Afraid

Terkadang saat aku melihatmu di sisiku.
Aku merasa kau tak bahagia karna keegoisanku ini.

Kau yang dulu mengatakan bahwa langit itu indah.
Sekarang kau berjalan tertunduk ke tanah.
Seolah kau sedang menatapku.

***

Pagi yang terik saat langit biru lebih dominan dari pada gumpalan awan putih. Aku duduk di tengah rerumputan halaman kampus. Menunggu anak-anak Day Dream datang, akhir-akhir kami begitu sibuk dengan jadwal manggung di kampus atau SMA. Tidak disangka, hobi kita bisa berkembang sampai seperti ini.

"Jun!" Aku menoleh dan mendapati Vega berlarian, dikejar Willy. Apa mereka masih anak kecil?

"Kenapa mesti lari-lari coba?" Aku memprotes dan Willy seperti biasa terpingkal-pingkal dan Vega terlihat sekali ingin memakan Willy.

"Si upil kuda ini, dia bilang ke gue katanya ada beberapa dokumen yang perlu gue liat buat manggung besok." Oh, jadi si upil ini mengerjai Vega.

"Berisik banget sih kalian. Nggak bisa apa, tenang gitu." Dirga mengeluh seperti biasanya. Semenjak tadi kerjaannya molor terus, bahkan pagi yang panas ini tidak mampu menghalangi hobinya untuk tertidur di sembarang tempat.

"Molor aja kerjaan lo ... Bantu gue napa, tangan gue pegel pegangin gitarnya si Barra," omel si Vega. Sungguh, aku selalu ingin tertawa. Sepertinya Barra mengerjainya dan semua ini bisa terjadi karena tak ada Saga. Sahabatku yang satu itu, ia sedang pergi keluar kota mengantarkan neneknya. Besok baru datang dan harus mengikuti jadwal manggung dengan kita.

"Sini, kenapa juga Barra minta lo yang bawa?" Dirga, yang biasanya tidak pedulian segera mengambil gitar yang Vega bawa. Sepertinya Dirga mulai terbiasa dengan kehadiran Vega dan jujur saja, Vega tidak pernah merengek dengan tanggung jawabnya sebagai manajer kami yang terkadang terlihat seperti pesuruh saja.

"Ngeganjenin si Angel, kesel banget tau nggak sih. Pen gue tendang aja." Seperti biasa, tidak ada yang bisa menandingi omelan satu cewek ini. Bidadari rasa preman yang menjadi pelengkap kelompok kami yang dipenuhi dengan cowok bego.

Willy lagi-lagi tertawa. "Tapi Veg, lo harus kasih kelonggaran ke Barra. Akibat gue ganjenin si Tara, gue bisa jadian sama dia kan." Percayalah, diantara kami, Willy adalah makhluk teraneh dan tereceh yang pernah ada. 

"Sekali lagi lo ngomong gitu, gue tendang lo sampai nyungsep!" ancam Vega yang seketika membuat aku terbahak dengan Dirga. Entah mengapa, Vega suka sekali meluap emosinya kalau dekat dengan Willy atau Barra. Kelebayan dua orang itu membuat Vega tak tahan dan begonya lagi si Barra sama Willy terlihat sekali terobsesi membuat Vega marah. Lucu soalnya kalau Vega sedang marah.

"Permisi ... " Aku mendongak dan mendapati senyum manis paket lengkap dengan gingsul itu. 

"Hai Kin, tumbenan nggak pernah nongol? Sibuk, kah?" Vega bertanya dan gadis bernama Kinara yang hampir dua bulan ini menjadi kekasihku itu, senyumannya berubah.

Saat tatapan kami bertemu, aku merasa cukup canggung. Selama seminggu ini, hubungan kita semakin renggang. Entah itu karena kesibukan kami atau kami merasa bosan dengan hubungan yang selalu terhalang karena kesibukan ini. 

"Ayo duduk," kataku mencoba menyelamatkannya dari pertanyaan yang membuatnya tak nyaman.

Kirana pun duduk di sebelahku, ia membuka tas yang aku tahu berisi bekal yang ia buat sendiri untukku. "Ini bisa dimakan dengan yang lain," ucapnya dengan menyodor kotak makanan dan aku melihat wajah-wajah serakah itu, Willy dan Dirga yang tidak ingin ketinggalan.

"Wah, pacar pengertian ya. Nggak kayak Vega yang kerjaannya marah terus, itu Saga jadi kurus karena kebanyakan stress."

"Apa sih lo Pil, bacot aja." Vega mulai tersungut dan aku hanya bisa tersenyum geli. 

Kini, aku pun menatap wajah Kirana yang beberapa hari ini begitu mendung. Biasanya kami memang sering duduk bersama, menatap langit yang indah adalah kesukaannya. Namun, hari ini ia hanya tertunduk dengan berusaha menunjukkan sikap yang baik-baik saja.

Maafkan aku Kirana dan aku aku mencintaimu.

---***---

Kau seperti bulan yang menerangi langit gelap.

Perlahan-lahan cahayamu mulai memudar karena kegelapanku.

Bahkan saat ini, saat kau tengah tersenyum padaku.
Lebih dari waktu saat sebelum kau mengenalku.
Aku tak berpikir bahwa aku bisa membuatmu lebih bahagia.

***

Sore ini kami memutuskan untuk berkencan. Menikmati waktu bersama yang jarang kita punya. Melewati trotoar menuju kosan Kirana. "Lama ya kita nggak jalan bareng," ucapnya dan rasa bersalahku terus menumpuk.

"Maaf ya," balasku dan ia pun menggeleng.

"Aku tidak apa-apa, kamu kan memang sibuk. Aku juga akhir-akhir ini banyak tugas," terangnya yang sama sekali membuatku tak nyaman.

Aku terus melihat senyum dengan keterpaksaan itu, lalu aku bertanya kepada diriku sendiri. Apa aku sudah berhasil menjadi pacar yang baik untuknya? Bisa membahagiaakannya? Aku bukan tidak tahu jika ia mengalami masa-masa sulit sendiri tanpa mengatakan kepadaku.

Keinginannya yang tidak ingin membuatku memikirkan beban yang ia punya, itu cukup menyulitkan kami. Aku merasa saat kami bersama, aku selalu merasa bersalah karena terus mengecewakannya dengan janji-janjiku dan ia menjadi tidak bahagia karena hal ini.

"Kata Willy, kamu kerja part time di restoran?" Aku sudah lama menunggu ia untuk bercerita hal ini kepadaku dan keretakan hubungan kami selama beberapa minggu ini juga karena ia tidak mau terbuka tentang masalahnya.

Meskipun diawal dirinya yang menyatakan perasaannya kepadaku. Jujur saja, aku sangat menyayanginya sekarang. Apa ia masih meragukan semuanya? Tentang perasaan dalamku terhadapanya? Apa karena ini juga, ia terus merasa kecewa terhadapku?

"Rana ...." Aku memanggil nama itu kembali, berharap jika ia memberikan jawaban yang ku inginkan. 

Wajahnya tertunduk, aku melihat ia menghela napas. "Kenapa kamu ingin tau masalahku? Biarkan saja semua berjalan seperti ini. Kamu dengan urusanmu dan aku dengan urusanku," ungkapnya dengan terus menahan tangisnya dan aku memeluknya erat.

"Maaf, aku tidak peka dengan apa yang kamu rasakan," akuiku dan aku mendengar tangisnya yang sepertinya ia tahan semenjak lama.

---***---

Aku sangat takut

Akankah kau menjadi sepertiku?Aku tak bisa melepaskan atau bahkan menggenggammu.

***

Hal seperti inilah yang selalu membuatku takut. Aku takut melukaimu tanpa ku sadari. "Mulai dari sekarang dapatkan kita saling terbuka? Aku mohon, jangan ada lagi hal yang kamu tutupi. Mari kita perbaiki bersama, hubungan kita ini." Aku tidak percaya aku bisa mengatakan hal seperti ini selama 22 tahun. Tapi, semua itu tidak penting karena yang terpenting saat ini aku tidak bisa melepaskanmu begitu saja.

Aku merasakan anggukan darinya di dadaku, sebab aku masih saja memeluknya cukup erat. Rasanya melegakan dan aku juga berpikir untuk memperbaiki semuanya. Meskipun nantinya akan sulit untuk menggenggammu seperti semula, aku terus menepis segala ketakutanku hanya untuk terus bisa bertahan denganmu.

"Sekali lagi maafkan aku Kirana. Mulai detik ini aku nggak akan pernah mengabaikan kamu lagi." bisikku dan ia semakin mengeratkan pelukannya.

"Terima kasih, aku sayang banget sama kamu. Jangan pernah tinggalin aku ya."

-END-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top