Lima


Alea kini berlari riang kembali menikmati kebun teh setelah ia puas bermain-main di air terjun dan taman kupu-kupu persis seperti anak kecil saja. Sebenarnya orang yang bahagia hari ini adalah Adam. Ia sama sekali tak menyangka kalau liburan akhir pekan kali ini ia akan mendapat kado indah. Ya, Alea adalah kado indahnya meskipun hanya sesaat. Wajahnya berseri-seri setiap kali melihat Alea melompat-lompat kegirangan.

"Adam, thanks buat hari ini. Luar biasa menyenangkan," ucap Alea dengan riang. Gadis itu berlari mendekat. Senyum kekanakan itu menambah kecantikannya. Sempurna.

"Sama-sama, Al. Sebentar lagi sunset. Ini lebih indah dari yang tadi kita nikmati, Al," ucap Adam tulus. Ia mengingatkan gadis itu tentang janji memperlihatkan sunset yang indah, membuat gadis itu membulatkan matanya. Sangat menggemaskan apalagi dicampur dengan raut wajah penasarannya.

"Oya?! Aku jadi tak sabar."

Semburat keemasan mulai memancar. Beberapa menit kemudian, Alea hanya bisa ternganga, takjub. Ini amat sangat indah. Warna jingga dan semburat keemasan kini beradu, memadu kasih. Keduanya terdiam tak bergeming. Wajahnya tengadah, menatap takjub sunset sore ini. Sementara hawa dingin mulai menelesup tubuh keduanya. Tapi itu tak berarti sedikitpun.

"Adam, aku harus pulang sebelum kemalaman," ucap Alea membuka suara begitu senja telah hilang sempurna.

Adam mengernyit. Raut wajahnya penuh tanya.

"Iya, nanti kalau kemalaman aku takut tidak ada angkutan umum. Terus bagaimana aku bisa pulang?" Alea mengangkat kedua telapak tangannya, wajahnya seakan meminta solusi.

Adam menatap Alea tak percaya. Jadi gadis ini ke puncak naik angkutan umum?! Nekat sekali gadis ini. Kalau ada apa-apa di jalan bagaimana?!

"Jadi kau ke sini naik angkutan umum?" tanya Adam memastikan.

Alea mengangguk tanpa dosa.

"Astaga! Kau--gadis paling nekat yang pernah kukenal. Dan mungkin hanya kau yang melakukan hal segila ini." Adam berdecak tak habis pikir.

"Anggap saja ini sebuah petualangan. Ya! petualangan." Gadis itu melebarkan senyumnya tanpa ada rasa takut malah terkesan bangga. Oh, Tuhan!!

"Tetap saja. Kalau ada yang jahat sama kau di jalan bagaimana? Kau perempuan, Alea," ucap Adam geregetan.

"Buktinya aku baik-baik saja," bantahnya tak mau keputusannya disalahkan.

"Fine. Aku antar kau pulang. Tidak boleh membantah. Ayo!"

"Kemana?" tanya Alea bingung ketika Adam menarik tangannya.

"Tenang saja. Kita akan pulang tapi sebelumnya kita makan malam dulu. Tidak apa-apa kan? Kau mau apa? Sate kelinci? Jagung bakar? Ubi madu bakar?" tanya Adam menawarkan kuliner khas puncak seraya menuruni bukit kebun teh.

"Bagaimana kalau kita coba semuanya?"

Adam melotot. Alea meringis sambil bergidik tak masalah.

"Kau makan sebanyak itu?"

"Ayolah, mumpung kita di puncak. Waktunya bersenang-senang, Adam," ucap Alea dengan tatapan merajuk.

"Ya, baiklah-baiklah. Ayo, waktunya bersenang-senang."

Sesaat Alea benar-benar melupakan Kafka. Ia sama sekali tak mengeluarkan ponselnya dari tas nya selama seharian bersenang-senang dengan Adam. Bahkan merubah pengaturan volume panggilan menjadi silent.

Sementara itu Kafka tampak sangat kacau. Ia tak berhenti menyesali kebodohonnya. Yang ada dibenaknya hanya Alea, Alea dan Alea.

"Mungkin ia sudah pulang sejak tadi, Kaf. Sudahlah, dia akan baik-baik saja," ujar Maura berusaha menenangkan Kafka.

"Tidak. Aku tau dia. Dia pasti masih ada di sini."

"Isi perutmu dulu, Kaf. Seharian kau belum makan," ucap Maura seraya bersiap menyuapkan sate kelinci ke mulut Kafka.

Kafka menerimanya tanpa mengalihkan perhatiannya dari ponselnya. Ia masih terus berusaha menghubungi Alea sejak tadi.

Tanpa ia sadari, Alea menatap nanar adegan itu dari dalam mobil Adam yang baru saja terparkir. Hatinya mulai mencelos. Tapi ia berusaha menutupi itu dari Adam.

"Ada tempat lain tidak selain di sini?" Ia berdehem menetralkan suara seraknya.

"Memangnya kenapa? Ada masalah dengan tempat ini?" tanya Adam heran.

Alea berpura-pura meneliti tempat itu.

"Tempatnya terlalu padat," ucapnya singkat dengan tatapan menilai yang dibuat-buat.

"Ya, kau benar. Akan lebih nyaman kalau makan di tempat yang lega. Aku melupakan sesuatu. Kita ke tempat satunya lagi. Kau akan menikmati makan malammu sembari menatap indahnya lampu-lampu rumah penduduk di bawah sana."

"Really?!" teriak Alea histeris.

Adam mengangguk yakin. Alea bersorak kegirangan. Sejenak ia melupakan kejadian yang baru saja ia lihat. Hanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai di sana.

"Wo, awesome! Kau benar. Puncak selalu indah," desis Alea seraya menatap takjub ke bawah sana.

"Al, apa kau kenyang menatap lampu-lampu bawah sana?" ucap Adam mengingatkan Alea yang belum menyentuh makanannya.

"Ini luar biasa indah, Dam."

"Ya aku tau. Tapi setidaknya kau makan sambil menikmati pemandangan itu."

"Ya ya ya." Alea mulai menyentuh makanannya dengan sedikit tak rela melepaskan pemandangan indah itu.

Adam hanya geleng-geleng kepala menatap polah Alea. Mungkin orang bilang norak tapi wajar kan? Di jakarta tidak ada pemandangan seindah itu.

***

Pukul 22.00. Alea turun dari taxi yang berhenti tepat di depan apartemennya. Ia tadi bersikeras meminta di turunkan di halte dekat kantornya.

Langkahnya terlihat cukup lelah memasuki apartemennya. Ia menyalakan lampu apartemennya. Ia tersentak kaget ketika mendapati Kafka duduk di sofa, menatapnya tajam.

"Kau kemana saja seharian?" sentak Kafka, "Kenapa telfonku kau abaikan? Apa kau tak memikirkan bagaimana cemasnya aku?!"

" Hm.." Alea menjawabnya dengan gumaman malasnya.

"Alea!!!" Pria itu menghampirinya, meraih pundak Alea, meremasnya kencang hingga meringis sedikit sakit.

"Oya?! Terus kau anggap aku apa?! Kau asyik-asyikan ngobrol dengan perempuan tak jelas itu. Sementara aku kau biarkan ngobrol dengan angin?!! Kau pikir aku tidak punya perasaan? Satu jam lebih kau menelantarkan aku. Bahkan aku pergi pun kau tak sadar. Dan sekarang kau menyalahkan aku?!!"

Amarah Alea mulai meledak. Ia menatap balik Kafka, sama tajam. Tangan Kafka semakin mencengkeram pundak Alea.

"Kau pergi dengan siapa?!!" cecar Kafka.

Alea menepis kasar kedua tangan Kafka yang mencengkeram bahunya.

"Bukan urusanmu!!" Ketus Alea kesal meninggalkan Kafka ke kamarnya.

"Alea!!"

"Kalau kau melihat kekasihmu tengah makan disuapi orang lain, bagaimana perasaanmu?!!"

Suara Alea kini bergetar. Ia berbalik menatap Kafka dengan nanar. Kafka tersentak. Bagaimana Alea bisa tau? Apa mungkin Alea melihatnya?

"Apa.." Pria itu kembali mendekatinya.

"Aku melihatmu, Kaf! Jelas sekali. Bahkan kau tak ada penolakan sedikitpun!" jerit Alea.

"Al, kau salah paham."

"Itu wajar, Kaf untuk orang yang tak tau apa-apa. Siapapun pasti akan marah."

"Al, dengarkan aku."

"Apa yang akan kau jelaskan?!" desis Alea dengan tatapan menantang.

Kafka terdiam. Ia melihat jelas kemarahan Alea. Ia sadar, semua adalah salahnya.

"Namanya Maura. Ia rekan bisnisku. Aku dan dia tidak ada apa-apa."

Tapi aku melihat ada suka di matanya, Kaf. Aku bukan anak kecil yang bisa dibohongi. rintih Alea dalam hati.

"Okay. Ku harap kau tak akan mengecewakanku lagi," ucap Alea lirih sambil meninggalkan Kafka menuju ke kamarnya dan mengunci pintunya. Begitu mudahnya hatinya memaafkan pria itu. Alea menggeleng tak percaya pada reaksi dirinya sendiri.

"Aku janji, Al," desis Kafka.

Alea terdiam tidak berniat menjawabnya. Ia mengusap wajahnya lelah.

***

Alea melangkah ke meja kerjanya dengan sedikit lesu. Ia masih menyimpan sedikit rasa kesal untuk Kafka. Ia hanya sedikit tersenyum ketika Adel menyapanya.

"Al, kau kenapa?" tanya Adel.

Alea hanya menggeleng.

"Kau sakit?"

"Sakit hati," ucap Alea datar.

"Oya? Sama siapa?" tanya Adel menahan tawa.

"Kafka!" ucapnya ketus.

"Ahaha. Al, sepertinya kau harus ekstra sabar punya kekasih bak selebritis seperti Kafka. Oya, ku ingatkan, kau juga harus bersiap-siap menjaga ketat Kafka-mu agar tidak tergoda oleh wanita-wanita tak jelas." ujar Adel setelah ia rasa cukup puas tertawa.

Alea hanya bersungut. Bahkan ia harus bersiap untuk kemungkinan terburuk, melepaskan Kafka dengan sadar diri bahwa Alea sangat tidak pantas menjadi pendamping hidup Kafka. Ia mulai membiasakan dirinya tanpa Kafka. Bahkan kini ia sering berbicara sendiri di depan cermin saat berdandan.

'Ingat, Alea Salsabill. Kau hanyalah gadis serampangan. Cantik tidak. Body jauh dari kategori bak model. Kulit putih pucat. Pekerjaan hanya sebagai junior accounting. Tak ada yang bisa kau banggakan, Alea.'

'Lihat dirimu, Alea. Apa yang menarik darimu? Tidak ada. Jadi mulai sekarang berhentilah mengharapkan Kafka untuk tetap di sampingmu!!'

Dan masih banyak lagi ucapan-ucapan senada yang sering ia lontarkan untuk dirinya sendiri.

"Pagi, Al," sapa Adam dengan senyum ramahnya di ambang pintu.

"Pagi juga, Adam," jawab Alea sekenanya.

Adel memicingkan matanya. Bukankah Alea dan Bos-nya seperti tom dan jerry yang tak pernah akur? Kenapa sekarang jadi begini? Adel menatap Adam curiga. Adam hanya menyeringai, membalas tatapan Adel.

"Enjoy working, Al. Oya, kalau kau ada waktu, aku ingin mengajakmu makan siang nanti."

"Thanks. Okay, nanti aku kabarin."

Adam bersiul gembira, meninggalkan ruangan kerja karyawannya. Adel masih terpaku tak percaya. Alea menatapnya sekilas.

"Ini bukan mimpi, Adel. Aku dan dia sudah gencatan senjata," jelas Alea tanpa dosa menjawab raut wajah Adel.

"Bagaimana bisa?" Tanyanya tercekat.

"Ku pikir Adam baik. Ya, walau terkadang sangat menyebalkan. Tidak ada salahnya 'kan berteman dengannya?" Alea memberikan argumen dengan entengnya.

"Tapi ini sangat tidak masuk akal."

"Lebih tidak masuk akal lagi kenapa aku bisa berpacaran dengan orang macam selebritis papan atas."

"Ya, iya juga sih," ucap Adel mengalah.

"Oya, nanti meeting bersama ya?!"

Adel mengangguk. Awal pekan, Mr. Adam memang menjadwalkan meeting bersama seluruh jajaran staff. Entah apa yang akan dibicarakan kemungkinan besar tentang isu perombakan manajemen kantor atau malah pergantian pemegang saham. Seperti diketahui isu-isu sebelumnya yang sempat santer terdengar. Perusahaan ini akan diambil alih oleh pemilik yang sebenarnya karena memang sebelumnya perusahaan ini dikelola oleh sang paman sambil menunggu saat yang tepat untuk menyerahkan seluruh tanggung jawab perusahaan tersebut. Ada yang bilang, sang pewaris itu tengah menyelesaikan program magister-nya di Amerika sana dan sekarang ia telah selesai. Bahkan ada yang bilang ia bukan saja telah lulus namun ia telah cukup sukses merintis kariernya sendiri dan kini ia akan melebarkan sayapnya dengan mengelola perusahaan milik almarhum ayahnya. Tercium juga kabar bahwa sang pewaris ini yang diketahui berumur 28 tahun, masih single dan sangat tampan. Entahlah, yang jelas Alea tak menggubris ucapan para wanita penggosip di kantornya.

***

Terdengar bisik-bisik bahwa sang pewaris telah datang di Lobby kantor. Mereka berbondong-bondong menyambutnya, terlebih karena penasaran ingin melihat sosok owner baru perusahaan itu. Alea yang baru dari toilet, menatap heran ruangan kerjanya yang kosong tanpa orang.

"Mereka pada kemana?" tanya Alea pada Adel yang baru kembali entah dari mana.

"Di Lobby, penyambutan owner baru. Ayo kita ke sana."

"Sekarang?!" tanya Alea bingung.

"Tahun depan. Sekarang, Alea."

Alea mengikuti langkah Adel yang sedikit berlari menuruni anak tangga menuju ke Lobby kantor.

Entah kenapa jantung Alea tiba-tiba berdegub lebih kencang. Ia diserang perasaan gelisah. Tangannya dirasa mulai dingin. Kenapa jadi gugup seperti ini? batin Alea. Terdengar suara Adam memperkenalkan diri.

"Saya Adam El Pasha, general manager perusahaan ini. Mister Aditya, mari saya antar untuk meninjau ruangan kantor secara detail."

Seluruh Karyawan kini bubar kembali ke ruangan masing-masing. Bahkan Alea sudah lebih dulu sampai. Ia sibuk melanjutkan pekerjaannya yang tinggal sedikit lagi beres ketika Adel dan yang lain kembali ke ruangan.

"Kau bukannya tadi di belakangku?" tanya Adel.

"Iya, memang. Tapi hanya sebentar," jawab Alea sambil terus fokus pada pekerjaannya.

Suasana menjadi sedikit riuh karena bisik-bisik para wanita penggosip itu. Apalagi ketika pintu terbuka, Adam masuk diikuti oleh sang pewaris, mereka serentak berdiri.

Alea tergagap ketika Adel mencoleknya untuk segera ikut berdiri. Alea pun berdiri, menegakkan wajahnya. Hatinya tiba-tiba mencelos. Adel pun hanya bisa ternganga tak percaya. Sang pewaris itu pun terpaku menatap Alea. Ia tak menduga kalau gadis itu bekerja di sini. Alea serasa ingin pingsan ketika Adam memperkenalkan sang pewaris itu.

"Kenapa harus dia?" desis Alea lirih sekali.

"Oh, God!! Aditya Kafka?! Dunia ini sempit sekali," gumam Adel tak percaya.

Adam bukannya tidak tau kalau Bos-nya tak berhenti menatap Alea dengan tatapan dalam. Ia sedikit cemburu. Apalagi ketika Bos-nya melemparkan senyum pada Alea. Untung saja perkenalan itu tidak memakan waktu lama. Alea bernafas lega ketika mereka keluar dari ruang kerjanya.

"Ini bukan mimpi, kan?" tanya Alea keras pada Adel yang masih diam tak percaya.

Beberapa orang menatap ke arahnya karena teriakan Alea. Alea hanya menyeringai tanpa dosa.

"Tentu saja bukan. It's real, Baby."

Sebuah suara lirih hadir tepat di depan meja kerja Alea. Alea yang sedang menghadap ke samping, meja kerja Adel, langsung memutar badannya. Ia mendelik. Bagaimana bisa pria itu kembali secepat kilat?

Sebuah senyum dan tatapan dalam menyambutnya. Alea mengerjabkan matanya berkali-kali namun bayangan itu tak juga hilang. Kafka mengulum senyum. Tindakan bodohnya membuat Kafka ingin mencium habis bibir Alea yang menggoda itu.

"Sekarang aku tau di mana tempatmu bekerja. Oya, aku akan sering kemari mengontrol jalannya perusahaan yang baru ku pegang. Kuharap kau tak menghindariku, Alea. Kalau perlu aku akan umumkan ke seluruh jajaran staff dan karyawan di sini bahwa kau milikku."

Alea mendengus kesal ketika Kafka melangkah keluar dari ruang kerja Alea. Ia terduduk lemas. Seharusnya ia bangga pacarnya seorang CEO tapi tidak.. Dia menginginkan sesuatu yang wajar. Bisakah?

***

Alea tak henti-hentinya menggerutu sambil menyusuri koridor menuju Lobby kantor. Adel hanya geleng-geleng kepala. Di depan pintu masuk, Kafka menunggunya sambil bersandar santai di mobilnya. Ia sadar, kehadirannya menjadi pusat perhatian banyak orang terutama para kaum hawa. Siapa sih yang tidak terpesona dengan ketampanan sang dewa, pewaris perusahaan besar ini?

"Dia di depan menunggumu," bisik Adel memberi tau.

"Jangan terlalu percaya diri jadi orang nanti kau kecewa," ucap Alea menepisnya sok bijak. Ia melangkah santai melewati pria-nya.

Kafka menatap geram pada Alea yang melewatinya begitu saja seolah tak melihatnya. Ia segera mengejar Alea, menarik tangan Alea agar berhenti. Sejenak Alea tersentak.

"Ayo, pulang," bisik Kafka tajam.

"Kamu? kalau ada yang lihat kita bagaimana?!" Alea mendelik memperingatkan.

"Bukan urusan mereka!" tegas Kafka seraya menarik tangan Alea menuju ke mobilnya.

Alea mengerucutkan bibirnya begitu masuk ke dalam mobil. Apa ia tidak sadar dengan tatapan-tatapan mulut penggosip itu? keluh Alea dalam hati.

"Bibirmu menggodaku kalau sedang cemberut, membuatku ingin melumat habis sampai bengkak."

"Dasar otak mesum!!" maki Alea.

Kafka tertawa. Tangannya mengacak lembut rambut Alea, lalu menginjak pedal gas.

"Bisa tidak kalau di kantor kau jangan sok akrab denganku?" pinta Alea membuka suara.

"Kenapa?" Kafka mengernyit heran.

"Aku tidak mau ada gosip yang tidak-tidak tentang kita. Jangan tanya tentang kau karena mereka pasti sangat memujamu. Tapi tentang aku. Mereka pasti mencibirku habis-habisan."

"I wanna tell around the world if i'm yours, Baby. Tak peduli mereka bilang apa tentang kita," ucap Kafka lembut namun tak ingin dibantah.

"Tapi, Kaf..."

"Sshh, tidak ada yang lain, Alea Salsabill." potong Kafka.

Alea mendesah. Ia menyerah beradu argumen dengan Kafka. Tangannya dilipat di dada, menatap lurus ke depan. Bibirnya mengerucut. Kafka terkekeh. Ia sengaja mencium sekilas ujung bibir Alea. Benar saja, Alea mendelik, berteriak histeris.

"Kafkaaaaa!!!!!"

Kafka tertawa sambil mengerling jahil, membiarkan Alea memukuli lengannya bertubi-tubi. Baginya ini sangat menggemaskan.

***

Tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: