Bab 3
Selamat menjelajah :)
***
Reidar dan Kyla yang sedang berada di depan gudang berniat menyeberangi lorong menuju dunia manusia terhenti ketika beberapa kesatria berada di batalion yang sama dengan Reidar sedang berdiri di halaman rumah mereka. Terhitung ada empat orang berpakaian serba hitam dengan lencana di dada kiri dan pedang terikat di pinggang.
"Kalian?" Reidar menatap gamang. Ia dan Kyla yang ingin pergi ke dunia manusia untuk menyelamatkan sang anak pun merasa terenyuh saat teman-temannya berada di sana, lalu mengatakan bahwa mereka akan membantu.
"Kami melakukannya di luar perintah dan Tetua mengizinkan."
Reidar mengangguk puas. "Terima kasih."
Beberapa detik kemudian, suara langkah yang tergesa-gesa terdengar hingga sosok berjanggut itu muncul. Sang Tetua berdiri di depan pintu gudang dengan wibawanya yang masih ia pertahankan, meski napasnya sedikit terengah.
"Kyla tidak perlu ikut mencari Raka. Biarkan Reidar dan yang lainnya pergi."
"Ta-tapi, Tuan ...."
"Tempat itu saat ini tidak aman Kyla. Reidar dan yang lainnya membutuhkanmu untuk tetap di rumah jika sewaktu-waktu Raka pulang."
Dengan berat hati Kyla mengiyakan. Dengkusan pelan ia tunjukkan sembari menarik tuas untuk membuka pintu lorong ke luar dari Saranjana.
Mereka berenam pun segera menuju dunia manusia melewati lorong di gudang rumah. Satu-satunya pintu dimensi yang bisa diakses secara pribadi oleh penduduk Saranjana.
Lorong gelap yang menjadi saksi bisu hilangnya Raka, membuat Kyla sangat berhati-hati. Reidar pun tidak hanya tinggal diam. Ia menarik napas dalam dan menelusuri jejak energi sang putra yang kemungkinan tertinggal di sana, lalu mengikutinya hingga ke ujung, melewati pintu yang tersamar oleh batang pohon besar di tengah hutan. Sayangnya, begitu keluar dari sana, jejak Raka menghilang, seolah-olah memang menyebar, melebur bersama energi alam yang begitu kuat menyelubungi hutan tersebut.
Irigon, salah satu teman Reidar mengeluarkan sebuah alat pelacak, semacam GPS yang bisa menunjukkan koordinat posisi mereka. Ia menggeser layar beberapa kali hingga menemukan bahwa mereka sedang berada di tengah-tengah hutan tropis yang menjadi jantung sebuah pulau besar.
Hutan Borneo.
***
Seseorang tengah berada di sebuah kamar, duduk bersila sembari menatap ke dalam bayangan cermin besar di hadapannya. Sesosok pria dengan berbagai benda berserakan di depannya terpantul dengan sangat jelas menunjukkan seringaian.
"Tanda lahir itu menunjukkan bahwa dialah yang kucari selama ini."
Dia menghirup napas. Asap bakaran pada cawan tanah liat yang berada di hadapannya terisap oleh kedua lubang hidung yang menganga lebar. Lelaki itu kini mengambil sebilah pisau dan sebatang rotan, kemudian memotongnya menjadi dua bagian. Salah satu ujung potongan kayu elastis tersebut ia runcingkan, kemudian digantung pada tali melintang di sebelah kanan kepalanya.
Lelaki itu berdiri, membawa sebuah lampu minyak, dan sekantung kemenyan bubuk, kemudian berjalan ke luar kamar. Langkahnya mantap menuju pintu belakang rumah, kemudian berjalan mengelilingi rumah sembari menaburkan bubuk getah gaharu yang telah ia mantrai.
Dari balik jendela, Raka yang tidak bisa tidur tengah menatap ke dalam pepohonan. Semilir angin meniupkan aroma segar dan menenangkan. Ia merasa ini benar-benar berbeda dengan suasana di Saranjana yang modern dan penuh kemewahan. Di sana semuanya tersedia. Bahkan tidak perlu repot-repot menanam atau berburu jika menginginkan bahan pangan.
Matanya menyusuri setiap sudut yang ada di luar dengan saksama, menghayati setiap udara yang didatangkan alam untuknya. Pemuda itu mengalihkan pandangan ke dalam kamar yang ia tempati sesaat, memandang segala rupa tembok yang terpasangi ornamen-ornamen bertuliskan dengan bahasa yang tidak ia mengerti.
Tidak lama, pandangannya kembali mengarah ke luar ketika ia menangkap sosok sedang berjalan dalam jarak lima meter dari rumah, sedang menaburkan sesuatu. Mata Raka memicing tajam, mengawasi setiap gerak-gerik orang itu.
"Aki? Sedang apa dia malam-malam begini?"
Mata itu masih terus mengikuti arah pria tua tersebut hingga menghilang di balik tembok. Raka pun memutuskan untuk segera tidur, meski otaknya terus memikirkan apa yang dilakukan Aki tadi. Ia pernah sekali melihat ibunya melakukan hal yang sama, mengitari rumah sembari menebar garam laut berwarna hitam dengan tujuan membuat sebuah shield.
Pagi menyambut mata berkantung Raka yang terasa lelah dan sepat. Semalaman tidak bisa terlelap meski berkali-kali mencoba. Ia merindukan Ayah dan ibunya.
Raka bergegas bangun dan berjalan sempoyongan ke luar kamar. Menuju sumur belakang rumah tempatnya membersihkan diri siang tadi.
Rasa kantuk Raka tidak separah beban pikirannya yang sedari tadi masih terngiang.
Bagaimana jika ayah dan ibu mencariku?
Mereka pasti sangat khawatir
Aku menghilang dari rumah dan tersesat di tempat yang tidak kukenal.
Di mana aku sebenarnya?
Ia mengembuskan napas gusar seusai membasuh muka dengan air sumur, kemudian berjalan masuk ke dalam rumah, lalu mendapati Aki sedang meletakkan tumisan sayuran dan sagu panggang di atas meja.
"Makanlah, kau pasti lapar."
"Terima kasih, Ki." Anggukan disertai senyum pemuda itu berikan, kemudian ia memakan makanan yang telah tersedia.
Lidah kemerahannya mengecap rasa yang asing. Ia tidak pernah memakan makanan seperti ini. Namun, itu enak dan membuatnya ingin melahap semuanya.
Aki tersenyum, kemudian menyodorkan segelas teh racikan yang ia buat dengan beberapa rempah dan kayu manis.
"Minumlah, udara di sini dingin saat pagi, kau akan hangat dengan itu."
Raka hanya mengangguk, kemudian menenggak setengah dari wedang yang disodorkan padanya.
Di hadapan pemuda itu, Aki yang jelas sedang menatap dengan penuh selidik membuat Raka merasa agak risih. Ia bergerak tidak nyaman dan sesekali melirik kepada sang pria tua.
"Kenapa Aki menatap saya seperti itu?" Suaranya tercekat, seakan ia takut dan merasa sungkan untuk bertanya. Bagaimanapun, Raka adalah orang asing yang telah ditolong.
"Tidak. Hanya saja Aki sedang berpikir dari mana asalmu. Karena wajahmu tidak terlihat seperti penduduk desa ini, lalu bagaimana kau bisa tersesat di hutan ini?"
Raka menunduk, kemudian mengembuskan napas berat. Ia melanjutkan kunyahan di mulut, kemudian menelan seluruhnya sampai sanggup berbicara. "Anu, Ki ..., itu ...."
"Tidak apa-apa jika kau tidak ingin bercerita. Aki paham." Senyum Aki yang tampak mesum itu membuat Raka sedikit gelisah, sehingga ia memilih untuk menundukkan kepala dan melanjutkan sarapannya.
Tak lama, rasa penasaran Raka kembali muncul tatkala mengingat apa yang dilihat semalaman. Ia melirik ke arah sang pria tua yang tengah meniup kopinya pelan, kemudian menyeruputnya.
"Aki ...." Suaranya lirih, mencoba memberanikan diri untuk berbicara.
Sang Aki menoleh, kemudian mengangguk sedikit. "Tanyakan apa yang ingin kamu tanyakan, Anak muda."
Pemuda itu masih gugup, mencoba membulatkan tekadnya untuk berani menanyakan sesuatu yang mengganggu pikirannya semalam.
"Semalam, aku melihat Aki berjalan di sekitar rumah sambil menabur sesuatu. Apa itu?"
Pria tua itu tersenyum, kemudian meletakkan cangkir kopinya yang terbuat dari logam ke atas meja. "Aku sedang membuat benteng tak terlihat. Ini adalah hutan, bukan tidak mungkin ada binatang buas atau makhluk jahat seperti siluman akan datang mengganggu."
"Apa kakek seorang penyihir?"
Senyum sang kakek membuat hati Raka berdesir. Senyuman yang berbeda dari sebelumnya yang lebih tampak menyeringai. Meski begitu, masih ada perasaan tidak nyaman pada pemuda berambut panjang tersebut.
"Sebut saja aku tabib. Aku membantu warga mengobati penyakit dan membersihkan rumah mereka dari hal-hal yang membawa kesialan."
Raka hanya mengangguk, seolah paham. Ia tahu betul maksudnya, karena sang ibu juga adalah seorang penyihir yang terkadang bisa menggunakan hal sama. Menolak kesialan, mendatangkan keberuntungan, perlindungan, dan berkat dari semesta selalu sang ibu rapalkan setiap pagi dan malam.
"Oh, ya," sahut sang kakek, membuat Raka menoleh kembali ke arahnya, "aku akan pergi berburu. Jangan keluar dari rumah karena di luar sangat berbahaya. Ada banyak binatang buas berkeliaran. Hutan ini penuh tipu muslihat."
Raka bergeming sesaat sebelum akhirnya ia mengangguk dan mengiyakan perintah pria tua itu.
Setelah sang kakek pergi, Raka hanya berdiam di ruang tamu sembari mengamati seisi rumah. Bangunan ini tergolong kecil. Hanya ada dua ruang kamar, satu dapur sederhana dengan tungku dan peralatan yang terbuat tembikar, serta ruang tamu dengan kayu rotan dianyam asal-asalan. Sudah terlihat usang, sangat tua, tetapi masih kokoh untuk menampung ornamen-ornamen berat yang dipajang di dinding.
Raka bergeming ketika mendengar suara gemerisik di luar. Ia pun bangun dan mengintip dari celah pintu untuk melihat ada apa gerangan.
Terik matahari sedikit menghalangi pandangannya. Namun, Raka masih bisa melihat ke asal suara yang menampakkan sosok makhluk tinggi sedang berjalan di sekitar pepohonan. Tangannya bergerak-gerak meraih dahan untuk membantu ia menarik kakinya untuk melangkah. Tangan yang panjang, kaki yang menjuntai seolah mirip dengan sosok Slenderman dari negeri barat. Namun, makhluk itu telanjang.
Napas Raka tertahan. Ini pertama kalinya ia melihat makhluk aneh di hadapannya. Sebelumnya, hanya bisa melihat dari buku-buku sejarah dan mitologi.
Makhluk itu berhenti bergerak, menoleh ke segala arah sebelum mencoba mendekati rumah tersebut. Mata Raka melotot, ketakutan. Ia menahan napasnya agar tidak terdeteksi oleh makhluk tersebut. Beruntungnya, makhluk itu tidak bisa memasuki wilayah bangunan dari posisi di mana Aki berjalan semalam. Pelindung yang dibuat kakek tua itu memang benar-benar ada.
Raka menghela napas lega, kemudian terduduk dan mengeratkan pelukan pada kakinya.
"Aku ingin pulang ...."
***
Di lain tempat, Kakek tua itu sedang berjalan menyusuri semak belukar. Ada sebuah pohon besar di sana, lalu berhenti di bawahnya. Ia menyandarkan sumpit, sejenis senjata yang meniupkan mata logam kecil untuk menembak buruan, ke batang pohon. Ia mengamati sekeliling, sebelum akhirnya seseorang dengan jubah panjang bertudung datang dan menyapanya.
"Ada apa memanggilku?"
Pria tua itu terdiam, ia menghembuskan napas sebelum berbicara. "Aku menemukan anak itu. Anak yang kita tunggu selama bertahun-tahun."
"Apa kau yakin dia orangnya?"
Sang kakek terdiam sesaat, kemudian mengusap dagu. "Entahlah, tapi aku menemukan tanda lahir yang kita cari di lengannya."
"Siapa namanya?"
"Raka."
Pria berjubah itu melepaskan tudung di kepalanya, ia menatap tajam ke arah sang kakek dengan mata ambernya yang menyala akibat cahaya matahari yang menerobos melalui celah dedaunan. Si kakek bergeming. Tatapan itu masih saja terasa mengintimidasi meski sang pemilik netra tidak bermaksud melakukannya. Hanya saja ia tahu dan masih ingat, bahwa yang di hadapannya adalah sosok Elven yang penuh dengan manipulasi.
"Selidiki lebih lanjut. Waktu kita tidak banyak sampai bulan baru."
Sang kakek pun mengangguk dan pria itu berbalik badan.
"Lerion!" panggil sang kakek. "Kau tidak lupa dengan janjimu, 'kan?"
Pria bernama Lerion itu kembali menghadapkan tubuhnya pada sang kakek dan tersenyum culas. "Aku hanya ingin tujuanku tercapai, Rustan. Selain itu, dia milikmu."
Setelah kepergian Lerion, Rustan mengembuskan napasnya lega. Sebuah kebodohan karena bekerjasama dengan makhluk dari dimensi lain, tetapi ia menginginkan kekuatan. Selama bertahun-tahun, Lerion lah yang membantunya untuk menjadi seorang penyihir, membuat Rustan muda yang sering diremehkan orang karena tidak bisa melakukan apa pun kini disanjung-sanjung sebagai tetua sakti di kampungnya.
Ia pun berbalik, kembali melanjutkan perburuannya kepada binatang-binatang liar yang bisa dijadikan santapan makan malam dan jika ada, sebagian dagingnya akan dijual ke pasar.
Berbeda hal dengan Raka yang masih terkunci di balik pintu rumah. Hari semakin sore dan ia hanya bisa duduk diam sembari memakan sisa makanan yang ditinggalkan Rustan untuknya.
Pria tua yang ia anggap sebagai penolong itu kembali ketika matahari tenggelam, membawa seekor menjangan yang berlumuran darah dan meletakkannya di atas daun pisang yang digelar di depan rumah.
Ketika Rustan membuka pintu, ia mendapati Raka sedang duduk memainkan dua batu kecil mengkilap yang didapatkan dari atas meja di kamarnya.
"Kau sudah makan?" Rustan meletakkan parang besar dan sumpit yang ia bawa di samping lemari, kemudian mengusap wajahnya dengan kain lap yang tergantung di sana.
"Sudah."
"Baguslah. Kuharap tidak ada siapa pun yang datang mengacau ke sini."
Raka menaikkan sebelah alisnya, tidak mengerti dengan maksud yang diucapkan pria tua itu. Namun, Rustan langsung menjelaskannya.
"Banyak siluman atau orang-orang yang membenci seorang penyihir. Mereka tidak hanya mengucilkan kami, tetapi juga memburu dan membunuh. Bahkan, para penyihir pun bisa saling bermusuhan hanya karena ketamakan."
Mata dan tubuh Raka menghadap, mengikuti ke manapun Rustan bergerak. Matanya berkedip beberapa kali dengan cepat. "Apa Aki juga punya musuh?"
Rustan mengembuskan napas, kemudian duduk di kursi rotan dengan segelas air putih yang telah ia ambil dari kendi.
"Sebelum datang ke desa ini, aku dibuang."
"Karena Aki seorang penyihir?"
Pria tua itu bergeming, kemudian menghabiskan airnya dalam sekali teguk. "Tidurlah, aku harus membersihkan daging-daging itu dan mengasapnya agar tidak busuk."
Raka mengangguk. Ia berjalan ke arah kamar dan menutup pintu rapat-rapat.
Pikirannya bergejolak. Rasa rindu pada orang tuanya berlawanan dengan keadaan di mana saat ini harus berlindung dari bahaya makhluk-makhluk liar di hutan. Setelah melihat sosok kemarin, otaknya selalu membuatnya berpikir akan penyesalan. Jika saja tidak nekat menuruti rasa penasaran dan membuntuti sang ibu, maka hal ini tidak akan terjadi. Jika saja tidak berpikir tentang kebebasan, maka tidak akan berada di sini.
Helaan napas terdengar kuat dari mulut pemuda yang tengah dilanda gelisah itu. Karenanya, ia memutuskan untuk segera tidur.
Malam semakin larut dan suara lolongan anjing kian terdengar mengerikan. Tidak heran, di hutan itu banyak sekali anjing liar yang berkeliaran saat malam hari, babi hutan, serta ular yang berdesis tiap kali terlihat di lorong gelap. Raka terbangun karena mimpi buruk. Mimpi tentangnya yang tidak bisa lagi melihat orang tuanya.
Dengan cepat, Raka menepis pikiran buruk itu. Ayahnya adalah kesatria, tidak mungkin ia akan abai atas kasus hilangnya sang anak.
Pelan, kakinya melangkah ke arah pintu. Ia berniat pergi ke toilet, sampai Raka mengurungkannya kala mendengar pria tua penolongnya tengah berbincang dengan seseorang.
Raka memelankan gerakannya, bersembunyi di balik pintu dengan celah kecil, membuatnya tidak terlihat sedang menguping.
"Aku tidak bisa gegabah, Lerion. Kita tidak tahu seberapa besar kekuatannya."
Pria yang dipanggil Lerion itu pun berdecak kesal. "Terserah kau saja, asalkan aku mendapatkan hasil yang bagus."
"Lalu, bagaimana aku dapat menyeberang ke sana?"
Menyeberang? Apakah Aki akan pergi ke luar pulau?
"Kuncinya ada padaku, tidak perlu khawatir akan semuanya."
Rustan mengangguk. "Kalau begitu, sebelum hari itu tiba, tolong siapkan beberapa keperluan untukku."
Raka masih bergeming di tempatnya, menganalisa, siapakah gerangan lelaki berjubah yang Aki panggil sebagai Lerion itu?
"Tidak masalah. Kita saling membantu, bukan?"
Rustan tersenyum dan mengangguk, sedangkan Lerion mengabaikannya. Ia lebih memilih mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, seolah-olah sedang mencari sesuatu.
Tampak jelas di mata Raka siapa lelaki bernama Lerion itu. Dengan telinga runcing dan anting berbentuk matahari. Ia pasti bukan orang sembarangan. Sangat disayangkan bahwa di tempat asalnya, Raka sama sekali tidak mengerti dunia luar selain di lingkungan perumahan kecil di pinggir kota yang ia tempati.
Dia seorang Elf?
Batin Raka bergejolak. Tangannya tergerak untuk menyentuh bagian telinganya dan tanda lahir di lengan. Telinganya tidak mirip para elven karena dia tahu bahwa ibunya adalah seorang manusia.
Apa dia berasal dari tempat yang sama denganku?
Pemuda itu menggelengkan kepala, kemudian mengamati lagi sosok di luar ruangan yang kini menatap ke arah kamar yang ia tempati. Ke arahnya.
Raka dibuat gugup sehingga kakinya mundur dua langkah untuk menghindari akan ketahuan dan menatap mata elf tersebut yang tampak tajam dan manipulatif.
Ia berkedip, kemudian kembali ke atas dipan dengan kasur kapuk tipis di atasnya untuk berbaring. Lebih tepatnya menyembunyikan diri.
"Aku pergi dulu." Suara elven bernama Lerion itu bergema lirih.
Raka menyadari bahwa keberadaannya disadari oleh pria bertelinga runcing tersebut. Ia pun berusaha menetralkan dirinya yang masih merasakan antara gugup dan takut. Meski begitu, yang ada di kepalanya adalah, mungkin saja Aki dan Lerion bisa membantunya kembali ke rumah orang tuanya, tetapi bagaimana cara menjelaskannya?
Saranjana bukanlah kota yang bisa ditembus manusia. Orang-orang menyebutnya kota gaib. Nyatanya yang ada di sana semuanya adalah bangsa yang tidak dipercayai oleh manusia kecuali sang ibu.
Melupakan kejadian yang baru saja ia lihat, Raka terus menggelengkan kepala. Namun, pemuda itu teringat akan tujuannya ke kamar mandi. Rasa kebelet sudah mengganggu kantung kemihnya. Ia pun berjalan ke luar, melewati ruang tengah dan mendapati Rustan tengah menatapnya.
"Kau mau ke mana?"
Raka tercekat, napasnya seolah terhenti mendengar nada dingin yang dilontarkan oleh Rustan.
"K-ke kamar kecil, Ki."
Rustan mengembuskan napasnya, kemudian mengangguk. "Hati-hati. Jangan keluar dari garis pembatas. Malam hari di luar sangat berbahaya."
Raka mengangguk, kemudian berlari ke belakang dan segera melakukan panggilan alam yang sedari tadi sudah mengganggu tidurnya.
Sekembali dari kamar kecil, melihat Rustan masih duduk sembari minum kopi, Raka memberanikan diri untuk bertanya.
"Yang tadi itu siapa, Ki?
Sebelah alis Rustan terangkat. "Kau melihatnya? Mendengar obrolan kami?"
"Uh ..., tidak, Ki. Tadi aku ingin keluar, tapi aku mendengar seseorang berbicara, jadi aku menunggu dia pergi."
Rustan mengangguk, kemudian mengibaskan tangannya, menyuruh Raka untuk kembali ke kamar. "Dia temanku. Sekarang, kembalilah tidur. Besok, aku ingin mengajakmu ke pasar.
Raka mengangguk dan menuruti apa yang dikatakan Rustan padanya.
***
Salam literasi
Mei dan kawan-kawan
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top