Bab 14

Berada di depan layar komputer, berkutat dengan jadwal pertemuan yang masuk secara berkala melalui email perusahaan, dan suara mesin fotocopy dan printer yang saling bersahutan. Sohyun tak terganggu oleh semua itu. Matanya menerawang ke depan, jauh ... begitu kosong. Seolah, kesibukan di kantor tersebut bukan bagian dari hari-harinya.

"Hei! Kok melamun? Fokus kerja, Sohyun," seru Hani yang tiba-tiba kesal sendiri melihat rekan kerjanya terbengong di kubikel.

"Bu Hani? Maaf," balasnya singkat. Hani mendesah, ia tahu apa yang sedang Sohyun pikirkan di otaknya. Terlalu mudah ditebak.

"Kau masih kepikiran tentang dipecatnya Jungkook?" tanyanya. Sohyun yang tak menjawab, memberi pertanda bahwa apa yang diasumsikan oleh Hani itu benar. "Sohyun, ini dunia kerja. Jika seorang karyawan melakukan kesalahan, apalagi melibatkan nama baik perusahaan, mau tidak mau pemimpinnya harus bertindak tegas dan adil. Dalam hal ini, keputusan yang diambil Yoongi sudah benar. Ia memecat Jungkook, tidak memandang keterkaitan latar belakang antara aku dengannya. Dan aku bangga mengakui Yoongi sebagai atasanku. Atasan kita."

"Tapi, Eonni ... aku nggak tega kalau kau digunjingi oleh karyawan lain. Itu salah Jungkook, bukan salahmu. Mereka jadi menganggapmu yang buruk-buruk sekarang."

"Ngapain sih peduli apa kata orang lain? Mereka itu nggak mengerti apapun. Orang waras seperti kita percuma saja memberi penjelasan kepada orang-orang sinting di luar sana. Mereka berpikir nggak pakai otak, tapi insting. Abaikan dan fokus pada pekerjaanmu, oke?"

Hani berlalu. Seketika, Sohyun dapat merasakan kembali kesibukan yang sempat kabur. Ia melirik jam dan baru sadar bahwa semua lampiran yang masuk di email, harus segera dikirimkan kepada Yoongi.

Dengan sergap, gadis itu mengambil alih komputernya yang berubah layar menjadi hitam. Ia harus menyelesaikan tugasnya dan secepatnya pulang.

***

"Sore, Bi." Sohyun mengetuk pintu, meletakkan sepatu di pojokan, dan masuk apartemen sederhana milik keluarganya. Bibi Lee menyambutnya dengan pelukan hangat, seperti biasa.

"Mana Jimin? Tidak mampir?"

"Habis mengantarku, Oppa langsung kembali ke kantornya. Katanya ada meeting mendadak."

"Sore-sore begini?"

"Sebenarnya untuk nanti di jam makan malam."

"Dasar anak itu. Sibuk sekali sampai tidak bisa meluangkan waktunya di rumah mertua."

"Bibi apaan sih? Emangnya aku dan Oppa akan menikah?"

"Ya ... siapa tahu."

Mata Sohyun mengerjap saat dijumpainya seorang pria tengah duduk di ruang tamu. Bibir pria itu tersungging menatapnya. Sepertinya tidak asing. Sohyun yakin pernah menemuinya, tapi di mana?

"Eh, Nak. Kenalkan, ini kekasihnya Sungkyung, Nam Joohyuk. Dia bekerja di pusat kebugaran yang sama dengan kakakmu."

Ya, benar. Pacar dari kakaknya. Pria aneh itu. Sejak pertemuan pertama, Sohyun selalu dibuat merinding olehnya. Ada aura tidak menyenangkan setiap kali mata keduanya berpapasan.

"Bibi lagi ngomongin apa dengannya tadi? Kelihatannya serius," bisik Sohyun.

"Ini, kakakmu rencana mau menikah dengannya. Jadi, Bibi sedikit ngobrol-ngobrol, pingin tahu lebih dekat. Seperti apa pria pilihan kakakmu."

Menikah? Yakin kakaknya mau menikah dengan si misterius ini? Sohyun mengerutkan keningnya. Lagi-lagi tato itu. Tato di tubuh dan lengan Joohyuk sangat mengganggu pemandangan. Seakan-akan de javu, Sohyun merasa juga pernah melihat tato semacam itu di lengan orang lain sebelumnya. Tapi dia tak ingat siapa. Yang jelas, tato itu sangat familiar.

"Ayo, bergabung sama kami," ajak Bibi Lee. Namun, dengan alasan lelah dan tidak enak badan, Sohyun berhasil kabur ke kamarnya. Tidak mau berbicara dengan pria itu lagi.

Sesampainya di kamar, buru-buru Sohyun menutup pintu. Pacar kakaknya, Joohyuk, melayangkan pandangan mesum. Apa kerling mata pria itu selalu begitu kepada setiap wanita? Sohyun yakin, pakaian yang dikenakannya tidak terlalu menampilkan lekuk tubuh. Tidak seksi dan tidak menggoda. Tapi kenapa cara Joohyuk memandangnya terlihat mesum sekali?

Sohyun harus bicarakan ini pada Sungkyung. Kakaknya itu harus lebih hati-hati membawa calon suami. Kalau modelan Joohyuk, sudah pasti berbahaya.

Gara-gara kehadiran Nam Joohyuk, Sohyun melewatkan makan malamnya. Lagi pula, ia tak begitu lapar. Tapi kemudian, Bibi Lee masuk ke kamarnya dan membawakan ramen. Aroma sedap bumbu pedas langsung membuat air liur Sohyun menetes. Gagal sudah acara 'tidak mau makannya'.

"Sohyun, ini Bibi buatin ramen kesukaanmu."

"Bibi kenapa repot-repot sih? Sohyun bisa bikin sendiri."

"Nggak. Daripada itu, Bibi ke sini buat tanya-tanya."

"Soal apa, Bi?" tanggap Sohyun sambil melahap ramen yang telah berpindah tangan padanya.

"Soal kelanjutan hubunganmu sama Jimin."

Tiba-tiba Sohyun tersedak. Kuah pedas itu terasa menggores kerongkongannya. Ia terbatuk-batuk. Sensasi panas langsung membuat air matanya menggenang. Akh, pedas sekali! Air mana air?!

"Ini, ini! Minum dulu airnya!" panik Bibi Lee menyaksikan Sohyun yang kepedasan. "Gimana? Baikan?"

"Makasih, Bi. Untung aja diminumin air."

"Kamu ini kenapa? Bibi cuma sebut nama Jimin, kamu langsung keselek."

Sebut saja sih tidak masalah, Bi. Tapi Sohyunmu itu khawatir akan muncul pertanyaan macam-macam darimu. Apalagi, setelah bibi dan Joohyuk membicarakan tentang pernikahan.

"Kamu nggak niat menikah dengan Jimin secepatnya, kan?"

Nah, kan. Bibi Lee menanyakan itu. Gawatlah Sohyun. Harus jawab apa dia? Hubungan saja baru berkembang setelah dua tahun tanpa jiwa. Beri mereka sedikit waktu lagi.

"Sohyun sama Oppa masih mikir soal karier dulu, Bi. Nanti kalau masing-masing dari kami sudah siap, pasti bakal lanjut ke pernikahan," yakin Sohyun. Ia pun berharap Jimin mengatakan hal yang sama jika mendapat pertanyaan yang kurang lebih seperti yang dilontarkan bibinya.

"Sebenarnya, Bibi sendiri belum setuju kalau kalian cepat-cepat nikah."

"Kenapa, Bi? Kok begitu?"

Topik yang sebelumnya ingin Sohyun hindari, malah justru membuat Sohyun semakin penasaran. Ia pun terus bertanya sampai mendapat jawaban yang memuaskan.

"Kan kamu tahu, uang Bibi tidak banyak. Itu pun buat membantu biaya pengobatan Minhyuk. Dan kakakmu Sungkyung juga sebentar lagi menikah. Bibi tidak punya cukup uang untuk menggelar pernikahanmu berikutnya."

"Ehm, sebenarnya, Sohyun ada tabungan, Bi. Hasil gajian separuhnya aku sisihkan jika suatu saat aku ada keperluan. Itu bisa dipakai buat modal nikahan Sohyun juga kan? Terus, kalau Sohyun bilang ke Oppa, dia juga pasti bakal bantu nambahin modal pernikahan kami."

Bibi Lee mengulurkan tangan untuk menyentuh pipi putri angkatnya. "Nak, itulah kenapa Bibi sangat bangga padamu. Kau dewasa dan terencana. Tapi Bibi mohon, tunda dulu pernikahanmu sampai Minhyuk sembuh total. Dan Sungkyung akan menikah duluan, dia lebih tua juga kan? Kau benar, fokus saja pada kariermu terlebih dahulu. Kalau sudah siap mental untuk menikah, kita tinggal bicarakan sama-sama, ya."

Sohyun mengangguk dan mengukir senyum di wajahnya.

"Nah, selesaikan makanmu, lalu segera istirahat. Ini sudah malam."

"Baik, Bi."

"Dan ini, jangan lupa kau minum. Ini-"

"Minuman kesehatan untuk jantungku, kan? Iya aku tahu, Bi. Sohyun hafal karena Bibi selalu membawakannya sebelum aku tidur," ucap Sohyun bangga. "Terima kasih, Bi, sudah memedulikan kesehatanku. Aku menyayangimu."

***

"Ini! Ambil 100 juta wonku. Aku masih punya banyak, cih."

"Haha, luar biasa! Raja balap ini pada akhirnya mengakui kekalahannya juga!"

Yoongi membawa sekoper uang untuk diserahkan pada lawan balapnya kemarin. Iya, dia kalah. Tentu saja. Semua ulah Sohyun. Kalau saja gadis itu tak tiba-tiba muncul, Yoongi tidak akan membanting setir dan menabrakkan mobilnya.

"Sekarang urusan kita selesai kan? Sana kau main sama jalangmu!" gertak Yoongi.

"Oops! Santai, Mister. Kita semua bakalan pergi, kok. Tapi...."

Yoongi memalingkan wajah pada pria itu lagi. Pria itu memainkan kumisnya yang terawat apik, membuat Yoongi jengkel.

"Bagaimana kalau kau serahkan juga mobilmu itu?"

"Lancang kau! Kau pikir, kau siapa? Beraninya memintaku untuk menyerahkan mobilku! Ingat ya, tidak ada kesepakatan untukku harus menyerahkan mobil padamu jika aku kalah."

"Santai dong. Lagian kan, kau orang kaya. Kehilangan satu mobil saja tidak masalah kan?"

"Kalau kau berani sekali lagi meminta hal itu padaku, kubunuh kau!"

"Aduh, bagaimana, ya? Kau lupa? Membunuh itu bukan bidangmu, justru ... bidangku. Sebaiknya kau kembali ke meja judi dan memanen uang lagi. Zack pasti akan senang."

"Sialan kau! Ahli berjudi bukan berarti aku tak ahli menghempaskan peluru. Kepalamu itu bisa kubuat pecah berkeping-keping!"

"Cih, coba saja!"

Yoongi dengan gerakan cepat mengeluarkan pistol dari balik jasnya. Dengan gerakan yang lebih cepat lagi, pria itu menodongkan pistol ke arah Yoongi.

"Jadi, kita akan berduel di sini?" tanya pria itu meremehkan Yoongi. "Kau yakin akan berhasil membunuhku dengan pistol mainan itu?"

Yoongi tak menjawab. Pria itu lalu tertawa terbahak-bahak. "Lucu sekali! Lihat caramu memegang pistol! Kau itu sama sekali nggak ahli, dasar bodoh! Beraninya melawanku."

Dorr!

Suara tembakan menggema di ruangan yang lebih mirip gudang penyimpanan tua. Yoongi tersungkur ke samping. Untung langkahnya sigap. Melihat tanda-tanda pria itu akan menembak, Yoongi segera menggerakkan tubuhnya ke samping. Menjauhi bidikan.

"Hebat juga kau, ya? Pantas sampai sekarang kau dapat bertahan hidup di antara kaki tangan Zack, memang tidak salah dia pilih pria sepertimu.

Dorr!

Sekali lagi suara tembakan berbunyi nyaring. Yoongi berhasil berguling ke kanan, nyaris saja peluru itu menembus kepalanya.

"Nyawamu banyak juga ya, Yoon? Nggak bosan hidup, hah? Sini, aku akan mempermudah kematianmu. Malaikat akan segera mengantarmu ke neraka, kau akan bahagia di sana."

"Kau saja yang mati, bodoh!"

Yoongi melemparkan pasir ke wajah pria itu, lalu menarik pelatuknya hingga satu peluru terhempas. Tepat mengenai kepala orang itu hingga meledak dan hancur berkeping-keping.

"Smith & Wesson 500 Magnum. Kau lupa, pistolku bekerja jauh lebih cepat daripada milikmu meskipun daya meledakkan dan menghancurkannya sama. Sekarang, siapa yang bodoh?"

Yoongi meninggalkan mayat pria itu. Darah berceceran di lantai. Bahkan, otak pria itu sudah tak berbentuk lagi. Yoongi senang, dua bola mata itu tidak lagi menatapnya remeh. Mungkin, malaikat maut itu telah mengantarkan nyawanya ke neraka, seperti apa yang dikatakan pria itu beberapa detik yang lalu.

Yoongi mengambil kembali koper uangnya dan bergegas pergi.

***

Yoongi tiba di sebuah rumah. Letaknya jauh dari pemukiman. Terpencil, dan yang paling penting, jauh dari penyelidikan polisi. Ia memasuki sebuah gerbang yang lumayan besar. Ada beberapa orang penjaga di luar sana. Mereka tampaknya mengenal baik Yoongi, sehingga dengan mudah mempersilakan pria itu masuk.

Setelah memarkirkan mobilnya, Yoongi menuju ke pintu masuk. Lagi-lagi, ada beberapa penjaga berpakaian serba hitam.

"Tuan menunggumu," kata salah satu dari mereka.

"Di mana?"

"Di ruang pertemuan."

Yoongi melanjutkan langkahnya. Rumah itu besar dan gelap. Hanya ada cahaya remang-remang yang membuat Yoongi dapat mengenali sekelompok orang sedang duduk mengelilingi meja panjang.

"Kau membunuhnya, Yoon?"

"Tidak ada pilihan. Dia meremehkanku, aku tidak terima!"

"Tapi itu tindakan ceroboh. Kau sudah berjanji tidak akan menggunakan pistol itu untuk membunuh orang."

"Jangan menasehatiku! Aku tahu apa yang harus kulakukan! Pengecut itu pantas mati!"

"Sudahlah, Jin. Tidak ada gunanya kau memberitahunya. Yoongi keras kepala."

"Namjoon, kita semua berjanji untuk tidak menumpahkan darah. Tapi dia melanggarnya."

"Begitulah dia. Emosinya tidak pernah bisa terkontrol. Kalau marah, semua habis di tangannya," timpal seseorang yang terlihat jauh lebih tenang. Ia duduk menyilangkan kedua tangannya.

"Dokter Kim, kau mengenali Yoongi dengan baik. Tapi, tetap saja. Sesuatu pasti akan segera terjadi di kemudian hari. Itu semua berkat kecerobohannya," ungkap Jin.

"Hentikan! Kalian berisik! Di mana Zack? Aku membawakan uangnya!"

"Dia menunggumu di ruang pertemuan. Apa kami perlu ikut bersamamu?" tawar Namjoon.

"Tidak perlu. Akan kuhadapi sendiri pria itu."

Yoongi memutuskan untuk pergi ke lantai dua. Di sana ada beberapa pintu. Bagian tengahnya berisi meja billiard yang besar. Di bagian belakang meja itu, terdapat sebuah pintu yang bentuknya jauh lebih menonjol. Di sisi kanan dan kirinya terdapat pajangan kepala rusa yang diawetkan. Sementara, tak jauh dari tangga, seekor harimau awetan juga tampak berdiri gagah. Memberikan kesan garang dan mengerikan.

Yoongi sejujurnya malas berhadapan dengan pria bernama Zack. Namun, ia tahu balas budi. Zack telah membantu menyelesaikan dua masalahnya.

"Masuklah, Yoon. Aku tahu kau berdiri di depan pintuku."

Yoongi pun masuk. Ia melemparkan koper itu ke atas meja. Zack, pria bertubuh tinggi besar itu menatapnya tajam. Zack mengenakan topi bowler hitam berbahan wol yang lembut. Bagian crown-nya bulat, sementara brimnya melengkung ke atas.

Pria itu berkumis dan berjenggot, meskipun tidak lebat. Umurnya sekitar 40-an akhir. Dan satu lagi, ia heterochromia. Mata kanan pria itu berwarna hijau, sementara yang lain berwarna biru terang.

Ketika Yoongi masuk, pria itu melepas softlens yang menutupi warna kedua matanya sehingga tampak kecoklatan, seperti orang Korea pada umumnya.

"Aku sudah bawakan uang yang Anda minta. Segini cukup kan?"

"Aku menyerahkan anak buah kepercayaanku ke polisi, lalu membereskan mayat pecundang itu. Hanya sebanyak ini yang bisa kau berikan?"

"Ini sesuai keinginanmu. 250 juta won, tidak kurang dan tidak lebih."

"Kau sepertinya lupa aku siapa," Zack bangkit dari kursinya dan berjalan mendekati Yoongi. "Kau itu cuma bawahanku, sudah sepantasnya kau memberiku banyak uang!" bentak Zack, lalu kedua tangan pria itu menarik kedua kerah kemeja Yoongi. "Jika sekali lagi kau lupa," peringatnya, "bukan mulutku yang akan berbicara, tapi peluru-peluruku yang akan bersarang di tubuhmu! Mengerti kau?!"

"Baik," balas Yoongi singkat. Ia tidak berani berurusan dengan Zack. Tentu saja, karena posisi pria itu jauh lebih bahaya darinya.

"Aku banyak menolongmu." Zack melepaskan cengkramannya, lalu berbalik menuju sofa di ruangan itu. Ia duduk bersilang kaki dan mengambil rokoknya. Menyalakan api, lalu membakar ujung rokok yang sebagian telah masuk ke mulut itu.

Zack mengisap rokoknya, bagian ujung yang terbakar menyala merah seperti bara, memertik memunculkan bunyi seperti kertas yang terbakar—samar-samar. Asap putih mengepul keluar dari mulut dan hidung Zack.

"Jangan lupa, Genius besar juga atas pertolonganku," imbuhnya setelah dijeda untuk memainkan batang rokoknya. "Kau dulu tidak punya uang dan merengek padaku kan? Berapa jumlah yang kuberikan? 250 juta won? Tidak. Tapi 500!"

Zack mengisap tembakau itu lagi, lalu melemparnya ke tempat sampah. "Aku bisa saja membuangmu seperti rokok itu kalau aku mau. Bukankah hal yang tidak berguna boleh dikatakan sebagai sampah, Yoon?"

Yoongi tak bergeming. Ia tetap berdiri di tempatnya. Menatap Zack dengan tanpa sombong.

"Kutanya, apa tujuanmu bergabung bersamaku?"

Yoongi tidak membuka mulutnya. Tapi, Zack yang akan menjawabnya sendiri. "Untuk bekerja padaku. Kita win-win solution. Kau mencari uang, lalu kau membaginya denganku sebagai bentuk balas budimu."

Zack melepas topinya, lalu menggantunya di gantungan baju yang berbentuk seperti tiang setinggi satu meteran. Ia berjalan lagi, mengikis jarak dari Yoongi sembari memelintir kumisnya sendiri.

"Coba bayangkan, jika kau tidak memberiku uang, maka ... apa yang akan terjadi padamu dan ketiga temanmu itu?"

Yoongi mengepalkan tangannya. Ia muak diperlakukan begitu. Sudah dikasih hati malah minta jantung, begitulah Zack. Pada dasarnya, semua manusia itu sama saja. Sama-sama serakah.

"Kalian akan ... Khekk," ancam Zack sambil berakting seolah-olah pisau menggorok lehernya sendiri. Dasar gila.

"Aku beri kau waktu tiga hari, kau harus membawa sisa uangmu secepatnya. Mengerti? Untuk sekarang ini ... pistolmu akan aku tahan agar kau tidak mengulangi kecerobohan ini lagi. Kendalikan emosimu itu, otak udang! Pergilah!"

Namun, sebelum Yoongi pergi, ia ingin memastikan sesuatu. Sesuatu penting yang beberapa hari ini mengganggu ketenangannya.

"Zack, apa kau yakin anak buahmu tidak akan berkata jujur?"

"Kau bisa memenggal kepala mereka kalau sampai mereka berkhianat padaku."

"Itu artinya ... orang-orang tidak akan tahu kan kalau akulah yang merencanakan perampokan pada perusahaanku sendiri?"

"Bukan hanya perampokanmu. Tapi perampokan terhadap perusahaan lain dapat aku sembunyikan dengan baik. Yang terpenting, sembunyikan tatomu itu! Cepat atau lambat, polisi akan mengetahui identitas kita. Bersiaplah, kita akan menghadapi pelerangan yang sesungguhnya."

***





Tbc.

Nah lo... Semoga kalian dapat banyak info setelah baca bab ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top