Bab 16

Sohyun berjalan tertatih menuju apartemen kecilnya. Biasanya, di jam sekarang ini ia sedang makan siang di kafetaria bersama Hani. Biasanya ia yang selalu keluar gedung lebih telat dan kini justru kebalikannya. Ia meninggalkan gedung, membawa barang-barangnya dengan rapi dan memasukkannya ke dalam kardus. Sohyun melangkah tanpa ragu, menyentuh pintu keluar meskipun banyak orang yang memandangnya penuh penasaran.

Sohyun tidak menyangka bahwa dirinya sebodoh itu untuk bisa ditipu dan dimanfaatkan. Pindah di kantor yang reputasinya terjamin, rupanya tidak dapat menentukan takdir Sohyun menjadi lebih baik lagi. Boro-boro hidup enak dengan gaji yang melimpah, mendapat rasa sakit hati lah yang justru ia dapatkan. Sekarang, tidak tahu lagi harus bagaimana Sohyun memberitakan ini kepada keluarganya. Mereka dulu sangat senang dan antusias atas diterimanya Sohyun di perusahaan Genius. Mereka terlalu banyak menaruh harapan, Sohyun tidak tega untuk menyampaikan kalau dirinya mengundurkan diri. Itu sama saja seperti Sohyun menjatuhkan mimpi semua orang di keluarganya.

Lalu, bagaimana jika keluarganya, terutama kakaknya yang selalu ingin tahu—Sungkyung—menanyakan alasan di balik minggatnya Sohyun dari Genius? Tidak mungkin Sohyun membongkar rahasia—yang benar-benar jadi rahasia—bosnya itu. Sudahlah. Semua serba salah di kepala Sohyun.

Gadis itu pun tiba di depan pintu apartemennya. Tangannya begitu berat untuk diayunkan ke depan, menyentuh kenop pintu setelah sebelumnya menekan password.

"Bi, aku pulang," salamnya pada Bibi Lee, yang biasanya sedang duduk di depan televisi.

"Bi?" panggilnya sekali lagi, namun tetap tidak ada yang menyahut.

"Noona!" Terdengar teriakan Beomgyu. Ia terlihat berlari dari kamarnya untuk menghampiri Sohyun. Langkahnya tergesa dengan raut muka panik bercampur sedih.

"Beomgyu? Ada apa? Kau menangis?"

"Noona, Hyung dilarikan ke rumah sakit!"

"Apa?!"

***

Tidak ada hal yang jauh lebih menyedihkan dibanding melihat saudaramu sendiri terbaring lemah di dalam ruang ICU. Sohyun tak kuasa menahan tangis, memperhatikan Minhyuk yang terhubung selang dan beberapa kabel dari alat medis. Layar monitor yang ada di sisi kiri ranjang Minhyuk terus berbunyi, mengeluarkan suara nyaring yang secara awam terdengar stabil.

Ibunya sedang berada di ruangan dokter. Mungkin membicarakan kondisi serius yang Minhyuk sedang alami. Sekali lagi, Sohyun benar-benar tak paham. Apa yang sebelumnya terjadi, apa yang sekarang sedang terjadi, dan bagaimana masa depan akan menantinya. Sohyun tidak tahu sakit apa yang diderita Minhyuk, tapi dia yakin, ada yang keluarga angkatnya itu sembunyikan. Atau mereka memang sengaja tidak memberitahu Sohyun tentang riwayat penyakit Minhyuk? Tapi kenapa?

"Sebenarnya, Oppa sakit apa?" tanya Sohyun pada Beomgyu yang terduduk lemas di sampingnya. Mereka belum diizinkan masuk ruang ICU, jadi mereka menunggu di luar ruangan sampai muncul kabar baik dari dokter.

Beomgyu mengangkat dagunya. Remaja yang tak pernah kelihatan wajah sedihnya itu, sekarang menatap Sohyun dengan mata berair dan hidung penuh ingus. Sohyun mengangkat tangannya untuk mengelus kepala Beomgyu. "Jangan menangis seperti itu, katanya kau sudah dewasa," hibur Sohyun.

"Menjadi dewasa bukan berarti tidak boleh menangis, Noona sendiri yang bilang kan? Berapa umur Noona saat Eomma membawa Noona ke rumah? 17 tahun. Aku sekarang 17 tahun, dan waktu itu Noona juga menangis berurai air mata saat pertama kali masuk menjadi anggota keluarga kami," bela Beomgyu panjang lebar sambil menyeka air mata yang menuruni pipinya.

"Dasar. Kau pandai membuat alasan, ya? Kau belum menjawab pertanyaanku. Sebenarnya, Oppa sakit apa?"

Beomgyu terdiam sejenak. Kepalanya lalu menoleh ke depan dan ke belakang. Setelah dirasa aman, barulah ia mendekatkan wajahnya dan berbisik kepada Sohyun.

"Aku tidak boleh mengatakan ini, tapi karena Noona ingin tahu, akan aku katakan yang sejujurnya."

Benar kan? Dugaan Sohyun tidak meleset. Memang penyakit Minhyuk tidak bisa dianggap remeh. Sejak dulu pria itu sakit-sakitan, bahkan Minhyuk sampai tidak bisa menetap di satu perusahaan dalam waktu yang lama. Pria itu hanya bertahan beberapa bulan hingga akhirnya ia dipecat karena alasan kesehatan.

"Hyung punya penyakit jantung bawaan sejak lahir. Kata dokter, jantungnya lemah, tidak bisa memompa darah dengan normal. Setiap kali Hyung kecapaian, Hyung akan mudah pingsan. Dan lebih parahnya, dia bisa sampai terbaring kritis seperti saat ini."

"Apa sebelumnya Oppa pernah masuk rumah sakit dengan keadaan parah begini?"

"Pernah. Dulu sekali, sebelum Noona masuk ke dalam keluarga kami. Dokter pernah menyarankan untuk melakukan transplantasi jantung jika keadaan Hyung tidak membaik, tapi karena keadaan Hyung berangsur pulih, dokter mencabut saran itu. Meskipun begitu, tidak menutup kemungkinan jika suatu hari nanti Hyung membutuhkan operasi itu."

Sohyun mendesahkan napasnya. Biaya untuk operasi transplantasi jantung paling tidak sekitar 140 juta won. Gajinya selama bekerja empat tahun pun tidak akan mencapai angka itu, dan sekarang ia kehilangan pekerjaan atas kemauannya sendiri. Darimana Sohyun mendapatkan uang? Untuk pengobatan Minhyuk hari ini saja—sampai entah kapan—pasti memakan banyak biaya. Ibunya juga pasti kesulitan mengumpulkan uang untuk pembayaran administrasi.

Sohyun meraup mukanya kasar, ia sungguh tidak tahu harus bagaimana lagi. Ia juga tidak mungkin mengatakan kalau saat ini dirinya menjadi pengangguran. Kenapa masalah besar harus menimpanya di waktu yang tidak tepat?

"Sohyun, kau di sini?" tanya Sungkyung yang juga baru tiba dari tempat kerjanya. Wajah wanita itu sama paniknya seperti Beomgyu tadi.

"Noona!" Beomgyu—dibantu Sohyun—menahan tubuh Sungkyung yang tiba-tiba merosot setelah mengintip dari balik kaca pintu ruangan Minhyuk. Wanita itu mungkin terlalu syok menghadapi kenyataan bahwa adiknya terbaring di rumah sakit untuk kesekian kalinya. Bisa dikatakan, ini yang paling parah.

"Eonni, kuatkan dirimu, kita hadapi ini sama-sama, ya," ucap Sohyun.

"Ya Tuhan, kenapa harus Minhyuk yang mendapatkan penyakit itu? Harusnya aku saja. Dia anak laki-laki, seharusnya dia yang jadi pelindung keluarga kita, dan bukan kita yang malah melindunginya!"

"Eonni, jangan berkata begitu. Sakit itu datang dari Tuhan, ini sudah takdir. Tidak baik menyalahkan takdir. Aku yakin, Oppa akan cepat pulih seperti sedia kala."

"Mustahil, Sohyun! Mustahil! Dokter bilang ... umurnya tidak akan lama lagi! Ia pernah didiagnosis mengalami gagal jantung, jika tidak segera dilakukan transplantasi, dia tidak akan selamat!"

Sekali lagi. Hati Sohyun teriris mendengar realita pahit yang sekarang ia hadapi. Keluarganya terlalu banyak menyembunyikan informasi penting, bahkan, soal penyakit yang ternyata bisa merenggut nyawa Minhyuk kapan saja. Kenapa tidak ada yang memberitahunya?!

"Kalau begitu, kita harus melakukan operasi itu. Iya kan, Eonni?" tanya Sohyun ragu-ragu.

"Tidak semudah itu Sohyun," jawab Sungkyung lesu. "Tidak semudah itu!"

"Aku tahu, pasti soal biayanya kan? Aku bisa carikan pinjaman, kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk kesembuhan Oppa."

Sohyun rela, jika ia harus kembali ke Genius dan mengemis kepada Yoongi. Atau, setidaknya Sohyun bisa mengancam pria itu dengan menyebarkan rahasianya kan? Dengan meminta imbalan uang sebagai bentuk tutup mulutnya, Sohyun bisa menyelamatkan nyawa Minhyuk. Gadis itu bisa melakukan hal sekotor apapun asalkan keluarganya tetap bahagia.

"Aku tidak mempermasalahkan uang. Tapi ... siapa orang yang akan rela mendonorkan jantungnya? Meskipun dokter berusaha menemukan donor yang pas, tapi keluarga dari pendonor itu yang tidak terima kalau jantung anggota keluarganya yang sudah mati diambil. Kita tidak ada lagi harapan, Sohyun. Tidak ada harapan!"

Sohyun pun memeluk Sungkyung yang menangis tersedu. Beomgyu, remaja lelaki itu terlihat menahan tangisnya berkali-kali. Namun, air mata sialan itu tetap lolos dari matanya dan meninggalkan jejak transparan di sekitar pipi.

"Tolong jangan kau katakan pada Eomma kalau aku memberitahumu banyak hal. Jangan katakan apapun, berpura-puralah kau tidak mengerti apa yang sedang terjadi," sambung Sungkyung dengan suara paraunya.

"Kenapa? Kenapa aku harus diam seolah tidak tahu masalah kita?"

"Karena, Eomma tidak akan menyukainya," sahut Beomgyu yang membuat Sohyun menggelengkan kepala.

***

Sohyun sedang duduk di taman rumah sakit saat Jimin datang untuk menengok Minhyuk. Beomgyu sudah mengabari Jimin kalau Minhyuk masuk rumah sakit. Dan selesai melihat sahabatnya di ruang ICU, Jimin memutuskan untuk mencari Sohyun. Lalu, di sinilah ia sekarang berada.

Pria itu menghampiri Sohyun, duduk di sebelahnya tanpa diminta, kemudian menyandarkan kepala Sohyun yang terasa berat akan beban pikiran ke pundaknya.

"Menangislah, kalau itu bisa membuatmu lega."

"Menangis tidak akan cukup, Oppa. Menangis tidak akan bisa membuat Minhyuk Oppa sadar kembali dan sehat sepertiku."

Jimin menepuk-nepuk pundak Sohyun, berharap gadis itu menjadi lebih tegar dan kuat. Jimin tahu, alasan apa yang membuatnya tidak bisa mencintai Sohyun, dan alasan mengapa ia menerima Sohyun sebagai kekasihnya walaupun tanpa didasari kata cinta adalah karena ia ingin melindungi gadis itu. Jimin ingin menjaga Sohyun. Meskipun awalnya ia ragu, namun bekas ingatannya dua puluh tahun lalu telah terbukti benar. Pria itu menyelidikinya selama ini.

Sebenarnya, Jimin ingin menceritakan sebuah kisah yang mana telah membuat jiwanya terikat pada Sohyun. Tapi dia terlambat. Perasaan itu terlanjur datang tanpa dia sadari. Jimin telah menggetarkan hatinya pada Sohyun, dan semakin ia mengelak atau menghindari perasaan itu, justru perasaan itu malah muncul semakin dalam. Jimin terlanjur jatuh cinta pada seorang gadis dari masa lalunya yang kelam. Sungguh berat baginya, karena konsekuensi dari kenangan dua puluh tahun lalu hanya ia sendiri yang menanggung. Sementara Sohyun sama sekali tidak mengingatnya.

"Oppa? Kau akan selalu bersamaku kan?" tanya Sohyun spontan, membubarkan pikiran-pikiran agresif yang menggelayuti otak Jimin.

"Aku akan selalu menjagamu. Apapun yang terjadi, jangan pernah jauh dariku."

"Oppa janji?"

"Aku membuat janji dua kali padamu, Sohyun. Untuk yang kali ini, aku pasti akan menepatinya."

Sohyun tidak mengerti arti ucapan Jimin. Apakah janjinya yang pertama—untuk belajar mencintai Sohyun—tidak bisa ia tepati? Entahlah. Sohyun tidak ada ruang untuk memikirkan hal itu sekarang. Yang jelas, ia mengkhawatirkan kondisi Minhyuk.

"Tapi Sohyun, apa kau tidak curiga tentang sesuatu?"

Jimin melanjutkan pembicaraan, ia mencoba mengganti topik.

"Curiga soal apa? Aku tidak mengerti maksud Oppa."

"Keluarga angkatmu krisis keuangan, ditambah lagi Minhyuk yang dalam kondisi sakit keras. Daripada mengadopsimu dari panti asuhan, mengapa Bibi Lee tidak menggunakan uangnya untuk biaya pengobatan Minhyuk saja?"

"Apa maksudmu aku tidak pantas untuk diadopsi?"

Salah. Pertanyaanmu salah, Jimin! Kau hanya membuat Sohyun tersinggung. Ayo katakan saja kebenarannya, apa itu sulit bagimu? Kau tidak ingin Sohyun hidup bahagia dan bebas dari semua ancaman itu?

"Aku ... bukan begitu maksudku! Kau pantas untuk memiliki keluarga Sohyun. Kau pantas untuk bahagia."

Tapi ... tidak dengan keluarga penuh rahasia ini.

"Lalu kenapa Oppa bilang begitu?"

"Aku hanya ingin tahu saja, bukankah ini aneh?"

"Bibi pernah bilang padaku. Dulu Oppa sangat ingin punya adik perempuan, tapi ... yang jadi anak bungsu keluarga Bibi malah laki-laki. Choi Beomgyu. Hingga muncul ide untuk membawaku dari panti asuhan, dan di sinilah aku. Di keluarga Choi."

"Lalu kenapa kau tidak mengubah margamu? Dan ... marga Kim itu kau dapat dari siapa?"

"Dulu sewaktu ayah kandungku menitipkanku di panti asuhan, yang Ibu panti tahu beliau bermarga Kim. Oleh karena itulah aku masih mengunakan marga Kim sampai sekarang. Aku ingin terus menyatu dengan keluarga kandungku meski aku tinggal tidak lagi bersama mereka."

"Dan ke mana ayahmu itu? Kenapa dia menitipkanmu di panti asuhan?"

Sohyun terdiam. Pertanyaan Jimin menurutnya sudah keluar ranah pembicaraan. Mereka mengobrol terlalu jauh. Haruskah Jimin membahas masa lalunya? Sohyun tidak menyukainya. Bukan berarti Sohyun membenci masa lalunya, melainkan Sohyun hanya ingin hidup dengan berorientasi ke masa depan. Gadis itu tidak suka mengungkit-ungkit kejadian yang telah lalu.

"Maaf, apa kau marah?"

"Ya. Aku marah. Aku tidak suka Oppa menanyakan masa laluku, itu privasiku."

"Hah, baiklah. Aku minta maaf. Sekarang, mau kuantar pulang?"

"Pulang?! Oppaku sedang sakit dan kau menyuruhku pulang?!"

"Tenang dulu, Sohyun. Dengarkan baik-baik. Noona yang memintaku untuk mengajakmu pulang. Dia khawatir pada kesehatanmu. Sebenarnya tadi ... aku tidak sengaja memberitahukan masalah pengunduran dirimu dari Genius padanya."

"Apa??? Oppa kan sudah janji tidak akan memberitahu siapapun! Kenapa–"

"Sst. Tenang, ya ... tenang. Kita bicarakan ini di apartemenmu. Mari kita pulang."

"Tapi–"

"Sohyun, ini demi dirimu dan juga Minhyuk. Apa kau ingin Minhyuk sedih mendengarmu kehilangan pekerjaan jika dia terbangun nanti?"

"Kalau tidak dikasih tahu, Oppa tidak akan sedih. Kita di sini saja, ya? Aku tidak mau pulang. Kembali ke apartemen malah semakin membuatku ingin menangis, aku jadi teringat bayangan Oppa yang selalu memanggilku seenaknya. Oppa yang tiba-tiba masuk ke kamarku lalu menggodaku, atau Oppa yang selalu mengajakku ribut saat kami sedang makan bersama. Terlalu banyak memori di sana, aku takut untuk pulang."

"Kita ... ke apartemenku saja. Kau juga harus istirahat. Kau bisa bergantian dengan Noona untuk menjaga Minhyuk besok. Bagaimana?"

Sohyun tampak mempertimbangkan tawaran yang Jimin ajukan. Daripada di apartemen sendirian, mungkin lebih baik ia ikut bersama Jimin malam ini. Ya, hanya malam ini.

"Sepertinya tidak ada pilihan lain. Baiklah, aku setuju. Tapi besok pagi-pagi sekali, Oppa harus mengantarku lagi ke rumah sakit."

"Ya, tentu saja."

Di perjalanan menuju parkiran mobil, seorang pria tiba-tiba muncul dan menyeret lengan Sohyun. Jimin yang mengetahuinya, langsung memukul wajah pria kurang ajar tersebut.

"Brengsek! Kau siapa? Jangan main tarik tangan seorang wanita! Apa kau penjahat?"

"Oh, Park Jimin? Jadi sekarang kau peduli dengan pacarmu?"

"Lancang sekali bicaramu! Kau siapa hah?"

"Konyol! Benar-benar konyol! Kau mendapat promosi sebagai Direktur Departemen Investasi di perusahaan Hi-Tech dan kau tidak kenal pemimpin perusahaan teknologi nomer satu di Korea Selatan ini? Jangan bodoh! Aku ini Min Yoongi, pemimpin perusahaan paling kuat di Korea."

"Siapa yang tanya soal identitasmu? Yang aku maksud, siapa kau seenaknya main seret tangan wanita yang statusnya adalah sebagai kekasihku?!"

Yoongi, pria itu kalah telak. Memang dia tidak memiliki status apa-apa. Status terakhirnya adalah bos dari seorang Kim Sohyun. Namun, sejak pengunduran diri tadi siang, Yoongi kehilangan kuasanya untuk mengambil Sohyun dari tangan Jimin.

"Sohyun, kita perlu berbicara!" Yoongi memilih untuk mengabaikan Jimin. Kedua matanya tertuju pada Sohyun, tangannya meraih kedua tangan Sohyun sebagai bentuk memohon. Yoongi berharap, Sohyun mau mendengarkan penjelasannya dulu sebelum semua hal menjadi makin rumit.

"Sudahlah, Mister! Tidak ada yang perlu Anda bicarakan, saya sudah tahu apa tujuan Anda datang ke mari!"

Sohyun membantah permohonan Yoongi lalu menghempaskan tangan pria itu. Tapi Yoongi pantang menyerah. Ia terus memohon agar Sohyun ikut bersamanya.

"Kau dengar kan?" sela Jimin. "Lepaskan dia, sialan!" amuk Jimin saat Yoongi ngotot menarik-narik lengan Sohyun.

Buagh! Sebuah tinju melayang tepat ke tulang rahang Yoongi. Perhatian pria itu pun teralihkan pada Jimin. Tampak tetesan darah mengalir dari sudut bibirnya, Yoongi tidak terima! Jimin terlalu ikut campur urusannya dengan Sohyun. Pria itu perlu diberi pelajaran.

"Kau yang sialan!" umpat Yoongi diiringi dengan tinju yang menyasar ke dagu Jimin. Jimin terdorong ke belakang, punggungnya terbentur sisi samping sebuah mobil yang sedang terparkir. Belum sampai dia berdiri tegak sepenuhnya, Yoongi menendang perut lelaki itu.

"Rasakan itu! Kau memukulku dua kali tadi, dan tendangan ini cocok untukmu yang sering membuat Sohyun sakit hati!"

Mulut Sohyun menganga mendengar ucapan pria berkulit pucat itu. Apa maksud kalimat terakhir yang Yoongi katakan? Kenapa belakangan ini otak Sohyun lambat dalam mencerna informasi?

"Kau!" teriak Jimin selagi ia menegakkan diri. "Kau tau apa tentang hubunganku?! Jangan asal bicara kalau kau tidak mengerti apapun!"

"Aku tidak tahu apa-apa? Kau salah! Kau salah berhadapan denganku, Park Jimin! Kau pikir aku tidak tahu kalau kau selama ini berselingkuh dengan sekretaris bosmu? Siapa ya namanya ... oh! Kang ... Seul ... gi. Benar kan?"

"Oppa?" panggil Sohyun lirih tertuju pada Jimin.

"Itu urusanku dengan Sohyun! Sebaiknya, kau tidak usah ikut campur!"

"Perlu! Aku harus ikut campur, kau bukan pria yang baik untuknya! Kau itu hidung belang, Park Jimin! Aku tidak akan membiarkan Sohyun terluka lebih dalam lagi!"

"Brengsek! Kau ini sebenarnya kenapa hah?! Tuan sok tau!" geram Jimin. Dengan penuh amarah, Jimin berlari cepat menghampiri Yoongi kemudian menarik kerah kemejanya. "Kau! Pergilah atau kuhabisi sampai babak belur!" ancam Jimin.

"Tidak! Aku tidak akan pergi sebelum aku berhasil membawanya!" Yoongi melirik ke arah Sohyun dan itu semakin membuat Jimin murka.

"Kurang ajar!" Jimin mendorong tubuh Yoongi hingga terperosok ke tanah. "Apa maumu? Kenapa kau sangat ingin membawanya pergi dan kenapa kau peduli padanya???" tanya Jimin tidak sabaran.

"Karena aku menyukainya!"

"Apa??"

"Aku menyukainya!" jawab Yoongi tanpa ragu, lalu ia melihat Sohyun yang berdiri kaku tidak jauh dari tempatnya. "Aku menyukaimu, Sohyun."







Tbc.

Siap-siap tajamkan seluruh panca indera yang kalian miliki ya, karena akan ada banyak teka-teki setelah ini wkwk. Sebenarnya udah aku munculin beberapa klu di sini. Itupun kalau kalian sadar.

Btw, kita udah di puncak konflik. Semoga kalian suka sama cerita ini, salam hangat dari Oca🌹 Good night. Dan yang lagi rebahan di atas kasur sambil nunggu waktu tidur, Oca ucapin "Jaljayo, semoga mimpi indah ketemu sama bias." Hehe.

Tunggu update-an selanjutnya!


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top