03 : New Days
"Ibu, jangan. Kumohon."
"Hyo, proyek ini harus berhasil. Tidak apa-apa, ibu terus memperhatikanmu dari sini."
"Ibu, tidak, Ibu!! IBUUU!!"
Enhyo tersentak kemudian tersengal kehabisan napas, nyaris sebanding dengan sempit dada ketika usai berlari maraton di tangga universitas. Kemudian ia temukan dirinya masih pada tempat yang sama, berdebu dan bau kotoran hewan yang menyengat setelah kejatuhan sinar matahari. Astaga, gadis itu masih berharap bahwa segalanya hanya mimpi.
Ia duduk, menarik diri dari lantai kotor yang semalaman mencabuli tubuhnya, merasakan hangat yang eksesif nyaris panas pada atmosfer ruangan. Oh sialan! Bahkan pakaiannya sudah lebih lepek dari pada rambutnya sendiri. Celana yang ia pakai mulai menggaggu sebab belum diganti sejak kemarin, ada rambatan gatal di antara selangkangan. Di mana ia bisa mandi pada tempat laknat semacam ini?
Eunhyo lantas berdiri, membuka jaket kulit serta mengibaskannya mengusir serdak yang melekat. Dua irisnya meliar, memandangi kembali ruangan berskrin kusam luar biasa. Oh, Tuhan, jika saja Eunhyo lupa pada situasi, harusnya ia membutuhkan orang untuk mengingatkan otak serta jiwanya bahwa ia sungguh masih berada di sebuah kota mati.
Senyap luar biasa, hanya terdengar kicau beberapa hewan sejenis burung di luaran sana yang kemudian menyentak pikiran Eunhyo begitu hebat. Ada yang ia lupakan.
Di mana Jungkook?
Seharusnya gadis tersebut tidak lagi memperhatikan bangunan nyaris runtuh ini, semuanya memang sudah semati itu. Sekarang kepanikan memakan seluruh tempat pada tiap saraf yang terlindungi kulit putih pucat miliknya. Ruakan ketakutan itu tandang kembali, mengoyak isi lambung dan membuat Eunhyo nyaris muntah kembali mendapati realitas di hadapannya.
"Shit!"
Eunhyo lekas mengikat dua lengan jaket pada seputar pinggang, menelan celana pendek yang ia pakai, dan mengekspos kaus hijau lembut tanpa lengan yang melekat erat pada tubuhnya.
Sudah cukup waktu untuk merengeki keadaan, seberapa kali ia berasumsi, respons-nya masih sama; ia benar hidup di kota imitasi ini. Maka, kala dirasa tidak berguna bersikap cengeng pada semesta laknat ini, Eunhyo memantapkan tungkai kembarnya untuk keluar dari ruangan. Tidak berhenti meski hanya untuk mengagumi seberapa paripurnanya tempat ini.
Masa itu sudah lewat. Kini Eunhyo memiliki tujuan untuk bertahan hidup dari jerat-jerat kematian yang bisa saja ia temui kapan saja di tempat ini. Menghabiskan banyak waktu untuk menemukan tangga yang—anehnya—tersembunyi di dalam sudut salah satu bilik lantai.
Udaranya panas, dan terlalu cerah. Gadis itu memicingkan mata untuk menangkap konteks sekitar yang benar tanpa kehidupan. Begitu tiba pada halaman yang panas, ia berhenti kembali. Ada banyak sekali arah, gedung-gedung pencakar langit yang tak lagi berwarna indah, serta bekas toko—mungkin—yang kehilangan beberapa kaca sebab pecah.
Sumpah, Demi Hades, ini adalah lokasi paling menyeramkan setelah Neraka.
Sekarang aku harus ke arah mana?
Mencoba untuk menyingkirkan tujuan pentingnya untuk mencari letak keberadaan whise, Eunhyo harus menyahuti keadaan genting dulu. Ada nyanyian kasar yang terus keluar dari arah perutnya yang rata. Ia perlu makanan.
Peduli setan dengan kulit lengket, atau seberapa kotor pori-porinya dicumbui serdak, Eunhyo melupakan sebersih apa dirinya sebelum tiba di tempat ini. Lantas memutuskan untuk menyisir arah barat daya, mencari-cari presensi apa saja yang dapat menopang kebutuhannya. Mungkin ia akan menemukan beberapa kaleng makanan atau camilan di beberapa toko terbengkalai. Iris-irisnya menelanjangi sekitar, mengirim sinyal pada otak untuk mengingat-ingat bagian distrik di tempat ini. Namun nihil, tatanan kotanya berubah dari yang terakhir kali ia lihat pada I-pad ibunya.
Suara ketukan sepatunya pada trotoar jalanan yang kering terdengar nyaring, bisa Eunhyo rasakan setegak apa bulu lembut pada tengkuknya ketika memastikan bahwa ia sungguhan sendirian.
Perkara Jungkook yang pergi begitu saja tidak dipusingkan, bagaimanapun dirinya memang bukan tanggung jawab lelaki itu. Sebabnya, Eunhyo mengeraskan diri kemudian mengebumikan ketakutannya untuk selamat dari petaka-petaka di sini.
Berjalan tanpa peta, Eunhyo merasakan pegal pada kaki serta rontaan nyeri pada perutnya. Barangkali ini sudah mencapai semenjana hari, sebab mentari sedang begitu tinggi dan nyaris membakar habis ubun-ubunnya. Mungkin sudah dua jam atau lebih gadis tersebut mencoba memasuki beberapa bangunan satu lantai, dan mencari-cari sisa makanan pada etalase yang pecah atau rak-rak kosong. Tidak tersisa apa pun, hanya beberapa kaleng berisi kotoran hewan. Astaga, ini sungguhan kota makam, tidak ada apa pun yang dapat dijadikan bahan makanan. Kelompang pada perutnya semakin menjadi-jadi, dan Eunhyo mendadak terkekeh di antara kulit-kulit bibirnya yang kering dan mengelupas. Ini memang tempat paling estetik untuk mati.
Entah mengalami gangguan penglihatan atau memang ada sesuatu bergerak di depan sana, Eunhyo lantas memicing, bahkan tanpa takut atau mau menunggu lama untuk memastikan bahwa apa yang dihampirinya bukan bahaya, ia melesat dengan sedikit berlari menuju satu gedung bekas ruko kecil bertuliskan Hoping market pada bagian spanduk depan. Mendorong pintu kaca dengan cepat, kemudian ia hanya menemukan kesenyapan di sana.
Oh, sialan! Aku sudah lelah sekali.
Menggigit bibir bawah dengan keras, Eunhyo lantas segera berbalik untuk keluar dari ruko tersebut setelah cukup dirasa tidak ada apa pun di sini. Namun, konklusi yang terlalu buru-buru, karena pada saat hendak membuka pintu kaca, sesuatu melesat dengan begitu cepat di belakangnya, terbias pada kaca, hingga tahu-tahu ia rasakan tangannya dipiting ke punggung dengan wajah yang sedikit dibenturkan pada pintu.
Sekarang apa lagi?
Eunhyo tidak sempat untuk merasa terkejut lagi, keadaan memaksanya untuk membiasakan diri dengan keanehan yang tersembunyi pada rahim kota. Mengandalkan insting untuk menyelamatkan diri, Eunhyo meronta sekuat yang ia bisa, melepaskan diri kemudian mendaratkan cekalan pada leher lawan dan menendang kakinya. Oke, pengalaman pertama berkelahinya tidak buruk juga. Berbekal nekat dan juga keinginan untuk hidup.
Tubuh di depannya tertekuk, kemudian Eunhyo membelalak selebar itu begitu mengetahui siapa yang kini tengah ia tatap. Gadis itu segera menarik tangan dari leher yang ia cekik tanpa niat, kemudian mundur beberapa langkah. Ia... seseorang dengan gender yang sama seperti dirinya; seorang gadis.
"K-kau?" gagapnya, "Siapa kau?"
Memang seharusnya Eunhyo tidak lengah, memang seharusnya ia tidak menjadikan empati sebagai alasan. Sebab kini gadis dengan surai merah pudar itu meraih sesuatu dari pinggang kemudian menubruk tubuhnya tanpa ampun. Pisau? Lagi? Eunhyo tidak mengerti mengapa semua orang memegang senjata dan menganggap orang yang ditemuinya adalah penjahat. Apakah wajahnya berubah menjadi kriminal sejak tiba di tempat ini?
"Siapa kau?" Si rambuh merah bertanya, dan Eunhyo menahan tangan yang hendak menghunuskan pisau pada jantungnya.
"lepaskan. Aku tidak berniat menyakitimu, aku bukan seseorang yang membawa ancaman," belanya pada diri sendiri.
Tangan si rambut merah nyaris pudar meraba seluruh tubuh, mendeteksi adanya senjata yang bisa saja tengah disembunyikan. Cukup memakan waktu hingga akhirnya memvonis bahwa lawan di bawah tindihan tubuhnya tidak cukup berbahaya. "190898," desisnya kemudian.
Eunhyo membuka mulut dan mengeluarkan suara heran sejenis ' hah' di sana. Memandang si rambut merah yang telah pudar dengan kuriositas meledak, "Apa yang kau sebutkan itu?"
"190898, kode anasir Nysusku, Kim Kara. Sebutkan namamu."
Eunhyo menggeleng, semakin mengeratkan cengkeraman pada pergelangan tangan Kara yang kini tengah mengarahkan mata pisau di atas dadanya. "Aku bukan golongan Nysus."
Pengakuan yang salah, sebab bisa ia rasakan dorongan yang kuat pada tangan dalam cengkeramannya. Mencoba untuk menenggelamkan benda lancip tersebut pada dadanya. Jika diam, cicitan B'lumimous pada kolong kasir akan menjadi saksi bagaimana hidupnya ditamatkan.
Maka, dengan sisa kepayahan dan juga reflek kerja otak dalam berpikir, Eunhyo melakukan tindakan defensif dengan suara terlebih dulu, "Aku bukan orang jahat, tidak menyakiti, ini hari pertamaku berada di sini." Eunhyo mengerang begitu merasakan ujung pisau telah menyentuh dadanya. "Aku tiba-tiba berada di sebuah kamar gedung, dan bertemu seseorang di sana, namanya Jungkook."
Terima kasih pada Athena yang begitu bijaksana memberinya kesempatan untuk kembali selamat dari kejadian buruk, sebab Kara mendadak menghentikan komidinya untuk menyelimuti besi tajam tersebut menggunakan darahnya.
"Apa kau baru saja menyebutkan Jungkook?" tanya Kara dilengkapi dengan kerutan pada kening.
Oh, Jungkook telah dua kali menyelamatkannya. Bahkan ia berhasil bernapas hanya karena nama pria itu.
"Ya," sahut Eunhyo bersemangat. "Semalam aku bertemu dengannya, dia menyelamatkan aku dari Felusator dan kami terpisah pagi ini. Dia juga menyebutkan golongan Nysus. Sejujurnya, aku tidak mengerti apa yang dia katakan."
Kara diam selama beberapa saat, tidak pula menjauhkan pisaunya dari dada Eunhyo, atau bahkan turun dari aksi tindihannya pada tubuh gadis tak berdaya tersebut. Tampaknya, jika saja Eunhyo tidak salah menebak, Kara tengah mengolah keadaan dalam kepalanya.
"Kau bilang baru datang ke tempat ini?" Hyunji memastikan.
Eunhyo mengangguk, meminta simpati. "Tolong percaya padaku."
Kara kembali diam, kali ini menarik diri dari tubuh Eunhyo dan menyimpan pisaunya kembali. Tatapannya tidak berhenti menatapi wajah gadis itu, gurat-gurat pada wajahnya sulit terbaca, hingga kemudian ia bertanya lagi, "Apa kau terbangun di sebuah kamar nomor 19 lantai 08? Gedung Empty One?"
Eunhyo sesungguhnya tidak tahu persisnya, ia tidak menelaah keadaan sedetail itu. Ia tidak tahu apakah kamar tempat ia terbangun sama seperti yang disebutkan Kara? Namun pada akhirnya ia mengangguk untuk menyelamatkan diri, "Aku dari sana. Dengar, aku dikirim kemari untuk kabur. Jika kau mau percaya dan membantuku, kita mungkin akan bisa pergi dari kota ini. Aku bersumpah, ada kehidupan yang lebih baik di luar sana."
Ia tidak ingin hilang kesempatan, setidaknya memiliki satu rekan terdengar lebih baik dari pada sendirian. Maka, ia terus mencoba untuk membujuk Kara yang menatapnya dengan aneh, "Aku butuh seseorang yang kenal dengan tempat ini. Aku berjanji akan membawamu keluar."
Kara menghela napas, merogoh kantung kecil yang dikaitkan pada pinggangnya dan memberikannya pada Eunhyo. "Makan itu." Sebuah roti nyaris berjamur. "Cepat bangun, dan ikuti aku."
Eunhyo bangkit, setidaknya ia tidak sendirian.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top