Nila Anjani, Seekor betina cantik, yang sejak tadi menatap bangga seni rupa Tuhan yang sedang bernyanyi diiringi petikan gitar, mengumandangkan alunan nada yang mampu menghipnotis hati. Dia adalah Leonardo, Seekor jantan baik dan pintar yang selama ini mengisi hari-harinya. Jantan pekerja keras yang bergelud dalam satu band dan memiliki jam terbang yang tinggi walau tidak seterkenal Dewa19.
Pria bertubuh atletis itu merupakan anugrah terindah bagi seorang Nila. Bersamanya Nila mendapatkan kebahagiaan nyata yang Ia cari, merasakan iri, menikmati sakit, dan kekhawatiran yang sulit untuk dia ungkapkan.
Dua bulan setelah menjalin hubungan, Nila menyadari tugasnya adalah membuat kenangan indah-tak ingin melewatkan kesempatan apapun yang bisa Ia lakukan bersama Leo.
Kedua sudut bibir Nila naik membentuk senyuman, ketika Leo berjalan ke arahnya dengan cepat. "Buru-buru banget," kata Nila saat Leo sudah berada di hadapannya.
"Gimana penampilan-ku?"
"Keren banget...."
"Aku tahu. Dari dulu, kata keren selalu melekat pada nama Leonardo," ujar Leo percaya diri.
Nila memukul pelan dada bidang kekasihnya itu. "Terlalu percaya diri enggak baik, Sayang."
Leonardo tertawa pelan. "Aku lapar banget."
Nila tersenyum begitu bahagia. "Seperti perjanjian bulan lalu, karena besok adalah satu tahun anniversary kita. Malam ini akan kita habiskan bersama sampai besok pagi."
"Iya sayang, kalau gitu kita makan dulu."
Setetes air mata, jatuh di pipi Nila. Leo menggelengkan kepalanya memperingati Nila.
Dia merangkul Nila membawa gadis itu keluar dari kafe menghindari tatapan pengunjung kafe yang memperhatikan mereka.
Menyesal. Satu kata yang baru Leo sadari sebulan lalu. Saat semuanya berjalan cukup lama dan sudah terlambat untuk mengakhiri.
Warung pecal lele menjadi tempat mereka untuk mengisi kekosongan perut. Dua insan itu menikmati makanan mereka seraya membicarakan berbagai hal yang sesungguhnya tidak penting.
Hingga jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Tujuan mereka berlanjut pada bioskop. Tidak ada perencanaan pasti untuk hari ini, mereka hanya memilih sesuka hati apa yang ingin mereka lakukan.
"Kita nonton apa?" tanya Nila membuka pembicaraan di dalam mobil.
"Mau nonton 'Sin'?" tanya Leo mengingat itu adalah film yang dinanti-nanti oleh Nila.
Nila menggelengkan kepalanya. "Enggak, Le. Aku takut akan terbawa suasana. Film action aja atau ... horor."
"Kamu yakin? Itu, bukan genre kamu."
"Yakin, Sayang," jawab Nila tanpa ragu.
Leo tersenyum bahagia. "Oke."
Nila memutar lagu salah satu boy grup Korea yang menjadi favorit mereka. Awalnya, Leo tidak tertarik dengan yang namanya dunia Korea atau perkpopan, tapi bersama Nila, Leo akan selalu mendengarkan lagu dan segala hal berbau Korea-membuatnya penasaran dengan beberapa lagu yang akhirnya dia sukai.
'Satu hal yang pasti. Seseorang tidak tertarik bukan berarti mereka benci, hanya saja belum saatnya.'
Dua insan itu berduet menyanyikan setiap kata dari lagu Exo berjudul Promise.

Disetiap saat, lagu itu akan membawa mereka mengingat kebersamaan yang sudah terlewati, kebersamaan yang sebentar lagi akan menjadi kenangan.
"I'm promise you," ucap mereka bersamaan mengakhiri duet maut mereka yang penuh emosional.
Leo menggenggam tangan Nila dengan mata yang masih terfokus pada jalanan. Nila lagi-lagi menghapus air mata yang hadir di pipinya, bukan Leo tidak menyadari, hanya-Leo tidak tahu harus berbuat apa karena yang Nila rasakan juga sedang dirasakan olehnya.
Pukul sebelas lewat, beberapa orang keluar dari studio bioskop karena film yang mereka tonton sudah selesai, begitu juga dengan Leo dan juga Nila. Tujuan mereka setelah ini, hanya mengelilingi kota Jakarta yang padat, menghabiskan malam penuh bintang hingga terganti menjadi matahari.
Di dalam mobil kembali Nila yang memecahkan keheningan. Dia terus bercerita tentang kegiatannya di kampus seharian, menceritakan temannya yang pantas untuk di 'gibah', Nila yang tersulut emosi menceritakan gosip kalangan artis Kpop dan Leo yang tetap pada tugasnya sebagai pendengar yang setia.
"Kita stop disini aja, Le. Kamu harus istirahat."
Leo menuruti Nila, memarkirkan mobilnya di depan sebuah toko yang sudah tutup. Leo melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul tiga pagi.
"Kamu juga harus istirahat." Nila mengindahkan permintaan Leo, bersama menurunkan jok mobil ke belakang untuk mereka tidur. Keduanya membaringkan tubuh saling berhadapan satu sama lain. Nila kembali 'mengambil' tangan Leo, mengelusnya perlahan untuk mengantarkan Leo pada rasa kantuk.
Setengah jam sudah yang dilakukan Nila hanya menatap Leo yang sudah terlelap.
"Aku tidak yakin untuk melupakanmu, tapi aku akan berjanji akan menjalaninya dengan senyuman seperti keinginan-mu," gumam Nila, mengecup tangan Leo sebelum bergabung dengan alam mimpi bersama Leo.
Rasa sakit pada tubuhnya mengharuskan Nila terbangun dari tidur, menggerakan kepala yang terasa pegal, karena tidur dengan posisi tidak tepat. Matanya menatap langit pagi yang mulai berubah terang.
Menyadari sesuatu, gadis itu menatap jok pengemudi mengingat dirinya bersama seseorang sejak semalam.
"Selamat Pagi, Sayang," ucap Leonardo yang sedang menatap Nila dengan senyuman. Nila tidak menyadari Leo yang berpura-pura tidur dan mendengar semua ucapannya.
Nila menghela napas melihat senyuman manis Leo. "Waktu sudah berakhir," ucapnya lesu.
"Happy Anniversary, Leo," ucap Nila menghapus jejak air mata di pipi.
"Happy Anniversary, Sayang." Leo mengatakan itu, tanpa niat untuk menghibur Nila.
Leo bangun dari tidurnya memperbaiki jok seperti semula. "Kita pulang sekarang?" Kembali menatap Nila dengan senyuman.
Nila mengangguk. "Aku sudah siap," jawabnya memberi senyuman lebar pada Leo.
Leo mengendarai mobilnya menembus jalanan kota Jakarta yang mulai ramai, menuju kost Nila.
Tidak ada percakapan di antara mereka. Sepasang kekasih itu mendadak canggung karena perasaan mereka masing-masing.
Mobil Leo berhenti di depan gerbang kost Nila.
Leo mendekap tubuh Nila erat. Merasakan kenyamanan yang tidak akan Ia rasakan lagi setelah ini. Mengelus lembut kepala kekasihnya itu yang tidak akan Ia lakukan lagi.
"Kenapa?" tanya Nila sembari berdoa agar suasana saat ini tidak pernah ada.
"Aku eggak tahu harus bagaimana setelah ini, tapi sekarang, biarkan aku menikmati waktu ini sedikit lagi," ucap Leo menutup matanya.
Ucapan Leo menyadarkan Nila kalau semua ini nyata, menyadarkan Nila kalau ini adalah akhir bagi mereka.
Nila membalas pelukan tidak kalah erat. "Aku akan berusaha menepati janji-ku."
"Sayang...." Panggilan itu, panggilan 'sayang' dari Nila membuat Air mata Leo menetes tanpa sadar, sebutan yang tidak akan pernah Ia dengar mulai 'esok. Leo menghapus jejak air matanya tidak ingin membuat Nila semakin sulit.
Mereka melepas pelukan hangat itu. Kembali Nila meneteskan air mata merasakan kehilangan yang sangat terasa.
"Tidak akan ada tangisan, oke?"
Nila menyeka air matanya-tersenyum menatap Leo.
"Kamu harus bahagia!" tegas Leo setelah mengecup dahi Nila.
Nila mengangguk kembali.
"Kalau kamu mau. Aku akan tetap tinggal, di sampingmu-seperti sebelumnya."
"Enggak. Kita punya komitmen tentang ini. Kamu harus percaya dengan takdir dan cinta. Kalau mereka tetap ada, aku yakin kita bakal kayak dulu lagi." Nila tersenyum sangat manis. Senyuman terakhir untuk perpisahan. "Terima kasih untuk semuanya, Leo. Aku 'masih' cinta kamu sampai detik ini."
Keluarnya Nila dari mobil Leo, menandakan semuanya sudah berakhir.
Tidak ada kata 'kita' lagi diantara mereka. Bukan karena masalah atau pun orang lain. Tapi karena perjanjian yang mereka yakini sebagai komitmen setahun lalu.
Kejadian setahun lalu kembali hadir di pikiran Nila, yang menangis tersedu di tempat tidur.
Perempuan itu terus mengikuti kemana pun Leo pergi. Tantangan dari rival sekaligus sahabat-nya sangat menguras emosi seorang Nila yang awalnya bersikap 'masa bodoh'.
"Leo, plis ... kali ini aja," bujuk Nila untuk kesekian kalinya.
Leo berhenti.
Membalikkan tubuhnya menatap Nila. "Enggak mau!! Aku sama kamu cuma teman, Nila, terus tiba-tiba pacaran? Gimana kalau dalam setahun itu perasaan kita tumbuh? Aku enggak mau nyakitin kamu."
"Semuanya aku yang mulai, aku janji enggak akan ngerasain sakit apapun. Cuma setahun, Leo. Lagian, Aku memang suka dari lama sama kamu! Tapi aku enggak mau pacaran dulu, karena mau fokus dengan kuliah."
"Kalau gitu, nyerah-fokus sama kuliah kamu." Leo kembali melangkahkan kakinya meninggalkan Nila yang masih mengikutinya.
"Leo ... aku beneran suka sama kamu." lirih Nila mulai mengeluarkan air mata. Suara tangisan wanita itu mampu menghentikan langkah kaki seorang, Leo.
"Harusnya yang ngejar itu aku bukan kamu, Nila. Kayak gini aja kamu udah nangis, gimana nanti?" tanya Leo menatap teman satu kampusnya itu serius.
Nila menghapus air matanya-menatap serius mata hitam milik Leo. "Aku serius soal pacaran! Plis ... bantu Aku buktiin ke Sora kalau seorang Nila bisa jalani yang namanya hubungan. Aku juga mau yakini perasaan aku ke kamu, apa itu memang cinta atau sebatas nyaman karena kamu teman aku."
"Setahun?" tanya Leo kembali memastikan.
Nila mengangguk semangat.
"Setelah itu?" tanya Leo lagi.
"Setelah itu kita putus. Bukan karena aku mau mainin perasaan kamu. Aku beneran suka sama kamu, Tapi tahun depan kita udah sibuk nyusun skripsi, aku enggak mau hubungan kita jadi mempengaruhi tugas akhir kita di kampus. Aku janji gimana pun perasaan aku ke kamu, enggak akan ada air mata, aku bakal tetap tersenyum jalaninya, dan hari jadi satu tahun kita, bakal jadi hari akhirnya hubungan kita."
Terkejut! Itu yang Leo alami setelah mendengar perkataan Nila.
"Oke. Tapi aku mau tantang kamu juga." Nila menaikkan alisnya, seperti bertanya dengan maksud Leo. "Hapus semua perasaan yang membekas di hati kita. Berakhirnya hubungan, enggak berarti pertemanan kita selesai. Kita harus hidup seperti biasa. Jalani, seperti tidak terjadi apa-apa di antara kita sebelumnya, 'kita tidak pernah pacaran dan hanya sebatas teman', bagaimana?"
Nila membisu. Permintaan Leo tidak terpikir oleh Nila sebelumnya. Dia tidak tahu apakah Ia mampu melakukan itu, yang terpenting baginya saat ini adalah menjalin hubungan dengan Leo.
"Baiklah aku janji."
"Jadi sekarang kita pacaran? Dengan komitmen tadi?" tanya Leo ingin mendengar keputusan akhir Nila.
"Tapi, gimana setelah kita selesai kuliah, perasaan itu tetap ada? Apa kita bisa kembali bersama?"
Leo menatap Nila sebentar, lalu mengangguk. "Aku pastikan kita akan bersama."
Nila tersenyum-memeluk Leo yang terkejut dengan perlakuan Nila yang tiba-tiba.
"Makasih, Leo."
Satu hari yang begitu tragis untuknya, satu hari yang tidak Ia ketahui akan mematahkan hatinya hingga berhari, berbulan, dan tidak berharap sampai bertahun-tahun lamanya.
~~~
Enam bulan sudah berlalu sejak berakhirnya hubungan Leo dan Nila. Seperti perjanjian awal, Leo perlahan membenamkan perasaannya pada Nila dengan terus menanamkam pemikiran kalau Nila dan Ia hanya sebatas teman. Tapi tidak dengan Nila yang masih sulit melupakan tentang masa lalu mereka walau mulai pudar. Janjinya untuk tetap tersenyum-melewati hari tanpa Leo berusaha Nila penuhi meski terasa sulit.
Merasa tertekan dengan menunjukkan sikap biasa, terkadang memaksa Nila menghindari Leo seperti anak kecil. Selain itu, jurusan yang berbeda pun semakin mempersempit kemungkinan mereka untuk bertemu. Dan lagi, Nila bersyukur karena Ia sudah menjadi mahasiswa semester akhir, yang sebentar lagi akan mengakhiri masa periodenya sebagai salah satu anggota dalam organisasi, yang menjadi sarana Nila dan Leo berteman.
Nila benar-benar tidak sanggup bertemu dengan Leo, lagi.
Berakhirnya hubungan Ia dan Leo tidak hanya menyadarkan Nila tentang perasaannya terhadap Leo, tapi juga membuktikan pada Sora, bahwa dirinya mampu menjalani sebuah hubungan, hanya saja dia belum ingin.
Nila berjalan menuju kantin bersama dua orang teman-membawa beberapa buku serta laptop di tangannya. Menerbitkan senyuman lebar mendengar berbagai celotehan yang diucapkan salah satu temannya.
"Syukurlah, dia menepati janji untuk terus tersenyum setelah hari itu. Terima kasih, Nila. Aku berharap tidak ada lagi sisa perasaanmu untukku. Aku berdoa, agar hanya aku yang merasakan sakit berpura-pura menganggapmu teman hingga saat ini," batin Leo mengikuti setiap langkah Nila dengan matanya.
Tidak Ia sadari, Sora sedang berdiri menangkap kegiatannya dari kejauhan.
Sora menjentikkan jari ketika sebuah ide muncul di kepalanya. Ia berjalan menghampiri Nila sedikit berlari.
"Apaan lo?" tanya Nila mendorong Sora yang tiba-tiba mendekatkan tubuhnya pada Nila.
"Penting bego. Lu bakal nyesal kalau enggak denger."
Kedua teman yang bersama Nila pamit untuk pergi duluan ke kantin, menyadari Nila yang membutuhkan ruang untuk bicara dengan Sora.
"Leo, lagi lihatin lo sekarang." bisik Sora tepat di samping telinga Nila.
Nila membisu, tubuhnya menegang. Dia tidak ingin bertemu dengan Leo, saat ini hatinya sedang dalam proses pemulihan yang sangat serius, dia tidak ingin semuanya gagal hanya karena melihat wajah pria itu.
"Biar-" Nila berhenti bicara, ketika matanya baru saja menatap Leo yang membalikkan tubuhnya melangkah pergi.
Sekelibat kenangan masa lalu muncul kembali di pikirannya. Nila merasa hampa, dengan lemah berdiri melihat Leo yang kini jauh darinya.
"Tidak tahu, kenapa aku kembali seperti ini, kembali pada rasa luka yang-ku ciptakan saat melepasmu pergi waktu itu. Seberapa besarpun diriku berusaha, tetap saja semua tentangmu masih tersimpan cukup jelas dalam ingatanku. dan untuk kedua kalinya, Aku melepas kepergian seorang Leonardo dengan senyuman ini." Ia tersenyum lebar. Menghapus air mata yang sudah jatuh membasahi pipinya.
"Gue yakin lo berdua kuat jalaninya. Tujuan awal gue, cuma mau bantu lo buat menyadari perasaan itu tanpa merasakan sakit, Nil. Dan sekarang gue minta maaf karena gagal melindungi lo dari rasa sakit itu." Sora pergi meninggalkan Nila dengan perasaan bahagia. Bahagia mendengar perkataan Sora yang sejujurnya sangat Ia sayangi sebagai sahabat.
🌚 🌚
~Endd
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top