Satu
Tangan mungilnya membolak-balikkan sebuah kalendar meja berwarna coklat pastel. Ia mendadak senyum-senyum tak jelas kemudian terkekeh tertawa geli. Terdengar ringtone dari ponsel miliknya. Ia tersadar, buru-buru meraih ponselnya. Tak lama kemudian ia segera bergegas membongkar isi lemari dan menemukan satu pakaian yang dimaksud. Setelan baju tidur panjang warna putih bergambar teddy bear. Tak butuh waktu lama untuk berganti pakaian. Dan tak butuh waktu lama pula untuknya menunggu kekasihnya. Sejenak ia tertawa geli menatap kekasihnya. Ini bukan ide gila pertama yang mereka lakukan. Ya! mereka akan kencan malam ini untuk merayakan satu tahun aniversary dengan baju tidur dan sandal jepit.
"Kaf," panggilnya lirih bernada ragu
"Ssh.., Tenang aja. Ayo masuk," ucapnya santai seraya menggandeng tangan kekasihnya, memasuki sebuah restoran sederhana.
"Are you seriouse, Kaf? Mereka menatap kita aneh, like an alien," bisiknya.
Laki-laki itu hanya tersenyum lebar tanpa menghiraukan bisikan kekasihnya. Sebuah meja tepat di pinggir jendela menjadi pilihannya. Alasannya biar serasa sedang dinner di kota romantis sedunia, Paris. Ya, mereka dapat menikmati sajian tambahan dari restoran yang berada di lantai 3 sebuah grand mall, pemandangan ibu kota malam hari melalui jendela.
"Kamu mau makan apa?" tanya laki-laki itu yang dijawab dengan gelengan kepala.
"Okay, burger," ucapnya setelah beberapa lama membolak-balik buku menu tanpa ia perhatikan daftar menunya dan mendapat pelototan dari kekasihnya.
Laki-laki itu mendelik. Terpaksa ia menahan geram ketika menatap kekasihnya yang balik menatapnya tanpa dosa.
"Kenapa?" tanyanya polos.
"Kau, mana ada burger? This is not foodcourt, you know?"
"Jadi?" Alea menaikkan alisnya sebelah.
"Tidak ada burger, Alea. Okay, aku kasih pilihan. Nasi atau kentang?" ucapnya sambil menahan tawa.
"You laugh at me?" tanya Alea penuh selidik.
Dengan cepat laki-laki itu menggelengkan kepalanya. Alea terkekeh. Ia tahu kekasihnya menahan tawa sekuat tenaga.
"Alea.."
"Fine, Kentang."
"Baik, Nona. Kita makan steak malam ini. Aku pilih Rib Eye. Kau mau apa?"
"Rib Eye? Okey, aku juga."
"Medium or Welldone?"
"Kurasa kau cocok jadi pelayan di sini. Kenapa tidak melamar?" sindir Alea.
Laki-laki itu mendelik. Seenaknya saja gadis itu berceloteh. Alea tertawa tanpa dosa.
"Ehem, baiklah, Tuan Kafka. Medium!"
Sejenak berlalu, mereka terdiam menanti pesanannya. Kafka tersenyum misterius.
"Apa yang kau sembunyikan dariku, Kaf?"
"Nothing," sahutnya misterius.
"Kaf!"
"Ya ya ya. Al, are you happy with me?"
Alea mengangguk mantap, "Ya, meskipun kau agak sedikit GILA. Tapi aku sudah mentolerir semua itu. Jadi kurasa tak ada masalah."
Alea sengaja menekankan kalimatnya pada kata GILA karena Kafka memang selalu punya cara unik untuk membuat moment moment yang takkan bisa terlupakan. Lihat saja saat ini, mana ada sepasang kekasih yang kencan dengan baju tidur? Itulah Kafka.
Kafka tertawa. Menurutnya Alea adalah pacarnya yang paling membuatnya gemas. Ia tak pernah bisa marah setiap apa yang Alea lakukan padanya. Ia tahu Alea bukan gadis yang polos hanya saja sikapnya yang suka asal tanpa dosa, menurutnya itu menggemaskan.
"Al, I love you," ucapnya tiba-tiba.
"No."
"Why?" tanya Kafka sedikit bingung.
"Kau selalu bilang 'Love you' pada saat yang tidak tepat."
"Hah?"
"Iya, kau tidak sadar? Kau bilang, 'Love you' saat kencan gila seperti ini. Simpan saja untuk nanti saat yang tepat, Aditya Kafka."
Kafka tersenyum lebar. Matanya mengerling jahil. Dalam satu gerakan, ditariknya hidung Alea dengan gemas.
"Kaf!"
Alea meringis kesakitan.
"I'm double serious, Alea Salsabill."
"Kaf, kau ingat apa yang kau bilang saat pertama kita jadian?" tanya Alea tiba-tiba.
Kafka mengangguk-angguk mencoba mengingat semuanya. Ujung jarinya mengetuk-ngetuk meja. Sesaat keduanya terdiam larut dalam lamunan masing-masing. Kafka tersenyum penuh arti. Mana mungkin ia bisa lupa. Ia selalu mengingat janjinya.
'Apapun yang terjadi, kita akan selalu bersama. Aditya Kafka dan Alea Salsabill.'
"Mana mungkin aku bisa lupa."
"Good," ucap Alea.
"Itu janjiku untuk komitmen kita," bisik Kafka seraya mengusap lembut pipi Alea.
***
"Hey, kau kenapa? Kelihatannya kau sedang berbahagia. Apa kau.. kau ulang tahun ya hari ini?" Tanya Adel, rekan sekantor Alea -yang juga sahabatnya sejak Alea masuk ke kantor ini- penasaran ketika mendapati Alea tak berhenti tersenyum di depan komputer kerjanya.
"Tidak. I'm okay, Del," ucapnya dengan suara tak jelas.
Adel mengerutkan keningnya, menatap Alea penuh selidik. Alea hanya meliriknya sekilas lalu kembali menatap layar komputernya. Ia tahu pikiran Alea sebenarnya tidak sepenuhnya fokus pada komputernya.
"Well, biar ku tebak. Kau diajak kencan dengan Adam nanti malam. Benar?"
"Bukan! Kafka."
"Apa? Kafka? Siapa dia?"
Alea tak menjawab pertanyaannya. Ia malah sibuk membalas pesan dari Kafka di ponselnya. Adel mendengus kesal.
"Alea!"
"Ya. Del, aku harus keluar kantor. Ceritanya nanti. Aku baru ingat, Adam mengajakku menemui clien-nya."
Alea segera bergegas tanpa menghiraukan tatapan bingung dari Adel. Di Lobby kantor, Adam berkali-kali mengalihkan pandangannya pada arloji di tangannya. Sesekali ia menatap layar ponselnya.
"Alea, kau.." umpatnya geram tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponselnya.
Hampir setengah jam ia menunggu Alea di Lobby. Setengah jam yang lalu ia mengirim pesan dan Alea membalasnya, wait a minute. Namun sampai detik ini Alea belum hadir. Setahu Adam pekerjaan Alea hari ini tidak terlalu menumpuk. Kemana gadis itu? Atau jangan-jangan dia lupa. Damn!!
"Adam, maaf. Aku lupa!" ucap Alea dengan nafas terburu-buru.
"Argh! Kau.. Okay, berangkat sekarang."
Ingin rasanya Adam memarahi gadis ini. Tapi wajah imutnya selalu berhasil menggagalkan amarahnya. Adam terdiam berusaha menghilangkan sedikit emosinya. Alea tau kalau ia sudah berhasil membuat laki-laki keturunan pakistan ini meledak emosinya.
"Adam,"
"Ya, ada apa?"
"Kalau boleh sedikit komentar muka-mu tak jauh beda dengan udang rebus makanan favoritku," cela Alea tanpa dosa.
Adam mendelik di balik kemudi. Oh, God! gadis ini benar-benar menguras emosinya. Alea hanya terkekeh, menyembunyikan muka geli-nya ke jendela sampingnya.
"Kau gadis paling blak-blakan yang pernah ku temui, Alea."
"Ya, karena hanya aku yang bisa membuatmu menahan emosimu seperti kau sedang menahan pup."
Mau tak mau Adam tertawa keras. Kata-kata Alea yang cukup polos tanpa dosa, sangat telak kalau dipikir tapi terdengar sangat lucu kalau Alea yang mengucapkannya. Alea masih tak bergeming. Mukanya polos tanpa dosa. Tak ada ketawa tapi juga tak bermaksud menghina.
"Kita sampai," ucap Adam sambil memarkirkan mobil kebanggaannya.
Alea mengerutkan keningnya. Grand Mall? Are you sure, Adam?
"Adam, wait!"
"Ayo, turun."
"Kau yakin tidak salah tempat?"
Adam menggelengkan kepalanya seraya keluar dari mobilnya. Alea tau ada yang disembunyikan dari Adam.
"Adam, kau akan bertemu clien di tempat ini?" tanya Alea.
"Aku tau kau susah untuk dibohongi, Al. Okey, waktunya bersenang-senang." ucap Adam tanpa menghentikan langkah kakinya.
"Adam, kau.."
Alea tersentak saat dengan sengaja Adam merangkul pundaknya. Atasan kerjanya ini benar-benar semena-mena!
"Temani aku nonton. Hari ini aku sedang pusing. Aku tau kau sedang tidak banyak kerjaan makanya aku mengajakmu kemari."
"Dengan mengatasnamakan 'clien'?"
Adam menyeringai. Alea menggeram, mengerucutkan bibir merahnya.
"Jangan banyak komentar. Let's enjoy!"
Untuk kesekian kalinya Adam berhasil menculik Alea dari pekerjaannya. Ya, meski ia harus membuat seribu alasan untuk berhasil membuat Alea percaya, tentunya semuanya yang berkaitan dengan tugas kantor. Padahal sebenarnya tidak ada kaitannya dengan Alea. Alea bagian keuangan sementara Adam seorang general manager. Dimana-mana ia seharusnya mengajak sekretarisnya bukan junior accounting bukan?
***
Malam itu Adel sengaja datang ke apartemen Alea hanya untuk mengobati rasa penasarannya. Tentang Kafka tentunya. Alea hanya tertawa, ia berhasil membuat sahabatnya ini hampir pingsan penasaran. Terlalu berlebihan mungkin.
"Al.."
"Hem, kenapa? Kau ada masalah dengan pacarmu?"
"Bukan. Dengan kau malah!"
"Oya? Aku.. aku kenapa?"
"Aleaaa!!!"
"Ya ya ya. Maafkan aku, sweety," kikik Alea.
"Kau terlalu alay, Al."
"Okay, baiklah. Jadi namanya Aditya Kafka. Dia pacarku."
"Wait! wait! Aditya Kafka? Eksekutif muda itu? Yang baru merintis Aditya Group? Yang tengah digilai para wanita? Oh, Awesome!" cerocos Adel dengan penuh antusias.
Alea menatap Adel bingung. Tangannya melambai dengan cepat.
"Bukan! kau pikir aku siapa? Aku, si Junior Accounting berpacaran dengan Eksekutif muda yang sedang naik daun? Mungkin aku akan memintamu membelikan cermin yang sangat lebar agar aku bisa berkaca," ucap Alea sambil bertolak pinggang.
"Tapi dia bernama Aditya Kafka!" bantah Adel.
"Iya, terus? Toh banyak kali, Del yang bernama Aditya Kafka. Memang aku belum pernah main ke tempat ia bekerja. Tapi bukan masalah besarlah. Karena ku pikir itu belum saatnya. Kafka-ku hanyalah seorang kepala accounting yang tengah di promosikan sebagai manager di cabang barunya."
"Baiklah, aku coba untuk percaya. Kau sudah berapa hari jadian?"
"Satu tahun."
"Apa?!! Dan kau tak pernah cerita sedikitpun kepadaku tentangnya?!!" teriak Adel histeris.
"Kau terlalu banyak menonton sinetron, Del," ucapnya sambil menutup kedua telinganya.
"Alea.."
"Ya, maafkan aku Adelia Hermawan. Ternyata aku cukup pintar menyimpan sebuah rahasia."
Alea menyeringai lebar ketika Adel mendelik kesal kepadanya.
***
"Besok aku jemput jam 5 sore tet! jangan telat dan aku tak mau dengar alasan apapun. Okey, understand, princess?!" cerocos Kafka dari seberang telfon.
Alea hanya ber-hm ria tanpa mendengarkan dengan jelas apa yang laki-laki itu baru saja katakan. Ia malah sibuk dengan bacaan novelnya yang sengaja ia beli tadi sepulang dari kantor. Kafka menggeram. Ia bukan tidak tau Alea tak mempedulikannya. Itu salah satu kebiasaan buruk Alea di telfon. Ia hafal itu.
"Alea... kau! Agh! What are you doing, Baby?" ucap Kafka sedikit kesal.
Alea tersentak. Sesaat ia hanya terkekeh kemudian bersikap sok manis saat meminta maaf.
"Hm! Dimaafkan. Al.."
"Ya, Kaf?"
"Besok aku jemput jam.."
"Siap!" potong Alea.
Sebenarnya ia tahu dan mendengar sepotong-sepotong bahwa besok Kafka akan menjemputnya jam 5 sore. Tapi kata selanjutnya ia tidak menyimak dengan jelas.
"Good! Alea, besok kita nonton ya?"
"No. Kau pasti akan menonton film kartun kesukaanmu yang terbaru," cibir Alea.
"Hehehe.."
"Aku tau, Kaf. Dan kamu tidak perlu membuang waktu sia-sia untuk membujukku."
"Dasar!!" umpat Kafka lirih.
"Aku mendengarnya, Kaf. Jelas sekali!"
"Ops. Maaf. Kalau gitu kita ke apartemenmu seperti biasa tapi kau harus buatkan aku pasta."
"Aku sedang malas memasak, Kaf. Lebih baik kamu delivery order saja."
"Buatanmu jauh lebih enak di lidah, Al. Dan itu selalu membuatku ingin nambah dan nambah lagi."
"Kaf.."
"No excuse, Baby. I'm your man, right?"
Alea menggeram. Skor sama, batin Kafka dengan senyum kemenangan. Kalau saja Kafka kini ada di depannya sungguh ia ingin meninju laki-laki itu. Ada saja alasan untuknya yang membuat Alea tak kuasa menolak permintaannya.
"Tapi kamu yang belanja semua bahan yang dibutuhkan. Aku belum belanja dapur untuk bulan ini."
"Tak masalah, kebetulan nanti kakakku mau ke supermarket jadi aku bisa menitip semua yang diperlukan untuk pasta."
Alea hanya mendengus kesal. Laki-laki itu selalu punya solusi dalam setiap masalah.
***
Alea duduk termangu di depan komputer kerjanya. Pekerjaannya sudah beres beberapa menit yang lalu. Nama Kafka menari-nari di pikirannya. Aditya Kafka? Benarkah ia seorang eksekutif muda yang tengah ramai jadi sorotan media dan digilai para wanita dari kalangan borjuis sampai biasa saja seperti dirinya? Entah kenapa ocehan Adel malam itu tak bisa hilang di ingatannya. Aneh. Rasanya ada yang mengganjal. Tangannya segera menekan keyboard, men-searching nama Aditya Kafka di social media. Hanya ada beberapa artikel tentang Aditya Kafka namun semua tentang dunia pekerjaannya. Tak ada data pribadi, tanggal lahir, tempat tinggal dan sejenisnya. Bahkan foto pun tidak ada yang benar-benar jelas. Rupanya identitas orang ini sangat di rahasiakan. Mungkin ia tak mau ambil resiko mengingat semakin maraknya perampokan dan penipuan di kalangan orang borjuis.
"Hmm.. semua orang kaya mungkin begitu kali. Gaya hidup, sosialita dan..."
"Kau sedang apa, Al?" tanya Adel yang entah sejak kapan berada di sampingnya.
"Kau.." ucap Alea terkejut.
"Kau diminta ke ruangan Mr. Adam. Ada yang ingin dibicarakan katanya."
"Adam?! Huhft, aku tau itu hanya akal bulusnya." ucapnya tanpa mengalihkan perhatiannya dari komputernya.
"Mr., Al. Kurasa hanya kau yang berani memanggilnya langsung nama tanpa embel-embel Mr. Sangat tidak sopan."
"Kau juga pernah menyebutnya langsung namanya."
"Oya? Kapan?"
"Sering. Tepatnya saat kau cerita kepadaku."
"Itu karena aku terlalu sering mendengarmu langsung menyebut namanya," ujarnya berkilah.
"Apa aku harus ke meja kerjamu untuk menanyakan laporan minggu ini?"
Suara Adam mengagetkan keduanya. Alea hanya menghela nafas, menatap Adam yang kini ada di depan meja kerjanya. Begitu melihat wajah tegang Mr. Adam, Adel segera bergegas pergi karena ia tahu pasti sebentar lagi Mr. Adam akan memarahi keduanya, terlebih Alea.
"Laporan yang mana lagi? Bukankah kemarin kau sudah periksa semuanya dan kau bilang, Overall is okey?"
Adam menyeringai. Lalu menggeser kursi ke sebelah Alea.
"Kau selalu tau kalau aku hanya mencari alasan untuk berbicara empat mata denganmu."
"Aku tak peduli kau atasanku. Bagiku, sekarang jam makan siang dan aku akan keluar kantor sebentar. Okey, Adam?! Kuharap kau berhenti mencoba mencari cara untuk mengelabuhiku," ucap Alea seraya bergegas pergi tanpa melupakan tas cantiknya.
Adam terdiam tak percaya akan ditinggal Alea begitu saja. Argh! gadis itu semakin menggemaskan di matanya.
***
Al, kau dimana? Aku sudah di tempat.
Pesan dari Kafka. Alea hanya membaca sekilas lalu memasukkan kembali ke dalam tasnya tanpa membalasnya.
Beberapa saat kemudian Alea memasuki area taman kota. Ide gila apa lagi ini? Kafka mengajaknya makan siang di taman kota. Mana mungkin ada yang berjualan makanan di taman? Alea menggelengkan kepalanya berkali-kali.
Tepat di bawah pohon akasia yang cukup rindang, Kafka duduk manis menanti kedatangan Alea. Celana krem dan kemeja biru muda dengan lengan yang dilipat sebatas siku, tak lupa arloji hitam kesayangannya melengkapi ketampanan Kafka. Alea mengakui itu, apalagi dengan tubuh atletisnya, rambutnya yang kecoklatan dan bola matanya yang juga coklat. Mungkin Kafka ada turunan bule tapi Kafka tak pernah mau mengakui itu. Bahkan ia menolak mentah-mentah saat Alea bilang dirinya mirip Sean O'pry. Katanya, itu fitnah.
"Kau, mana ada makanan di sini?" gerutu Alea seraya duduk tepat di samping Kafka.
"Apa sih yang mustahil untuk kita?" ucap Kafka santai.
Kafka mengeluarkan satu kotak makanan dengan senyum kemenangannya. Alea menatap Kafka tak percaya. Kafka, laki-laki maskulin itu bawa bekal? Mungkin dunia sudah tertawa sejak tadi.
"Kau?" ucap Alea masih ternganga.
"Aku sudah merencanakannya. Jadi aku bangun pagi-pagi hanya untuk membuat nasi goreng untuk makan siang kita."
"Are you seriouse, Kaf?"
"Look at me. Is there a lie?"
Alea menggelengkan kepalanya. Bahkan Kafka membawa dua sendok dan dua botol air minum. Alea masih tak bergeming.
"Let's enjoy our lunch, Baby," ucap Kafka seraya menyodorkan sebuah sendok padanya.
Satu jam berlalu. Kafka menggerutu kenapa waktu begitu cepat berlalu. Alea mulai membereskan tas nya dan bersiap untuk kembali ke kantor.
"Al, apa tidak bisa lebih lama lagi?" ucap Kafka dengan tatapan memohon.
Alea hanya menggeleng disela kesibukannya membereskan tasnya tanpa menatap Kafka. Kafka menahan tangannya dari kegiatannya.
"Aku harus kembali ke kantor, Kaf."
"Iya, aku tau. Al.."
"Hm, ada apa?"
"Keep your heart for me.."
Alea tertawa. Sejak kapan kekasihnya jadi dramatis seperti ini? Alea menghentikan tawanya ketika Kafka menatapnya lebih dalam lagi. Kali ini Kafka tidak becanda. Dikecupnya sekilas bibir Kafka. Ada senyum merekah setelah Alea menciumnya ya meskipun sekilas.
"You are still my man, Kaf."
"Thanks, Baby. You are always be my baby, Alea," ucapnya lirih.
Alea, kalau saja kau tau. Aku begitu takut kehilanganmu. Karena cepat atau lambat kau akan meninggalkanku. Dan aku takut ketakutanku akan menjadi nyata. Aku tak siap untuk itu, ucap Kafka dalam hati tanpa melepas tatapannya pada kekasihnya.
***
tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top