekat sekali bahkan kau mungkin merasakan harum tubuhnya. Dan itu sering, Kaf." bisik Alea menjelaskan.
"Aku juga sering melihatmu di pelukan laki-laki itu."
"Kita sama-sama, bukan?" ucap Alea sumbang.
"Tapi kau selingkuh, Al."
"Memangnya kenapa kalau aku selingkuh? Apa pedulimu dengan setiap kesakitan yang aku dapat? cibiran-cibiran menyakitkan dari mereka? Maura yang menatapku jijik? Apa kau pernah peduli, Kaf?" Suara Alea mulai bergetar.
Kafka terdiam. Hatinya terlanjur remuk oleh kesalahpahaman yang ia buat. Ia tak menerima apapun alasan Alea. Baginya Alea tetap telah selingkuh darinya.
"Apa kau benar-benar selingkuh, Al? Kau.." desis Kafka memastikan.
"Aku tidak selingkuh!!! Dengar! Aku, tidak, selingkuh." teriak Alea diantara isak tangisnya, "Terimakasih atas tuduhanmu, Kafka." ucapnya parau.
Ia menggenggamkan cincin yang pernah Kafka beri ke tangan Kafka sebelum ia melarikan dirinya. Sakit itu kembali datang. Kali ini ia tak mampu melawan sakitnya. Nyatanya cinta yang teramat sangat mampu membutakan seseorang hingga menutup rapat kedua telinga atas alasan apapun dari pembenaran sebuah kesalahpahaman.
***
tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top