MENGENAL SINDROM STOCKHOLM
Topik 5. Keadaan Psikologis
Banyak cerita mengerikan terjadi di dunia ini, bahkan yang tidak pernah bisa terbayangkan benar-benar terjadi secara nyata. Yang paling menyedihkan adalah, hal mengerikan tersebut dilakukan oleh sesama manusia. Memang katanya, iblis bisa bermanifestasi dalam berbagai macam rupa tak terkecuali makhluk yang dikatakan paling sempurna. Tapi manusia pun selalu punya cara untuk bertahan.
Aku membaca bayak berita "sakit" tentang keadaan psikologis yang aku bahas ini dan membuatku menangis sendiri, tapi di sini aku hanya mengambil dua kasus sebagai contoh dan sebagai pelengkap untuk membantu pemahaman.
Pertama, kasus yang pernah terjadi pada Natascha Maria Kampusch. Dia diculik pada tahun 1998 saat dia berumur 10 tahun. Dia dikurung dalam gudang bawah tanah selama 8 tahun, mengalami kekerasan fisik, seksual dan psikologis sampai suatu hari dia melihat kesempatan melarikan diri dan melakukannya. Setelah berhasil diselamatkan, sang penculik bunuh diri dengan menabrakkan diri ke kereta yang sedang melaju. Saat mendengar kematian penculiknya tersebut, Natascha menangis tersedu-sedu dan berdiam diri di dekat peti matinya selama berjam-jam. Bahkan bertahun-tahun setelah kejadian tersebut dia masih menyimpan foto pelaku di dompetnya.
Kasus lain yang tidak kalah mengherankan dan memprihatinkan terjadi pada Coleen Stan pada tahun 1977 saat dia berusia 20 tahun. Saat itu dia di culik oleh sepasang suami istri untuk dijadikan budak dan disiksa. Dia di taruh dalam sebuah boks seukuran peti mati di bawah tempat tidur suami istri tersebut. Tangan dan lehernya diikat rantai dan kepalanya dimasukkan dalam boks yang yang lebih kecil dan matanya di tutup. Dia hanya dikeluarkan untuk disiksa. Selain kekerasan fisik, coleen juga mengalami kekerasan psikologis sehngga merasa hidupnya selalu terancam dan tidak berdaya. Para penculik pernah menyuruhnya menginap di rumah orang tuanya kemudian akan dijemput lagi pagi harinya. Anehnya dia sama sekali tidak menceritakan kekerasan yang telah dialaminya, tidak meminta tolong dan bilang bahwa si penculik adalah kekasihnya. Kemudian pagi harinya dia ikut sang penculik pulang untuk disiksa lagi. Hal in terjadi selama 7,5 tahun. Sampai suatu hari si istri membebaskannya. Coleen pun pulang ke rumahnya tapi tidak melapor polisi. Yang datang ke polisi adalah si istri sendiri. Coleen tidak tahu kenapa butuh waktu begitu lama untuk si istri melakukan hal itu. Dugaan polisi adalah si istri cenburu terhadap Coleen sehingga memutuskan untuk membantunya melarikan diri.
Besarnya rasa takut dan siksaan tanpa henti telah membuat Coleen terpenjara di dalam dirinya sendiri. Meskipun ada beberapa kesempatan melarikan diri, tapi jiwanya terlalu takut untuk pergi. Hal itu juga menjadi salah satu alasanya untuk tidak lapor polisi. Dia takut polisi, keluarga dan orang-orang tidak akan percaya kepada ceritanya karena dia pernah pulang dan tidak meminta bantuan saat ada kesempatan.
Adakah penjelasan medis tentang perilaku korban-korban tersebut? Ya. Mereka mengalami yang di dalam ilmu psikologi bernama SINDROM STOCKHOLM.
Pengertian dan Asal-Usul Nama Sindrom Stockholm
Menurut KBBI, sindrom adalah himpunan gejala atau tanda yang terjadi serentak (muncul bersama-sama) dan menandai ketidaknormalan tertentu; hal-hal (seperti emosi atau tindakan) yang biasanya secara bersama-sama membentuk pola yang dapat diidentifikasi. Nama-nama sindrom biasanya berasal dari nama dokter yang dianggap pertama kali menemukan tanda-tanda, nama suatu tempat, sejarah atau yang lain.
Stockholm adalah ibukota Swedia dan merupakan kota terbesar. Pada tahun 1973 terjadi perampokan bank dimana perampoknya menyandera beberapa orang selama 6 hari. Anehnya, saat para sandera berhasil di bebaskan mereka malah membela para perampok tersebut, menolak mengajukan tuntutan, dan mengumpulkan dana untuk memberi bantuan hukum. Secara emosional mereka mengasihi penyandera yang telah menyekap mereka. Bahkan salah satu sandera jatuh cinta pada salah seorang perampok. Dari kasus ini nama Sindrom Stockholm dicetuskan oleh kriminolog sekaligus psikiater yang membantu kasus tersebut untuk menyebut respon psikologis dimana korban/penderita menunjukkan kesetiaan atau ikatan emosional kepada orang yang telah menyiksa mereka.
Meskipun kasus perampokan bank di Stockholm inidijadikan nama, namun tanda-tanda sindrom tersebut telah terjadi jauh sebelumitu. Sindrom Stockholm tidak hanya terjadi pada korban penyanderaan saja tetapi dapat juga terjadi dalam lingkungan keluarga, biasanya anak yang menjadi korban kekerasan orang tua mereka sendiri, kekerasan dalam hubungan cinta yang dilakukan pacar atau suami/istri. Pada anggota suatu sekte sesat, tahanan perang, juga pada korban inses. Memang paling banyak ditemukan sindrom ini dialami oleh korban penculikan yang mengalami kekerasan selama bertahun-tahun.
Dalam ilmu kedokteran, keadaan psikologis seseorang yang berada di bawah kendali dan mengalami kekerasan memang paling mengejutkan. Kebanyakan dari mereka akan tetap bertahan pada keadaan dimana mereka berada di dalam kekuasaan pelaku. Ada semacam rasa penyesalan saat mereka berhasil diselamatkan. Hal ini menjelaskan banyaknya kasus perempuan yang pernah terjebak dalam hubungan penuh kekerasan akan mudah terjebak kembali pada hal yang sama meski dengan orang yang berbeda.
Berdasarkan keterangan dari Dr. Joseph M Carver, PhD, ada empat keadaan yang mendasari berkembangnya sindrom ini, yaitu
1. Adanya ancaman yang dirasakan terhadap kelangsungan hidup fisik atau psikologis seseorang dan keyakinan bahwa pelaku akan benar-benar melakukan ancaman tersebut.
2. Adanya kebaikan kecil yang diberikan pelaku kepada korban. Saking seringnya mendapat kekerasan, pelaku tampak seperti pahlawan saat melakukan kebaikan kecil.
3. Tidak diperbolehkannya perspektif lain tumbuh selain dari perspektif pelaku.
4. Perasaan tidak mampu untuk melarikan diri dari situasi yang sedang dialami.
Adapun gejala penderita Stockholm Syndrome adalah sebagai berikut :
1. Mudah kaget
2. Gelisah
3. Mimpi buruk
4. Sulit tidur atau insomnia
5. Kesulitan berkonsentrasi
6. Sulit percaya
7. Merasa seperti tidak berada dalam kenyataan
8. Selalu mengenang masa-masa trauma (flashback)
Penderita juga menunjukkan perilaku sebagai berikut :
1. Tidak lagi menikmati pengalaman yang sebelumnya menyenangkan.
2. Perasaan positif kepada pelaku
3. Perasaan negatif terhadap keluarga, teman, atau pihak berwenang yang mencoba menyelamatkan / mendukung mereka
4. Membenarkan alasan dan perilaku pelaku
5. Mendukung dan membantu pelaku
6. Ketidakmampuan untuk berperilaku yang dapat membantu pembebasan atau pelepasan mereka
Sindrom Stochkolm menciptakan hubungan yang tidak sehat antara pelaku dan korban, sehingga korban secara kontinyu memberikan dukungan terhadap orang yang telah menyiksa mereka. Mereka melihat perasaan itu sebagai alasan untuk terus melihat sisi baik dari pelaku. Dalam dua kasus yang aku sebutkan di atas, pelaku pun memiliki ikatan dengan korbannya. Saat dia sudah di penjara, Coleen datang dan berpamitan, sang pelaku saat itu menangis. Pada kasus Natascha, saat korban berhasil diselamatkan, sang pelaku lebih memilih bunuh diri. Dalam kasus lain, pelaku menerima hukuman seumur hidup dengan ikhlas tanpa mengajukan pembelaan.
Penderita sindrom Stockholm biasanya juga mengalami kondisi psikologis yang disebut "cognitive dissonance" yaitu berkembangnya sebuah pemikiran, perasaan, atau sikap yang tidak konsisten terutama yang berkaitan dengan pengambilan keputusan dan perubahan sikap. Keadaan ini menjelaskan kenapa penderita mengubah pandangan dan keputusannya terhadap suatu sikap atau pemikiran pelaku kekerasan meskipun sikapnya tersebut tidak normal, tidak positif dan tidak sehat. Secara teori, penderita akan mengurangi keadaan yang membuatnya tidak nyaman. Meskipun mereka menyadari apa yang mereka lakukan adalah bodoh, tetapi sebagian dari diri mereka menyetujui hal tersebut.
Teori cognitive dissonance pertama kali dicetuskan oleh seorang social psychologist, Leon Festinger. Dia meneliti tentang sebuah sekte yang anggotanya rela memberikan seluruh harta bendanya untuk sekte tersebut (1956). Mereka percaya dunia akan tenggelam dalam banjir dan para pengikutnya akan dijemput oleh kapal raksasa dari luar angkasa. Waktu berlalu dan jemputan tersebut tidak pernah datang, tetapi bukannya menyadari kebodohan, mereka malah tetap setia terhadap sekte dan bahkan berpikir dunia terselamatkan berkat mereka. Semakin banyak investasi kepada sekte, semakin lama bumi akan selamat.
Investasi ini, baik yang berupa materi maupun emosi, membuat penderita bertahan. Sudah terlalu banyak rasa sakit dan pengorbanan yang dilakukan untuk bertahan, jadi mereka pun memutuskan untuk bertahan sampai akhir. Jadi gabungan dari Sindrom Stockholm dan cognitive dissonance, membuat korban percaya bahwa hubungannya dengan pelaku bukan hanya bisa ditolerir tapi juga merupakan sebuah kebutuhan untuk bertahan hidup.
Cara Menangani Penderita Sindrom Stockholm
Tidak ada obat khusus untuk menangani sindrom ini. Psikiater biasanya akan memberikan obat penenang untuk mengatasi kecemasan, seperti obat yang diberikan untuk penderita Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) karena memiliku gelaja yang mirip.
Selain terapi oleh psikiater, terapi kelompok dan terapi keluarga dengan cara bercerita lebih terbuka diharapkan bisa segera memulihkan penderita.
Untuk orang "normal" akan sulit mengerti perilaku penderita sindrom. Bahkan penderitanya pun bingung kenapa mereka bisa seperti itu. Sindrom ini hanyalah salah satu cara alam bawah sadar untuk mempertahankan diri dari siksaan yang didapat terus menerus. Jadi sangat penting bagi kita untuk tidak menghakimi orang lain tanpa tahu keadaan sesungguhnya.
"Mati itu hal mudah, tapi seperti apapun buruknya, Hidup sangat layak untuk diperjuangkan."
Sumber :
https://en.wikipedia.org/wiki/Stockholm_syndrome
https://counsellingresource.com/therapy/self-help/stockholm/
https://www.theguardian.com/world/2009/mar/21/josef-fritzl-pyschiatrist-interview
https://the-line-up.com/stockholm-syndrome
https://ordinaryevil.wordpress.com/2012/02/22/the-horror-of-the-girl-in-the-box-helps-us-understand-attachment-behavior/
https://www.alodokter.com/memahami-fenomena-stockholm-syndrome
https://www.idntimes.com/hype/fun-fact/hanifah-pramesti-tami/apa-itu-stockholm-syndrome-c1c2
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top