Dua Belas

"Aku tidak selingkuh, kan? Adam, aku tidak selingkuh, kan?"

Adam yang tengah membereskan berkasnya terkejut dengan kedatangan Alea dengan tangisnya. Ada apa lagi dengan gadis itu?

"Kau kenapa?" tanya Adam khawatir, mendekati Alea.

"Katakan aku tidak selingkuh kan?" jerit Alea parau.

Adam mengangguk seraya merengkuh Alea dalam pelukannya. Ia mengerti kenapa Alea menangis lagi.

"Sshh.., tenanglah kau tak pernah selingkuh. Apa pria itu yang menuduhmu selingkuh?"

Alea mengangguk lemah.

"Apa perlu aku menghajarnya?"

Alea hanya menggeleng. Bagaimanapun juga ia tak rela melihat pria yang pernah mengisi hari-harinya, ada yang menyakitinya. Ia tak mampu membenci pria itu meski sakit yang ia dapat meluluh lantakkan perasaannya.

"Tenanglah, kamu tidak selingkuh," bisik Adam menenangkan, membimbing Alea menuju ke sofa.

Sementara itu Adel menghampiri Kafka yang kini terduduk lesu. Ia tak mengejar Alea karena ia yakin Alea akan baik-baik saja bersama Adam.

"Boleh aku bicara padamu?"

Kafka menoleh lalu tersenyum tipis.

"Ada apa kau dengan Alea?"

"We're done." ucapnya lirih.

"Kau kembali ke duniamu? Kurasa Maura telah berhasil mengembalikanmu. Kaf, kalau saja kau tak membuatnya kecewa, ia tak akan membiarkan Adam membuatnya tersenyum. Adam memang mencintainya tapi ia tau Alea hanya milikmu. Ia dekat dengan Alea hanya sebatas janji bahwa ia akan selalu ada untuk Alea. Baginya itu lebih dari cukup."

"Tapi mereka.."

Adel menggeleng, mematahkan argumen Kafka.

"Tidak selingkuh, Kaf. Aku tau mereka. Kafka, sekarang pikirkan baik-baik sebelum kau terlalu jauh dengannya karena itu akan sulit untuk membawanya kembali jika tiba saat nanti kamu menyadarinya."

Kafka termenung. Apa ia harus percaya omongan Adel? Apa ia harus mengikuti egonya? Ia hanya terdiam menatap kepergian Adel.

***

Waktu semakin membawa Kafka pergi jauh darinya. Tapi bukan berarti ia tak tau kabar tentang Kafka. Beny sering mendatanginya, memintanya untuk membawa Kafka kembali. Alea menghela nafasnya mengingat kembali percakapannya dengan Beny beberapa hari lalu.

"Tolong bawa Kafka kembali, aku tidak ingin melihatnya hancur berantakan. Hanya kamu yang mampu membuatnya kembali, Alea."

Alea hanya menggeleng lemah. Ia memang mencintai pria itu lebih dari benci atas sakit yang ia dapat. Tapi ia mengerti dan ingat tentang ketakutannya dulu bahwa cepat atau lambat waktu akan membawa Kafka pergi.

"Hanya waktu yang bisa membawanya kembali, Ben."

"Kapan? Apa harus menunggu sampai ia menyesal karena menyadari kau tak akan ada lagi untuknya?"

"Saat ia kembali mengingat kembali janji nya."

Ia semakin tenggelam dalam lamunnya. Apa yang bisa ia lakukan? Ia hanya bisa menangis di pelukan Adam yang setia mendengarkan rintihan batinnya. Meski kadang kedekatannya dengan Adam menggoda para penggosip untuk kembali berkoar seperti kali ini.

"Alea tak tau diri. Bisa-bisanya menggaet bos Adam setelah putus dari Mr. Aditya!"

"Tak punya malu!!"

Alea memejamkan matanya yang mulai memanas karena ocehan-ocehan miring tentangnya yang semakin menyakitkan. Ia seperti dihujani ribuan jarum.

Aku sudah tidak sanggup lagi. Ini semua menyakitkan. Teramat menyakitkan, batin Alea.

Ia terus menenggelamkan wajahnya, menatap komputernya. Jemarinya gemetar menekan tombol-tombol keyboard. Sekuat tenaga ia menahan air matanya agar tak luruh.

Kurang lima belas menit dari jam lima. Alea segera bergegas meninggalkan meja kerjanya. Ia sudah ingin pulang sejak tadi sebenarnya.

"Alea!!" panggil Adel.

"Aku ke toilet dulu. Kau tunggu saja di Lobby." sahut Alea tanpa menghentikan langkahnya.

Adel segera membereskan berkas-berkas di mejanya lalu menyambar tasnya untuk segera pulang. Tak lama Alea kembali dari toilet, menyusul Adel yang telah menunggunya di Lobby.

Entah kebetulan atau di sengaja, saat Alea sampai di Lobby, Kafka keluar dari ruang kerjanya bersama Maura. Hatinya mencelos seketika. Apalagi saat melihat perempuan itu bergelayut manja di lengan Kafka. Kafka terlihat tak masalah dan tak peduli.

"Kuatkan hatimu, Al. Kau gadis yang tegar." bisikan Adel di telinganya menggugah kesadarannya.

Alea hanya tersenyum getir. Sampai kapan aku harus berpura-pura kuat? batin Alea.

"Waktu akan membawanya kembali padamu," hibur Adel memberinya kekuatan.

"Heheh.."

"Buktikan kalau kau baik-baik saja."

"Tapi.."

"Come on! Kau bisa, Alea!!"

Belum sempat berucap, Adel sudah menarik tangannya untuk melangkah. Tanpa sengaja tarikan paksa Adel membuatnya menyenggol Kafka.

"Maaf." ucap Alea tanpa menoleh.

Kafka terdiam. Jauh di dalam hatinya ia sangat merindukan gadis itu.

"Kafka! Ada yang ingin aku bicarakan!!" ucap Beny dengan nafasnya yang naik turun.

Maura mendengus kesal pada pria itu. Pria itu selalu saja mengganggu kebersamaannya dengan Kafka.

"Empat mata!!" lanjut Beny.

"Okay, dimana?"

"Ikut aku."

Kafka mengikuti langkah Beny menuju ke mobilnya, meninggalkan Maura tanpa sepatah kata. Tak lama Beny melajukan mobilnya. Tak peduli dengan Kafka yang menatapnya bingung.

Taman kota. Tempat yang tak asing baginya. Sedikit sesak kembali menelusup di relung batinnya. Tempat ini mengingatkannya dengan gadis itu.

"Untuk apa kau mengajakku ke sini?" tanya Kafka serak.

Beny hanya mengulum senyum. Ia terus melangkah. Dalam hatinya ia berkata, aku akan mengembalikan Kafka yang baik bukan yang kembali arogan seperti dulu. Tiba di sebuah bangku ia berhenti, duduk. Kafka masih tak mengerti dengan sahabatnya ini.

"Cinta seharusnya membuatmu berpikir panjang bukan malah membuat hidupmu yang sudah rapi menjadi berantakan seperti ini." ujar Beny.

"Maksudmu?"

"Kau akan menyesal kalau kau menuruti egomu. Terlebih saat kau menyadari bahwa kau telah jauh meninggalkan sumber kekuatanmu."

Kafka tersenyum sumbang.

"Tau apa kau tentang cintaku, Ben."

"Bukankah kau dulu yang bilang, kau tak ingin kehilangannya. Kau takut dia meninggalkanmu?"

"Nyatanya dia meninggalkanku bersama pria itu." Kafka mengembuskan nafasnya pelan.

"Kau salah paham, Kaf. Beberapa waktu lalu aku menemui pria itu. Ia pria yang baik. Tulus mencintai Alea. Ia tak pernah mengharap Alea membalas cintanya. Baginya Alea baik-baik saja itu cukup membuatnya bahagia. Kau kalah jauh dengannya. Apa kau mau Alea benar-benar menjadi miliknya?"

"Aku kalah baik?" desis Kafka menyipit.

"Ya, kau kalah baik. Ia tak peduli dengan perih yang ia tanggung saat melihat Alea tertawa bersamamu, terlelap dalam pelukanmu bahkan menangis karenamu. Ia hanya ingin selalu ada untuk Alea. Menguatkannya, meyakinkannya."

Sejenak ia terdiam. Ia seperti terhempas dari ketinggian. Matanya terpaku saat melihat Alea berjalan menyusuri jalan setapak taman kota lalu berhenti duduk di bangku tepat di bawah rindangnya pohon akasia. Tempat favorit saat mereka bersama. Tampak Alea tersedu seorang diri.

"Ia selalu ke sini setelah pulang kerja, melepaskan sesaknya." ucap Beny.

Kafka beranjak mendekati gadis itu. Langkahnya terhenti beberapa meter di belakang gadis itu.

"Aku terlalu naif. Berpura-pura kuat di hadapan mereka. Nyatanya aku kembali berantakan saat sendiri." isaknya lirih.

Ia menundukkan wajahnya. Air matanya berjatuhan membasahi pangkuannya.

"Kau telah kembali. Sejak awal aku tau suatu saat kau akan kembali pada duniamu, meninggalkanku. Namun aku selalu menepis semua itu. Aku terlalu percaya pada janjimu. Aku melupakan ketakutanku tentangmu. Sekarang... kau benar-benar pergi. Aku tak menyangka waktu begitu cepat membawamu kembali pada duniamu.."

Alea menegakkan wajahnya. Matanya terpejam. Sesaat ia menarik nafas panjang.

"Apa kau juga telah melupakan janjimu? Kau meninggalkanku tanpa alasan yang jelas. Melimpahkan kesalahan padaku yang tak pernah aku mengerti..."

Ale kembali terdiam. Tangisnya semakin dalam.

"Padahal seharusnya aku menyalahkanmu yang membiarkan perempuan itu hadir kembali di hidupmu. Perempuan itu yang membawamu kembali secara halus. Tapi.. aku tau, Kaf..." Alea terdiam sejenak. Menarik nafasnya yang kembali terasa begitu sesak. "...Itu memang duniamu. Aku tak mampu membuatmu untuk tetap bertahan. Kau hanyalah kenangan manis yang takkan mungkin bisa ku lupakan. Aku akan berusaha menerima kenyataan. Terlebih jika kau memang telah melupakan janjimu."

Kafka terdiam terpaku. Tubuhnya gemetar. Ingin rasanya ia memeluk erat gadis itu. Namun kakinya seakan terpatri di tempatnya berpijak. Ia mendengar jelas semua rintihan Alea. Sisi batinnya ikut merintih perih. Kini ia tersadar. Ia telah sangat salah melimpahkan kesalahan yang tak jelas. Cemburu. Ya! Ia baru menyadari bahwa ia telah cemburu pada laki-laki itu. Tapi ia sendiri tak melihat dan tak menyadari bahwa Alea berusaha menelan sendiri sesaknya saat Maura ada bersama Kafka. Ia mengumpat kebodohannya.

"Wait for me, Baby. I'll be right back to marry you." batinnya.

Ia bergegas kembali menghampiri Beny yang menyambutnya dengan senyuman.

"Bagaimana?" tanya Beny.

"Aku akan membuat Maura menyesal dengan caraku sendiri."

Beny menepuk bahu Kafka. Setidaknya ini awal yang baik untuk membuat mereka kembali bersatu.

***

Kafka melangkah ragu-ragu memasuki lorong apartemen. Apa gadis itu sudi membukakan pintu untuknya? Kafka memejamkam matanya. Tangannya terulur untuk mengetuk pintu. Namun tertahan kembali.

"Kau mau apa?" sebuah suara terdengar serak di belakangnya.

Kafka membalikkan badannya. Gadis itu ternyata baru pulang.

"Masuklah." ucap Alea seraya membuka kunci pintu.

"Kau mengijinkanku?"

"Bukankah dulu kau sering masuk sesuka hatimu?"

Kafka terdiam, tersenyum kecut. Ia sedikit ragu untuk masuk.

"Al..."

Alea menarik napasnya dalam-dalam, menata kembali pertahanan hatinya yang sempat terberai. Kemudian menyunggingkan senyumnya.

"Tak apa. Masuklah kalau kau berkenan."

"Terimakasih."

Akan ku buat kau kembali mengingat janjimu, Kaf. Kalau saja Beny tak menemuiku beberapa waktu lalu, memintaku untuk menjaga jarak dekatku padamu mungkin aku akan menuruti egoku, kesakitanku. Tapi aku berusaha untuk melupakan sejenak sakitku agar kau tak benar-benar jauh dari jangkauanku.

"Al, aku minta maaf atas.."

"Kau tak perlu meminta maaf, Kaf selama janji itu masih melekat di hatimu."

"Apa kita bisa bersama lagi?"

"Selesaikan dulu urusanmu dengan perempuan itu. Jangan gegabah, cintamu tak pernah jauh darimu."

"Terimakasih, Alea."

Janjiku selalu melekat erat di hatiku, Alea. Ku mohon jangan pernah jauh dariku. Aku akan segera kembali untukmu. Aku akan membuat Maura menjauh dariku dengan caraku sendiri.

***

Kafka belum benar-benar meninggalkan dunia malamnya meski berkali-kali ia bilang pada Beny bahwa ia menyesali kebodohannya. Beny sedikit tak mengerti dengan jalan pikiran pria itu.

"Jangan cemas, jika sudah tiba saatnya ia pasti akan kembali."

Kata-kata Alea beberapa waktu lalu memaksanya untuk bersabar mengendalikan Kafka. Ini sudah genap satu bulan kembalinya Kafka pada dunia malam itu. Beny menghela nafasnya.

"Kehancuranmu semakin dekat, Kafka." Beny bergumam sendiri mengingat bagaimana Kafka akhir-akhir ini.

"Tidak akan, Ben. Ia pria yang cukup tanggungjawab."

Beny memutar tubuhnya. Sebuah senyum hangat menyambutnya. Ah, kau! Kalau saja boleh aku sungguh ingin memilikimu!!

"Maaf, membuatmu menunggu lama." ucapnya.

Beny tersenyum, tak masalah. Lalu ia mempersilakan gadis itu untuk duduk dan mengangsurkan sebuah buku menu.

"Lemonade ice saja." ucap gadis itu mantap.

Sejenak keduanya hening.

"Apa kau mau menunggu cintamu kembali, Alea?"

Alea termenung untuk beberapa saat. Kemudian ia menyesap minumannya, membasahi tenggorokannya yang terasa kering tiba-tiba. Kemudian ia tersenyum begitu sudah merasa lebih baik.

"Apapun yang terjadi kita akan selalu bersama, itu janjinya. Meski aku tau bisa saja dia melupakan janji itu dengan mudahnya. Sekarang aku berpikir, jika cinta meninggalkanmu hanya ada dua kemungkinan, ia akan kembali karena ia cinta sejatinya atau itu sebuah pertanda bahwa akan ada yang lebih baik untukmu."

"Kata-katamu ada benarnya juga."

Alea menjawabnya dengan tawa kecilnya. Ia menggeleng pelan, sebenarnya ia juga tidak mengerti kenapa ia bisa mengatakan itu.

"Oya, Ben. Ini ponsel Kafka yang tertinggal di apartemenku beberapa waktu lalu saat ia tengah mabuk."

Alea menyodorkan ponsel itu.

"Terimakasih, Alea. Aku akan membuatnya benar-benar menyesal telah meninggalkanmu."

"Tidak perlu. Maura jauh lebih sebanding dengan Kafka, bukan? Kurasa mereka cocok."

"Ia hanya akan menghancurkan Kafka, Al."

"Kafka pria yang tangguh. Tak semudah itu bisa ia hancurkan."

"Kau selalu memuji Kafka meski kau tau pria itu telah membuatmu terpuruk selama dua bulan ini."

Alea hanya tersenyum tipis. Bagaimanapun juga Kafka telah banyak membuat hari-harinya berwarna. Kesakitannya tak sebanding dengan bahagia yang Kafka beri selama setahun lebih.

"I'm okay, Ben." ucap Alea di antara senyumnya. Meski tidak sepenuhnya baik, lanjut Alea dalam hati.

***

tbc

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: