Bab 13
Hingar-bingar suara musik berdentum menggema di telinga Yoongi. Di tangannya sudah ada segelas alkohol yang siap menemani malamnya. Lelaki itu menenggak dengan santai minumannya. Sesekali berdesis akan sensasi panas yang mengalir deras di tenggorokannya. Akh, kacau!
Tak lama kemudian, Namjoon muncul dari arah belakang. Disusul Jin, si papa muda sahabat baik Yoongi.
"Kau yakin memecatnya? Ya, memang sih semua orang melihat ini sebagai kesalahannya. Tapi, Yoon ... kau tau, dia tidak bersalah sama sekali," kata Namjoon dengan wajah serius.
"Hei, kau tau sendiri, Zack tidak akan memaafkanku setelah ini. Jika Sohyun masih tetap bekerja di kantorku, maka aku benar-benar akan hancur."
"Tapi aku setuju dengan Namjoon. Kau pikir lagi dengan matang keputusanmu ini. Dia hanya wanita polos, dia tidak akan berani menyebabkan masalah lagi," saran Jin.
Mengabaikan kedua temannya, Yoongi kembali meneguk alkoholnya. Kini habis tiga gelas. Dan ya, pria itu sangatlah pandai menahan mabuk. Tiga gelas alkohol tidak akan membuat kesadarannya terbang menghilang. Ia tau itu dengan pasti.
Hari mulai larut. Setelah puas dengan minumannya, Yoongi bangkit dan keluar kelab. Ia menuju ke mobilnya. Hari ini ia ada taruhan lagi. Lawannya berbeda, bukan si plontos pengecut itu. Jadi, ia harus bersiap-siap mengangkat dagu dan menyombongkan diri. Membuat nyali lawannya menciut.
Setibanya di lokasi, ternyata telah banyak orang menunggu. Yoongi, si Raja Balap Liar, tampil dengan melepas jaket kulit hitam kebanggaannya dan menyampirkannya di salah satu bahu. Ia harus dapat uang untuk membangun perusahaannya kembali. Setelah rugi besar, yah ... walaupun tidak benar-benar rugi. Sepintas, Yoongi teringat oleh gadis itu. Gadis yang terakhir kali masuk ke mobilnya dan menemaninya di medan balap.
"Muncul juga kau!" seru lawannya diiringi dengan cengiran khas meledek.
"Aku bukan pria bermental lemah sepertimu, tentu saja aku muncul untuk mengalahkanmu," tegas Yoongi.
"Baguslah." Pria bermata burung hantu itu pun tertawa sinis. Yoongi tidak memedulikannya, yang jelas hari ini ia harus menang.
"Kau siap?!" teriak lawannya ketika keduanya telah masuk ke dalam mobil. Yoongi memasang sabuk pengaman. Mesinnya ia nyalakan.
"Tidak perlu basa-basi! Mari kita selesaikan malam ini!"
Mobil sport Yoongi berderung. Saking kerasnya, knalpot belakang mobilnya mengeluarkan kepulan asap putih yang cukup tebal, hingga siapapun yang mengisapnya pasti akan dibuat tersedak dan pingsan. Kali ini, Yoongi bebas mengebut dengan sepuasnya. Tak ada lagi jalanan penuh es yang licin, yang akan membuat roda mobilnya tergelincir. Musim semi telah tiba, mungkin esok hari matahari akan bersinar hangat dan bunga-bunga di taman bermekaran warna-warni. Musim di mana uang-uangnya akan datang tanpa diminta.
"Satu ... dua ... tiga!"
Begitu aba-aba ketiga disuarakan, Yoongi melesatkan mobilnya dengan kencang. Ia tak peduli lagi dengan lawannya yang tertinggal jauh di belakang. Ia pasti menang! Pasti!
Di sela-sela balapannya, tiba-tiba Yoongi melihat seorang gadis tengah berjalan melintas di depannya. Gadis itu tidak melihat kanan-kiri ketika menyebrang jalan. "Sial! Apa dia cari mati?"
Yoongi membunyikan klakson beberapa kali, namun tetap saja, gadis itu tak terpengaruh. "Brengsek!" umpatnya sekali lagi saat terpaksa Yoongi harus mengerem lajunya. Menimbulkan bunyi decitan roda dengan aspalan yang begitu keras dan mencekik. Yoongi memperhatikan gadis di depannya mulai sadar, dan bodohnya, gadis itu hanya berdiri mematung dengan matanya yang terbelalak dan mulutnya yang terbuka lebar. Kenapa dia tidak berusaha menghindar?
Mobil Yoongi masih melaju meskipun remnya ia injak cukup lama. Yoongi was was, terpaksa, ia pun membanting setirnya hingga berakhir menabrak trotoar yang ada di sebelah kiri. Gadis itu tertegun dan cukup terkejut.
Napas Yoongi tersendat. Nyaris saja nyawanya melayang. Beruntung mobil Yoongi hanya mengalami kerusakan kecil di bagian depan akibat menabrak tiang lampu jalanan. Tapi sialnya, kaca depan dan sampingnya pecah karena tak kuat menahan benturan yang lumayan hebat. Yoongi keluar berdarah-darah. Kepingan kaca itu mengenai tepat sisi wajah dan lengannya sebelah kiri.
"Mister!" Yoongi kenal suara ini. Suara gadis yang baru ia pecat tadi pagi karena ulahnya sendiri. Yoongi ambruk di sebelah mobilnya, sesaat setelah berhasil keluar. Dan Sohyun—si gadis yang melamun itu—bergegas menghampiri.
"Mister? Anda baik-baik saja? Saya akan telepon ambulans!"
"Tidak!" cegah Yoongi. Jika Sohyun menelepon ambulans, maka aktivitas balapan liar ini akan segera diendus oleh polisi. Ini bahaya. Bahaya bagi kariernya.
"Lalu bagaimana? Bagaimana ini?" Yoongi dapat menyorot raut muka Sohyun yang sangat khawatir. Gadis itu panik. Yoongi pun segera menyerahkan ponselnya, menunjukkan kontak bernama Namjoon dan meminta gadis itu untuk menghubunginya.
"Iya, Yoon?" sahut pria berlesung pipi itu dari sambungan telepon.
"Tuan Namjoon, tolong kami. Mister mengalami kecelakaan di jalanan sekitar KINTEX Exhibition Center."
"Apa?! Baik, aku segera ke sana! Kau jangan hubungi ambulans atau polisi, ya?"
Sohyun bingung. Mengapa tidak boleh memanggil ambulans? Mengapa juga tidak boleh memanggil polisi? Kening Sohyun pun mengernyit saat ia tersadar akan satu hal. "Mister, Anda melakukan balap liar lagi?"
***
Yoongi dipapah oleh Namjoon dan dibaringkan di atas ranjang apartemen Yoongi. Ia kelihatan lemas. Sohyun menyaksikan keduanya dari ambang pintu, lalu Namjoon mendekat.
"Sohyun, ini kesempatanmu."
"Kesempatan? Apa? Kau harus menelepon dokter, lihat, lukanya semakin parah!" paniknya. "Oh, bagaimana kalau aku telepon saja Dokter Kim?"
"Kau bercanda? Dia dokter kejiwaan. Tidak tepat untuk menangani Yoongi yang luka-luka begini." Sohyun pun mengiyakan. Betapa bodohnya dia. Hal sesederhana itu saja tidak paham. "Lagi pula, kau tidak perlu cemas. Yoongi terbiasa dengan luka kecil seperti itu. Kau tinggal membersihkan lukanya dan memberinya obat merah. Biar aku yang mengurus mobilnya yang ringsek tadi."
"Aku?"
"Iya, kau. Kan aku sudah bilang, ini kesempatanmu. Kau menyelamatkannya, kau pasti tidak akan jadi dipecat."
Sohyun tampak berkelana dengan alam bawah sadarnya. Kata-kata Namjoon seperti sugesti yang mengakar di otaknya. Benar juga Namjoon. Itu kesempatan emas. Eh, tapi mana boleh memanfaatkan keterpurukan orang lain untuk kesenangan pribadi? Sohyun bukan gadis jahat maupun egois. Dia tidak akan mau melakukannya untuk tujuan kepuasan diri sendiri. Kalaupun Sohyun bersedia mengobati Yoongi, itu karena dirinya yang murah hati dan suka menolong.
"Baik. Aku akan mengobatinya, tapi ... aku tidak akan mengharap imbalan untuk bisa diterima kembali di Genius. Aku melakukannya atas dasar kemanusiaan."
"Hah, terserah kau saja. Pokoknya aku titip dia, ya. Aku pergi dulu."
Gadis itu mendesah. Ia berjalan untuk menemukan dapur dan kotak P3K. Sohyun mengambil air bersih dan juga kain waslap. Sebelum membersihkan luka Yoongi, gadis itu menyempatkan diri untuk menggulung rambutnya ke atas, agar tidak mengganggu aktivitasnya. Ah, dia jadi teringat. Ia belum melakukan hukuman Yoongi—untuk memotong pendek rambutnya itu—tapi dirinya malah dipecat duluan.
Sohyun dengan ragu melepas kaos oblong putih berlumur darah yang melekat di tubuh Yoongi. "Mister, maafkan saya ... maaf," bisiknya pelan.
"Sakit," rintih Yoongi dengan suara serak. Sohyun terhenyak dan melanjutkan kegiatannya dengan penuh kehati-hatian. Beberapa kali Sohyun menutup mata. Meskipun pernah, setidaknya sekali—melihat Yoongi bertelanjang dada—bagi wanita itu, membuka kaos Yoongi dan memperhatikan kembali kulit pucat dan berotot itu membuatnya malu.
Sohyun meringis mengetahui luka mantan atasannya. Seakan tak tega untuk mengelap sisa-sisa darah—yang sebagian kecil telah mengering—Yoongi pun menuntun tangan Sohyun yang bergetar ke dada kirinya.
Sohyun merasakan perasaan yang aneh. Aneh, tapi Sohyun yakin pernah merasakan emosi itu ketika pertama kali mengenal Jimin. Sohyun gelap mata, hasratnya ingin menyentuh Yoongi dan menjelajahi dada bidang yang polos itu tiba-tiba muncul. Juga ... otot perut yang tidak Sohyun sangka dimiliki oleh seorang lelaki bertubuh pendek itu cukup menggiurkan untuk disentuh. Pendek ya? Jimin dan Yoongi sama-sama pendek, tapi aura keduanya benar-benar berbeda.
"Lukanya di sini." Yoongi menuntun jemari Sohyun yang mulai liar ke arah lukanya—lengan kirinya.
Sohyun yang salah tingkah, mengalihkan rasa malunya dengan berdeham dan mengalihkan pandangan. Memalukan. Yoongi terkekeh diam-diam memperhatikan Sohyun mencubit tangannya sendiri.
Selesai membersihkan luka, Sohyun akan mengoleskan beberapa tetes obat merah di sana. Namun, sebelum itu terjadi, ponselnya yang ada di dalam tas berbunyi.
"Oppa?"
Sohyun baru akan mengangkatnya ketika Yoongi berteriak, "Haus!" Sohyun pun meletakkan kembali ponselnya dengan berat hati.
"Saya ambilkan minum sebentar," ucapnya selagi melirik ke layar ponsel yang menari-nari, menampilkan nama Jimin.
"Cepat! Tenggorokanku kering," titah si pucat.
Tanpa menunggu aba-aba lagi, Sohyun segera bangkit dan kembali menuju dapur untuk mengambilkan segelas air putih.
Menyadari kepergian Sohyun, Yoongi bangun dari berbaringnya dan menyambar ponsel Sohyun yang masih saja berdering itu.
"Mengganggu saja," katanya. Dengan sekali gerakan, Yoongi menolak panggilan Jimin dan menonaktifkan ponsel Sohyun, tak hanya itu, tangannya tampak mengutak-atik benda persegi berwarna hitam tersebut. "Kalau begini kan, Sohyun bisa fokus mengobatiku. Lagian, luka-luka ini juga karena kesalahannya," monolognya dengan riang.
"Mister? Anda bisa bangun?"
"Oh, aku baru saja mau menyusulmu. Kenapa kau lama sekali?!" elaknya ketika Sohyun memergokinya duduk dan menyandar di kepala ranjang.
"Maaf, saya bingung mau memakai gelas yang mana." Sohyun buru-buru menyerahkan gelas airnya kepada Yoongi. Yoongi menerimanya dengan cekatan dan langsung meneguknya habis. Sepertinya, efek alkohol yang membuat tenggorokannya panas langsung hilang setelah Yoongi menelan air putih itu dalam sekali tandas.
"Kau aneh sekali. Memang apa susahnya memilih gelas?" heran Yoongi.
"Semua gelas di dapur Mister kelihatan mahal. Dan ... tadi ... saya nggak sengaja pecahin dua," ujar Sohyun dengan nada semakin menciut.
Gadis ini, nggak bisa ya sekali saja tidak membuat masalah?! Tidak. Kau tidak boleh tempramen Yoon, jaga dan tahan emosimu yang meledak-ledak itu. Ingat niatanmu.
Yoongi pura-pura marah. Sebenarnya, pria itu sudah memikirkan lagi keputusannya. Ia akan mengembalikan Sohyun untuk bekerja di Genius. Namun, biarlah. Rencana itu hanya akan menjadi rahasia dirinya sendiri. Ia tak memberitahu siapapun, termasuk orang kepercayaannya, Namjoon, ataupun sahabat kecilnya, Hani.
"Loh, kok ponselku mati?"
"Baterainya habis kali," sahut Yoongi ketus.
"Masa? Tadi aku lihat masih 50% kok."
Yoongi mengangkat kedua bahunya dan menggelengkan kepala. Bagus, sekarang pria itu tidak akan bisa menghubungi Sohyun lagi. Dan aku bebas bicara dengan gadis ini.
"Mister ... maafkan saya. Tadi itu...."
"Ya, memang kau yang salah. Lihat luka ini. Setelah kau membuat perusahaanku rugi, kau juga membuatku tidak bisa bergerak leluasa. Dan baru saja kau mengakui telah memecahkan dua gelas mahal koleksiku yang aku impor dari Roma."
Yoongi puas menyaksikan raut bersalah Sohyun. Gadis itu hanya bisa menunduk dan diam tanpa kata.
"Jadi, bagaimana cara saya menebus kesalahan saya?" tanya Sohyun pasrah.
"Gampang," jawab Yoongi. "Kau tinggal balik bekerja di kantorku saja."
"Apa?"
***
"Sohyun, kok kau kemarin tidak bisa dihubungi? Aku sangat khawatir setelah tahu kabar kau dipecat. Minhyuk meneleponku, katanya kau tak pulang padahal sudah larut malam."
"Oh, itu ... maaf, Oppa. Aku butuh waktu untuk penenangan diri. Dan entah bagaimana, kartu provider-ku tiba-tiba nggak ada," jelas Sohyun. Untuk alasan kedua, gadis itu benar-benar kelimpungan. Kartu provider yang tersimpan rapat di dalam ponselnya, bagaimana sekonyong-konyong lenyap? Memang ponselnya kemarin sempat jatuh di kamar mandi, tapi ... masa iya kartu provider itu bisa melompat keluar dengan sendirinya, padahal casing ponselnya tidak berceceran ke mana-mana?
"Ya sudah, yang penting kau baik-baik saja, ya." Jimin mengelus puncak kepala Sohyun dan menampilkan senyum manisnya. Ah, ya. Sohyun baru mengerti, belakangan ini Jimin lebih memperhatikannya. Bahkan secara terang-terangan lelaki itu menunjukkan rasa cemasnya pada Sohyun.
Kedua pasangan itu tengah berjalan santai di sekitar taman, masih dalam kompleks apartemen Sohyun. Mereka menikmati musim semi. Sohyun girang menyaksikan kupu-kupu beterbangan mengelilinginya. Ia juga sesekali menghirup aroma segar tumbuh-tumbuhan dan bunga yang baru lahir. Warna hijau daun dominan menghiasi lingkungan tempatnya berdiri. Juga bunga-bunga lily yang mayoritas menyita lahan yang sengaja dibuat untuk merilekskan pikiran.
Langit tumpah-ruah dengan warna biru, awan terbentuk samar-samar dan matahari bersinar terang, menunjukkan berkas-berkas artistiknya. Sohyun menatap bayangan hitam tubuhnya di tanah berumput yang basah oleh embun. Bibirnya menyunggingkan senyum. Perasaannya sangat senang sampai-sampai Jimin tiada henti menyaksikan pemandangan indah gadis di hadapannya ini.
"Oppa, lihat deh, bunganya cantik banget. Hmph ... wangi lagi," kagum Sohyun.
Sohyun tertegun saat Jimin memeluknya dari belakang. Napasnya memburu sebab jantungnya berdebar-debar. Begitu gugupnya, Sohyun jadi tidak bisa berkata-kata.
"Aku nyesel tau nggak. Minhyuk memperkenalkan gadis secantik dirimu, dan aku malah mengabaikanmu. Jika ada penghargaan untuk wanita tercantik, maka kaulah orangnya. Bahkan bunga-bunga itu, nggak ada tandingannya denganmu."
Sohyun tersipu. Semu merah telah terbit di kedua pipinya yang tembam. Jimin terlalu gemas, dengan gerakan lambat, ia membalik posisi Sohyun dan membuat mereka saling berhadapan.
"Kau juga manis," lanjut Jimin memuji kekasihnya. Perlahan, kedua tangan Jimin menangkup wajah mungil Sohyun. Dan ... jangan bilang adegan itu akan berulang!
Detak jantung Sohyun semakin menderu. Darahnya berdesir ke sekujur tubuh, menimbulkan rasa panas yang tidak dapat ia tahan. Jimin mempersempit jarak muka mereka. Sohyun yang semakin gugup, meremas ujung blazer yang Jimin pakai. Sohyun dapat merasakan, betapa intens kedua netra Jimin merangkum setiap inci wajahnya. Dan napas Jimin terasa hangat berhembus mengenai bibirnya.
"Sohyun, aku ... menyukaimu," ungkap Jimin yang membuat jantung Sohyun nyaris meledak. Fokus Sohyun teralihkan saat Jimin tiba-tiba menyatakan perasaannya. Apakah dia menang? Apakah perjuangan cintanya selama dua tahun ini berhasil?
"Opp–"
Sohyun merasakan bibir penuh Jimin telah menyentuh miliknya. Gadis itu tetap diam di tempat, bagus! Di situasi sekarang, ia malah lupa semua yang diajarkan Yoongi. Jimin terus memagut bibir atas dan bawahnya secara bergantian. Menantikan waktu yang tepat hingga lidahnya dapat melesak ke dalam mulut Sohyun saat gadis itu lengah.
"Ah!" pekik Jimin. Ia melepas ciumannya secara tiba-tiba saat merasakan pantatnya diremas.
"Sohyun, apa yang kau lakukan?"
"A–aku ... itu...." Ya ampun, apa kau salah Sohyun? Kau hanya mengikuti apa yang waktu itu Yoongi lakukan pada Hani. Apa kau salah mempraktikkannya?
"Jadi ... kau selama ini belajar banyak hal ya?" Jimin menyeringai. "Tapi aku suka, bagaimana tanganmu yang amatir itu meremas pantatku."
"Aw!" Sohyun memekik saat tangan Jimin yang giliran meremas tubuh bagian belakangnya itu, lalu menarik Sohyun lebih dekat hingga tubuh mereka saling menempel.
"Tapi, meremas itu tugasnya pria, wanita tinggal menikmatinya," tukas Jimin. Sohyun langsung menatap horor kekasihnya. Jika hal ini dibiarkan lebih lanjut, maka adegan selanjutnya pasti seperti film-film dan drama yang biasa Lee Sungkyung tonton. Tidak! Dalam hati, Sohyun menolak keras. Tidak untuk sekarang, tidak sebelum mereka menikah!
Maka, tepat saat Jimin hendak melayangkan ciuman keduanya, Sohyun menendang selangkangan pria itu dan ia kabur begitu saja meninggalkan Jimin yang meringis kesakitan.
"Sohyun!"
"Sohyun!"
Gadis itu terus berlari, Jimin mengejarnya dan tak berhenti meneriaki namanya.
"Sohyun, banguuun!!"
Byur. Basah! Basah sudah wajahnya, pakaiannya, seprainya, dan selimutnya! Sohyun terduduk dan megap-megap. Air itu masuk ke lubang hidungnya, membuatnya kesukitan bernapas dan tersedak.
"Jimin Oppa, apa-apaan kau!" kesalnya.
"Jimin?? Oh, jadi Jimin yang membuatmu mendesah seperti tadi? Apa kau tau, kami semua terganggu dengan suara erangan dan desahanmu tadi! Beomgyu sampai masuk dan mengunci kamarnya pagi-pagi begini," omel Lee Sungkyung, kakaknya.
Oh, sebentar! Lee Sungkyung?! Tunggu, di mana Jimin?
"Jimin mana?"
"Jimin-Jimin! Nih, makan Jiminmu itu!" Sungkyung mengguyur sekali lagi wajah Sohyun. Gadis itu sepertinya belum sadar kalau baru saja keluar dari alam mimpi. "Bukankah kau bilang, pagi ini kau akan bekerja lagi di Genius? Dan kau malah bermimpi ena-ena?"
"Eonni! Apa yang Eonni katakan!" Ya Tuhan, sungguh Sohyun sangat malu. Mukanya merah padam. Lagian, apa yang ia harapkan dari sosok Park Jimin? Lelaki yang romantis dan ... mesum? Tidak. Jimin itu pria yang gentle. Kalaupun meminta ciuman, tidak akan main kotor begitu. Dan Sohyun belum yakin jika Jimin benar-benar telah jatuh hati padanya hanya karena perlakuan manisnya kemarin.
"Kau akan bersiap-siap sekarang atau aku adukan kau ke Jimin tentang mimpi jorokmu itu, Sohyun?"
"Ja-jangan!! Tolong jangan! Baiklah, aku akan segera bersiap. Tolong jaga rahasia ini, ya, Eonni."
"Bukan aku saja, tapi kau bilang ke Eomma dan Beomgyu juga agar mereka juga menjaga rahasia." Sungkyung tertawa renyah sambil meninggalkan kamar Sohyun.
Astaga, Sohyun. Sekeras itukah suaramu hingga orang serumah mengetahui mimpi kotormu itu?
***
"Sampai," kata Jimin.
Hari ini, Jimin menjemputnya lagi dan mengantar Sohyun ke kantornya. Tidak ada hal yang lebih membahagiakan selain mendapat perhatian penuh dari Park Jimin. Tapi Sohyun masih canggung. Ini soal mimpinya semalam. Bisa-bisanya otaknya yang polos memikirkan cumbuan panas bersama Jimin.
"Sohyun, kau kenapa?"
"Nggak apa-apa, Oppa. Aku ... masuk dulu, ya," pamit Sohyun. Lalu, ia segera keluar dari mobil dan berjalan masuk ke gedung Genius.
"Sohyun, seandainya kau tahu kenapa aku belakangan lebih peduli padamu ... mungkin kau akan sakit hati."
Lagi-lagi Lee Minhyuk lah alasan Jimin. Beberapa hari ini, Minhyuk terus mencemaskan keadaan Sohyun. Katanya, Sohyun dalam situasi bahaya. Jimin harus terus mengawasi dan mendampinginya. Meskipun belum tau jelas maksud dari Minhyuk, Jimin tetap melakukannya dengan senang hati.
Jimin memang sempat terhanyut oleh perasaan saat Sohyun menciumnya. Ia juga kelepasan saat kemarin memeluk Sohyun dan mengusap kepalanya. Namun yang jelas, perasaan lelaki itu masih abstrak. Ia tidak tahu, apakah rasa cinta atau justru bentuk pengorbanan—demi menepati janjinya kepada Minhyuk untuk terus menjaga dan melindungi Sohyun—yang melingkupinya.
"Tapi Sohyun, semoga kau baik-baik saja," ucapnya kemudian. Sohyun telah menghilang di balik pintu kaca itu.
***
"Itu ulah mafia. Komplotan mafia bernama Riddle Eye. Salah satu anggotanya tertangkap polisi saat mencoba menyelinap di sebuah bank."
Yoongi mendengar dengan baik informasi yang Namjoon peroleh. "Mafia," Yoongi tak terdengar ngeri menyebut namanya. Tapi, "polisi?" Satu kata itu mampu menimbulkan kerutan di keningnya.
Pikiran Yoongi teralihkan saat ponselnya berbunyi. Matanya resah mengetahui nama orang yang membuat panggilan terpampang di layar. Dengan segera, Yoongi mengangkatnya.
"Hei, Yoon. Aku hanya ingin menagih hadiahku. Aku sudah mengorbankan salah satu anak buahku, kalau kau lupa. Kau jangan takut, dia itu sangat loyal."
Jakun Yoongi terlihat naik-turun. Ia menelan ludah kasar, lalu melirik Namjoon.
"Jangan khawatir, Namjoon akan mengurusnya untukmu. Dan ... tolong jangan meneleponku sembarangan."
Yoongi langsung memutus sambungan dan mengembuskan napas kasar. Hah, setelah lama tak merasa tertekan, akhirnya hanya orang itulah yang selalu berhasil membuatnya ketenangannya hancur berkeping-keping.
Pintu ruangan Yoongi terketuk, dan Hani keluar dari balik sana dengan membawa Jungkook.
"Yoongi, kau mencari Jungkook, kan? Ini dia orangnya," ujar Hani.
"Apa yang kau lakukan di ruanganku sore itu? Kau mencurigakan," tanya Yoongi to the point.
"Aku ... aku hanya...." Jungkook melihat wajah kakak sepupunya, lalu tertunduk pasrah. "Aku mencoba memfitnah Sohyun agar ia diturunkan posisinya. Tapi aku gagal." Nalurinya yang merasa terpojok, membuatnya terpaksa harus buka mulut.
"Kau mau memfitnahnya? Kenapa kau lakukan itu?"
Jungkook masih tidak mau mengalihkan pandangan ke wajah Yoongi. Dia takut, sekaligus malu.
"Karena ... seharusnya aku yang berada di posisi itu. Kau sahabat dekat Hani, seharusnya mempercayakan posisi sekretaris dua padaku. Dan ... aku tidak suka kau terlalu memikirkan gadis itu sampai-sampai kau melupakan Hani. Kau diam saja saat Hani memberikan barang-barang pemberianmu padanya?"
"Keterlaluan! Jangan campurkan masalah pribadi dengan pekerjaan, Jungkook. Kali ini, kau kumaafkan karena kau sepupu dari sahabat baikku."
Mungkin Yoongi memaafkan Jungkook. Mungkin seharusnya tidak ada lagi kekhawatiran di dadanya. Tapi ... mengapa ia masih tidak tenang?
Terutama, setelah menerima telepon dari orang itu.
Tbc.
Maaf ya, padahal mau update kemarin hari. Tp kuota habis. Ini baru ngisi, hweee.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top