KASIH SAYANG TERAKHIR
Cerpen ini dibuat untuk project @theWWG terkhusus Gen 3 di hari spesial ini
Ayok maknai lebih dalam hari kasih sayang yang seharusnya bisa hadir setiap saat.
.
.
Happy Reading
.
.
Sebenarnya, aku tidak pernah menginginkan apa pun dari papa karena semenjak awal ia hanya menginginkan anak laki-laki sebagai perwarisnya. Aku lebih dulu lahir dari pada kakakku, tapi hanya untuk menguatkan kakakku sebagai pewaris sahnya, ia sampai rela membuat sebuah kepalsuan seperti ini. Papa tidak segera mendaftarkan aku sebagai anaknya, tapi mendahulukan anak dari wanita itu sebagai anak pertama.
Aku mengetahuinya setelah SMA, saat dihari mama meninggalkan dan dengan kejamnya papa membawa wanita itu masuk ke rumah kami. Mulai saat itu, aku memilih untuk pergi, lagi pula aku tidak memiliki siapa pun, termasuk seseorang yang disebut sebagai teman.
Setelah lebih dari sepuluh tahun telah berlalu, aku tidak ingin menemui siapa pun yang berasal dari masa lalu. Aku lebih sibuk melakukan pekerjaanku sebagai penulis, seperti hari ini saat aku sedang melakukan pertemuan dengan editor yang akan mengedit naskahku, aku bertemu dengan mereka bertiga. Adam dan Leo yang sepertinya sedang menunggu seseorang, mereka bisa dibilang mantan teman masa lalu.
"Alexa!" sapa Adam yang kini seenaknya duduk ketika aku harus melakukan meeting dengan editorku.
"Kita bertemu setelah beberapa tahun lamanya," seru Leo yang juga seenaknya duduk begitu saja.
Aku merasa tidak enak pada editorku yang cukup serius ingin membahas naskahku. Aku pun menatap kak Deva yang tersenyum menyuruhku untuk menyelesaikan urusan dengan mereka berdua.
Aku mendesah dan mereka berdua seolah menunggu sesuatu yang akan aku katakan. "Maaf, saya tidak mengenal kalian dan saya juga sedang ada meeting, jadi silahkan kalian pergi dan jangan mengganggu saja lagi," ucapku dengan tegas. Keduanya terlihat saling memandang dan menatapku kemudian dengan ketidak percayaan.
"Apa kamu sedang bercanda? Kami saja ingat, meskipun sudah lama tidak bertemu," kata Adam dan aku pun menggeleng.
"Maaf, saya benar-benar tidak-"
"Adam! Leo!" Suara itu, membuat kami menoleh dan ia adalah kakak yang seharusnya menjadi adikku berjalan bersama Fela. Bersamaan dengan itu pula, mereka terkejut melihat kehadiranku.
"Kak Dev, sepertinya kita pindah ke tempat lain saja. Di sini tidak terlalu kondusif," kataku.
"Benar, ayok!" ajaknya yang segera berdiri dan aku pun melakukannya.
Aku tidak mengerti kenapa kami bisa saling bertemu seperti ini. Masa lalu yang seharusnya ku lupakan, kini datang mengelilingiku dengan tidak tahu diri. Seolah mereka mengharapkan sesuatu padaku yang tidak tahu apa yang bisa diharapkan dari sebatang kara sepertiku.
"Berhenti! Sampai kapan kamu akan menghindar!" Suara itu, adalah suara Andrew yang seharusnya menjadi adikku tapi berlagak menjadi kakakku, selalu mengadu pada papa segala hal yang bisa ia adukan yang membuat papa selalu menghukumku.
"Kak Dev, sebaiknya kita cepat pergi," bisikku dan segera menyeretnya dari tempat menyesakkan ini.
Namun, saat aku melangkah cepat, tiba-tiba saja seseorang menarik tanganku dan itu adalah Adam. "Selesaikan masalahmu dengan kakakmu," katanya yang membuatku semakin sebal. Apa yang ia tahu? Kenapa ia menjadi sok tahu setelah sekian lama? Lagi pula, untuk apa ia peduli semua ini? Baik Adam, Lea atau Andrew hanya peduli pada Fela.
Mereka hanya terpaksa berteman denganku karena Fela yang hanya bisa dekat denganku dan karena aku adik Andrew yang cukup berpengaruh. Hingga suatu malam, saat aku dan Fela jatuh ke danau karena kita nekat menaiki perahu padahal mendung. Mereka semuanya menyalahkanku, padahal saat itu aku berusaha menyelamatkan Fela yang tidak bisa berenang, membuatku lebih banyak kemasukan air dan terbentur perahu yang membuat kakiku hampir patah. Sementara Fela hanya luka ringan dan mereka tak hentinya menyalahkanku.
Aku menatapnya tajam. "Lepaskan!" sentakku yang aku yakin membuat kak Deva terkejut. Wanita ini menegang, melihat suasana café menjadi seperti ini. Syukurlah tidak ada siapa pun di sini.
"Alexa, maafkan kami." Andrew datang dengan aktingnya yang selalu ia tunjukkan kepada papa. Aku sangat muak, meskipun tidak bertemu dengannya beberapa tahun.
"Tutup mulutmu! Jangan menggangguku lagi!" kataku dengan tegas yang kali ini aku mencoba melepaskan genggaman Adam, tapi ia tak mau menyerah.
"Kak Dev, bisa tinggalkan kami?" mohonku dan wanita ini pun mengangguk, sembari menepuk pundakku.
"Aku tunggu di luar ya," katanya dan aku pun tersenyum.
Setelah kepergian kak Deva, barulah aku bisa menatap mereka dengan nyalang. "Apa yang kalian inginkan?" tanyaku.
"Kembalilah pulang, papa merindukan kamu," kata Andrew yang entah mengapa membuatku ingin tertawa.
Adam pun melepaskan genggaman tangannya. "Apa yang kau rencanakan?" tanyaku yang kali ini menatap Andrew. "Apa mungkin kau membutuhkanku untuk mengurusi sesuatu?" lanjutku.
"Maksudmu apa?" Andrew sudah terlihat marah dan Fela berusaha untuk membuatnya tenang.
"Om hanya ingin kamu pulang." Adam mencoba untuk menengahi kami.
Aku pun tersenyum. "Semenjak kapan kamu peduli tentang ini?" tanyaku dan Adam pun menghela napas.
"Tentu saja aku peduli karena kalian adalah temanku," jawabnya yang membuatku semakin marah saja.
Aku pun memejamkan mata. "Persetan dengan kata teman. Mungkin Andrew memang temanmu, tapi bukan aku. Kalian hanya menganggapku orang asing yang dekat dengan Fela dan saat kami tenggelam kalian sibuk menyalahkanku. Lalu, saat itu kalian berdebat tentang sebegitu tidak pentingnya diriku. Jadi, saat kalian datang berbicara tentang kata teman, apa itu bukan lelucon?"
Aku pun memandangi satu persatu dari mereka. Adam, Leo, Fela dan Andrew yang terdiam. "Ada aku atau tidak ada aku, tidak akan mempengaruhi hidup kalian. Jadi ...." Aku menjeda, berusaha untuk menahan tangisku yang sepertinya akan pecah.
"Jangan bersusah payah untuk sesuatu yang tak penting," lanjutku yang kini berbalik meninggalkan mereka.
"Papa sakit, ia ingin menemuimu." Ucapan Andrew membuatku terdiam. Namun, aku tidak akan menoleh lagi, memilih untuk keluar.
"Lexa, maafin aku. Aku hanya berusaha untuk membuatmu bertemu dengan mereka," ucap Martin yang memiliki café ini. Aku benar-benar lupa jika mereka berteman saat SMA. Aku kira café kecil ini tidak akan menjadi tempat untuk anak orang kaya seperti mereka. Kenyataannya, mereka bisa datang kemari.
Aku pun menghela napas memandangi pria berkacamata ini. "Seharusnya kamu tidak perlu ikut campur. Aku kecewa," kataku yang memang kecewa kepadanya.
Aku pun berjalan menuju halte bersama kak Deva. Ia memandangiku beberapa kali dan tidak mengajakku bicara karena mungkin ia tahu jika aku sedang tidak ingin berbicara. Sampai kami telah sampai di halte. "Siapa diantara mereka yang kamu sukai?" pertanyaan itu membuatku diam. Kami sudah lama menjadi patner dan kak Deva yang selalu suka memakai Tshit saat bekerja ini adalah single parent yang luar biasa tanggungnya.
"Kalau tidak mau cerita juga tidak apa-apa," ucapnya sembari melipat kedua tangannya dan sesekali mengecek waktu di jam tangannya.
Aku pun menghela napas. "Kami berteman dulu, entah itu bisa disebut sebagai teman atau tidak. Mereka tidak pernah menganggapku sebagai teman dan terlalu fokus pada Fela. Sementara, cowok yang bernama Andrew itu sebenarnya adikku. Papa lebih memilih mendaftarkan dia sebagai anak pertamanya dibandingkan aku yang lebih dulu lahir. Setelah kematian mama, papa mengajak simpanannya itu masuk rumah dan saat itu aku kabur. Tidak pernah bertemu dengan mereka lagi setelah sekian lama. Namun, mereka tiba-tiba datang dengan cara seperti itu. Bukankah mereka keterlaluan?" kataku dan kak Deva mengangguk.
"Ya, mereka tidak memberimu waktu untuk menerima kehadiran mereka kembali," ucap kak Deva yang membuatku merasa lega.
"Tapi, mengingat setelah beberapa tahun kalian tidak ketemu. Pasti ada sesuatu yang terjadi yang membuat mereka menemuimu," lanjut kak Deva yang membuatku salut karena bisa menebaknya dengan akurat.
"Papa sakit, Andrew menyuruhku balik," jawabku dan kak Deva tersenyum.
"Lexa, jika kamu sudah siap lebih baik temui papamu. Tidak apa-apa jika kamu masih belum bisa memaafkannya. Kamu hanya perlu menunjukkan kalau kamu telah menjadi sosok yang lebih baik dari mereka, hidup mandiri dan menjadi dewasa," ucap kak Deva yang ada benarnya juga.
"Sepertinya ucapan kak Deva benar juga, aku akan menemuinya," putusku. Untuk memaafkan, aku masih belum bisa tapi untuk membuktikan bahwa hidupku baik-baik saja, itu adalah sesuatu yang layak.
---***---
Jam Sembilan pagi, saat semua pekerjaanku rumah dan menulisku selesai. Aku bersiap untuk menemui papa, mungkin untuk pertama kali setelah sepuluh tahun dan untuk terakhir kalinya. Saat aku sudah berganti baju dengan rapi, aku pun berusaha membuka pintu rumahku yang dapat ku beli dari hasil menulis.
Saat aku buka, betapa terkejutnya aku saat melihat Adam sudah ada di hadapanku. "Apa yang kamu lakukan?" tanyaku dan Adam yang begitu tinggi, tersenyum dengan lesung pipitnya yang manis. Untuk kesekian kali aku terpesona, tapi kenyataan pahit itu segera menghantam ingatanku. Saat kata demi kata yang menyakitkan itu keluar dari mulutnya untuk menyudutkanku kala itu.
"Kata Andrew kamu mau pulang, jadi aku mau mengantarkanmu," jawabnya yang membuat aku tidak suka. Kenapa? Untuk apa?
"Aku bisa pergi sendiri," kataku yang segera mengunci pintu dan berjalan mendahuluinya.
"Lexa, aku minta maaf untuk sikapku dulu. Selama ini aku mencari-cari kamu untuk meminta maaf. Aku merasa kehilangan, tapi aku tidak tahu harus mencarimu kemana? Keluargamu tidak ada yang tahu keberadaanmu. Aku benar-benar meminta maaf untuk semua sikapku yang agoran saat dulu. Saat ini kita sudah dewasa, aku pun juga sudah menyadari semuanya," katanya yang sebenarnya memang benar. Dulu kami masih SMA pasti sangat arogan dan pongah. Sedikit banyak, aku memiliki salah kepada mereka.
Aku pun menoleh dan memandanginya, kemudian menggela napas. "Baiklah, ayo kita berangkat," pintaku dan ia pun mengedipkan matanya beberapa kali.
"Kamu memaafkanku?" tanyanya dan aku mengangguk sembari tersenyum.
Dan tanpa aku duga, ia berjalan cepat dan memelukku erat. "Aku senang, akhirnya kamu memaafkanku," ucapnya yang entah membuatku merasa gugup dengan pelukan ini.
Aku pun berusaha untuk melepaskan. "Maaf, aku terlalu senang," ucapnya dan aku tidak tahu harus berkata apa? Hanya berusaha untuk segera berjalan mendahuluinya untuk menyembunyikan rasa Maluku.
Dalam perjalanan, kami terjebak dalam kekikukan. Adam pun mencoba untuk mencairkannya dengan menyetel beberapa lagu lawas. "Kamu masih ingat lagu ini?" Aku pun mengangguk.
"Sekarang kamu berbeda, tidak berpenampilan maco seperti dulu," ungkapnya yang membuatku bertambah malu. Jujur saja aku seperti preman yang suka sekali membolos hanya untuk melihat pertandingan sepak bola dan bergabung dengan penggembar bola lainnya saat SMA. Adam sering kali mencariku sebelum ketahuan Andrew karena ia akan melaporkannya pada papa.
"Apa kamu mau bilang aku kayak preman?" tanyaku dan Adam tertawa.
"Bisa dibilang seperti itu," ucapnya yang ingin sekali ku umpati, tapi aku tidak bisa sebar-bar dulu. Aku seorang penulis sekarang, untuk membranding diriku dimata orang-orang aku harus berusaha untuk mengurangi kekasaranku. Jadi, inilah rahasia dari kenapa aku begitu jinak sekarang.
"Aku tidak ada waktu untuk bersenang-senang seperti itu," kataku dan aku bisa melihatnya memandangiku dalam.
"Kamu kemana saja selama ini?" tanyanya dan kali ini aku memberanikan diri untuk menatapnya.
"Mencoba meraih sesuatu yang berbeda. Aku kuliah dengan menggunakan beasiswa setelah menjadi anak teladan dalam beberapa bulan karena ingin lulus dengan nilai baik, lalu mengembangkan apa yang ku dapat dari bangku kuliah," terangku dan ia mencoba untuk memahaminya.
"Maksudmu kuliah di sastra dan menjadi seorang penulis?" tanyanya yang dengan mudah bisa menebaknya dan aku tersenyum.
"Karena dengan menjadi penulis hal yang paling mudah untuk merefleksi diri sendiri. Baik dan buruk, akan mampu kita nilai pada diri kita sendiri." Aku tidak berbohong, memang dengan menulis terkadang aku bisa bercermin apakah aku lebih buruk dari tokoh yang ku buat.
Adam tersenyum dan mobil pun terhenti. "Kita sudah sampai," ucapnya dan ia segera keluar untuk membuka pintu untukku.
"Terima kasih," ucapku dan ia pun mengangguk.
Aku pun memandang sebuah masion mewah yang sudah ku tinggalkan puluhan tahun. Ada kerinduan yang membekas, tetapi lebih banyak rasa sakit yang membuatku tanpa sadar meneteskan air mata. "Kamu menangis?" tanya Adam yang segera menyodorkan sapu tangan dan aku segera meraihnya karena aku malu.
Aku pun melangkah masuk tanpa berani menatapnya. Di sana sudah ada Andrew yang nampaknya menungguku. "Ayo masuk, papa sudah menunggumu," ucapnya yang tak arogan seperti biasanya. Meskipun begitu, aku masih dan akan selalu kikuk jika berada di dekatnya.
Melewati pintu bertemu dengan pelayan yang secara khusus menyambutku. Ada bik Ijah yang terlihat menangis, tapi tidak berani mendekat karena aku memang harus segera bertemu dengan papa. Ia tidak lagi menempati kamar di atas tangga, mungkin karena sakit ayah dipindahkan di bawah.
Kesan saat pertama aku masuk, aku mencium bau obat yang menyengat dan saat papa mulai terlihat berbaring dengan tabung selang pernapasan. Aku sedih, pria yang dulu begitu angkuh terlihat tak berdaya seperti itu. Aku pun mendekat dan duduk di sebelahnya, mencoba untuk meraih tangannya yang telah kriput. Aku pun menangis, meskipun selama ini aku sangat membencinya, aku tidak bisa menghilangkan kasih sayangku.
"Kamu sudah datang?" tanya papa dan aku pun mengangguk tanpa bisa berkata-kata. Hanya air mata yang terus membanjiri wajahku.
"Maafkan papa," ucap papa dengan lirih, tetapi aku bisa mendengarnya dengan jelas.
"Ya pa, aku juga minta maaf," balasku dan papa tersenyum, sebelum akhirnya papa merasa sesak.
"Pa-pa, me-nya-yangi-mu." Meskipun sesak napas, papa masih berusaha untuk mengatakan jika ia begitu menyayangiku. Sungguh, aku menyesal karena tak menyadarinya,
"Pa," panggilku dan semua orang seketika memenuhi ruangan.
Andrew dan ibunya berada di dekat kami. "Ja-ga A-le de-nga-n ba-ik," bisiknya sebelum akhirnya papa tidak bergerak lagi.
Papa pergi dan kami hanya bisa menangisinya. Saat aku hampir saja terjatuh, Adam segera memelukku erat dan aku pun menangis sejadi-jadinya. "Lexa, ada aku. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu," bisiknya yang samar-samar ku dengar sebelum aku merasakan segalanya gelap.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top