Bab 15

Lima tahun yang lalu, seorang pria tertunduk lemas di hadapan ayahnya. Ia memendam kesal atas perilaku ayahnya yang cukup keterlaluan—menurutnya. Bagaimana bisa seorang kakak dibanding-bandingkan dengan adiknya sendiri? Kenapa orangtua selalu melakukan hal itu? Kalau saja dia adalah Tuhan atau paling tidak, perwakilan dari sekian milyar manusia yang hidup di dunia ini, ia ingin mengubah tradisi buruk tersebut.

Ia percaya, setiap manusia memiliki pilihan hidup sendiri. Mereka lahir dengan bakat dan minat yang berbeda-beda, tetapi mengapa? Mengapa ia harus mematuhi dan mengabulkan semua yang diinginkan oleh ayahnya? Menjadi kuat dan cerdas, lalu mengurus bisnis mereka hingga terjaga sampai waktu yang tidak ditentukan.

Memang baginya itu bukan hal mudah. Selain berbisnis, ia memang tidak mempunyai minat lain. Mungkin, terlahir di keluarga seorang pengusaha kaya adalah sebuah anugerah. Dan ia bangga memiliki impian yang sama seperti sang ayah. Tetapi tidak begitu juga caranya! Setiap hari ia terus ditekan dengan penuh intimidasi. Jika suatu saat adiknya lah yang jauh lebih layak dibandingkan dirinya, maka semua hak waris atas perusahaan jatuh ke tangan sang adik. Tentu ia tidak terima, meskipun perbedaan usianya dengan sang adik tidak terlalu jauh, tetap saja ia yang lebih berhak untuk memangku jabatan tertinggi di perusahaan.

Berawal dari ambisi dan keserakahan tersebut, sang ayah kemudian memberi sebuah persyaratan kepada putra sulungnya. Ia harus membuktikan bahwa ia mampu dan lebih berhak daripada adiknya. Akhirnya, ia pun berencana membangun sebuah perusahaan. Ia selama ini tertarik dengan hal-hal yang berbau teknologi. Untuk membangun sebuah bisnis, tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi, ia harus berjuang seorang diri.

Maka, malam itu ia bertemu dengan seseorang yang sangat misterius. Di bawah topi bowler-nya, ia tahu bahwa orang tersebut bukan berasal dari negaranya. Kulitnya yang cenderung lebih gelap, juga perawakannya yang tinggi dan besar, ia merasa ciut di hadapan pria yang ditemuinya di sebuah bar.

Tanpa ia sangka, malam itu ternyata adalah malam keberuntungannya. Pria tersebut memperkenalkan diri sebagai Zack. Zack membawa banyak uang, ia tidak menyia-nyiakan peluang besar ini untuk membuktikan usahanya pada sang ayah. Zack menawarkan bantuan, asalkan ... ia bisa menyanggupi persyaratan yang Zack ajukan.

"Aku serahkan semua uang ini padamu, asal kau bekerja untukku."

Tanpa ragu, ia menjabat tangan Zack yang dingin dan keras. Dengan sekali bicara, kesepakatan di antara mereka pun tercapai. Selama bekerja pada Zack, ia—Min Yoongi—mulai mengenal banyak orang. Termasuk ketiga rekannya yang berada pada unit yang sama. Kim Namjoon, orang yang sebelumnya bekerja sebagai sales itu ia angkat menjadi HRD manager di Genius. Kim Seokjin, seorang papa muda pemilik club langganannya. Dan juga, Kim Taehyung, pria yang dia angkat sebagai penasihat karena profesi psikiater yang ia jalani.

"Riddle Eye" adalah sebuah organisasi rahasia yang terbentuk cukup lama, berasa dari sebuah kota kecil yang ada di Meksiko. Zack sendiri adalah nama samaran dari pemimpin organisasi tersebut. "Riddle Eye", seperti nama organisasinya, Zack terkenal sebagai orang yang penuh teka-teki. Lelaki itu pandai berkamuflase dan pindah dari satu negara ke negara lain untuk memperbanyak anggota. Ciri khas dari pemimpin kelompok mafia itu adalah kedua matanya yang berbeda warna.

"Riddle Eye" tersusun dari beberapa unit. Mereka melakukan perdagangan gelap, perampokan, pembunuhan, dan juga perjudian. Yoongi yang kala itu menyanggupi tawaran Zack, memilih untuk masuk pada unit perjudian. Ya, dia ahlinya dalam hal memutar otak. Tak ada yang bisa mengalahkan Yoongi di atas meja judi, ia pandai mengatur strategi. Namun, memasuki satu unit bukan berarti Yoongi tak ahli di unit lainnya. Selama menjadi anggota "Riddle Eye", Yoongi juga dibekali sebuah pistol.

Setiap anggota yang baru masuk, harus mentato tubuhnya dengan sebuah lambang. Di dada kiri Yoongi, terpahat sebuah tato bergambar naga—dengan warna dasar hitam— yang tubunya melingkar hingga sekilas terlihat seperti sebuah mata yang terbuka. Di dunia barat, naga dikatakan melambangkan kekayaan, kekuatan, dan keganasan. Maka, seperti itu pula lah "Riddle Eye" ingin dipandang.

Selama kurang lebih hampir dua belas tahun beroperasi, "Riddle Eye" menemukan titik paling berbahayanya. Setelah menetap di Korea untuk melancarkan aksinya, atas kecerobohan seorang anggota, keberadaan "Riddle Eye" akhirnya berhasil dicurigai oleh polisi. Yoongi yang kala itu ikut merasa terancam pun membuat sebuah rencana. Demi menutupi identitasnya, ia merampok perusahaannya sendiri. Dengan berpura-pura sebagai korban, Yoongi berhasil menyembunyikan diri. Ia meminta bantuan pada Zack agar lelaki itu dapat mengalihkan perhatian para polisi yang gencar dalam menemukan jati diri kelompok mafia tersebut.

Akhirnya, Zack mengirimkan beberapa anak buahnya untuk merampok di sebuah bank. Zack membuat skenario seolah-olah perampokan yang terjadi beberapa minggu itu adalah ulah para penjahat kota, dan bukan mafia. Hasil dari usahanya adalah tertangkapnya seorang pria yang mengaku sebagai otak dari berbagai kasus perampokan yang terjadi. Berita tersebut membuat sebagian masyarakat yang sebelumnya resah kembali tenang. Mereka merasa telah bebas dari ancaman, padahal, kejadian sebenarnya adalah "Riddle Eye" terselamatkan. Anggota organisasi tersebut terkenal dengan loyalitasnya yang tinggi. Sejak pertama kali mereka mengambil sumpah untuk menjadi anggota yang setia, setetes darah yang mereka jilat dari tubuh mereka sendiri menjadi saksi. Tidak heran, "Riddle Eye" adalah salah satu bukti eksistensi mafia yang paling kuat di muka bumi ini.

***

"Permisi, Nona." Suara lembut nan ramah mengalun di udara, disambut hangat oleh telinga Sohyun yang saat itu tengah bertugas di meja depan ruangan bosnya.

Sebenarnya ia agak lelah hari ini. Selain pekerjaannya yang padat, beberapa bisikan yang muncul terasa menggerogoti hatinya secara perlahan. Sohyun telah berusaha sebaik mungkin, namun kecerobohannya lah yang membuat dirinya banyak dibicarakan hari ini. Selesai isu tentang Jungkook, bukannya Hani yang jadi sasaran empuk untuk diolok-olok, melainkan dirinya. Sohyun tidak menduga akan demikian hal yang terjadi, tetapi sekali lagi, ia memang patut dipersalahkan karena meninggalkan kunci penting itu sampai-sampai perampokan bisa terjadi.

"Permisi, Nona?" Sekali lagi, suara lembut itu terdengar olehnya. Sohyun mengalihkan atensinya dari sebuah dokumen, kemudian menatap pria itu dengan ramah selagi mengucapkan kalimat maaf.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?"

"Ah, begini. Apa ... bos Anda ada di dalam ruangan?"

"Maaf, kalau boleh tahu, apa Tuan sudah membuat janji?"

Pria, ya pria bersuara merdu itu terlihat linglung. Sesekali tangannya mengusap tengkuknya sendiri, lalu berbicara dengan tidak yakin.

"Hmm, belum. Tapi saya ada urusan penting dengannya."

"Sekali lagi, maaf, Tuan. Tapi saya tidak bisa mengizinkan orang lain masuk sembarangan. Kalau Tuan sudah membuat janji, Tuan bisa datang lagi ke sini."

"Ah, begitu ya?" ucap pria itu dengan nada kecewa. Kalau diperhatikan, Sohyun merasa sedikit familiar. Mata pria itu menyempit di kedua sudutnya, bibirnya yang tipis, dan juga wajahnya yang kecil.

"Ada perlu apa kau datang ke mari?"

"Hyung?"

"Hyung?" ulang Sohyun, melibatkan diri pada interaksi antara dua orang yang sedang berdiri di hadapannya itu.

Pantas saja Sohyun tidak asing dengan wajah pria tersebut. Rupanya, mereka bersaudara. Sudah pasti mereka berasal dari gen yang sama.

"Hyung, aku ada perlu denganmu. Sebentar saja," pinta pria itu.

"Kau tau, aku malas melihat wajahmu. Tapi, semakin cepat kau pergi dari kantorku, semakin bagus. Masuklah," ujar Yoongi sembari mengajak pria itu masuk.

"Huh, adik dan kakak kenapa sifatnya berbeda sekali ya? Yang satu kurang ajar, yang satu malah sopan," gumam Sohyun hingga kemudian ia terfokus lagi pada pekerjaannya.

***

"Sohyun, jangan berjalan terlalu jauh."

Melupakan segala penat yang ia dapat di kantor, malam itu Jimin mengajaknya pergi berdua. Sohyun sangat senang sampai tidak tahu lagi harus berekspresi seperti apa. Dengan semangat, Sohyun berlari-lari kecil menyusuri jalan setapak yang ada di pinggir Sungai Han. Udara malam di musim semi memang selalu menyenangkan. Paru-paru gadis itu terasa bebas dari sesak. Sohyun melepaskan semua kebahagiaannya di sana malam itu juga.

Jimin tersenyum kecil. Ia memang sering melihat Sohyun tertawa, tetapi ... malam itu terasa lain dari biasanya. Namun, di balik senyumnya, tersirat sebuah kekhawatiran yang Jimin tidak tahu asalnya dari mana. Melihat tawa Sohyun, Jimin cemas jika suatu saat orang lain akan merenggutnya. Terlebih, orang yang mungkin sangat Sohyun cintai.

Menyusul Sohyun, Jimin pun menyejajarkan langkahnya lalu menarik lengan Sohyun. Mereka berdua berhenti. Pemandangan langit yang penuh bintang, mewarnai adu tatap mereka hingga tercipta suasana romantis. Melodi cinta seolah-olah mengalun di kepala, Jimin dan Sohyun saling mengunci pandangan. Tidak seorang pun yang berbicara. Tangan Jimin mengusap puncak kepala Sohyun, jemarinya turun, menyentuh anak rambut Sohyun lalu mengaitkannya di belakang telinga gadis itu.

"Sohyun," panggil Jimin dengan wajah yang terlihat serius.

"Iya?"

"Bagaimana jika suatu hari nanti kita menikah?"

"Tentu aku akan sangat bahagia, Oppa. Itu yang aku harapkan sebagai puncak dari hubungan kita."

"Tapi kau tahu kan? Aku ... tidak bisa mencintaimu."

"Bukan tidak bisa, melainkan belum bisa. Semua hanya butuh waktu, aku yakin itu."

"Kau terlalu percaya diri Sohyun. Kau tau aku melakukan ini semua untuk persahabatan antara aku dan kakakmu, tapi kenapa kau tidak pernah menyerah pada hubungan kita? Kau masih gigih untuk mendapatkan hatiku."

"Aku minta maaf, sepertinya, hubungan ini membebanimu, Oppa."

"Tidak. Bukan begitu. Aku tidak bermaksud bilang kalau hubungan ini membebaniku. Aku hanya ingin berkata jujur, bahwa ... sampai kapanpun, mungkin ... aku tidak bisa menaruh hati padamu."

"Kenapa?" Kalimat singkat dan padat itu pun berhasil membungkam mulut Jimin untuk berbicara. Ia sendiri tidak tahu alasannya. Jimin sendiri masih bingung dengan perasaannya. Benarkah dia telah jatuh hati pada Sohyun? Atau semua perasaan itu hanyalah tipuan mata atas suatu ancaman besar yang membuat dirinya berempati pada Sohyun.

"Mungkin, karena kau mirip ibuku."

Ya, Jimin tidak bohong. Sohyun mengingatkannya pada mendiang ibunya. Cara Sohyun tersenyum, tatapan polos berbinarnya itu, juga ketulusannya.

"Jadi Oppa tidak bisa mencintai ibu Oppa sendiri?"

"Hah, apa?"

"Oppa bilang aku ini mirip ibumu. Berarti Oppa tidak bisa mencintai ibu Oppa sendiri, ya?"

"Jangan bodoh, Sohyun. Aku mencintai ibuku lebih dari apapun. Tapi aku tadi bilang, kau mirip ibuku. Bukan berarti kau adalah ibuku. Cintaku pada ibu tidak bisa kubagi-bagikan, ingat itu."

"Sayang sekali. Padahal, cintaku pada Oppa sampai tumpah-tumpah. Oppa tipe yang setia ya."

"Terserah apa katamu," jawab Jimin seolah menolak untuk memberi komentar lebih jauh.

"Oppa, aku mencintaimu. Harus berapa kali aku bilang kalau aku mencintaimu?"

Jimin tak menjawab. Ia hanya mampu menatap gadis penuh harap itu. Jimin lalu mengembuskan napasnya.

"Sohyun, kau gadis yang baik. Kau jauh lebih pantas untuk mendapatkan pria yang lebih baik dariku."

"Pria itu adalah kau, Oppa. Kenapa kau tidak menyebut dirimu sebagai pria yang baik? Sejak pertama kali aku kenal dirimu, kau telah membuatku kagum dengan sikap teladanmu itu. Kau lihat kan? Berapa banyak gadis yang dulu mengejarmu? Aku termasuk salah satu yang paling beruntung," ucap Sohyun membanggakan diri.

"Kalau kau memang mencintaiku, lakukan satu hal ini untukku, Sohyun."

Sohyun mengerling cemas. Hal apa yang dimaksudkan oleh Jimin?

"Malam itu kau menciumku di depan Seulgi. Apa sekarang kau bisa menciumku sekali lagi? Aku ingin memastikan sesuatu."

Jantung Sohyun seakan berhenti bekerja. Apa Jimin tidak salah bicara? Tidak-tidak. Jimin pernah meminta hal itu beberapa kali padanya, kalimatnya tidak ada yang aneh. Tetapi, mendadak begini? Sohyun merasakan suasana yang berbeda. Jimin memang kelihatan semakin berubah hari demi hari.

"Sohyun?"

"Ya?"

Maka, percakapan singkat itu mengakhiri semuanya. Jimin menarik pinggang Sohyun, merapatkan tubuh gadis itu padanya. Jimin mendaratkan bibirnya pada milik Sohyun dan menempelkannya dalam waktu yang lama sebelum kemudian Jimin melumat bibir kekasihnya.

Perut Sohyun terasa geli, namun ia menikmati setiap pergerakan bibir Jimin di bibirnya. Sohyun mungkin tidak ahli berciuman, namun instingnya saat itu telah memimpin kesadarannya. Sohyun membalas setiap sentuhan Jimin. Ia ikut membagikan perasaan hangat yang ada di mulutnya sampai mereka puas.

"Terima kasih," kata Jimin di akhir pergulatan bibir mereka. "Aku berjanji akan terus menjagamu."

"Apa Oppa juga berjanji akan belajar mencintaiku?"

"Aku ... tidak yakin. Tapi, ya ... baiklah."

Jimin menyambut Sohyun dalam pelukannya. Ah, dia benar-benar jadi orang yang berbeda malam ini. Secara tiba-tiba. Entah bagaimana Jimin bisa merubah sikapnya pada Sohyun. Tapi, semenjak mendengar penjelasan yang Minhyuk katakan padanya, hatinya terasa perih. Ia mulai melihat Sohyun sebagai wanita yang patut diberi cinta dan perhatian. Jimin merasa bersalah karena selama ini telah membuat Sohyun kecewa dan sakit hati secara bersamaan. Mungkin, dengan selalu melindungi dan menjaganya, Jimin dapat menebus kesalahannya sedikit demi sedikit.

"Tolong jangan terluka," kata Jimin yang berhasil menghangatkan relung hati Sohyun.

"Kau juga, Oppa."

***

"Tidak, aku tidak mau yang itu."

Pagi itu, terjadi perdebatan kecil antara bos dengan bawahannya. Yoongi meminta dibuatkan sebuah kopi, tetapi setiap kali Sohyun membawakan cangkir ke ruangannya, Yoongi selalu menolak.

"Itu karena rasanya tidak sesuai dengan seleraku," alasannya.

Sohyun berjalan loyo keluar ruangan. Ia akan kembali ke dapur, memasak air, kemudian menuangkannya di dalam mesin berisi bubuk espresso. Sohyun lelah, tidak tahu, sudah berapa kali ia berjalan bolak-balik hanya untuk menghabiskan cangkir yang ada di dapur.

"Sohyun, kau kenapa?" tanya Namjoon yang secara kebetulan berpapasan dengan Sohyun ketika gadis itu baru saja keluar dari ruangan Yoongi.

"Mister meminta dibuatkan kopi, tapi semua kopi yang kubawa ditolaknya. Sebenarnya, seperti apa kopi yang dia minta?"

"Ck ck, kasihan sekali. Buatkan dia one shot americano dengan tiga sendok teh espresso. Suhu air panasnya harus 96°C, tidak kurang dan tidak lebih, karena Yoongi paling suka kopi yang pekat dan harum."

"Wah, Anda sangat detail, Tuan Namjoon. Baiklah, kalau begitu saya akan segera membuatkannya lagi. Apa Tuan mau bertemu dengan Mister?"

"Iya. Saya ada perlu."

"Mau sekalian saya buatkan americano?"

"Boleh juga."

Setelah mendapat instruksi yang bermanfaat dari Namjoon, Sohyun bergegas meluncur ke dapur. Beberapa OB dan karyawan memperhatikannya berjalan ke sana-ke mari membawa secangkir kopi. Mereka diam-diam merasa kasihan, karena mereka mengira Sohyun sedang berusaha menyenangkan hati Yoongi yang sebelumnya telah dibuat rugi oleh Sohyun sendiri.

"Kasihan, pasti karena merasa bersalah, Nona Sohyun melakukan hal ini-itu untuk menyenangkan hati Mister." Begitu kira-kira apa yang para karyawan ucapkan di saat Sohyun mondar-mandir dari ruangan Yoongi ke dapur.

Namun Sohyun mengabaikan hal itu. Dia fokus menyajikan kopi yang lezat untuk Yoongi. Berkat Yoongi, Sohyun tidak jadi kehilangan pekerjaan.

Setelah berhasil menyeduh dua cangkir americano, Sohyun berjalan kembali ke ruangan. Tetapi, percakapan yang terjadi antara Namjoon dan Yoongi—yang terdengar dari celah kecil pintu ruangan Yoongi yang tidak tertutup—membuat Sohyun terkejut.

"Aku senang kau membawanya kembali lagi ke sini. Tapi, apa tidak sebaiknya kau turunkan saja jabatannya? Karyawan lain menganggapmu pilih kasih. Mereka juga menyebar rumor kalau antara dirimu dan Sohyun punya hubungan rahasia."

"Aku tidak peduli apa kata mereka. Biarkan mulut mereka berbicara sepuasnya, setelah kupecat nanti, baru mereka tahu rasa."

"Yoon, bukankah kau sedikit ceroboh?"

"Ceroboh? Kenapa aku ceroboh?"

"Kita semua tahu kalau ruang brankasmu itu tidak menggunakan sebuah kunci. Kau memasang pengaman lain di sana kan? Dengan sensor sidik jari atau bola matamu, pintu itu akan terbuka. Tapi ... tidak dengan kunci."

"Iya, iya. Aku tahu, kok. Lagipula, siapa yang bilang kalau itu kunci ruang brankasku? Aku hanya meminta Sohyun untuk menjaganya karena itu kunci yang penting. Itu kunci almari yang ada di rumahku. Aku juga menyimpan sebagian uangku di sana."

"Astaga, kalau orang lain mengetahuinya, bisa terbongkar rahasia kita. Kenapa kau lakukan hal ini tanpa berpikir ke depannya bagaimana? Apalagi kalau bukan ceroboh?"

"Jangan panik begitu. Lagian, semua orang sudah mengira kalau perampokan terjadi atas keteledoran Sohyun. Kita aman. Rahasia bahwa kita termasuk anggota mafia akan terjaga, tidak akan ada yang menyadarinya. Percaya padaku."

"Itu artinya kau memanfaatkan Sohyun? Dia gadis yang tidak tahu apa-apa, kenapa kau tidak bicarakan dulu rencanamu denganku? Apa kau sudah tidak menganggapku sebagai teman?"

"Ini demi kebaikan kita berdua, Namjoon. Kalaupun harus aku sakiti satu orang, itu untuk menyelamatkan orang yang lebih banyak. Apa aku salah?"

Prang.

Yoongi dan Namjoon melihat ke arah yang sama. Dua cangkir kopi terjatuh ke lantai, meninggalkan bekas cairan hitam yang mengalir dan juga pecahan-pecahan beling. Di sana, berdiri seorang wanita yang lantas membuat Yoongi membulatkan matanya lebar-lebar.

"Mister, Anda ... Anda mengambinghitamkan saya untuk kepentingan pribadi?"

"Sejak kapan kau di sana, Sohyun?"

"Mister, aku ... akan membuat surat pengunduran diri."

"Sohyun, dengarkan aku dulu–"

"Aku tidak sudi bekerja di bawah pimpinan seorang anggota mafia," kata Sohyun yang berhasil menohok Yoongi. Ketika gadis itu membalikkan tubuhnya dan pergi, Yoongi tak mampu berbuat apapun untuk mencegahnya.

"Kita ketahuan, Namjoon. Aku membuatnya dalam bahaya."







Tbc.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top