Empat
Hari ini Alea bekerja tidak fokus sama sekali. Pertama, ini akhir pekan. Ia sibuk melirik jam, berapa lama lagi jarum panjang akan sampai di angka pukul 13.00. Kedua, Adam intercom dia hanya untuk menggodanya sedang dia tak mood untuk digoda. Ketiga, Ia gelisah memikirkan apa yang kira-kira Kafka akan bicarakan nanti selepas pulang kerja. Alea membuang nafasnya dengan kesal.
"Hey, Al. Ini akhir pekan, kan? Kamu kenapa mukanya dilipat begitu? Tapi tak masalah sih. Itu tidak mengurangi rasa sukaku padamu," Ucap Adam tanpa basa-basi.
Alea mendelik. Ia mendengus kesal pada Adam yang kini pantatnya nangkring di meja kerjanya tanpa dosa. Adam terkekeh. Ia bukan tidak tau kalau Alea sebal setengah mati padanya. Tapi jangan panggil Adam El Pasha kalau ia tak bisa menaklukkan Alea. Ia yakin suatu saat Alea akan jatuh dalam genggamannya.
"Adam! Aku sedang tidak mood bermasalah denganmu!" ucap Alea ketus.
"Sejak kapan aku bermasalah denganmu?" Ia menaik-turunkan alisnya.
"Sejak kamu membuatku naik darah dengan omonganmu yang tak jelas."
"Alea, aku serius.."
"I'm double serious, Adam El Pasha!!" geram Alea.
"Al, kamu tau? Kau kelihatan lebih menggoda saat sedang marah-marah," goda Adam seraya bergegas pergi sebelum Alea memporak-porandakan meja kerja Alea.
"You're so crazy, Adam!!" umpat Alea kesal.
Adel yang baru masuk setelah dari toilet, menatap Alea bingung saat mendengar umpatan Alea.
"Knapa?"
"Adam gila!" sungut Alea.
Adel hanya tertawa. Ia mulai terbiasa dengan suara ribut kecil diantara Adam dan Alea. Padahal sebelumnya Adel hanya sering memergoki bos-nya mencuri-curi pandang tapi kini ia tak menyangka bos-nya sungguh iseng dan berani menggoda Alea.
"Oya, Al. Soal Kafka, kau sudah bicara padanya?"
"Nanti, Del," jawab Alea lemah.
"I hope, everything will be okey, Al."
"Thanks, Del."
Alea tersenyum tipis kemudian kembali menatap layar komputernya.
***
Berkali-kali Kafka menatap ke ujung jalan. Sudah lewat limat belas menit dari waktu yang dijanjikan. Namun belum ada tanda-tanda kedatangan Alea. Kafka mendesah resah. Ia turun dari motornya lalu duduk di bangku panjang sebuah halte. Tanpa sadar ia menggerak-gerakkan kakinya, tanda gelisah yang teramat sangat.
Tepat setengah jam Kafka menunggu. Alea turun dari sebuah taxi yang berhenti tak jauh di depan Kafka. Ia segera menghampiri Alea.
"Maaf, aku membuatmu lama menunggu. Aku baru menyelesaikan pekerjaan yang tinggal sedikit, tanggung kalau dikerjakan di rumah," jelas Alea.
Sejenak tercipta keheningan. Alea sibuk mengatur kegugupannya. Begitu juga Kafka.
"Kita kemana?" tanya Kafka memecah keheningan.
"Kamu maunya kemana?"
"Bagaimana kalau kita ke rumahmu saja?"
Alea mengganggukkan kepala. Hanya butuh waktu setengah jam untuk sampai di apartemen Alea. Jangan tanya lagi kenapa karena sudah pasti Kafka melajukan motornya dengan kecepatan yang cukup tinggi.
"Kau mau minum apa?" tanya Alea seraya membuka lemari pendingin.
"Soda."
Alea mengeluarkan satu kaleng soda dan satu botol orange juice. Lalu duduk tepat di samping Kafka yang kini duduk di sofa.
"You wanna say something?" tanya Alea seraya menyodorkan sekaleng soda.
"Ya. Kamu kemarin menelfonku lalu mematikan sebelum aku sempat ngomong 'Halo'. Kau baik-baik saja, kan?"
Alea terpaku. Ini bukan mimpi. Laki-laki yang kemarin dilihatnya sedang mengangkat telfon itu benar Kafka-nya.
"Apa yang kau sembunyikan dariku, Kaf?" cecar Alea dengan tatapan tajamnya.
"Al, biar ku jelaskan.."
"Sekarang aku tanya, apa benar yang kemarin di restoran jepang itu kamu?"
Kafka terdiam beberapa saat.
"Ya," jawabnya lirih.
"Apa benar, kau sebenarnya sang eksekutif muda itu dan kau bukan senior accounting seperti yang pernah kau ceritakan padaku?" tanya Alea dengan suara bergetar menahan sesak.
Kafka tercekat. Secepat inikah waktu membongkar semuanya? Ia tak percaya. Lalu darimana Alea bisa tau? Bukankah ia sudah berusaha menutup rapat-rapat identitas dirinya yang sebenarnya. Adel! Ia melupakan sesuatu. Perempuan itu kan pernah dikenalkan padanya oleh Maura?
"Kaf.."
"Ya. Akulah Aditya Kafka pemilik Aditya Group yang baru ku rintis tiga tahun lalu," ucap Kafka serak.
Terjawab sudah semuanya. Alea tak mampu lagi menahan sesaknya. Ia biarkan air mata mengotori wajahnya. Ia kecewa? Iya, teramat sangat. Kenapa ia harus mencintai seorang laki-laki pembohong?
"Al, maafkan aku. Tadinya kupikir dengan begitu aku akan mendapatkan cinta yang sebenarnya. Bukan karena uangku atau jabatanku. Yang aku ingin ketulusan bukan kemunafikan."
"Buat apa, Kaf? Buat apa kalau kau memulai semuanya dengan setitik kebohongan?!" tanya Alea dengan suara seraknya.
"Iya, aku tau. Aku salah. Aku hanya tau inilah cara satu-satu nya untuk mendapatkan sebuah cinta yang tak pernah kudapat selama ini. I need a true love. I got it from you. You give me a love, a peace and everything that I want. Tanpa aku mengemis terlebih dahulu."
Lebih dari itu, aku juga butuh waktu untuk kembali mempercayai bahwa cinta itu ada, benar-benar ada. Bukan hanya singgah sementara, lanjut nya dalam hati.
Alea terdiam, menghapus bersih air matanya. Batinnya bertanya kenapa ia harus kecewa?
"Alea, kau mau maafin aku? Kita mulai semuanya dari awal. Aku sebagai diriku sendiri dan kau tetap sebagai Alea yang ku kenal," pinta Kafka.
"Masih banyak yang jauh lebih pantas berada di sampingmu, Kaf. Jangan aku."
Kafka menggeleng, menempelkan telunjuknya di bibir Alea.
"Nothing else. Just you, my Baby. Kamu ingat janji kita? Apapun yang terjadi.."
"Kita akan selalu bersama," lanjut Alea lirih.
Kafka mengangguk, meyakinkan Alea. Tatapan dewa itu membuat Alea lebur dalam pelukannya hanya dalam hitungan detik. Kehangatan perlahan menyelimuti batinnya. Apa ini cinta? Orang bilang cinta selalu memaafkan. Apa ini benar-benar cinta?
Kafka merenggangkan pelukannya. Kedua tangannya merangkum wajah Alea. Matanya menatap Alea lembut. Alea memejamkan matanya ketika Kafka menyatukan hidungnya lalu mencium lembut bibir manis Alea selama beberapa detik.
"I love you more, Baby," desah Kafka seraya melepaskan ciumannya dan diakhiri dengan mengecup kening Alea.
"I love you too, my man," ucap Alea tanpa suara.
***
Alea terbangun saat merasakan sebuah sinar menyilaukan matanya yang terpejam. Ia menggeliat. Sejenak dirasakan ada sebuah tangan yang mengusap lembut pipinya. Alea mengerjabkan matanya. Sebuah senyum menyambutnya.
"Good morning, Baby."
Alea terbangun, mulutnya menguap. Ia meraih ponselnya.
"Ini jam sembilan pagi, Al. Come on, wake up! Buruan mandi karena hari ini waktunya kita bersenang-senang," ucap Kafka seraya menarik selimut Alea dan melipatnya.
Alea mendengus kesal karena acara tidur sehariannya berhasil digagalkan oleh Kafka. Ia segera bergegas ke kamar mandi.
Kafka hanya tertawa sambil merapikan tempat tidur Alea yang cukup berantakan. Setelah itu ia bergegas ke dapur membuat dua tangkup roti bakar untuk sarapan dan menuangkan dua gelas susu.
"Kurasa kau cocok jadi bapak rumah tangga, Kaf," ejek Alea sambil bergelayut manja di lengan Kafka.
"Tidak masalah selama kamu berada di sisiku," ucap Kafka mengerlingkan matanya.
Alea tertawa, mencium pipi Kafka ringan lalu mengambil duduk menanti Kafka yang sedang membereskan dapur bekas ia membuat sarapan. Alea tertawa kecil ketika sudut matanya menangkap Kafka yang sedikit salah tingkah.
"Okey, Let's enjoy our breakfast, Baby," ucap Kafka sambil duduk di depan Alea.
***
"Kita mau kemana, Kaf?" tanya Alea di sela kesibukannya membereskan piring kotor bekas sarapan barusan.
"Puncak." Jawab Kafka yang kini tengah bersantai di sofa dengan gadget-nya.
"Puncak?!" desis Alea.
Keningnya terlipat. Sejenak ia memikirkan sesuatu kemudian ia tersenyum lebar. Ia melirik Kafka yang mengenakan sweater abu-abu dan celana jeans biru donker. Ia segera bergegas ke kamarnya membongkar isi lemari pakaiannya.
"Ganti baju mu." ucap Alea seraya menyodorkan T-Shirt putih dan celana cream selutut milik Kafka yang sengaja ditinggal beberapa waktu lalu.
Kafka mengernyitkan dahinya.
"Al, kita kan mau ke puncak bukan ke pantai," ujar Kafka mengingatkan.
"Ya, aku tau. Ganti baju mu!"
"Puncak masih sama kayak sebelumnya, dingin di sana, Al."
"Aku masih ingat jelas, Kafka. Lekas ganti baju mu. Oya, kau pikir hanya kau yang punya ide gila?" cibir Alea.
Kafka menatap punggung Alea yang sedang berjalan menuju ke kamarnya. Ia tertawa lirih mengingat ide konyol Alea. Selang beberapa menit Alea keluar dari kamarnya. T-shirt polos lengan panjang berwarna putih melekat pas di tubuhnya. Kafka juga sudah berganti kostum.
"Al, kau yakin tidak masalah dengan baju mu?"
Alea hanya menggeleng.
"Tidak pakai jaket!" ucap Alea ketika Kafka bersiap mengeluarkan kalimatnya.
Kafka terdiam pasrah. Ia segera menyambar kunci mobilnya.
"Siapa bilang kita ke sana naik mobil." ucap Alea sambil memakai sepatu keds-nya.
"Terus?"
"Dari sini kita naik kereta. Lalu di sana kita naik angkutan umum."
"Al, jangan gila. Nanti kita nyasar, Al." geram Kafka.
"Kan kita bisa numpang tanya sama orang-orang sana."
"Alea, I'm seriouse!"
"I'm double seriouse, Kafka."
Kafka menyerah. Ia mendesah sambil mengikuti langkah Alea.
***
Petualangan yang cukup seru bagi Kafka. Ia baru kali ini bepergian naik angkutan umum. Dan ia juga baru kali ini menemui gadis yang luar biasa gila-nya. Tak henti-hentinya Alea membuatnya sakit karena terlalu banyak tertawa dengan sikap konyol Alea.
"Huhft, kita sampai." ucap Alea menjejakkan kakinya di hamparan kebun teh.
Tangannya direntangkan lebar-lebar. Alea memejamkan matanya menikmati hembusan angin puncak, udara yang segar dan rasa sejuk yang mulai menelusup di tubuhnya.
Al, hari ini kau lebih cantik dari biasanya. bisik Kafka dalam hati sambil menatap Alea yang tengah asyik menikmati angin puncak.
"Kenapa kau menatapku seolah aku es krim yang siap kau lumat habis?" tanya Alea sambil mengernyit curiga.
Kafka tersentak. Rupanya ia terlalu asyik melamunkan Alea.
"Hey, Kaf. Sedang apa?" sapa seorang perempuan dengan mata berbinar-binar.
Perempuan itu cantik bak model, kulitnya eksotis. Alea mencoba mengingat-ingat siapa perempuan yang kini sedang berbincang sok akrab dengan Kafka.
"Iseng saja liburan akhir pekan. Kamu sendiri?" tanya Kafka ramah.
"Iya. Tadinya aku berniat mengajakmu tapi aku tau kau selalu sibuk dengan bisnismu, jadi mana mungkin kau ada waktu untuk sebuah acara dadakan," ucap perempuan itu dengan suara lembut nan merdu tanpa mempedulikan keberadaan Alea di samping Kafka.
Kafka tertawa renyah. Keduanya semakin asyik tenggelam dalam obrolan. Alea mendengus kesal menyadari betapa tidak pentingnya dirinya. Ia lalu beranjak meninggalkan mereka dengan umpatan-umpatan yang tak jelas.
"O, God! She is Maura, right?!" ujar Alea pada dirinya sendiri tentang perempuan tadi, sambil terus melangkah membelah rimbunnya kebun teh.
"Alea!! You're here? What are you doing? Dengan siapa kau ke sini?"
Suara itu tak asing baginya. Terdengar langkah kaki yang berusaha mengejarnya. Alea membalikkan badannya. Oh, God! Dunia sempit sekali!! umpat Alea dalam hati.
"Adam! Lagi-lagi kamu. Kamu selalu ada dimana-mana!!"
"Itu tandanya kita jodoh, Al." ucapnya sambil menyeringai.
"Iya, buatmu. Tapi tidak buatku!"
Alea segera bergegas pergi. Langkahnya semakin dipercepat ketika Adam berusaha menjajari langkahnya.
"Al, kau belum jawab pertanyaanku."
"Pertanyaan yang mana?"
"Kau ke sini dengan siapa?"
"Bukan urusanmu!"
"Kalau laki-laki jelas menjadi urusanku." tegasnya tak mau kalah.
Alea menggeram kesal, membalikkan badannya dan menatap Adam seakan ingin menelannya mentah-mentah.
"Kau, pria sinting! Bukan urusan kau, aku mau jalan sama siapa! Kau bukan siapa-siapaku, Adam!! Huft!!" jerit Alea histeris.
Adam memejamkan matanya dan menutup kedua telinganya rapat-rapat, mendengar teriakan Alea yang entah mencapai berapa oktaf. Alea mendengus kesal. Kemudian meninggalkan Adam yang masih terpejam.
Satu jam berlalu, Alea menatap miris ponselnya. Tak ada pesan ataupun telfon dari Kafka untuk menanyakan keberadaannya. Ia terduduk di sebuah batu di bawah rimbunnya kebun teh. Liburan yang sangat menyebalkan! umpat Alea. Ia sadar, ia sudah cukup jauh meninggalkan Kafka bersama perempuan itu.
"Kafka!! Kau amat sangat keterlaluan!!" geram Alea.
"Huh, akhirnya kita bertemu lagi." ucap Adam sambil duduk di samping Alea.
"Adam, aku boleh nangis?" tanya Alea dengan wajah sendunya.
Adam menatap Alea bingung dengan perubahan sikap Alea yang tiba-tiba.
"kau kenapa?" tanya Adam.
"Huuu..."
Alea tidak menjawab. Ia malah menangis keras, tak peduli orang menganggapnya idiot. Adam mengulum senyum, menatap Alea. Dalam tangis pun Alea masih menyisakan kelucuannya.
"Aku.. mau.. pulaaang. Huuu.." ucap Alea patah-patah disela tangisnya.
"Bagaimana kalau kita ke kebun strawberry? Sekitar tiga kilo dari sini. Kau bisa makan strawberry sepuasnya di sana. Dan ku rasa kau akan cepat melupakan tangismu."
"Kebun strawberry?" gumam Alea.
Tangisnya terhenti. Adam dapat melihat perubahan sorot mata Alea yang kini langsung berbinar-binar.Alea berdiri lalu menarik tangan Adam. Ia melupakan perseteruan tak jelasnya dengan laki-laki ini. Entah setan apa yang tengah merasuki Alea.
"Ayo, kita ke sana!"
Begitu sampai lokasi, mata Alea membulat takjub melihat hamparan strawberry yang masih melekat di pohonnya. Merah, ranum sangat menggoda lidahnya.
"Kau suka strawberry?" tanya Adam.
"Iya. Semua makanan yang berbau strawberry aku suka." jawab Alea dengan semangat.
Alea segera bergegas memetik satu per satu sambil bersenandung ceria. Adam hanya memperhatikannya dan membiarkan Alea tenggelam mengalihkan kesedihannya pada strawberry. Nyatanya tangis mampu mendekatkan Alea padanya. Adam cukup senang, setidaknya untuk hari ini. Baginya itu lebih dari cukup.
"Adam!! Apa kau tak tergoda dengan ini?" teriak Alea yang sudah cukup jauh di dalam sana, menunjukkan satu keranjang strawberry yang hampir penuh.
"Ya! Aku sedang mengambil keranjang satu lagi untukmu!!"
"Okay, aku tunggu di sini." ucap Alea sambil kembali memetik buah strawberry.
***
Kafka tersadar ketika cacing-cacing di perutnya berdemo meminta jatah makan siangnya. Ia melirik arloji di tangannya. Sejenak ia melotot, melihat jam di tangannya. Jam dua siang.
"Alea?!!" desis Kafka ketika tak mendapati Alea di sisinya.
Kafka mulai gusar. Ia segera menelpon Alea. Maura menatap Kafka bingung ketika Kafka terlihat cemas dan sesekali mengeluarkan umpatan.
"Kaf, kau kenapa?"
Kafka hanya menggeleng tanpa mengalihkan perhatiannya pada ponselnya.
"Angkat, Al." geram Kafka ketika telfonnya selalu diabaikan.
Ia menyesali kebodohannya, melupakan Alea karena terlalu asyik mengobrol dengan Maura. Ia pikir Alea akan mengikuti langkahnya menyusuri kebun teh ini.
Sementara itu Alea tengah riang menikmati makan siangnya dengan Adam di sebuah rumah makan yang berada di dalam area wisata kebun strawberry. Ia sengaja mengabaikan telfon Kafka karena ia masih kesal dengan laki-laki itu.
"Setelah ini kau mau kemana?" tanya Adam.
"Aku tak tau mau kemana. Aku tak tau daerah ini."
Adam melirik jam tangannya.
"Masih cukup. Well, bagaimana kalau kita ke air terjun? Tak jauh dari sini. Di sana ada taman kupu-kupu. Kurasa kita masih punya waktu cukup karena jam empat taman itu closed."
"Apa akan ada banyak kupu-kupu di sana?"
Adam mengangguk yakin. Mata Alea berbinar-binar.Ia segera menyelesaikan makan siangnya.
Alea, kau sungguh sangat menggemaskan, gumam batin Adam seraya menatap Alea yang tengah lahap menikmati makan siangnya.
***
"Kaf, apa tidak sebaiknya kita makan siang dulu?" ujar Maura.
Kafka menggeleng. Ia hanya ingin menemukan Alea. Antara rasa bersalah karena mengabaikan Alea tadi pagi, kesal dan marah karena Alea mengabaikan telfonnya.
"Acara liburan yang buruk. Shit!!" umpat Kafka.
"Kaf, kamu kenapa sih?"
"I lost my girl!"
Maura menatap Kafka tak percaya. Ia mengulum senyum. Jadi gadis pas-pasan tadi pacar Kafka? Oh, Kafka. Seleramu itu sangat jauh dibawah standar. Gumam Maura dalam hati.
"Aku tak menyangka ternyata seleramu jauh berbeda. Kaf, kau kan ganteng. Model pun kalah. Uang banyak. Jabatan jangan ditanya. Aku yakin banyak wanita perfect yang mengantri untukmu."
Termasuk aku tentunya, batin Maura melanjutkan. Kafka hanya menyeringai.
"Kau sendiri, kau cantik. Manager sekaligus foto model. Kenapa kau masih single. Tentunya banyak pria tampan yang menawarkan cintanya untukmu." balas Kafka.
"Aku menunggu seseorang. Menunggu cintanya."
Kafka menyipitkan matanya.
"Oya? Siapa yang tengah kau taksir?"
"Ada. Nanti kau juga tau, Kaf."
"Nanti kalau sudah, kau kenalkan padaku."
Maura mengulum senyum. Bagaimana jika orang itu adalah kamu, Kaf. Bertahun-tahun aku mencarimu, memendam perasaanku padamu. Bisik hati Maura seraya menatap Kafka sendu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top