Bab 6

Selamat datang di sudut ruang imajinasi kami :)

***

Meminum ramuan kental nan aneh sudah menjadi rutinitas Raka Asger tiap hari selepas makan malam. Setiap meminum ramuan yang menurutnya menjijikkan tersebut, saat itu pula sang anak harus merasakan betapa hebatnya bertaruh nyawa. Dia mungkin terlalu polos dengan pemikirannya dan menganggap jika minuman itu adalah ramuan penghilang bau seperti yang dikatakan Rustan.

Pagi ini burung berkicau dengan sangat merdu, suaranya yang bersiul sahut-sahutan membangunkan remaja bersurai hitam legam dari tidur panjangnya. Suasana dingin belum juga beranjak dari kamar Raka, begitu menusuk hingga ia harus melipat kedua tangan dan menggosok tubuhnya agar lebih hangat.

Mengerjapkan bola mata hijau miliknya, Raka berusaha bangun dari tidur. Menyingkap kain jarik yang menjadi selimutnya, remaja berwajah oval mencoba kembali mengingat kejadian semalam. Peristiwa itu membuat kepalanya terasa sakit luar biasa. Dirinya tidak menyangka jika reaksi tubuhnya akan sedemikian mengerikan ketika meminum ramuan tersebut.

Terlintas dalam benak pemuda tersebut, benarkah minuman itu adalah ramuan obat penghilang bau? Kenapa begitu menyengat dan menyiksa seperti racun?

Kepala Raka terasa berdenyut sangat keras, tenggorokannya masih menyisakan rasa panas yang luar biasa. Ia tidak sanggup mendengar suara apa pun tadi malam. Yang ia rasakan adalah sakit yang begitu panjang, penderitaan tiada batas dan lebih mengerikan dibandingkan penyiksaan-penyiksaan di malam-malam sebelumnya.

Tubuh remaja lima belas tahun itu masih terasa lemas, setiap kali membayangkan ramuan itu, naluri untuk muntah kembali hadir dalam benaknya. Sungguh menjijikkan.

Raka Asger perlahan menggelengkan kepala. Ia menunduk mengamati motif kain jarik yang menyelimuti dirinya hampir tiap malam di kediaman Rustan. Perlahan remaja itu kembali memikirkan sikap Rustan yang akhir-akhir ini selalu berubah. Mungkinkah Aki ingin membunuhnya secara diam-diam?

Menilik dari pemikiran yang ada, Raka segera menepisnya jauh-jauh. Memang akhir-akhir ini sikap Rustan begitu aneh, ia sering memberinya ramuan yang katanya adalah penghilang bau. Namun, jika ia benar-benar ingin membunuh Raka, seharusnya Rustan tak perlu berbaik hati lagi, termasuk memberinya makan setiap hari dan memberikan kasur untuk tidur tiap malam.

Sejauh ini Raka Asger selalu berusaha untuk berpikir positif pada Rustan, meskipun berbagai macam kecurigaan akan sosok pria tua itu selalu meracuni benak dan pikirannya. Rustan pria baik hati pikirnya, jika tidak, mungkin saat ini Raka hanyalah tinggal nama dan tidak bisa bertahan sampai sekarang.

Pagi ini, suasana kediaman sederhana milik Rustan terlihat begitu sepi. Mungkinkah sang pria tua sudah ke pasar seperti hari-hari sebelumnya? Ya, pria tua itu memiliki aktivitas pergi ke pasar guna menjual hasil buruannya. Jika tidak menjual daging rusa hasil buruannya, pria itu akan membeli beberapa barang kebutuhan atau sekadar membeli barang untuk kelengkapan koleksinya, seperti sumpit atau belati berkelok.

Menatap ke celah jendela kamar, remaja itu menelan ludah. Rasa rindu pada kedua orangtuanya kembali merasuk dalam kalbu. Sampai kapan ia bisa bertahan? Raka sangat ingin bertemu dengan ayah ibunya. Ia ingin belajar bertarung dari ayahnya, juga ingin belajar meramu obat dari tangan ibunya, Kyla.

Ayah ... Ibu ... Aku rindu.

Perlahan Raka kembali merebahkan tubuh lemasnya di atas kasur tipis dengan helaan napas yang begitu berat. Ia rindu Saranjana, rindu pada ayah dan ibunya.

Dalam tarikan napas yang berat, Raka Asger berharap bisa pulang dengan selamat dan bertemu kembali dengan keluarganya. Ya. Semoga saja.

***

Derit pintu tua milik kembali berbunyi. Di tengah malam yang sunyi, rumah itu kedatangan tamu. Lolongan serigala liar dan kukuk burung hantu tidak menggetarkan niat si tamu untuk bertandang ke rumah tua di pinggir hutan. Malam yang begitu dingin dapat ditembus begitu saja oleh Lerion, pria elf misterius yang selalu berkunjung ke kediaman Rustan kapan saja dan dalam kondisi apa saja.

Rustan menatap sosok bertudung yang muncul dari balik pintu dengan tatapan tenang. Pria tua berjanggut lebat tersebut memperhatikan Lerion dari kursi rotan yang ia duduki sekarang. Bola matanya terus mengawasi, ini sudah kesekian kalinya Lerion datang ke rumahnya di tengah malam yang dingin.

"Apa dia sudah tidur?" tanya Lerion dengan sangat hati-hati. Bola mata warna amber kini tertuju ke arah di mana kamar Raka Asger berada. Pria itu mengedarkan pandang ke seluruh ruangan, memastikan tidak ada satupun orang yang menyadari keberadaannya kecuali Rustan.

"Hari sudah sangat larut, dia pasti sudah bergelung dengan selimutnya. Lagipula ia tidak memiliki daya lagi untuk bangun setelah meminum ramuan itu," jawab Rustan dengan tenang. Kakek tua beranjak bangun dari kursi, berjalan mendekati Lerion yang sedang berusaha mengeluarkan buntalan kain hitam dari balik jubahnya yang besar.

"Ramuan yang kau butuhkan. Dengan ini, kau bisa menambah dosis ramuan ke level yang paling tinggi," jelas Lerion dengan mimik wajah serius. Pria itu melempar buntalan ke arah Rustan, lantas ditangkap dengan cekatan oleh kedua tangan sang kakek tua.

Rustan manggut-manggut seraya menerima buntalan hitam itu dari tangan si elf. Tanpa banyak bicara, ia membuka buntalan dan memeriksa beberapa jenis ramuan yang sengaja ia minta pada Lerion beberapa waktu lalu.

Tersenyum puas, Rustan bisa membayangkan rencana berikutnya yang sudah ia susun dengan rapi. Setelah mencoba beberapa kali ramuan racun tersebut, Rustan kali ini memastikan bahwa ramuannya tidak akan gagal lagi.

"Rustan, aku ingin membicarakan sesuatu mengenai anak itu," ucap Lerion menatap manik cokelat yang berdiri di hadapannya.

"Katakanlah! Aku juga ingin mendiskusikan sesuatu mengenai anak itu padamu." Rustan merapikan lagi buntalan hitam tanpa menatap ke arah Lerion. Penyihir tua itu berbalik badan, lalu berjalan menuju ke kursi rotan, bersiap mendengarkan berita penting yang dibawa oleh Lerion.

"Mari duduk! Kita bicarakan apa yang menjadi misi kita."

Sementara itu, di kamar gelap milik Raka, sang remaja tanggung sama sekali belum terpejam. Suara derit pintu mengusik beberapa waktu lalu, membuat rasa penasaran dalam dirinya kembali muncul. Siapakah tamu yang datang malam-malam begini? Apakah ia tidak mengetahui adab bertamu? Di Saranjana, orang yang bertamu malam-malam sudah pasti ditangkap dan didenda karena dianggap berkeliaran di rumah orang.

Walau dengan tubuh lemas dan kepala berkunang, Raka mencoba menegakkan tubuh, lalu berjalan menuju ke pintu kamar guna mengintip siapa gerangan yang datang larut malam begini.

Mata hijau Raka membelalak, lagi-lagi ia menjumpai pria bertudung yang beberapa hari lalu datang ke rumah Rustan. Siapa dia? Ada hubungan apa dengan Rustan?

Napas Raka memburu. Ia memperhatikan si pria berjubah dengan sangat hati-hati melalui celah pintu kamar yang ditinggalinya.

Dahi remaja berusia lima belas tahun itu mengerut ketika melihat buntalan hitam yang dikeluarkan sang tamu untuk Rustan. Kali ini Raka kembali berpikir, buntalan apa itu? Kenapa terlihat begitu penting dan misterius?

Mendadak rasa penasaran Raka semakin menjadi, ia ingin tahu mereka sedang membicarakan apa. Entah kekuatan dari mana Raka dengan berani membuka pintu kamarnya diam-diam. Sembari menahan napas, dia berusaha membuka pintu kamar yang berderit dengan amat sangat pelan. Peluh mengucur dari dahinya. Raka berusaha untuk keluar dari kamar tanpa menimbulkan kecurigaan dari Rustan.

Raka Asger menarik napas pelan-pelan, perlahan ia menyelinap dan berjalan mengendap-endap, guna mendekat ke arah pembicaraan mereka. Namun sial, karena ketidak hati-hatian Raka, tubuhnya menyenggol piring yang terbuat dari logam di dapur. Suara yang begitu keras dan kacau membuat anak itu menganga, lantas panik luar biasa.

Sang remaja berlari secepat kilat, mencari tempat bersembunyi di area dapur. Raka menahan napas, ia memilih bersembunyi di balik gentong besar yang menjadi penampungan air di dapur. Dia lantas menutup mulut rapat-rapat, rasa takut akibat ketahuan kini menyerang jantungnya hingga terasa sesak.

Suara derap langkah kaki Rustan yang mendekat menambah ketakutan Raka. Pria tua itu mengecek seluruh isi dapur, ia takut jika remaja yang tinggal di rumahnya kembali berulah dan memergokinya tengah berbincang dengan Lerion. Parahnya lagi, Rustan takut jika Raka sampai tahu apa yang tengah mereka bicarakan.

Raka menahan napas cukup lama ketika Rustan sampai di samping gentong besar tempat di mana ia bersembunyi. Pikiran remaja itu terus berkecamuk hebat. Mungkinkah kali ini ia tertangkap basah lagi? Kira-kira hukuman apa yang menantinya kali ini?

Suara decit anak tikus mengalihkan kewaspadaan Rustan. Pria itu menoleh ke arah piring logam yang baru saja jatuh. Beberapa tikus tengah bergelung memperebutkan sisa roti yang lengket di atas piring.

"Hussh! Tikus sialan, pergi kau!" maki Rustan mengusir. Pria tua itu segera mengambil piring logam miliknya di lantai, meletakkan kembali ke atas meja, lalu pergi meninggalkan dapur tanpa curiga.

Tidak ada suara setelah kejadian itu. Beruntung ada sekelompok tikus yang menyelamatkan Raka kali ini. Jika tidak, sudah dipastikan bahwa ia tidak akan selamat. Raka Asger memberanikan diri untuk melongok dan mengecek keadaan sekitar. Sepertinya sudah aman.

Menghela napas, Raka akhirnya bangkit dan mulai mengendap pergi. Sebelum ketahuan oleh Rustan, ia bergegas kembali ke kamar dengan hati-hati. Walau hatinya merasa kecewa karena kali ini niatnya gagal. Mungkin ia bisa menemui jawaban atas pertanyaannya besok.

Remaja berhidung mancung dan berambut hitam legam memasuki kamar perlahan, ia duduk di atas ranjang dengan perasaan gusar. Rasa penasaran yang tidak tertuntaskan membuatnya jengkel. Raka kesal karena kecerobohan membuatnya nyaris tertangkap oleh Rustan. Menatap ke arah pintu sejenak, Raka berusaha menahan diri.

"Cukup untuk malam ini Raka. Kamu harus bertahan, masih ada hari esok."

***

Seperti biasa, rutinitas pagi adalah sarapan. Kali ini Raka Asger hanya fokus pada makanan yang tersuguh di hadapannya. Beberapa tumis sayur dan daging babi tersaji nikmat di atas bangku rotan tua milik Rustan.

Melirik sejenak ke arah keberadaan Rustan, banyak pertanyaan timbul dalam benak Raka. Jika bisa jujur maka ia akan bertanya mengenai keberadaan si pria bertudung yang akhir-akhir ini mengunjungi kediaman pria tua. Apa hubungan mereka sebenarnya? Jika memang mereka hanya berteman, kenapa Rustan sama sekali tak ada niat untuk memperkenalkan pria itu padanya? Kenapa juga Rustan tak pernah bercerita mengenai si misterius itu?

"Bagaimana keadaanmu? Apakah sudah membaik?" tanya Rustan seraya memperhatikan wajah Raka yang masih memucat karena efek racun beberapa hari ini coba ia cekokkan pada remaja itu.

Raka menatap Rustan sekilas. Ia menyendok tumis sayur, lalu menyuapkan ke mulutnya perlahan.

"Mulai membaik setelah meminum ramuan terakhir. Aki, apakah aku masih berbau?" tanya Raka Asger dengan polosnya. Remaja berparas tampan itu menatap ke arah Rustan, berharap jawaban pria tua tersebut mampu melegakan hatinya.

Rustan tersenyum tipis, ia mengangkat cangkir berisi kopi, lalu menyeruputnya pelan. "Jika kau sudah merasa baik, itu berarti efek ramuan itu berhasil."

"Benarkah?" tanya Raka dengan wajah semringah. Remaja itu menatap penuh binar pada Rustan. Jika benar ia sudah tidak berbau lagi, maka ia bisa bebas berkeliaran di hutan dan lebih leluasa dalam mencari pohon di mana ia keluar dulu.

"Ya," jawab Rustan singkat, lantas kembali menyeruput kopi yang masih mengepul di cangkirnya.

Raka tersenyum samar. Ia membayangkan jika bebas keluar dari rumah, lantas bisa segera menemukan jalan pulang ke Saranjana tanpa harus merepotkan pria tua baik hati yang telah menolongnya selama ini.

Pikiran Raka Asger lagi-lagi terusik tatkala bayangan pria bertudung melintas kembali dalam benaknya. Sumpah, Raka sangat ingin tahu mengenai pria itu.

Melirik sekilas ke arah Rustan, Raka akhirnya memberanikan diri untuk bertanya pada pria tua tersebut.

"Aki ..."

"Ya."

"Pria itu ..., maksudku pria yang tempo hari datang, pria bertudung, jika dia benar temanmu, apakah kau tidak ingin bercerita mengenai dia padaku?" singgung Raka perlahan dengan nada suara terbata-bata. Remaja itu takut jika pertanyaannya ini justru membuat Rustan marah dan tersinggung.

Rustan menyipitkan mata, pria tua tersebut menelaah atas pikiran yang kini tengah berkecamuk dalam benak Raka. Apa yang sedang bocah ini pikirkan? Mungkinkah ia tengah mengulik siapa sebenarnya Lerion? Atau memang benar dugaannya, jika tadi malam bocah ini kembali berulah dan menguping pembicaraannya?

Kekesalan Rustan mendadak datang, meskipun demikian, pria tua tersebut hanya bisa menyamarkan kekesalannya dengan dengkusan ringan, lalu kembali menyeruput kopinya untuk kesekian kali.

"Dia kawan lamaku, sangat anti sosial. Dia memang terlihat misterius, tapi sebenarnya begitu baik. Sudahlah, hari sudah beranjak siang, apakah kau ingin pergi bersamaku ke pasar? Ada beberapa kebutuhan yang sudah habis dan aku berencana akan membelinya hari ini." Rustan mencoba mengalihkan pembicaraan. Ia berharap Raka lupa akan pertanyaannya dan membuang jauh-jauh pikirannya mengenai Lerion.

Raka menggeleng pelan, ia kembali menekuni bongkahan daging babi yang diambilnya dan belum sempat ia makan. "Tidak Aki, aku di rumah saja. Aku ingin tidur karena tubuhku masih lemas."

"Baiklah, tinggallah di dalam rumah dan hati-hati. Jangan keluar karena banyak serigala berkeliaran di siang hari."

***

Suara deritan pintu rumah Rustan kembali mengusik indra pendengaran Raka malam ini. Mata yang nyaris terpejam kembali terbuka dengan sempurna. Seperti sebelumnya, pria bertudung nan misterius itu kembali bertamu ke rumah Rustan.

Pria bertudung tersebut membuka pintu dengan terburu-buru. Deritan terdengar begitu keras, nyaris membuat Rustan mengumpat karena takut membangunkan si remaja tanggung yang kini tengah menghuni gubuk reotnya.

"Lerion, tidak bisakah kau lebih pelan sedikit dalam membuka pintu? Kau bisa membangunkan bocah itu," gerutu Rustan sembari beranjak dari kursi rotan yang selalu ia duduki tatkala tengah malam datang.

Lerion terdiam, wajahnya terlihat begitu serius. Pria bertudung bahkan tak punya waktu untuk menanggapi dengkusan yang Rustan lontarkan padanya. Hal yang akan disampaikan jauh lebih penting dari apapun.

"Ada apa kau datang kemari? Aku tidak meminta ramuan lagi padamu. Jika kau sering datang, aku takut bocah itu akan curiga padamu," peringat Rustan seraya menautkan kedua alisnya dengan tajam. Kali ini, untuk yang pertama kalinya Rustan merasa tidak nyaman akan kehadiran Lerion yang begitu nampak terburu-buru.

"Aku membawa berita penting untukmu," tukas Lerion menghentikan segala macam cercaan si pria tua yang dilemparkan kepadanya. Terdiam cukup lama, keduanya saling adu pandang.

"Berita apa?"

***

Raka Asger dengan segenap naluri keingintahuannya yang meledak, membuatnya sekali lagi turun dari ranjang dan menyingkap kain jarik selimutnya. Rasa penasaran yang terus membumbung tinggi membuat remaja lima belas tahun itu mengintip sekali lagi dari balik pintu tua yang masih berdiri kokoh di hadapannya.

Netra hijau kembali mendelik, ia melihat sosok pria bertudung datang ke rumah Rustan. Sebenarnya, apa yang tengah mereka bicarakan sehingga mengharuskan mereka bertemu malam-malam begini? Kenapa mereka harus bertemu malam hari?

Segala macam pertanyaan itu kembali memenuhi rongga hati Raka. Ia semakin penasaran akan sosok pria misterius yang dianggap teman oleh Rustan tersebut.

Kecurigaan Raka mencapai puncaknya, remaja itu memutuskan untuk menyelidikinya langsung. Perlahan ia membuka pintu dengan hati-hati. Dirinya bertekad untuk mendapatkan jawaban. Ya, harus mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang selalu mengusik hatinya akhir-akhir ini.

Menahan napas karena tengah membuka pintu agar tidak menimbulkan decitan, Raka berusaha menjalankan aksinya. Berjalan mengendap-endap secara perlahan, kali ini ia memastikan tidak ada lagi piring logam jatuh di lantai dan tidak ada lagi tikus berebut makanan yang akan menggagalkan rencananya dalam menguping pembicaraan dua pria tersebut.

Berjalan menelusuri area dapur, Raka berjalan penuh kehati-hatian. Butuh waktu sekitar beberapa menit untuk sampai di ujung pintu di mana pintu tersebut menghubungkan ruang depan dengan ruang dapur. Menarik napas perlahan, remaja itu merasa lega, karena kali ini pembicaraan Rustan dengan temannya tersebut sampai juga di indra pendengarannya.

Raka berjongkok di balik pintu dapur, pembicaraan dua pria tersebut kini bisa didengarkan dengan begitu jelas. Meski demikian, Raka terus bersikap hati-hati, ia tidak ingin rencananya kali ini gagal dan berujung pada hukuman yang akan Rustan berikan esok hari.

"Berita apa?" tanya Rustan tak kalah serius. Bola mata berwarna cokelat pudar tersebut menatap penuh ke arah Lerion. Sepertinya, berita yang dibawa Lerion bukanlah hal biasa, ini terlihat dari mimik wajah pemilik bola mata amber tersebut.

"Ini mengenai anak itu," tandas Lerion semakin serius. Keduanya bertatapan sedikit lama, saling menukar telepati melalui dua bola matanya.

"Maksudmu Raka? Ada apa dengannya?"

***

Salam literasi

Mei dan kawan-kawan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top