Dua
Entah berapa kali Kafka merayu Alea untuk mengijinkan antar-jemput sampai di depan kantornya bahkan sampai ruang kerjanya kalau perlu. Namun Alea tetap tidak mengijinkan. Ia selalu meminta Kafka untuk menunggu di sebuah halte bis yang berjarak satu kilo dari tempat kerjanya. Alasannya, kantor Alea agak masuk dari jalan utama dan agak sulit untuk parkir mobil. Motor pun tetap tak dibolehkan. Alasannya, motor sport Kafka akan mengundang banyak perhatian rekannya dan ia tidak mau itu. Alea! Kafka menggeram frustasi dengan gadis itu. Selalu punya alasan untuk menolak.
Tepat jam lima. Kafka sudah duduk manis di atas motor sportnya di sebuah halte tempat biasa ia menunggu Alea. Selang beberapa menit Alea datang dengan ojek. Kafka hanya geleng-geleng kepala dengan sikap Alea yang tak mengenal gengsi.
"Hey, Kaf. Maaf, terlambat lima menit." ucapnya santai tanpa dosa.
"Ayo, naik."
Tak butuh waktu lama untuk sampai di apartemen Alea. Hanya setengah jam. Ya! Bisa saja. Karena Kafka melajukan motornya seperti orang kesurupan. Alea harus menahan napas dan tak berhenti berdoa agar Tuhan melindunginya.
"Kafka!! Kau sedang kesurupan, hah?!" maki Alea begitu sampai di apartemennya.
"Yang penting kita sudah sampai, kan?" ucapnya santai sambil memasuki lorong apartemen.
Alea mendengus kesal.
"Kau, aku kan yang punya rumah kenapa jadi kau duluan yang masuk. Okey, kau tak akan bisa masuk, Kaf karena kunci aku yang pegang!!"
Alea meneriaki Kafka yang kini sudah jauh melangkah. Kafka hanya tertawa mendengar teriakan Alea.
"No matter, Baby. Aku punya duplikatnya!!" balas Kafka dengan teriakan pula.
Alea segera berlari mengejarnya. Apa dia bilang? sungguh tidak sopan laki-laki ini, membuat duplikat kunci apartemennya tanpa ijin.
"Kau?!" geramnya tertahan.
Kafka memamerkan kunci yang kini digenggamannya. Lalu membuka pintu apartemen itu. Alea ternganga, menatap Kafka yang kini tersenyum penuh kemenangan.
"Kau tidak mau masuk?" tanya Kafka sambil melangkah masuk lalu menghempaskan tubuhnya di sofa merah, kakinya diangkat sebelah, berasa apartemen milik sendiri. Ingin rasanya ia mencekik pria itu saat ini juga.
"Apartemen ini masih milikku, kan?" desis Alea pada dirinya sendiri sambil melangkah masuk.
Dilihatnya kini Kafka tengah sibuk mengeluarkan semua isi tasnya. Alea mengerutkan keningnya.
"What are you doing, Kaf?"
"Bahan pasta," jawabnya singkat dan kalem.
Alea mendelik. Jadi ucapan Kafka tempo hari di telfon itu bukan sekedar becanda?! Kini Alea gelagapan.
"Kamu kan janji akan membuatkan aku pasta. Jadi, kau buatkan pasta sementara aku akan mandi. Badanku lengket semua. Pekerjaan tadi siang cukup membuatku mengeluarkan banyak keringat," ujar Kafka seraya bergegas ke kamar mandi.
Alea menatap bahan-bahan pasta dengan pasrah. Kalau bukan kekasihnya, Alea sudah memaki laki-laki itu.
Tepat selesai Kafka mandi, Alea selesai membuat dua porsi pasta. Kafka terkekeh, lalu didekatinya Alea yang tengah sibuk merapikan dapurnya yang sedikit berantakan tadi. Dipeluknya Alea dari belakang.
"Kafka!!" teriak Alea kaget.
Tubuhnya mendadak sedikit menegang saat Kafka memeluknya dari belakang dan mencium tengkuknya. Alea segera membalikkan badannya. Kafka meringis, lebih tepatnya tersenyum manis. Alea membelalakkan matanya ketika mendapati Kafka bertelanjang dada.
"Kau memelukku dengan bertelanjang dada? Dasar mesum!"
"Aku suka saat kamu marah seperti ini. Jadi terlihat lebih seksi," ucap Kafka dengan nada menggoda.
Alea mengerutkan keningnya ketika hidung Kafka menyentuh hidung kecilnya.
"I love you more, princess," bisik Kafka setelah mengecup lembut bibir manis Alea.
Tubuh Alea kini seperti tanpa tulang. Ia hanya mampu bersandar di dishwhaser sambil menatap punggung kekasihnya yang sedang menuju ke kamar untuk berganti pakaian. Bodoh! kenapa tadi tidak sekalian dibawa ke kamar mandi?! gerutu Alea.
Dua porsi pasta tersaji manis, menggoda di meja makan. Kafka sudah tak sabar ingin melahap habis pasta itu. Berkali-kali ia menyuruh Alea untuk mempercepat ritual mandinya. Seperempat jam berlalu, Alea muncul dengan tawa kecilnya.
"Maaf, lama," ucapnya sambil mengambil duduk di depan Kafka.
"Well, selamat makan. Cacing-cacing di perutku sudah demo sejak tadi," ucap Kafka tak sabar.
Mungkin kalau dihitung, tak sampai lima menit pasta itu sudah lenyap dari piring Kafka. Bahkan ia menyomot separuhnya lagi dari piring Alea.
"Kelihatannya kau sudah dua hari tak makan," sindir Alea.
"Sudah ku bilang pasta buatanmu selalu membuatku ingin nambah dan nambah lagi," ucap Kafka dengan mulut penuh pasta.
Alea hanya mengangkat bahu, menyodorkan pastanya ke hadapan Kafka. Tanpa banyak kata Kafka kembali melahap habis pasta itu. Alea hanya menatapnya jenaka. Laki-laki ini terkadang sinting, terkadang dewasa, terkadang menyebalkan dan terkadang pula seperti anak kecil. Seperti sekarang ini.
"Kaf, omong-omong kenapa kau bisa membuat kunci duplikat apartemenku? tanpa ijin pula."
Kafka meringis. Sejenak ia terdiam kemudian menyunggingkan senyum misteriusnya. Alea menatapnya penuh selidik.
"Kamu kan pernah menyuruhku mengambil sendiri barangku yang tertinggal dengan alasan kau sibuk lembur dan harus menginap di rumah temanmu untuk menyelesaikannya."
Alea mencoba mengingat-ingat kejadian itu. Rasanya ia tak pernah lembur sampai segitunya demi pekerjaan. Kembali Alea menatapnya curiga. Kafka menghela nafasnya.
"Ya ya ya. Aku sengaja mengambilnya malam itu sebelum aku pulang dan mengembalikannya pagi-pagi secara diam-diam saat aku menjemputmu."
"Kafkaaa... Kau, kali ini kau menyebalkan sekali!" geram Alea.
"Maaf," ucap Kafka dengan memasang tampang polosnya.
"Tidak untuk lain kali, Kaf. Lagi pula untuk apa coba?"
" Aku hanya ingin memastikan kalau kau tidak macam-macam selama tidak denganku. Just it! Aku tau ada banyak pria yang ingin memangsamu. I should protect you, Baby."
Kafka! geram Alea. Ia tak bisa berkata-kata lagi. Wajahnya kini merah padam karena menahan geram dan kesal.
***
Alea kembali menguap di depan meja kerjanya. Tadi malam ia tidur larut malam gara-gara Adam menelfonnya dengan obrolan yang tidak penting kalau menurut Alea. Untung saja Kafka datang pagi-pagi menjemputnya dan Alea masih tertidur pulas dibalik selimut tebalnya.
"Al, kau begadang tadi malam?" tanya Adel.
"Hm.." ucap Alea sambil menelungkupkan wajahnya ke meja kerjanya.
"Kau seperti orang mabuk yang menghabiskan satu botol vodka dalam sekali tenggak."
"Bisa kau bayangkan orang sinting menelfonku tengah malam hingga pagi buta?"
"Siapa?"
" Bos mu!"
Adel terbelalak. Sejak kapan bosnya, Mr. Adam El Pasha ada flirt dengan gadis menyebalkan ini? Rasanya tak mungkin. Adel tertawa.
"Kau tidak sedang mengigau, kan?"
"Tidak. Aku hanya mabuk. Sejak kapan aku bohong, Adelia Hermawan? ya, kecuali tentang Kafka, aku berhasil merahasiakannya darimu."
"Kurasa Mr. Adam syaraf otaknya ada yang putus sehingga ia tak dapat membedakan mana yang benar-benar perempuan baik-baik dan mana yang perempuan serampangan seperti kau, Al."
Alea mendelik. Seenaknya saja ia menghina Alea.
"Al, omong-omong aku masih penasaran dengan Kafka-mu."
Tak ada jawaban dari Alea. Adel mendengus kesal. Hanya dalam hitungan detik Alea sudah tertidur pulas.
***
Hampir satu jam Alea tertidur. Ia mengerjabkan matanya dan merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Seketika matanya terbelalak ketika mendapati Adam menatapnya geram tepat di depan meja kerjanya.
"Sejak kapan karyawan diperbolehkan tidur saat bekerja?!" tegur Adam.
"Sejak kau menelponku tengah malam hingga pagi buta hanya untuk sebuah obrolan yang tidak penting!" jawab Alea ketus.
"Kau selalu saja bisa berkilah," sahut pria keturunan jawa-pakistan itu tak mau mengalah.
"Ya. Sampai kau berhenti menggangguku, Adam!" ucap Alea seraya beranjak dari duduknya.
"Kau mau kemana?!"
"Kau selalu ingin tahu urusanku!"
"Al, wait! kita belum selesai bicara.."
Alea tak menghiraukan teriakan atasannya. Ia terus melangkahkan kakinya ke toilet untuk menghilangkan muka habis bangun tidurnya.
Terdengar bunyi telfon dari ponselnya. Kafka? Ada apa dia menelfon saat jam kerja?
"Ya, Kaf?"
"Kau pasti habis melanjutkan tidur mu." tebak Kafka.
"Hm.."
"Nanti makan siang aku tunggu di depan kantormu ya?"
"No! Harus berapa kali aku bilang, jangan pernah muncul.."
"Ya, aku tau. Lihat saja nanti. Memangnya kenapa kalau aku ke kantormu?" potong Kafka.
"Pokoknya jangan, Aditya Kafka!" teriak Alea kesal.
Terdengar suara tawa dari seberang telfon.
"Atau jangan-jangan kau punya laki-laki simpanan di kantormu dan kau takut ketauan saat aku main ke sana."
"Kau! Jaga mulutmu! Kau pikir aku perempuan macam apa, hah?! Menyebalkan sekali."
"Hehe. Ya ya aku tau. Give me a true reason, Al."
"Kita sama-sama tidak tau apa pekerjaan kita sebenarnya dan bagaimana tempat kerja kita. Jadi tidak ada alasan lain, Kafka."
"Ehem, kalau gitu nanti kalau sudah waktunya kau akan ku ajak ke tempat kerjaku."
"Baik. Aku juga begitu."
Klik. Alea sengaja memutuskan telfon dari Kafka.
***
Kafka. Kafka. Kafka. Alea menghela nafasnya dalam-dalam. Sudah beberapa hari Alea sibuk mencari informasi tentang Aditya Kafka. Tak satupun yang ia dapat. Alea menggeram frustasi. Ia hampir gila penasaran karena Aditya Kafka.
Bodoh! pacaran sudah setahun tapi tak banyak yang ia tau tentang Kafka. Mata Alea menyapu bersih setiap link di internet. Beberapa artikel mengulas sedikit tentang data diri Aditya Kafka. Damn!! bisa saja kan Kafka mengarang cerita padanya atau bisa saja para awak media mengarang informasi agar beritanya laku keras di pasaran.
Alea kembali menghela nafas panjangnya. Sebelah tangannya menopang dagunya, matanya tak lepas dari layar komputernya. Ia tak menyadari kehadiran Adam. Heran! Laki-laki ini tak bosan-bosannya menemui Alea ke meja kerjanya.
"Ah, mungkin saja ada banyak Aditya Kafka. Bukan hanya Kafka-nya yang bernama Aditya Kafka. Lagipula kenapa aku harus memikirkan omongan ngawur Adel. Alea, you are really stupid!" gerutu Alea.
Sebelah tangannya menopang dagunya. Tatapannya fokus tertuju ke komputer. Adam memicingkan matanya melihat Alea sebegitu seriusnya sampai-sampai ia tak menyadari kedatangan Adam sepuluh menit yang lalu.
"Al,.."
Alea terperanjat.
"Kau selalu mengagetkan ku!"
"Kau saja yang terlalu sibuk. Al, kau tak pulang? Aku antar ya?"
"Aku bisa pulang sendiri, Adam," tolak Alea sopan.
"Tapi aku ingin mengantarmu pulang."
Alea menggeleng cepat.
"Kenapa?"
"Aku ada urusan di luar setelah ini. Jadi ku harap kau mengerti."
"Okay, baiklah. Tapi lain kali kau harus mau."
"Kau memaksaku?" Alea menyipitkan matanya.
Adam menyeringai, " ya terpaksa karena kau tak bisa ku ajak kompromi."
"Untuk hal apa?"
"Untuk bersenang-senang denganku."
Alea bergidik ngeri. Ia tau Adam ada flirt dengannya dan ia rasa tak salah kalau ia mengambil keputusan untuk menjaga jarak dengan Adam. Alea segera mematikan komputernya dan membereskan tasnya lalu bergegas pergi sebelum Adam mengoceh lebih gila lagi.
Lagi-lagi pikirannya tak jauh-jauh dari Kafka. Ingin rasanya seharian menguntit Kafka untuk mencari tau tentang Kafka tapi segera ditepisnya jauh-jauh pikiran konyol itu.
Langkahnya gontai memasuki lorong menuju apartemennya. Tadi Kafka kasih kabar kalau ia harus lembur malam ini jadi tak bisa menjemput Alea. Tak masalah buat Alea, karena sebelumnya ia berniat mengabari Kafka untuk tidak menjemputnya karena Alea akan ke toko buku membeli novel terbaru.
Alea memicingkan matanya ketika melihat pintu apartemennya sedikit terbuka. Ia mencoba mengingat-ingat apa ia lupa mengunci pintu tadi pagi? Ah, rasanya tidak mungkin. Apa mungkin ia salah masuk lorong? Tidak juga. Perlahan Alea mendekati pintu dan memasukinya dengan berjingkat-jingkat.
"Ini masih rumahmu. Tak perlu kau melangkah seperti maling," tegur sebuah suara.
Alea tersentak. Ia berhenti menoleh ke sumber suara. Kafka? Ia mendapati Kafka bersandar di kursi meja makan. Malam ini Kafka memakai kaos polo sport biru donker pas melekat di tubuhnya dan celana crem selutut. Alea mengerjabkan matanya berkali-kali.
"Hantu Kafka?! Agh, mama ada hantu.." desis Alea dengan sedikit gemetar.
Kafka tertawa. Ia mendekati Alea yang masih berdiri mematung.
"Mana ada hantu sekeren ini," goda Kafka.
Alea menepuk pipinya, "its real."
Tangannya mencubit lengan Kafka yang kini merangkul pundaknya. Kafka meringis kesakitan. Kini Alea melotot kesal.
"Kau bilang kau lembur," sembur Alea
"Ssh, aku punya sesuatu untukmu," ucap Kafka seraya menggiring Alea ke meja makan.
Dua porsi lasagna tersaji menggoda di meja makan. Senyum Alea merekah, dihirupnya aroma lezat Lasagna itu dalam-dalam. Alea mengerling, sejak kapan Kafka pandai memasak?
"Kaf,.."
Kafka menatap Alea yang kini menatapnya penuh cinta.
"Terimakasih untuk kejutannya, my man."
Kafka tersenyum mengusap punggung tangan Alea dengan lembut, membisikkan 3 kata kebanggaannya, I love you.
"Okay, lets enjoy!!" ucap Alea dengan penuh semangat.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top