Empat Belas
Media massa di hebohkan dengan berita penyangkalan Aditya Kafka mengenai beberan Maura yang menjelaskan bahwa ia akan melamar Maura dalam waktu dekat. Dalam beberapa jam nama wanita itu jatuh sama seperti saat Kafka kembali pada dunia malamnya. Kafka menyunggingkan senyum miringnya saat menerima surat kabar itu dari Beny.
"Kabarnya ia dipulangkan ke Manado oleh papanya." jelas Beny.
"Aku ada rencana satu lagi dan kau harus terlibat di dalamnya." ujar Kafka seraya meletakkan surat kabarnya.
"Apa??! Kau gila, Kaf!!"
"Jangan banyak protes. Tenang saja aku sudah tidak keluar malam lagi."
"Baiklah." ucapnya pasrah.
"Aku akan menemui Adel atau Adam karena sudah dua hari aku tak melihat gadis itu di kantor."
"Hm, jangan berbuat onar, Kaf."
"Tenang saja. Aku sedang tidak dalam pengaruh alkohol. Aku bukan Kafka yang arogan."
"Kau selalu bilang begitu. Nyatanya kemarin apa?!" cibir Beny sinis.
"Kemarin emmm..." Kafka memutar bola matanya,"aku pusing, Ben. Aku tak percaya bahwa aku telah memutuskannya. Makanya aku sangat kacau akhir-akhir ini."
"Dasar pria bodoh!!!"
"Aku memang pria bodoh tapi setidaknya aku berusaha untuk lebih baik lagi."
"Tetap saja kau bodoh." ejek Beny.
Kafka tertawa, meninju lengan sahabatnya ini.
***
Adam sedang berbicara via telpon dengan Alea ketika Kafka menghampirinya di pantry.
"Are you okey, little girl?" tanya Adam. Sejak mereka sepakat menganggapnya kakak-adik, Adam selalu memanggilnya 'little girl'. Tak masalah buat Alea.
"I'm so well, Kak. Oya, kapan kau akan kemari bersama Adel? Aku merindukan perempuan lemah lembut itu."
"Jadi kau hanya merindukan Adel? Bagaimana dengan aku, kakakmu?"
"Ya ya ya. I miss you more, Kakak." Alea memutar bola matanya.
"Hahaha.. Okay, mungkin nanti akhir pekan."
"Apa?!!! Akhir pekan?!!" pekik Alea.
Adam tertawa.
"Akhir pekan kami janji akan menginap bersamamu."
"Are you seriouse?"
"Ya. Jadi tunggulah hingga akhir pekan. Oya, Al. Apa kau tak merindukan Kafka?" ujar Adam lirih.
Bagaimanapun juga ia masih merasakan sedikit sesak ketika mendengar atau menyebutkan sebuah nama yang masih bertahta di hati Alea hingga saat ini.
"Aku selalu merindukannya meski ku tau ia tak akan mungkin kembali." ucap Alea sendu.
"Maura sudah tak di sampingnya lagi. Ia sudah dipulangkan ke Manado oleh papanya gara-gara memalukan nama baik keluarganya. Kau mengerti kan maksudku?"
Alea terdiam. Ya, ia sempat mendengar bahwa ternyata wanita yang akan Kafka nikahi bukan Maura seperti yang Maura sendiri katakan kepada awak media.
"Aku mengerti. Kak, biarkan ia melanjutkan hidupnya sendiri. Mengenai janji, mungkin memang tak selamanya janji harus di tepati."
"Kau menyerah untuk harapanmu, Al?"
Alea menghela nafasnya.
"Itu akan lebih baik, Kak. Seandainya ia memang untukku.."
"Waktu akan membawanya kembali, little girl." Adam melanjutkan ucapan Alea.
"Kak, sudah dulu ya, aku di tunggu Bibi Sum untuk berkeliling di kebun teh."
"Okay, take care, little girl."
Adam meletakkan ponselnya. Ia sedikit terkejut ketika mendapati Aditya Kafka berdiri di depannya. Ia lalu melempar senyum.
"Boleh aku duduk?"
"Tentu saja."
"Terimakasih. Adam, ada yang ingin aku tanyakan."
"Tentang Alea?" tebak Adam.
Kafka mengangguk.
"Untuk apa kau menanyakannya?" tanya Adam tak suka. Memang dia bos-nya tapi mengenai Alea, ia tidak peduli lagi bahwa pria itu adalah Bos nya.
"Kau tau dia dimana? Aku ingin menyelesaikan masalahku dengannya."
"Ia ada bersamaku. Tenang saja, ia sudah menganggapku kakaknya. Ia baik-baik saja." jawab Adam singkat.
"Boleh aku menemuinya?"
Adam menggeleng tegas.
"Kau hanya akan membuatnya menangis lagi. Apa kau tau, selama tiga bulan ia berusaha menata hatinya yang terberai karenamu? Aku tidak akan membiarkanmu membuatnya yang kini sudah kembali tersenyum, menangis lagi."
Sejujurnya ia ingin meninju pria ini. Tapi tinjuan tidak akan menyelesaikan masalah, bukan? Lagipula Alea pasti akan marah kalau ia melakukannya.
"Aku datang bersama janjiku, Adam."
Adam menatapnya tajam. Segunung kerinduan tampak di mata coklat itu. Ia mengerti, bagaimanapun juga keduanya saling mencintai meski perbedaan di antara mereka cukup jauh. Alea adalah medan magnet pria itu. Pria itu tak bisa apa-apa bahkan sangat kacau saat berpisah dengan medan magnetnya.
"Ia masih membuka pintunya untukmu. Bersabarlah, aku akan membuatnya kembali untukmu jika kau benar-benar tak akan menyakitinya lagi." ucap Adam pada akhirnya.
"Aku akan berusaha untuk tidak di cap pria bodoh lagi."
Adam terkekeh. Big boss nya ini terlihat seperti anak kecil yang tengah menyesali suatu kebohongan kecil yang ia buat, di hadapan kedua orang tuanya.
"Aku percaya, kau akan membuatnya bahagia."
"Oya, apa kau mau membantuku?"
"Apa?" Mata Adam menyipit.
"Aku butuh bantuanmu dan Adel untuk akhir pekan ini."
"Baik. Nanti akan aku sampaikan pada wanita lemah lembut itu."
***
Akhir pekan tiba, begitu jam pulang kantor, Adam melesatkan mobilnya menuju ke puncak. Ia harus segera meluncur jika tidak ingin terjebak macet karena malam minggu dan liburan akhir pekan. Jalanan menuju ke puncak pasti akan membuat setiap orang menggerutu kesal. Kali ini ia tidak bisa menepati janjinya untuk membawa wanita lemah lembut itu karena ada keperluan. Tepat pukul tujuh malam, Adam sampai di villa miliknya. Seorang gadis menyambut hangat penuh kerinduan.
"Miss you more, little girl." ucap Adam sepenuh hati seraya memeluk erat gadis itu.
"Me too. Mana Adel?"
"Sedang ada keperluan katanya. Jadi maafkan kakakmu yang tak bisa menepati janjinya." ucapnya lengkap dengan nada menyesalnya.
Alea sedikit cemberut. Ah, rencana untuk memaksa Adam menembak Adel gagal. Ia cukup tau kalau pria di depannya ini mulai membuka hati untuk Adel. Tapi pria itu cukup hati-hati dan bermain halus pada wanita lemah lembut itu. Kalau sudah saatnya, ia akan membuat Adel pingsan meleleh katanya pada Alea tempo hari di telpon.
"Kau tidak mempersilakan kakakmu untuk masuk?" protes Adam.
"Ah, ya! Ayo masuk."
Adam tersenyum merangkul pundak Alea. Gadis ini sudah cukup membaik, gumamnya.
Sesaat kemudian ponsel Alea yang tergeletak di karpet bulu depan televisi bergetar. Nama Adel berkedip-kedip di layar ponsel itu.
"Adel?" gumam Alea mengernyit sambil meraih ponselnya.
"Hey, kenapa?" tanya Adam sambil membaringkan tubuhnya di karpet bulu itu.
"Adel menelponku.."
"Angkat saja, barangkali penting." ujar Adam.
Alea mengusap layar ponselnya dengan ibu jarinya.
"Ya, Del."
"Adam sudah sampai?" tanya Adel memburu.
"Iya, kenapa? Kau kelihatan panik sekali. Tenang saja Adam baik-baik saja." ujar Alea.
"Well, kau harus segera kembali ke jakarta. Kafka mabuk dan membuat kacau apartemenmu!!" ucap Adel dengan panik.
Terdengar suara keributan di seberang telfon. Alea menjadi sedikit panik. Kafka mabuk lagi??
"Hallo, Alea! ini Beny. Kau dimana? Bisa segera ke apartemenmu?" suara Beny tak kalah paniknya.
Perasaan Alea menjadi tak karuan. Ia tak tau harus menjawab apa dan berbuat apa. Kecemasannya terhadap Kafka mulai terlihat. Adam menatap Alea yang kini panik. Ia segera bangun dari rebahannya.
"Kau kenapa?" tanya Adam menatap Alea tak mengerti.
"Kafka mabuk, berbuat kacau di apartemenku. Oh, God!!!" pekik Alea panik.
"Bagaimana bisa?"
"Bisa saja. Lagipula dia punya kunci duplikatnya!!" jerit Alea panik.
"Jadi bagaimana?"
"Antar aku pulang ke jakarta." ucapnya memohon.
Adam mendelik. Apa ia tidak merasakan lelahnya Adam yang baru saja sampai?!
"Kau! Aku baru saja sampai, Al. Besok saja ya?"
"Aku maunya sekarang. Adel ada di sana. Beny juga! Kau bisa bayangkan bagaimana kacaunya keributan yang pria bodoh itu buat!"
Adam menghela nafasnya. Ia mengangguk pasrah, melihat Alea yang begitu panik dan cemas. Ia tau gadis itu mencemaskan pria bodohnya.
***
Perjalanan yang cukup melelahkan. Gadis itu tak henti-hentinya menyuruhnya untuk menambah kecepatan mobilnya. Sesekali gadis itu menggerutu tak jelas. Pukul dua belas malam, Adam berhasil membungkam mulut Alea dengan sampainya di apartemen gadis itu. Begitu sampai Alea langsung berlari cepat. Nafasnya terengah-engah ketika sampai di apartemennya. Sepi?! Mana keributan? mana kekacauan?! Alea mengerutkan keningnya. Bingung. Tangannya membuka pintu. Terkunci? Ia segera merogoh kunci di tas kecilnya. Kamarnya gelap.
"Mana keributan?" tanya Adam yang baru sampai.
"Tapi tadi benar-benar nyata, Kak. Adel menelponku lalu Beny menyerobot telpon Adel."
"Nyalakan lampunya."
Alea meraba-raba mencari saklar lampu. Klik. Ia terdiam tak bisa ucap apa-apa saat lampu menerangi seluruh ruangan itu. Ada banyak balon berwarna putih dan abu-abu. Lalu bunga mawar putih yang bertebaran di mana-mana. Ia kembali menatap Adam.
"Apa kita salah kamar?" desis Alea. Ia menggelengkan kepalanya beberapa kali.
"Foto menyebalkanmu masih terpampang lebar-lebar di ruangan TV. Jadi tak mungkin kau salah kamar." ujar Adam setengah meledek.
"Tapi ini perbuatan siapa? Aku sedang tidak ulang tahun." ucapnya membela diri.
"Mana ku tau, Al. Coba kau telpon saja Adel."
Ia merogoh tas kecilnya mengambil ponsel. Saat Alea menegakkan wajahnya, ia kembali tak bisa berucap.
"Alea.." panggil Adel yang entah muncul darimana membawa balon bertulis 'WILL' seraya melemparkan senyum padanya.
"Look at me!!"
Adel menggeser posisinya hingga Beny tampak seutuhnya di mata Alea. Sama, ia membawa balon tapi bertuliskan " YOU".
"Once more!!"
Rekan-rekan sekantornya membawa banner bertuliskan " MARRY " seraya tersenyum lebar, berjajar di samping Adel dan Beny. Sesaat kemudian seorang pria mengenakan setelan jas abu-abu cenderung terang dengan kemeja biru donker dan dasi putih bergaris biru donker tipis hadir membelah barisan membawa sebuket mawar putih. Lalu kedua orang tua Alea tersenyum lebar di belakang pria itu. Pria itu mendekati Alea dan berlutut di hadapannya. Alea terpana menatap pria bodoh itu yang tak pernah berubah. Pria itu tetap saja terlihat HOT seperti Sean O'pry. Oh, My... Pria itu tetap saja membuatnya meleleh setiap saat. Pria itu tetap saja melakukan hal-hal norak yang membuatnya membuka mulutnya lebar-lebar serta menangis haru. Ia lalu menantap sebuket mawar putih di tangan pria itu. Terdapat tulisan "ME" di sana.
"Will you marry me, Alea Salsabill?" ucap pria itu dengan merdu nan lembut.
Alea ternganga. Untuk beberapa saat ia tidak tau harus berbuat apa. Tapi kemudian ia menemukan suaranya.
"Kau pria gila yang membuatku panik setengah mati karena katanya kau mabuk membuat kekacauan di apartemenku! Kau norak! Kau bodoh!!" teriak Alea histeris di antara air mata haru yang meleleh di pipinya.
Pria itu hanya tersenyum. Manis sekali. Alea tersungkur, tersedu di hadapan pria itu.
"Yes.." ucapnya serak.
Pria itu merentangkan kedua tangannya. Alea menjatuhkan tubuhnya memeluk erat pria yang selalu ia rindukan.
"Aku merindukanmu teramat sangat." bisik pria itu seraya menenggelamkan wajahnya di leher Alea.
"Kau kembali?" tanya Alea serak, dengan nada tak percaya.
"Ya, bersama janjiku." bisiknya.
Terdengar riuh tepuk tangan. Ternyata ada beberapa awak media meliput kejadian norak ini.
"Kami merestuimu, Nak." ucap ayah Alea seraya tersenyum lembut.
Alea melepaskan diri dari pelukan pria itu.
"Bagaimana bisa Ayah sama Bunda ada di sini? Ayah bilang ayah tengah ada dinas di kantor cabang selama dua tahun di Bali?" tanya Alea dengan sisa isaknya.
"Aku menemui beliau ditemani Adel akhir pekan minggu lalu di Bali untuk melamarmu sekaligus merayu mereka untuk terlibat dalam kejutan ini." terang Kafka.
Ayah Bundanya mengangguk membenarkan itu semua.
"Jadi kalian semua sudah merencanakan ini?"
"Maafkan kami, Al. Kami bekerja sama untuk menyatukan kalian kembali." ucap Adam menengahi.
"Okay, terimakasih untuk semuanya." ucap Alea.
"Alea, bersiaplah untuk meleleh lagi karena minggu depan kita akan menikah. Aku bahkan sudah mempersiapkan semuanya."
Alea tersentak menatap pria bodoh itu tak percaya.
"Kau sudah memaafkanku, kan?"
"You make me melt everytime, Kafka. Aku mencintaimu lebih dari sakit yang kurasa." bisik Alea.
"Terimakasih, Baby. Aku tidak akan pernah melupakan janjiku. Kamu adalah kekuatanku. You'e always be my Baby."
"You're always be my man, Kaf."
"Ready? to marry me?"
"Of course, my man."
Keduanya kembali berpelukan melepas rindu. Sementara itu Adam tersenyum, apapun itu asal kau bahagia aku ikut bahagia, my little girl, batin Adam.
"Bagaimana denganku?" suara Adel berbisik di telinganya. Rupanya wanita lemah lembut ini telah menghampirinya tapi entah sejak kapan.
"Biarkan waktu yang menjawab." sahut Adam.
"Waktu tak akan menjawab kalau hatimu tak pernah menitipkan pesan itu pada sang waktu."
"Apa kau mau memulai semuanya dari awal denganku?"
"Dengan senang hati."
***
tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top