🌹 Surga di Mata Suami
"Allah adalah sebaik-baiknya creator. Ia satukan dua nama, yang bahkan tak sanggup mereka sandingkan dalam khayal."
-Princess Adhera
🌹🌹🌹
Adhera menutup wajahnya yang terlihat merah saat pria di sampingnya mulai mengoceh tentang penampilannya. Dengan susah payah, ia berusaha menahan senyumnya. Sesekali ia merengek manja dengan tangan yang mendarat mulus di pinggan pria itu. Bahkan karena hal itu, banyak tamu undangan yang menatap ke arah mereka dengan tersenyum geli.
"Udah, ih. Aku malu, Mas," ujarnya masih dengan tangan menutup wajahnya.
Arsya tergelak melihat tingkah wanita yang beberapa jam lalu sah menjadi istrinya. "Gak papa kali, Dhe. Biar si Alfan makin asem," ujarnya seraya melirik seorang pria yang duduk di pojok ruangan bersama beberapa tamu lainnya.
Adhera tersenyum simpul saat melihat Alfan sama sekali tak menoleh ke arahnya. Ia sudah menduga bahwa itu hanya akal-akalan pria ini saja. Ia memang suka melihat wajah merah Adhera sejak Alfan mulai berceloteh tentang malam sakral mereka.
Tawa Arsya terhenti saat seseorang pria dengan jas hitam menghampiri mereka. Senyum bahagia tercetak jelas di wajah pria itu.
Adhera yang semula ingin mencubit lengan Arsya, kini tangannya menggantung di udara. Ia langsung terdiam dengan bibir terkatup rapat. Matanya mengerjap beberapa kali. Di lihatnya Arsya yang berdiri kemudian berjabat tangan dengan pria itu. Hatinya tiba-tiba bergemuruh dengan sesak yang terasa menghimpit dada.
"Barakallahu laka, wa baraka 'alayka wa jama'a baynakuma fii khayr." Pria itu memeluk Arsya singkat lengkap dengan tepukan di pundaknya.
Arsya tersenyum seraya mengamini. Raut wajahnya terlihat penuh tanda tanya. Namun ketika ia melihat pria itu melangkah ke arah istrinya, barulah ia mengerti.
Wajah pias dengan air mata yang menggenang di pelupuk mata gadis itu, membuat Arsya menyadari bahwa ada hubungan antara kedua orang di depannya yang tidak Arsya ketahui.
Pria itu tersenyum simpul saat berada di hadapan Adhera. Sementara gadis itu langsung menundukan kepalanya.
""Barakallahu laka, wa baraka 'alayka wa jama'a baynakuma fii khayr, Dhe. Abang bahagia kamu bertemu dengan pendamping hidupmu. Abang percaya sama pria ini, Dhe." Ia menepuk pelan bahu Arsya. Pandangannya masih tertuju pada gadis di depannya.
"Dia ini rekan bisnis yang baik dan jujur. Pintar dan juga kaya. Sesuai dengan tipemu kan?"
Adhera masih terus menunduk. Kini punggungnya terlihat bergetar, dengan isak tangis yang terdengar pelan.
"Sya, jaga adikku baik-baik. Jangan buat dia menangis dan jangan pernah buat dia khawatir. Kamu tahu kan, kalo dia ini cengeng," ujarnya pada Arsya.
Saat pria itu hendak turun dari panggung, Adhera segera mengangkat wajahnya. Ia menghapus air yang merembes ke pipinya.
"Bang Za," panggilnya membuat pria itu menoleh. "Terimakasih sudah mau datang."
***
Udara dingin yang berhembus subuh itu membuat Arsya mengeratkan sweater hitamnya. Tangannya memutar gelas kopi yang ada di atas meja. Adzan subuh belum juga berkumandang sejak Arsya selesai menunaikan dua rakaat solat tahjjudnya beberapa menit yang lalu. Wanitanya pun masih meringkuk dengan tubuh berbalut selimut tebal di atas kasur. Namun tidak ada tanda-tanda dari wanita itu akan bangun dari tidurnya. Padahal sudah berapa kali Arsya mencoba membangunkannya. Melihat tidur pulasnya, akhirnya ia membiarkan wanitanya tetap bergelung di bawah selimut.
Ia menyeruput secangkir kopi hitam di tangannya. Saat adzan terdengar, ia beranjak dari duduknya kemudian berjalan menuju tempat tidur.
"Dhe, sudah subuh." Ia menepuk pelan pipi tirus Adhera, membuat Adhera mengerang pelan. "Ayo, sudah subuh. Mas mau ke musholla dulu," ujarnya.
Adhera menggeliat kemudian menyingkap selimut tebal yang menutupi tubuh. "Sudah adzan?" tanyanya dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.
Arsya mengangguk mengiakan.
"Kenapa belum berangkat?"
"Nunggu kamu bangun dulu," ujar pria itu dengan senyum tipis.
Adhera bangkit dari tidurnya. Tangannya merapikan rambut yang berantakan. "Ya sudah. Sana berangkat," titahnya yang membuat Arsya terkekeh ringan.
"Jahat banget pake ngusir segala," selorohnya seraya menyentil hidung Adhera.
"Aw, sakit, Mas." Arsya terkekeh. "Belum wudhu ya?" tanyanya.
Dengan wajah polos, pria tampan di depan Adhera itu menggeleng.
"Ya udah. Mas, wudhu duluan deh. Dhe mau siepin bajumu dulu," ujar Adhera seraya berjalan menuju koper mungil milik suaminya di samping pintu kamar mandi.
Arsya mengangguk dan langsung masuk ke kamar mandi tanpa protes. Selagi suaminya berwudhu, Adhera dengan cekatan memilih-milih pakaian mana yang harus dikenakan suaminya.
"Mas, Umi gak naruh sarung ya?" tanyanya dengan suara sedikit ditinggikan.
"Gak tahu, Dhe. Cari aja," sahut Arsya di sela-sela suara percikan air.
Sudah dua hari mereka menetap di hotel. Kata umi, mereka harus membiasakan diri hidup berdua sebelum kembali ke rumah. Juga hitung-hitung sebagai hadiah bulan madu. Pakaian yang mereka bawa juga seperlunya. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di kamar dari pada sekedar berjalan-jalan menghirup udara segar di luar hotel.
"Gak ada, Mas," ujar Adhera setelah membongkar koper milik suaminya.
Suara percikan air sudah tidak lagi terdengar. Setelah hening beberapa saat, Arsya keluar dengan rambut dan wajah yang terlihat basah. Pria berperawakan tegap itu berjalan menuju istrinya, kemudian ikut berjongkok di sampingnya. Ia hendak meraih koper mungil itu, namun Adhera lebih cekatan mengeluarkan seluruh isinya.
"Tuh, gak ada," ujar wanita itu meyakinkan.
Arsya terdiam dengan alis bertaut. "Gak biasanya umi lupa naruh sarung Mas," gumam Arsya.
Adhera ikut bangkit ketika suaminya mengangkat tubuh dari sampingnya. Baju koko di tangannya ia serahkan ke Arsya. "Bukannya kemarin malam Mas solat pake sarung?"
"Iya, tapi sarungnya kotor, Dhe. Kena tumpahan kopi," ujar Arsya.
Wanita itu kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya dengan pelan. "Gak papa. Nanti pinjem sarung yang di musholla saja," usulnya.
Tak lama kemudian, Arsya mengangguk setuju. Setelah mengganti celana selutut berwarna khakinya dengan celana bahan, pria itu meraih sajadah yang disodorkan istrinya lalu pamit.
"Mau dibeliin bubur gak nanti pas balik solat?" tanyanya sebelum Adhera menutup pintu kamar.
Istrinya menggeleng. "Gak usah. Nanti sarapan pake nasi saja," ujarnya.
Bagi Adhera, tak ada nikmat paling sempurna selain nikmat iman islam. Juga tak ada takdir terindah selain mendapatkan suami yang soleh. Suami yang ketika melihat matanya, rasanya surga terasa dekat. Ada banyak hal dari Arsya selama dua hari ini yang tak berhenti Adhera kagumi. Sesuatu yang dulu sebelum menikah tidak pernah terlihat olehnya dalam diri Arsya. Jika disebutkan satu per satu, mungkin tidak akan selesai dalam satu rangkaian kalimat. Tapi pada intinya, hal yang paling Adhera syukuri adalah sifat lembut dan penyayang pria ini. Arsya tidak romantis seperti kebanyakan pria idaman yang sering ia tonton di yotube. Tapi dengan kelembutannya, tanpa sadar ia bisa membuat Adhera melting. Bersemu hanya karena belaian lembut di kepalanya.
Dulu ia sadar, bahwa ia tak cukup sempurna untuk mendapatkan lelaki soleh seperti Arsya. Bahkan Adhera tidak berani menyandingkan dirinya dengan Arsya dalam khayal. Namun setelah kedatangan Arsya dengan maksud meminang, segala bentuk ucapan syukur ia lafalkan. Sebab dari pertama ia bertemu dengan suaminya, ia sudah merasa jatuh hati. Terlalu cepat memang. Berawal dari kagum hingga berujung menjadi calon imam. Sekilas memang terlihat romantis. Tapi dibalik semua itu, cerita kelam tak luput dari kisah yang mereka jalani.
Bersambung...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top