Bab 2

Selamat memasuki dunia imajinasi :)

***

Raka sekarang berjalan bersama seorang laki-laki yang tadi menyelamatkannya. Meski paruh baya, postur pria itu tampak kekar dan perkasa. Ia memiliki tubuh setinggi ayah Raka dengan kulit cokelat gelap, tanda kalau dirinya sering terpapar sinar matahari. Rambutnya pun masih hitam dan tampak rapi meski panjang sepinggang.

Mereka berjalan bersama ke pinggiran desa dan tiba di sebuah rumah sederhana dekat dengan bibir hutan.

Pria paruh baya tadi tidak melewati pintu depan. Ia masih berjalan ke sisi belakang rumahnya menghampiri sebuah sumur.

"Bersihkan tubuhmu di sana," tunjuk pria itu, lalu kembali berjalan masuk ke rumah lewat pintu belakang.

Raka yang mengerti apa yang dimaksud pun segera menimba air. Awalnya ia kurang paham dengan sistem pengambilan di sumur itu karena tidak adanya pompa air. Namun, setelah melihat roda kerekan, ia pun teringat kalau sistem katrol ini pernah ia lihat di buku.

Pertama, ia membersihkan sisa-sisa sayur yang menempel di tubuhnya. Daun-daun hijau yang tidak segar lagi itu dibuang ke semak. Tomat busuk yang bertengger di kepala juga langsung dibuang. Kemudian ia menimba air dan mengguyur tubuhnya. Dengan langsung disiram, semua kotoran di tubuh maupun bajunya akan langsung menghilang. Bukan hanya sekali, tetapi Raka mengguyur tubuhnya beberapa kali sampai merasa bersih.

"Kalau sudah selesai, keringkan tubuhmu dengan handuk," ujar pria paruh baya tadi dari pintu belakang rumahnya. "Aku letakkan handuknya di sini."

Raka beranjak dari sumur dengan tubuh basah kuyup dan segera mengambil handuk yang sudah disiapkan. Ia mengusap rambut hitamnya untuk mengeringkan semua air di sana.

"Ini baju gantinya." Pria tadi kembali keluar sambil membawa sesetel pakaian. "Bergantilah di kamar mandi di sana."

Tanpa curiga sama sekali, Raka langsung mengambil pakaian tersebut dan membawanya ke semacam gubuk sederhana. Ia pun menyadari kalau di sana adalah toilet. Sangat amat berbeda dengan yang ada di rumah.

Ia mulai melepas pakaian yang dikenakannya, lalu menggantinya dengan baju dari pria tua tadi. Pakaian ini aneh menurut Raka. Hanya celana katun yang agak lebar dan sebuah baju kaos, sedangkan pakaian miliknya digantung pada kayu yang melintang di bilik tersebut. Ia rasa di sana memang digunakan untuk menggantung pakaian. Kemudian ia keluar dan menghampiri pria tua tadi yang duduk di bangku rotan tempat tadi dia meletakkan handuk.

"Terima kasih sudah menyelamatkan saya, Aki." Raka tidak mengerti sebutan Aki tersebut. Setidaknya begitulah warga memanggilnya dan ia pun menggunakan kata itu.

Sekilas, pria paruh baya itu melihat sesuatu di lengan kiri Raka. Sempat disangka sampah yang menempel. Namun, setelah diperhatikan lagi, ternyata itu adalah tanda lahir. Bentuknya sangat unik, persis seperti bulan sabit.

"Ayo masuk," ajak pria tua itu setelah melihat Raka selesai berganti baju.

Raka mengekori penyelamatnya saat masuk ke dalam rumah. Ia melewati beberapa ruangan dan tiba di tempat yang diduga ruang tengah. Di sana, ia dipersilakan duduk di sofa. Tidak terlalu empuk, tetapi cukup untuk memanjakan tubuh yang sejak tadi terus berdiri. Sedangkan pria tua tadi duduk di sofa berseberangan dengan Raka.

Di sana Raka agak kebingungan dengan identitas si kakek tua ini, karena di dinding ruangan itu, ada banyak sekali tanduk hewan bahkan kepala rusa.

Sang kakek sadar arah pandangan Raka dan ia juga paham akan apa yang dipikirkan bocah di depannya itu. "Aku pemburu. Menggantung kepala hewan buruan merupakan kebanggaan tersendiri bagi seorang pemburu."

Raka pun manggut-manggut, tanda mengerti.

"Omong-omong, dari mana kamu datang?"

"Dari hutan, Ki," jawab Raka agak ragu. Setidaknya ia tidak berbohong.

Namun, pria paruh baya itu menangkap gelagat aneh pada diri Raka, seakan ada yang disembunyikan. Ia juga merasakan suatu energi mengalir di tubuh bocah itu. Tidak terlalu besar, tetapi sangat dalam dan mengerikan, seperti ada energi lain yang jauh lebih besar. Karena rasa penasaran tersebut, pria tua itu menggunakan satu dari sekian banyak kekuatannya. Ia melihat besarnya energi pada diri Raka.

Iris cokelat tua pria itu menatap tajam ke arah Raka. Dari sana, ia melihat luapan energi luar biasa sedang tertahan di sisi terdalam jiwanya. "Nak, kau ini siapa?"

Raka agak bingung menjawab perkataan tersebut. Ayah dan ibunya merupakan dua makhluk yang berbeda. Namun, karena secara fisik ia mirip ibunya, ia pun menjawab, "Saya manusia biasa, Ki."

Alis tebal pria tua tersebut terangkat sebelah. Mana mungkin ia mempercayai perkataan itu begitu saja. Energi yang dimiliki bocah itu, lebih besar dari manusia biasa. Namun, untuk sekarang, ia tidak akan mengorek lebih jauh. Tidak mau membuat tamunya itu merasa tidak nyaman.

"Apa kau lapar? Aku ada beberapa potong roti," tawar sang kakek.

"Mau, Ki."

"Baiklah, tunggu sebentar." Pria paruh baya beranjak dari sofanya dan pergi ke belakang untuk mengambil apa yang tadi ia tawarkan.

Sebuah roti kering yang dibeli pagi tadi, ia sajikan beberapa potong di atas piring. Kemudian, pria tua itu meracik teh dan gula dalam teko kecil, lalu mengambil air panasnya dari dispenser. Setelah itu, ia membawa makanan, teko teh beserta dua cangkir, kemudian berjalan meninggalkan dapur. Ia kembali ke ruang tengah. Di sana, Raka tampak celingukan akan hebatnya beberapa ornamen yang bergelantung.

"Ini, makanlah," ujar prita tersebut sambil menyajikan barang bawaannya ke atas meja. Otot tubuhnya yang kekar terlihat sangat gagah saat meletakkan gelas ke meja. Dan itu sedikit menarik keterpukauan Raka.

Karena memang sudah lapar, Raka pun mengambil satu potong dan dilahapnya. "Terima kasih, Ki."

"Ya, tidak masalah. Makanlah sampai kau kenyang. Dan ini minumannya." Kakek paruh baya menuangkan teh racikannya ke dalam cangkir. "Masih panas, minumlah setelah agak dingin."

"Aki tinggal sendirian?" tanya Raka basa-basi. Sepertinya bocah itu sudah mau berbicara.

"Ah, sekarang iya. Dulu aku tinggal dengan putriku. Tapi dia pergi ke kota yang lebih besar untuk mengadu nasib," jawab pria tua itu apa adanya. "Oh, yang di lengan kirimu itu tanda lahir?"

Raka tampak agak malu dan tanpa sadar menutup tanda itu. "Ya, ini sudah muncul sejak aku lahir."

"Tanda lahir yang sangat langka. Menurutku itu keren, kau harusnya lebih membanggakannya." Pria itu tampak cukup santai. Bahkan sekilas ia terlihat tersenyum. "Omong-omong, kapan kau akan pulang. Aku akan mengantarmu."

"Terima kasih, Ki. Anda sangat baik."

Pria paruh baya itu kembali tersenyum. "Jangan sungkan. Kita sesama manusia harus saling membantu."

Raka merasa sangat terbantu sejak ia bertemu pria tua ini.

***

Suara meja dipukul terdengar menggema di ruang tengah rumah Raka. Beberapa gelas yang terjatuh dan pecah pun terdengar setelahnya.

"Semua ini karenamu!" Bentak Kyla pada suaminya. "Menjaga anak sendiri saja tidak bisa. Aku jadi curiga, jangan-jangan kau sengaja membawa Raka pergi dan menghilangkannya."

"Kyla!" Raungan amarah menggelegar dari mulut Reidar. Iris hijau matanya menatap sang istri dengan penuh emosi, tetapi tidak ia lampiaskan. Dari awal pertemuan mereka sampai menikah, mungkin baru kali ini Reider terlihat begitu marah. Biasanya, meski sang istri mengomelinya dengan waktu lama, ia tampak biasa saja. "Ingat posisimu! Aku adalah suami, kau adalah istri. Sudah tugas istri untuk menjaga anak."

Kyla terduduk. Mungkin kaget mendengar bentakan suaminya yang sudah ia nikahi selama hampir enam belas tahun itu.

Reidar pun melangkah untuk keluar rumah. "Kau hanya kebingungan, duduklah sebentar. Aku akan meminta bantuan pada Tetua. Aku harap dia mau membantu."

Pria elf berambut putih sebahu itu pergi ke garasi dan masuk ke dalam mobil jeep hitam miliknya. Ia menyalakan mesin dan mulai menjalankan mobil.

Meski perasaannya gusar, ia mencoba menenangkan diri dengan berpikir positif. Seperti; mungkin sang anak hanya tersesat atau keasikan main dengan anak-anak seusianya sampai lupa waktu, walaupun nyatanya hal itu tidak mungkin terjadi.

Sekarang, ia berada di jalan utama menuju bangunan tertinggi dan termegah seantero Saranjana, tempat pusat pemerintahan.

Reidar memasuki area parkir, keluar dari mobilnya, dan langsung melesat menuju gedung yang dipenuhi kaca tersebut. Ia terlihat tergesa saat memasuki lift, membuat semua elf keheranan. Sang Reidar Asger yang selama ini terlihat tenang, sekarang tampak menahan panik.

Dengan menyentuh tombol lantai tujuannya, lift melesat ke atas. Beruntungnya, tidak ada orang yang menggunakan fasilitas tersebut, membuat pergerakannya tanpa hambatan.

Reidar bergegas keluar setelah tiba di lantai sembilan puluh lima, tempat Tetua bekerja. Ia berlari melewati lorong dan langsung masuk ke ruangan pemimpin Saranjana tersebut.

Seorang elf paruh baya yang berpenampilan elegan mengenakan jubah hijau dengan berbagai ukiran simbol yang dijahit benang warna emas, tampak terperangah dengan kedatangan Reidar. Mata hijau pudarnya menatap heran laki-laki itu.

"Ada masalah apa Reidar sampai sampai kau lupa dengan etika?" tanya elf paruh baya tadi.

Reidar masuk dengan tergesa. "Maaf Tetua. Raka ... putraku, dia menghilang."

Tetua seketika berdiri. Otaknya memproses cepat akan bocah laki-laki yang dulu ia dan istri Reidar segel kekuatannya. Anak dalam ramalan yang memiliki kekuatan overpower.

"Bagaimana bisa?" tanya Tetua cepat.

"Aku pun tidak tahu. Semua terjadi tiba-tiba. Semalam aku ingat betul saat menyelimutinya ketika ia tidur, tetapi pagi ini ...."

"Aku mengerti." Tetua menyentuh meja dan sebuah hologram keyboard muncul. Setelah memencet beberapa huruf, keluar gambar wajah seorang laki-laki elf di meja tersebut. "Matthias, kau di sana?"

"Ya, Tetua. Ada apa?" Suara laki-laki tegas pun terdengar.

"Kumpulkan semua personil keamanan. Cari seorang anak bernama Raka Asger. Aku akan mengirim rinciannya nanti," ujar Tetua cukup jelas.

"Baik, Tetua!" seru laki-laki itu, kemudian Tetua menutup panggilannya.

"Terima kasih, Tetua. Aku sangat berterima kasih ...."

"Terlalu cepat untuk lega, Reidar. Kita harus siap dengan kenyataan terburuk."

"Jangan-jangan ...."

"Ya. Tidak menutup kemungkinan kalau dia sekarang berada di dunia luar." Tetua menatap Reidar cukup serius. Matanya terlihat menusuk, menunjukkan sosok yang dulu pernah perkasa. "Kita harus menemukannya."

"Terima kasih, Tetua." Reidar membungkukkan tubuhnya sedikit tanda hormat dan berbalik meninggalkan ruangan itu.

Tetua tidak hanya bersantai menunggu kabar. Setelah mengirim foto Raka pada agen andalannya, ia juga mencoba membantu dengan mencari dari jejak rekaman CCTV. Dengan dikombinasikan pada pencarian scene wajah, ia berharap kamera pengawas di seluruh Saranjana menangkap keberadaannya.

Di sisi lain, Kyla yang masih terpuruk di ruang tengah karena kehilangan anak semata wayangnya, mencoba berinisiatif untuk mencari dengan caranya sendiri.

Meski manusia, dia merupakan seorang penyihir. Setidaknya, dia tahu satu atau dua cara untuk menemukan keberadaan putranya.

Kyla bergegas, beranjak dari sofa dan berjalan cepat menuju kamarnya. Ia berjongkok, lalu menarik semacam laci dari bagian bawah tempat tidur. Ada berbagai barang di sana, tetapi perempuan itu mengambil semacam kain merah seukuran sapu tangan.

Kain tersebut ia bentang di lantai dan mulai berkonsentrasi untuk membaca mantra. Kyla menutup matanya, mengurangi indra untuk memaksimalkan konsentrasi. Bibirnya tampak berkomat kamit mengucap kalimat-kalimat yang tidak dimengerti, begitu rumit dengan bahasa yang aneh.

Dalam setiap bait yang diucapkan, Kyla mengingat kembali wajah tersenyum putranya. Ini merupakan salah satu syarat dalam menjalankan ritual tersebut.

Secara perlahan, kain melayang dengan sendirinya seperti ada suatu makhluk astral menggunakan kain tersebut sebagai penutup tubuhnya. Ia terbang perlahan, melayang-layang di udara seakan gaya gravitasi tidak berpengaruh padanya.

Kyla membuka matanya. Ia tersenyum karena sihirnya sudah berhasil. Sekarang tinggal menuju ke tahap selanjutnya. "Cari keberadaan putraku."

Kain tadi tampak bergerak-gerak naik turun seperti ubur-ubur dan melesat berputar di udara. Kyla menatap kain tersebut dengan bibir semringah, tanda kalau kain itu sedang mencari keberadaan sang anak. Namun, Kyla mulai merasa aneh. Kain itu terus berputar tanpa henti, bahkan terbang dengan sangat cepat. Hingga, kain itu pun hancur berkeping-keping.

Bibir semringah Kyla seketika menghilang, digantikan dengan pandangan terkejut dan terperangah. Dari apa yang ia lihat, merupakan pertanda kalau Raka tidak berada di Saranjana.

"Anakku ... jangan-jangan ...." Pikiran buruk sempat terpikirkan olehnya.

Segera ia mengambil barang lain dalam laci tadi. Sebuah boneka jerami kecil sudah di tangannya sekarang, kemudian ia melesat keluar dan menuju ke kamar anaknya. Di sana, ia mengambil salah satu baju sang anak yang memiliki kerah. Dirobeknya kerah baju tersebut dengan kasar, lalu kembali ke kamarnya.

Dengan tangan yang gemetar, Kyla melilitkan kerah baju tadi ke boneka jerami. Setelah itu, ia kembali membaca mantra. Bibirnya begitu cepat dalam berucap. Tanpa suara yang terdengar, tetapi dapat dipastikan kalau tidak ada orang yang tahu apa yang diucapkannya.

Secara perlahan, boneka jerami mulai bergerak. Bibir Kyla pun seketika semringah. Dengan bergeraknya boneka jerami, tanda kalau pikiran buruk yang sempat terlintas olehnya sudah terpatahkan.

Mantra yang Kyla terapkan merupakan mantra untuk merefleksikan tindakan seseorang dari jauh. Jika orang yang dimaksud mati, maka boneka tidak akan bergerak. Dengan begitu, dapat dipastikan kalau Raka masih hidup. Kyla menangis saking leganya.

Boneka itu terlihat duduk dan ia tampak mengambil sesuatu untuk dimakan. Kyla menatapnya aneh dan berpikir keras dengan apa yang dilakukan boneka tersebut.

"Kyla, apa yang terjadi!?" Reidar tiba-tiba masuk dan agak kaget melihat tingkah istrinya yang berjongkok di lantai. Namun, kecurigaannya menghilang setelah melihat boneka jerami yang bergerak dengan sendirinya. "Bagaimana hasilnya?"

"Aku sudah menggunakan mantra pencarian. Namun, gagal. Sekarang aku menggunakan mantra refleksi tindakan dan berhasil. Dari dua mantra tadi, aku menyimpulkan kalau Raka masih hidup, tetapi dia tidak berada di Saranjana," jelas Kyla. Di waktu yang sama, boneka tadi kembali lemas tak bergerak. Tanda kalau mantranya sudah berakhir.

"Dunia manusia ...," tebak Reider.

"Kemungkinan begitu. Tapi, bagaimana bisa ... tunggu dulu." Kyla sepertinya memikirkan sesuatu. Bergegas ia beranjak dan menghampiri cermin besar di meja rias, lalu menatap cermin tersebut sambil memikirkan satu mantra lain.

Wanita itu mengambil spidol di atas nakas dan langsung mencoret-coret cermin. Ia gambar sebuah simbol aneh di delapan sisi cermin tersebut, lalu disatukan dengan garis melingkar. Tidak hanya itu, ia satukan empat simbol dengan garis dan membentuk persegi. Empat simbol yang tersisa pun ia satukan dengan bentuk yang sama. Dua persegi tersebut membentuk gambar octagram, bintang segi delapan.

"Ambilkan foto Raka," pinta Kyla. Tanpa protes, Reidar melesat keluar kamar menuju kamar Raka dan mengambil satu foto di sana, kemudian kembali menghampiri istrinya.

"Ini." Reidar menyerahkan foto tersebut.

Kyla membuka laci, lalu mengambil selotip. Tangannya tampak gemetar, membuatnya susah mencari ujung selotip tersebut.

Reidar menangkap tangan Kyla dan menggenggamnya erat. "Kyla, kita harus tenang. Semua akan terasa buyar jika kita panik."

"Tapi Reidar, ... Raka ... anak kita ...."

"Aku mengerti. Aku juga takut kalau Raka mengalami hal-hal buruk, aku sama paniknya denganmu, tetapi kita harus tenang." Reidar mengusap air mata istrinya. "Lihat aku. Raka tidak kenapa-napa. Oke?"

Kyla mengangguk, hatinya sudah mulai tenang sekarang. Ia mengusap air matanya sendiri dan kembali mencari ujung selotip. Kali ini dengan mudah ia mendapatkannya, kemudian digunakan untuk menempelkan foto Raka di cermin, tepat di tengah-tengah simbol octagram tersebut.

Setelah itu, Kyla mengulurkan tangan kirinya menghadap foto pada cermin. Ia memejamkan mata untuk memaksimalkan konsentrasi. Bibirnya mulai berbisik mengucap mantra. Kali ini, ucapannya perlahan dan penuh penghayatan. Dengan adanya sang suami di sebelahnya, hatinya tidak lagi gusar. Dengan begitu, setiap bait mantra dapat disebut dengan fasih.

Secara perlahan, tubuh Kyla mengeluarkan semacam aura abu-abu agak transparan. Aura tersebut menjalar ke tangannya dan mengembus seperti asap ke foto Raka di cermin. Kyla membuka matanya, kedua bola matanya tampak bersinar sewarna dengan aura dari tubuhnya. Tidak terlalu silau. Namun, cukup membuat Reidar terpana.

Energi abu-abu tadi menyebar di permukaan cermin dan diserap oleh delapan simbol aneh tadi. Garis kotak dan lingkaran yang menyatukan delapan simbol pun ikut bercahaya. Pancarannya dapat menerangi seisi kamar.

Secara perlahan, pantulan bayangan Kyla dan Reidar di cermin mulai buram, digantikan dengan pemandangan ruangan agak gelap. Namun, sepasang suami istri itu tahu tempat itu. Merupakan bangunan yang terpisah dari rumah mereka. Tempat itu adalah gudang.

Pantulan cermin mulai bergerak. Pemandangan itu melangkah dan mendekati lemari, lalu meraba sisi belakangnya. Terdapat tuas tersembunyi di sana dan diputar. Dari sini, Kyla dan Reidar paham kalau apa yang mereka lihat sekarang merupakan pantulan dari yang Raka lihat sebelum dia menghilang.

Dinding seketika retak dan tembok tampak terbelah, hingga terciptalah pintu yang menuju ke lorong.

"Darimana dia tahu?" gumam Kyla penasaran. Namun, sebuah pemikiran melintas di kepalanya. "Jangan-jangan ...."

"Dia pernah mengikutimu," ujar Reidar melanjutkan kalimat istrinya.

"Semua salahku ...."

"Hey," potong Reidar cepat. "Dia anakku. Wajar kalau dia mewarisi rasa penasaran besar dariku. Jadi, jangan sampai berpikir kalau semua ini salahmu."

Reidar dan Kyla kembali menatap cermin. Di sana, mereka melihat kalau Raka sedang menelusuri lorong yang setiap dindingnya terdapat deretan obor sehingga tidak gelap, hingga tibalah ia di sebuah pagar. Raka tampak mencari sesuatu di dinding dekat pagar tersebut hingga menemukan tombol di dinding sisi kiri. Pagar pun terbuka dan Raka masuk lebih dalam ke lorong itu.

Pemandangan dalam cermin berhenti sampai di sana karena area yang Raka masuki merupakan sisi luar Saranjana.

"Anak pintar," gumam Kyla.

"Siapa dulu bapaknya," sahut Reidar.

Kyla tersenyum melihat suaminya yang begitu sabar menghadapi kepanikannya. Bahkan, dia juga membuat Kyla lebih tenang dan mencoba membuatnya tersenyum. Ia cium pipi laki-laki itu dan melangkah keluar kamar. "Kita kejar dia."

Reidar ikut di belakang dengan rona merah di pipi. Ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang. Panggilan pun terhubung beberapa detik setelahnya. "Tetua, kami sudah menemukan ke mana Raka pergi. Sepertinya, dia keluar Saranjana melalui pintu rahasia yang biasa kami gunakan. Maaf sudah menyusahkan Anda, Tetua. Setelah ini, aku menyusulnya."

Belum sempat Tetua menjawab, Reidar menutup panggilan. Langkah mereka cepat dan tampak tidak sabar ingin bertemu sang buah hati. Ia dan istrinya sekarang sudah di depan gudang, lalu bergegas masuk ke dalamnya.

***

Salam literasi

Mei dan kawan-kawan

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top