Enam

Sejak perusahaan itu dipegang olehnya, Kafka jadi sering mengunjungi tempat itu. Alasannya ingin mengontrol manajemen perusahaan itu. Padahal sebenarnya ia hanya ingin sering-sering bertemu Alea. Tak peduli gadis itu mengumpatnya karena kesal.

Adam mulai sedikit curiga, ada hubungan apa antara Big Bos-nya dengan gadis yang diincarnya. Ia mulai mencari informasi, salah satunya dengan mendekati Adel.

"Siang, Adel," sapa Adam dengan senyum mautnya ketika melihat Adel makan siang seorang diri di pantry.

"S..s..iang, Mister," jawab Adel sedikit gugup dengan menarik senyumnya seraya mengangguk hormat.

Adam mengulum senyum melihat Adel yang sedikit salah tingkah. Bukan ia tidak tau kalau diam-diam Adel sering memperhatikannya.

"Kau makan siang sendiri?"

Adel mengangguk.

"Alea ada janji makan di luar. Jadi saya makan siang sendiri, Mister," jawab Adel seakan tau apa yang Adam cari.

"Ssh, kalau kita lagi berdua, panggil saja Adam," bisik Adam.

"Oh, baik, Mister Adam. Eh, lupa. Adam. Maafkan aku."

"Kamu ini lucu juga," ucap Adam tertawa lirih.

Adel tak pernah membayangkan bisa makan siang bersama bos-nya, Adam El Pasha. Di matanya Adam tak kalah ganteng dibanding Kafka. Kata Adel, Kafka mewakili Hollywood karena perawakan dan wajah keturunan bule-nya sedang Adam mewakili Bollywood karena ia keturunan pakistan. Ya meskipun pakistan termasuk golongan timur tengah namun garis-garis wajahnya masih bisa masuk ke kategori Bollywood.

"Oya, omong-omong ada apa antara Alea dengan Mr. Aditya? Kau pasti tau sesuatu secara kau kan dekat sekali dengan Alea."

Sejenak Adel tertegun. Ia tak tau harus menjawab apa.

"Alea tak pernah cerita apa-apa."

"Oya? Aku agak sedikit curiga soalnya aku pernah melihat Mr. Aditya pulang bareng naik mobil."

Adel tercekat. Apa ia harus jujur cerita yang sebenarnya? Tapi nanti Alea marah-marah. Adel hanya menggelengkan kepalanya. Adam mendesah. Tapi ia tidak menyerah. Lain kali ia akan membuat Adel menyerah padanya.

***

"Kafka, berhenti mengikutiku!" bisik Alea tajam ketika akan masuk ke ruang kerjanya.

"Never!"

"Kaf! please.." ucap Alea dengan tatapan memohon.

"Okay, fine. Oya, aku akan ketemu clien sebentar. Nanti jam kau pulang, aku sudah di sini."

Tidak penting! Gerutu Alea dalam hati. Tapi bibirnya meringis singkat menyembunyikan sebalnya.

"Oh, okay, hati-hati. Bye, my man," ucap Alea sebelum akhirnya menghilang dibalik pintu.

Alea kembali berkutat pada komputernya. Sesekali ia melirik Adel yang menatapnya terus-menerus.

"Kenapa, Del?" tanya Alea tanpa mengalihkan tatapannya dari monitor.

"Dia menanyakan tentang kau dan Kafka," ucap Adel kemudian menggigit bibir bawahnya.

Dia? Alea langsung mengerti kemana arah pembicaraan Adel. Pasti Adam orangnya.

"Bilang saja yang sebenarnya, Del. Aku tak mau memberi harapan pada orang lain. Apalagi orang itu sebaik Adam. Aku tau sebenarnya dia orang baik meski kadang dia menyebalkan. Dan aku juga tau sebenarnya kau ada flirt sama dia."

Adel mengatupkan mulutnya. Menyembunyikan muka merahnya karena menahan malu. Alea terkekeh melihat sahabatnya mati kutu karenanya.

"Dari mana kau tau?"

"Adel, sudah berapa lama kita bersahabat?"

Adel mencoba mengingat-ingat, menghitungnya dengan jari.

"Delapan tahun. Iya, delapan tahun."

Selama itu kah? Tentu saja. Adel adalah teman baru Alea di kompleks rumah semasa SMA. Alea dulu baru berpindah rumah dari rusun ke kompleks perumahan.

"Good. Tak perlu kau tanya lagi darimana. Matamu menceritakan semuanya, Del."

Adel menyeringai. Kemudian ia senyum-senyum tak jelas.

***

Tepat pukul 17.00 Kafka sudah duduk manis di kursi panjang Lobby Kantor. Alea mengisyaratkan untuk menunggunya di halte biasanya. Kafka menggeram kemudian beranjak dari duduknya. Alea menghela nafasnya, lega. Ia harus mulai menjaga jarak karena ia mulai mencium desas-desus yang menggelitik telinganya. Tentu saja dari mulut-mulut penggosip murahan.

"Baby, kau sudah memperlakukan hubungan kita layaknya pasangan sedang selingkuh," protes Kafka begitu Alea turun dari ojek.

Alea mengangkat alisnya sebelah. Lalu duduk di samping Kafka yang tengah bersandar pada sandaran bangku besi panjang di halte itu.

"Alea, I'm your man. Please, tell around the world. Katakan pada semua kalau aku milikmu. Aku lelakimu. Hanya aku," bisik Kafka sendu. Seakan tidak nyaman dengan keadaan yang ada.

Alea tertunduk. Kata-katanya sederhana namun sungguh menyesakkan dadanya. Ia mengangkat wajahnya, menatap Kafka dalam-dalam.

"What will you do the same for me, Kaf?" tanya Alea dengan suara tertahan.

Kafka menatap Alea yang kini menatapnya ragu.

"Apa yang kau ragukan dariku?"

"Banyak."

"Oya? Apa saja sebutkan."

Alea terdiam. Lidahnya terasa kelu. Ia bingung untuk mengatakan semua yang ada di otaknya. Sejenak suasana hening.

"Terkadang seseorang memilih pergi darimu bukan karena ia telah menemukan orang yang tepat atau ia telah lelah mencintaimu. Tapi ia sadar kamu pantas mendapatkan yang lebih darinya," bisik Alea.

Kafka tertegun. Kata-katanya membuatnya takut kalau suatu saat Alea meninggalkannya. Ditatapnya Alea lekat-lekat. Alea hanya tersenyum. Tersenyum getir.

"Kau tetap yang terbaik, Al."

"Aku bukan apa-apa, Kaf."

Kamu tau? Kamu telah berhasil membuatku mencintaimu lebih dari aku mencintai nyawaku sendiri hanya dengan ketulusanmu. Aku tak pernah mendapatkan itu sebelumnya dari siapapun. Alea, kau telah merubah seluruh hidupku. Aku dulu yang egois, keras dan tak berperasaan kini semua telah lebur karena kamu.

Kafka menghela nafasnya. Tangannya bergerak menggenggam jemari Alea.

"Alea, please jangan bunuh jiwaku yang telah hidup karenamu."

Mata Alea kini berkaca-kaca. Tubuhnya mulai bergetar, menahan sesak yang kian menyiksa. Kafka pun tak kalah sesaknya. Segera dipeluknya Alea dengan erat hingga ia mampu merasakan degub jantung Alea, isak tangis Alea yang tertahan.

Seandainya kau tau, Kaf. Aku takut menerima kenyataan kalau suatu saat aku harus sendiri merelakanmu, bisik hati Alea.

Tidak bisakah agar kita tetap seperti ini? gumam Kafka dalam hati.

***

Alea sedang berkutat pada bacaan novelnya ketika terdengar getaran ponsel milik Kafka di sampingnya. Ia menatap sekeliling ruang tengah apartemennya lalu beralih pada ponsel Kafka. Saat itu Kafka sedang mandi.

Maura? Alea mengerutkan keningnya. Ada apa perempuan itu menelpon Kafka di luar jam kantor? Tangannya terulur untuk meraih ponsel itu namun tertahan di udara. Ia kembali melanjutkan bacaannya. Semenit kemudian nama Maura kembali terpampang di ponsel Kafka. Alea semakin penasaran namun ia tak berani meraih ponsel itu.

"Kafka!!" panggil Alea seraya mengetuk pintu kamar mandi.

"Ya, sebentar lagi aku beres, Al. Kau sudah lapar sekali ya?" terdengar jawaban dari dalam di antara gemericik air shower.

"Ada telpon untukmu. Mungkin itu penting. Kamu bisa cepat sedikit?"

"Dari siapa?"

Alea terdiam. Ia merasa tenggorokannya tercekik ketika akan mengucap nama perempuan itu.

"Al, kau masih di situ?" teriak Kafka lagi.

"Maura," ucap Alea lirih.

Terdengar Kafka mematikan keran shower. Alea masih berdiri mematung ketika Kafka membuka pintu kamar mandi dengan telanjang dada.

"Siapa? Aku tadi kurang dengar."

Alea masih tak bergeming bahkan ketika Kafka melambaikan tangannya di depan wajahnya. Kafka mengerutkan keningnya lalu menepuk lembut pipi Alea.

"Ya?" Alea tergagap.

"Kau melamun. Tadi siapa yang menelpon?"

"Oh, Maura."

Sejenak Kafka terdiam. Sekarang ia tau apa yang membuat Alea seperti orang kesambet setan gagu. Ia merangkul bahu Alea, membawanya ke sofa ruang tengah.

Ponselnya masih berkedip-kedip.

"Kamu saja yang angkat. Aku mau ganti baju dulu."

"Kau sajalah. Barangkali ada yang penting," tolak Alea berusaha menyembunyikan sesaknya.

"Please, Al."

Tanpa menunggu jawaban Alea, Kafka segera meninggalkan Alea untuk memakai baju. Alea mengerjabkan matanya yang kini mulai berkaca-kaca. Tangannya meraih ponsel yang sejak tadi berkedip-kedip.

"Hey, Kaf. Kau sedang apa? Sedang sibuk tidak? Aku bete nih. Pengen ngajak kamu hang-out. Kamu mau tidak?.."

Ucapan Maura di seberang telpon tak mampu lagi ia cerna dengan baik semuanya. Apa ini yang dinamakan cemburu? Come on, Al. Jangan berprasangka buruk dulu. Mungkin ini hanya sebatas teman di luar kerja. Alea mengejabkan matanya, berusaha menepis pikiran kotornya.

"Hallo, Kafka. Kau masih di situ kan?"

"Kafka sedang ke kamar mandi sebentar," ucap Alea tercekat.

Klik. Ia langsung menutup telpon. Tak berapa lama Kafka muncul dengan T-shirt abu-abunya lalu menghempaskan tubuhnya di sofa tepat di samping Alea yang kini tengah menengadahkan wajahnya, menatap langit-langit ruang tengah.

"Hey, kau kenapa?" tanya Kafka lembut seraya melingkarkan tangannya ke pinggang Alea.

"Hey, kau --sudah selesai?" tanya Alea dengan gugup.

Kafka tersenyum, menatap teduh mata Alea yang masih berkaca-kaca. Diciumnya pipi Alea dengan lembut.

"Kau kenapa? Oya, tadi katamu Maura nelpon. Sudah kau jawab? Apa katanya?"

"Kaf, ehm.. Maura.."

Lidahnya terasa kelu untuk mengucapkan apa yang tadi Maura katakan di telpon. Ia menghela nafasnya dalam-dalam.

"Kenapa? Maura mau confirmasi tentang meeting besok?"

"Bukan." Alea menggeleng.

Kafka mengerutkan keningnya.

"Ngajak kamu hang-out malam ini. Dia sedang bete katanya."

"Kamu mau?"

Alea mendelik kesal. Apa dia tidak melihat betapa sesaknya aku? Mendengar namanya saja cukup membuatku nyeri, gerutu Alea dalam hati.

"Lalu kau bilang apa?"

"Aku bilang kau sedang di kamar mandi."

"Begitu? Baiklah, biar aku telpon balik."

Alea semakin terdiam. Ia hanya mampu menelan ludah dengan susah payah ketika Kafka meraih ponselnya. Lalu tangannya membuka kembali lembaran novel yang baru ia baca setengahnya.

"Ya, Maura. Kau tadi menelponku? Ada apa?"

"Tadi siapa? adik kamu? Perasaan kau anak tunggal, Kaf. Oya, aku bete, Kaf. Bisakah kau menemani aku hang-out malam ini?"

"Malam ini? Di mana?"

"Kau masih suka main ke pub atau club 'kan? Nanti aku sms-in dimananya."

"Sorry, Maura. Aku tak pernah masuk pub lagi sejak setahun lalu."

Maura tertawa, ia pikir Kafka becanda. Seorang Kafka, raja club, raja dansa sejak kapan ia berpikir untuk berhenti? Maura tau betul Kafka raja nya dunia malam, berkencan dengan beberapa wanita meskipun hanya sebatas have-fun, menikmati sampanye meski hanya beberapa sloki lalu menghabiskan malam dengan dentuman musik Dj. Ia kategori pria HOT. Itu beberapa tahun lalu sebelum Kafka dikirim ke Amerika untuk menyelesaikan program magisternya yang sempat terbengkelai. Bahkan Maura masih mendengar kabar di sana Kafka masih suka menikmati dunia malamnya.

"Hey, kau tidak sedang becanda 'kan, Kaf?" tanya Maura disela tawanya.

"I'm seriouse, Maura."

"Oh, okay. Fine. It's just a joke, Kaf. Mana mungkin kau, rajanya dunia malam berhenti gitu aja. It's impossible, Aditya Kafka."

"Nothing impossible, Maura."

"Ayolah, Kaf. Sekali-kali kita have-fun," rajuk Maura.

Kafka melirik Alea yang sibuk dalam bacaannya. Ia mengeratkan tangannya yang masih melingkar di pinggang Alea.

"Maaf, Maura. Aku tidak bisa. Mungkin kau bisa ajak yang lain."

"I just wanna you, Kafka."

"I cant, Maura."

"Okay, emmm... Bagaimana kalau kita nonton saja. Midnight masih keburu kok jam segini."

"Hey, kau gila. Besok aku harus bangun pagi-pagi untuk meeting di perusahaan yang baru ku handle."

"Ayolah, Kaf. Aku sedang bete, need refresh, need you."

"Okay, dimana?"

"Premiere Galaxy, deal?"

Kafka menghela nafasnya lalu meletakkan ponselnya ke meja sofa. Kedua tangannya kini melingkar di pinggang Alea. Alea sedikit tersentak ketika Kafka mengecup lembut daun telinganya.

"Ambil sweatermu. Kita nonton malam ini." perintahKafka sambil menyingkirkan bacaan Alea dari tangan mungil itu.

"Kau sendiri aja, Kaf."

"No. Aku tidak mau ambil resiko, ya barangkali ada temanmu melihatku jalan dengan wanita lain lalu mengadu yang tidak-tidak kepadamu. I'm yours, Baby. Sampai kapanpun."

"Tapi.."

"Tak ada tapi-tapian. Come on!!"

Kafka berdiri menarik tangan Alea agar beranjak dari duduknya. Alea hanya mendengus kesal. Setengah hati ia melangkah menuju ke kamarnya untuk mengambil sweater.

***

Alea memasukkan kedua tangannya dalam saku sweaternya. Langkahnya setengah hati memasuki Premiere Galaxy. Kafka terlihat cukup tenang merangkul ketat bahu Alea. Penampilannya cukup santai tanpa meninggalkan ketampanannya yang cukup membuat mata-mata kaum hanya menatapnya miris dan terpana. Iya miris karena mereka pikir, hey masih banyak model atau artis yang bisa ia gandeng, jangan gadis itu! Terpana karena tentu saja ketampanan Kafka.

"Dasar cewek-cewek metropolis!" gumam Alea menyikapi tatapan sinis para model amatir itu.

Kafka hanya menyunggingkan senyumnya seraya melirik Alea yang menggerutu tak jelas. Tak berapa lama penyebab sesak dada Alea datang.

"Kafka!!"

Tampak Maura dengan dress merah darah selutut dan high heels silvernya sedikit berlari menghampiri Kafka. Langkahnya begitu semangat namun tiba-tiba meredup ketika melihat Kafka tak sendirian. Jelas terlihat kekecewaan yang teramat sangat.

"Aku pikir kau ke sini sendirian." gumamnya dengan nada kecewa.

Alea mendengus kesal, melirik sinis model amatir itu. Maura tak kalah sinisnya. Ia melolot sebal pada Alea. Tentu saja mereka lakukan tanpa sepengetahuan Kafka.

"Sebentar lagi film dimulai. Ayo, kita masuk." ucap Kafka tanpa melepaskan rangkulannya di bahu Alea.

Alea memutar bola matanya kesal ketika melihat Maura yang dengan sengaja bersikap sok manja dan sok manis pada Kafka. Ingin rasanya ia menjambak rambut panjang bercat coklat yang tergerai di bahu terbuka itu.

"Kaf, kau nanti duduk di sebelah aku ya? Oya dan kau siapa namanya? Kau duduk aja di sheet yang kupesan. Kebetulan letaknya pas di belakang sheet yang Kafka pesan."

Kafka mengangkat alisnya tinggi-tinggi.

"Maura? Kau apa-apaan?"

"Kaf, perasaan aku tadi nggak bilang kau boleh bawa teman. Hanya kita berdua, Kaf." ucap Maura mengerling kesal.

"Hey, tapi.."

Maura menggoyangkan telunjuknya. No! katanya. Alea mendengus kesal. Lima menit lagi film akan dimulai tapi mereka masih berselisih di luar. Alea melepaskan rangkulan Kafka.

"Aku pulang!!" ketus Alea sambil melangkah cepat tanpa mempedulikan Kafka yang memanggilnya.

Sekilas ia melihat Maura menyeringai puas. Ia juga sempat melihat Maura menahan Kafka agar tidak mengejar Alea.

"Sangat menyebalkan!! Dia pikir aku apa? Ambil saja Kafka. Peduli setan dengan Kafka! Ahh! Perempuan menyebalkan!!" geram Alea sambil berjalan menyusuri trotoar di depan Premiere Galaxy.

Alea menghentikan langkahnya lalu duduk di bangku Halte bus yang berjarak 200meter dari Premiere Galaxy. Ia menengadahkan wajahnya, menatap bentangan langit malam. Kalau ia tidak malu, ia sungguh ingin berteriak meluapkan kekesalannya lalu menumpahkan tangisnya keras-keras agar sedikit lega. Ia tak menyadari sebuah mobil berhenti di depannya. Seseorang turun dan menghampirinya.

"Hey, kamu ngapain malam-malam di sini? Sendirian pula." tegur orang itu sambil duduk di sampingnya.

Alea menggerakkan kepalanya demi melihat si pemilik suara itu.

"Adam?! Kamu ngapain di sini?"

Adam mengerutkan keningnya. Harusnya aku yang bertanya bukan? gumam Adam dalam hati.

"Kamu yang ngapain?"

"Aku.. Aku lagi bete!!!" ucap Alea kesal.

Adam melotot kaget. Gadis ini benar-benar penuh misteri. Belum hilang kagetnya, Ia harus menahan napas tak percaya ketika Alea tersedu, menyandarkan kepalanya di bahu Adam. Ia tersenyum, gadis ini ternyata benar-benar sedang kesal. Ia mengusap pelan kepala Alea.

"Okay, kau tidak perlu cerita kenapa kau kesal. Sekarang ikut aku."

"Kemana?" Alea mengerjabkan matanya.

"Pasar malam. Kau bisa bersenang-senang sepuasnya."

Adam tersenyum lebar ketika melihat perubahan Alea. Mata Alea kini berbinar-binar. Ia sungguh menggemaskan di mata Adam.

Takkan kubiarkan kau menangis, Alea. Apapun itu yang membuatmu sedih, aku berjanji aku akan selalu ada untukmu, batin Adam.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: