Bab 1
Di Saranjana, terdapat sebuah kehidupan dengan peradaban yang sudah maju. Bangunan-bangunan pencakar langit menghiasi kota yang merupakan pusat pemerintahan. Kendaraan berlalu-lalang menjadi pemandangan setiap hari. Siang hingga malam, kebisingan kota tidak ada hentinya seolah-olah mereka tidak pernah tidur.
Sedikit jauh dari pusat kota, hidup dua makhluk berbeda yang membangun sebuah keluarga, elf dan wizard. Kehidupan mereka baik-baik saja meski banyak hal yang dirahasiakan. Serta ada banyak misteri dalam kehidupan mereka.
Reidar Asger adalah salah satu dari puluhan kesatria elf yang mengabdikan hidupnya untuk menjaga kedamaian Saranjana. Dia menikahi seorang gadis manusia berparas cantik dengan manik cokelat dan berambut hitam legam, bernama Kyla. Selain cantik dan baik hati, Kyla juga merupakan salah satu manusia yang memiliki psychic ability, atau biasa dikenal dengan istilah wizard.
Wizard atau penyihir sendiri dibagi menjadi empat golongan, menurut sihir yang mereka anut. Kyla adalah salah satu penganut sihir abu-abu atau gray magic, yang merupakan sihir netral. Dia menggunakan kemampuannya untuk kebaikan, tetapi saat keluarga atau orang tersayangnya dalam keadaan terancam, dia bisa menjadi sangat berbahaya.
Dari pernikahannya, Reidar dan Kyla dikaruniai seorang putra yang diberi nama Raka Asger. Sejak kelahiran anaknya itu, Kyla sudah sangat berlebihan dalam menjaganya. Sebuah tanda lahir berbentuk bulan sabit, yang berada di lengan kiri Raka membuat sang ibu merasa takut. Karena pemiliknya diramalkan akan memiliki pengaruh besar bagi tempat di mana dia berada.
Selain itu, dua kekuatan dari makhluk berbeda mengalir dalam aliran darah Raka. Kyla takut putranya tidak bisa mengendalikannya dan menjadi over power. Jadi, dia melakukan berbagai cara untuk mengantisipasi hal itu.
Berkat bantuan dari Tetua Saranjana, Kyla melakukan ritual untuk mengunci kekuatan Raka. Beruntung, hal itu berhasil dilakukan. Hanya saja, semua itu tidak bisa selamanya. Suatu hari nanti, ada kalanya kekuatan itu akan terbebas.
Tahun demi tahun telah berlalu, kini usia Raka sudah genap lima belas tahun. Dia tumbuh menjadi remaja yang baik, tetapi sayangnya dia anti sosial. Bahkan tidak memiliki teman satu pun, tidak pernah bertemu apalagi berbicara dengan orang asing. Hal ini terjadi karena Kyla melarang keras putranya untuk keluar dari lingkungan rumah mereka.
Mereka tinggal di sebuah rumah minimalis dengan tembok keliling tinggi yang menjadi batas lingkungannya dengan dunia luar. Di tepi hutan itu, keluarga Reidar tidak sendirian, ada kurang lebih sepuluh keluarga lain yang juga tinggal di sana. Namun, tidak ada anak-anak yang berani datang ke rumah Raka, sebab Kyla sudah memperingatkan mereka supaya tidak berteman dengan putranya.
Sebenarnya, Kyla juga ingin putranya hidup normal. Namun, rasa takut dan cemas selalu menguasainya. Dia takut akan kehilangan anaknya, dan takut jika Raka dimanfaatkan oleh orang yang tidak baik.
Beruntung, rumah Raka dibuat senyaman mungkin, ada bangunan bawah tanah tempat Kyla biasa meramu. Mereka juga memiliki taman bunga, kolam ikan, dan sebuah rumah pohon yang dibuat khusus untuk Raka. Selain itu, mereka juga memiliki sebuah gudang yang luas dan bangunannya terpisah dari rumah.
Setiap hari, kegiatan Raka hanya di rumah. Kyla menjadi ibu sekaligus guru bagi Raka. Sebelum belajar, dia akan membantu ibunya membersihkan rumah. Menjelang siang, mereka baru memulai pembelajaran. Itu juga hanya belajar baca tulis, berhitung, dan meramu obat-obatan.
Pada sore hari, Raka akan berlatih ilmu bela diri dasar bersama ayahnya. Dari mulai pasang kuda-kuda hingga membanting lawan. Namun, Reidar tidak pernah mengajarkan sihir kepada putranya karena hal itu dilarang oleh Kyla.
Raka sendiri sudah tidak pernah protes karena hidup layaknya manusia biasa. Meski terkadang dia merasa iri kepada ayahnya yang bukan hanya kesatria tangguh, tetapi juga bisa menyembuhkan.
Walau begitu, Raka merasa bahagia dan beruntung memiliki keluarga yang utuh dan begitu menyayanginya. Meski dia tahu, cara Kyla menjaganya sangat berlebihan, tetapi dia yakin, semua itu demi kebaikannya.
Namun, ada kalanya Raka merasa jenuh dengan semua yang ada. Rumah pohon yang telah diubah menjadi perpustakaan pribadinya adalah satu-satunya tempat dia menghilangkan jenuh. Seperti sekarang, Raka tengah duduk bersandar di pojokan rumah pohon, sambil memegang buku. Manik hijaunya tengah serius menjelajah aksara yang tergores di setiap lembar komik kesukaannya.
Aturan tidak tertulis dari ibunya yang membuat Raka selalu berada di rumah, mengubah kepribadiannya menjadi penyendiri. Selain itu, Raka juga sangat irit bicara, dia hanya akan berkata apa yang kiranya diperlukan, tidak lebih.
Bukan tidak ada keinginan untuk keluar, Raka sangat ingin itu, bahkan sudah pernah mencobanya. Namun, berakhir dengan sesal dan rasa bersalah saat melihat ibunya menangis. Sejak saat itu, dia tidak pernah berkata ingin keluar lagi.
Hanya dari rumah pohon inilah, Raka biasa mengamati kegiatan anak-anak seumurannya di luar tembok pembatas. Seperti sekarang, Raka tengah melihat anak-anak tetangga yang sedang bermain begasing. Salah satu jenis permainan tradisional yang sudah jarang ditemui di kota. Begasing sendiri adalah sebuah permainan adu gasing yang dilakukan secara bergantian.
“Raka, apa kamu di atas?” suara teriakan Kyla mengalihkan atensi Raka.
“Iya, Bu. Ada apa?” tanyanya sambil melihat ke bawah.
“Turun, Raka, ini sudah sore,” teriak Kyla dari bawah pohon.
“Baik, Bu, tunggu sebentar.”
Raka mulai menuruni pohon, dengan hati-hati dia menginjak satu demi satu tataran dari kayu, yang sengaja dibuat untuk memudahkan saat menuju rumah pohon. Saat sampai di bawah, dia sudah disambut dengan senyuman khas dari Kyla.
“Ayo masuk rumah, bersiaplah untuk latihan.”
“Apa ayah sudah pulang, Bu?” tanya Raka yang dijawab anggukan oleh Kyla.
Mereka berjalan beriringan menuju rumah, yang ternyata sudah ditunggu oleh Reidar. Dia berdiri bersandar pada tembok sambil melipat tangan di dada. Netra hijaunya terus memperhatikan anak dan istrinya yang tengah berjalan mendekat. Senyuman terukir indah di wajahnya kala melihat kedekatan anak dan istrinya.
“Ganti pakaianmu, Ayah tunggu di halaman belakang,” ujar Reidar sambil mengusap sayang kepala anaknya.
“Baik, Yah.”
Setelah mengatakan demikian, Raka segera berlalu ke kamarnya untuk berganti pakaian. Dia menggunakan pelindung tubuh yang terbuat dari besi karena ayahnya berkata, kali ini akan belajar menggunakan pedang.
Setelah dirasa siap, Raka menyusul orang tuanya ke halaman belakang. Tempat dia berlatih bersama ayahnya tidak ada tempat khusus. Hanya tanah lapang yang ditumbuhi rumput, tepat di dekat gudang.
Latihan sudah dimulai sekitar lima belas menit. Suara denting pedang beradu seolah menjadi melodi yang mengalun indah. Raka begitu gesit melayangkan serangan kepada ayahnya. Sedangkan Reidar hanya menghindari dan sesekali menahan serangan dari putranya.
Reidar sengaja tidak menyerang balik karena ada Kyla yang mengawasi mereka. Pernah satu kali, dia ikut melawan dan berakhir mendapat nasihat yang sangat panjang dari istri tercintanya.
“Ayo Yah, serang aku. Tidak seru jika Ayah hanya menangkis saja.”
“Tidak. Ayah tidak akan terbujuk rayuanmu kali ini, bisa-bisa nanti ibumu menasihati Ayah sampai pagi.”
Kyla yang duduk di pelataran rumah terus memperhatikan anak dan suaminya berlatih. Sesekali dia akan bertepuk tangan saat Raka berhasil memukul mundur Reidar. Meski dia tahu jika suaminya sengaja melakukan itu.
Sebenarnya, dulu dia melarang Reidar melatih Raka beladiri. Namun, setelah dijelaskan dan dibujuk oleh suaminya bahwa beladiri dasar itu penting, akhirnya dia hanya bisa menurut. Meski begitu, ada banyak sekali pantangan yang tidak boleh dilanggar oleh Reidar.
Satu jam berlalu, Reidar menghentikan pelatihan mereka, lalu menghampiri Kyla di pelataran rumah. Suara tepuk tangan Kyla mengalihkan atensi Raka dan ayahnya yang sedang berbincang sambil melangkah.
“Tadi itu bagus sekali. Sepertinya sudah banyak kemajuan sekarang, terus berlatih, Sayang,” ucap Kyla sambil menyerahkan segelas minum kepada Raka.
“Apa hanya Raka yang mendapat pujian?” tanya Reidar dengan nada merajuk yang dibuat-buat.
“Mulai lagi. Ayo Raka kita masuk. Biarkan saja dia tetap di luar,” ujar Kyla sambil menggandeng putranya masuk.
“Hei, Sayang, tunggu aku!” teriak Reidar.
Raka hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Ayah dan ibunya memang sering melakukan hal itu, dan sudah menjadi hiburan tersendiri baginya. Bagi dia, kehangatan keluarga adalah sumber energi yang tak akan tergantikan.
Senja telah berlalu, digantikan malam yang sunyi dan dingin. Entah kenapa Raka merasa sangat bosan di kamar. Dia menengok kanan dan kiri lorong kamarnya yang tampak sepi. Kemudian dengan langkah mengendap-endap, Raka keluar dari rumah menuju halaman depan. Kemudian dengan cepat dia memanjat pohon yang menjadi tempat dibangunnya rumah pohon.
Raka berniat menghilangkan bosan dengan melihat bintang-bintang yang bertaburan di langit. Hingga suara pintu yang dibuka mengalihkan atensinya. Netranya menangkap bayangan hitam keluar dari pintu samping rumah dan berjalan mengendap-endap menuju gudang.
Bayangan itu tidak terlalu jelas karena memang area menuju gudang sengaja dibiarkan gelap. Meski begitu, perawakan yang tidak terlalu tinggi membuatnya mudah dikenali. Apalagi di rumah hanya ada mereka bertiga. Tidak mungkin bayangan itu Reidar karena perawakannya tinggi besar. Jadi, sudah bisa dipastikan kalau itu adalah Kyla.
“Apa itu ibu? Tapi, bukannya pintu samping sudah ditutup dan tidak pernah digunakan lagi? Dan jika benar itu ibu, sedang apa malam-malam begini ke gudang?”
Raka turun dari pohon dan segera menyusul ibunya ke gudang. Cahaya gudang yang remang-remang memudahkannya untuk bersembunyi. Dia melihat apa yang dilakukan ibunya dari balik lukisan tua yang memang sudah lama diletakkan di gudang.
Netra milik Raka melotot kala melihat apa yang terjadi di depannya. Setelah Kyla memutar tuas tersembunyi di belakang lemari, tembok tiba-tiba bergetar. Kemudian terdengar suara seperti pintu geser yang terbuka, dan menampakkan lorong gelap setinggi orang dewasa.
Tanpa ragu, Kyla melangkah masuk ke lorong dan hilang di balik tembok. Raka keluar dari persembunyiannya, dia mendekat ke arah tembok yang tadi terbuka. Telapak tangannya menelusuri setiap inci tembok, tetapi tidak ditemukan ada retakan sama sekali. Meski tadi terlihat jelas jika temboknya terbelah.
Rasa penasaran yang begitu besar membawa Raka mengikuti apa yang dilakukan oleh ibunya. Dia melangkah ke arah lemari dan mencari tuas tersembunyi, kemudian Raka memutarnya. Hingga terdengar suara retakan dan perlahan tembok kembali terbelah membuka sebuah pintu.
Raka melangkahkan kakinya dengan ragu memasuki lorong gelap di hadapannya. Dia sangat ingin tahu apa yang sebenarnya ibunya lakukan. Suara gema langkah kaki memekakkan telinga. Membuat Kyla menoleh ke belakang.
“Siapa di sana?”
Bagaimana ini, jika ibu tahu aku mengikutinya, bisa dipastikan besok akan dihukum. Sebaiknya aku bersembunyi, tapi di mana?
Raka yang mendengar suara teriakan Kyla mencoba mencari tempat persembunyian. Namun, sayangnya tidak ada tempat yang cocok karena sepanjang jalan hanya ada lorong satu arah, jadi dia memutuskan untuk kembali pulang.
Hari-hari telah berlalu, kejadian malam itu tidak pernah hilang dari ingatan Raka. Rasa ingin tahunya semakin besar. Bagaimana bisa setelah bertahun-tahun dia baru tahu ada pintu rahasia di gudang rumah. Apalagi dia tahu dengan sendirinya, itu artinya jika tidak begitu mungkin selamanya tidak akan pernah tahu, begitulah yang Raka pikirkan.
Tekadnya sudah bulat, Raka ingin mencari tahu ada apa di ujung lorong dalam pintu itu. Hingga di suatu malam, Raka kembali melihat ibunya memasuki gudang dengan membawa keranjang kecil yang biasa Kyla bawa saat mencari bahan-bahan herbal untuk membuat obat.
Kali ini, Raka mencoba mengikuti tanpa menimbulkan suara. Setelah ibunya masuk, dia juga tidak langsung menyusul, melainkan menunggu kurang lebih satu jam baru masuk.
Awalnya memang gelap, tetapi saat pintu di belakang Raka kembali tertutup, ada satu obor yang menyala. Begitu juga saat Raka mulai melangkah, akan ada obor-obor berikutnya yang menerangi.
Lorong panjang itu terbuat dari bebatuan yang tersusun rapi. Meski tersembunyi, tempat ini sangat bersih dan terawat. Selain itu, oksigen tetap tersedia, jadi meski begitu panjang, Raka tidak takut akan kehabisan napas.
Raka terus saja berjalan meski semakin dalam lorongnya semakin menyempit, tetapi dia tidak merasa takut sama sekali, justru rasa penasarannya semakin menjadi. Hingga dia sampai di ujung lorong. Namun, yang dia dapati buntu, tidak ada jalan untuk keluar. Semua obor di belakangnya sudah kembali padam, hanya ada seberkas cahaya yang masuk melalui celah pada pagar di hadapan Raka.
“Pintu masuk menggunakan tuas tersembunyi sebagai kunci. Aku yakin, pagar di depan sini juga menggunakan kunci rahasia,” gumam Raka.
Dia mendekatkan wajahnya pada lubang kecil di pagar. Namun, sayang hanya ada cahaya putih yang menyilaukan mata. Dari lubang itu tidak terlihat apa-apa. Seolah masih ada sekat penghalang di balik pagar itu.
“Bukankah tadi aku masuk masih malam hari, lalu kenapa cahayanya begitu silau seperti siang hari? Lebih baik sekarang aku mencari cara untuk membuka penghalang ini.”
Raka mencari celah yang mungkin menjadi kunci. Lima menit telah berlalu, dan dia tidak kunjung menemukannya. Hingga saat dia mulai lelah dan menyerah, tanpa sadar tangannya menekan kunci yang dicari. Ternyata ada tombol tersembunyi di dinding sebelah kirinya.
Perlahan pagar di hadapannya terbuka, Raka melangkah keluar. Ternyata ujung lorong adalah sebuah lubang besar yang berada di pohon. Cahaya yang menyilaukan membuat dia harus memejamkan mata. Beberapa saat kemudian, secara perlahan Raka mulai membuka matanya.
Setelah netranya beradaptasi, dia langsung disuguhi pemandangan hutan yang begitu menenangkan. Pohon-pohon menjulang tinggi membuat teduh. Semilir angin menyapa dan menerbangkan rambut hitam panjang milik Raka. Dia begitu terpesona dengan keindahan alam yang disuguhkan.
Suara kicau burung terdengar bersahutan, bagaikan alunan musik yang menenangkan. Aroma tanah basah memenuhi rongga penciuman Raka. Dia mengambil napas dalam seolah aroma itu telah menjadi candu baginya. Netranya liar menjelajah setiap inci hutan. Ini adalah kali pertama ia menginjakkan kaki di kedalaman hutan.
Kakinya melangkah tak menentu mengikuti kata hatinya. Raka tidak tahu arah, tetapi dia begitu menikmati apa yang dilakukan sekarang. Bahkan angin yang menjatuhkan dedaunan kering dan menerbangkannya menjadi objek yang bisa dinikmati olehnya.
Langit biru yang begitu cerah berpadu dengan hijaunya hutan sungguh memanjakan mata. Raka benar-benar terlena oleh keindahan hutan. Hingga tanpa sadar, kakinya melangkah semakin jauh dari pohon.
Dia terus saja melangkah hingga menemukan jalan setapak. Raka berhenti sejenak, ada rasa ragu untuk melanjutkan langkahnya.
“Lanjut tidak ya, tapi jika aku tersesat bagaimana?”
Setelah berperang dengan pikirannya sendiri, akhirnya Raka memutuskan untuk kembali ke pohon. Dia berbalik arah, berniat kembali masuk ke lubang dan pulang.
Raka sampai di tempat pohon tadi berada. Dia mendekat untuk memeriksa lubang, berniat untuk masuk. Betapa terkejutnya dia saat mendapati lubang itu menghilang tanpa jejak. Raka mencari kunci untuk membukanya, tetapi semuanya sia-sia. Sekarang dia tahu, pintu itu hanya bisa dibuka dari dalam.
Sesal yang begitu besar dirasakan oleh Raka karena telah pergi sejauh ini, dan sekarang tidak tahu caranya untuk pulang. Dia memutuskan untuk kembali ke jalan setapak tadi, berharap akan bertemu seseorang yang bisa membantunya.
Raka menyusuri jalan berbatu itu, yang ternyata membawanya ke sebuah pasar. Banyak pasang mata yang memperhatikannya. Dia hanya diam saja dan terus melanjutkan langkahnya. Hingga tiba-tiba ada seorang pria berjubah hitam berteriak.
“Serang anak itu, dia berbahaya. Dia membawa racun dan telah membunuh semua hewan ternakku!”
Warga lokal yang mayoritas orang tidak mampu dan minim pendidikan itu sangat mudah terhasut. Mereka memungut sayuran busuk dan melemparkannya kepada Raka, lalu terus saja melempari tanpa belas kasihan.
Pria berjubah tadi menyeringai, “Dasar warga bodoh, begitu saja percaya.”
Setelahnya, pria misterius itu pergi dan menghilang tanpa jejak.
Warga melihat Raka seolah-olah dia adalah makhluk berbahaya, yang harus disingkirkan. Mereka terus saja melemparkan sayur dan buah-buahan busuk ke arah Raka. Sedangkan yang dilempari hanya bisa diam saja karena tidak tahu harus melakukan apa.
Hanya karena hasutan orang yang tidak dikenali, salah satu warga yang berada di pasar hampir saja membunuh Raka dengan sebilah golok. Dia sudah mengangkat tangannya yang memegang senjata tajam itu dan kapan saja bisa menebas leher Raka. Hingga sebuah suara menginterupsi dan menghentikan semuanya.
“Hei, hentikan kekacauan ini! Pergi kalian, dan kamu, menjauh dari anak itu!”
“Baik, Aki,” ujar pria yang memegang golok sambil membungkukkan badan.
Seorang pria paruh baya yang bertubuh tinggi besar mendekati Raka. Sorot mata yang tajam menatap kasihan kepadanya. Dia membantu anak itu berdiri sambil membersihkan noda tomat pada tubuhnya.
“Kamu tidak apa?” tanya pria tadi.
Raka yang masih terkejut dengan perlakuan penduduk lokal, hanya bisa menggeleng untuk menanggapi. Rambutnya lengket dan bau tomat busuk menusuk indra penciumannya. Ada sedikit sesal di hatinya karena telah menuruti rasa penasaran yang berujung celaka.
Penulis: meibertha08
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top