🌹 Sepasang
"Wanita itu dinikahi karena empat perkara yaitu karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang punya agama, engkau akan beruntung."
(HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 1466)
🌹🌹🌹
Adhera menatap pantulannya pada cermin besar di depannya. Make up tipis dengan dress syar'i sederhana yang dipadukan dengan jilbab berwarna senada, menutupi kepala hingga dada.
Sederhana namun tampak menawan. Sangat cocok dengan warna kulit Adhera yang putih bersih. Tatanan jilbabnya pun tidak terlalu heboh. Tak ada selatan jarum pentul di sana sini. Hanya ada selembar kain putih yang menjulur indah hingga menutupi dada. Tak ada hiasan ataupun mahkota di atas kepala.
"Sudah selesai, Mbak," ujar sang penata rias yang berdiri di sampingnya.
"Terima kasih," ujarnya.
Setelah itu, sang penata rias tersebut terlihat sibuk merapikan alat make up dan beberapa barangnya yang berserakan. Ia tersenyum puas saat melihat karyanya. "Saya permisi dulu, Mbak," pamit penata rias tersebut.
"Eh, silakan." Adhera terkesiap.
Setelah penata rias itu keluar, gadis itu kembali merenung. Setelah hari ini semua akan berubah. Mulai dari status, kewajiban, bakti dan juga syurganya. Semua berkaitan dengan Arsya. Yang di mana, setelah ini ia sudah berstatus sebagai istri dari Tuan Arsyamil. Dan itu akan terjadi kurang dari tiga puluh menit lagi.
Ia memegang dadanya yang mulai berdetak kencang. Adhera hanya sendiri di ruangan dengan nuansa klasik-yang merupakan salah satu kamar di hotel mewah itu. Ibu Ratih dan juga Olly sudah keluar sejak lima belas menit yang lalu. Mereka bilang, ada sesuatu dan lain hal yang harus mereka urus di luar.
Gadis itu beranjak dari depan cermin, kemudian berjalan menuju jendela di samping tempat tidur. Pandangannya terarah pada jalan raya yang terlihat padat. Di waktu sore seperti ini, bukan hanya ibu kota yang macet. Tetapi di tempatnya yang terpencil pun, jika sudah waktunya pulang kerja jalan yang lebarnya kurang dari delapan meter itu akan sulit dilalui oleh pejalan kaki. Belum lagi truk yang menerobos lewat. Semua kendaraan kecil, seperti sepeda motor akan segera menepi. Karena itulah, truk-truk di kotanya dijuluki sebagai penguasa jalanan.
'Cklek'
Suara pintu bercat putih di belakangannya terbuka, membuat gadis itu menoleh. Saat seorang gadis dengan kebaya modern itu menyembulkan kepalanya, senyum Adhera mengambang seketika.
"Dhe, boleh masuk gak, nih?" tanya gadis itu. Tangannya masih memegang knop pintu yang terbuat dari besi berwarna perak itu.
Adhera mengangguk, kemudian melangkah ke arah tempat tidur. Gadis itu pun ikut melangkah ke arahnya setelah menutup pintu.
"Gugup gak?" Tangan putih gadis itu meraih tangan Adhera yang dipenuhi oleh hena.
Adhera mengagguk pelan. Tangannya terasa dingin saat gadis di sampingnya menggenggamnya dengan pelan. "Kenapa gugup? Abang aku gak galak kok," selorohnya.
Sektika pipi Adhera memerah. Tangannya yang tidak digenggam gadis di sampingnya, ia gunakan untuk memukul lengannya. "Apaan sih, Wa."
Sabrin terkekeh melihat reaksi Adhera.
"Abang ternyata gak salah pilih, ya. Gadis di depan aku ini ternyata cantik banget. Kecantikan aku malah tersaingi," ujarnya seraya memperhatikan penampilan Adhera yang terlihat sangat cantik.
Adhera menundukan kepalanya. Berdo'a agar dijauhkan dari keburukan yang ada dalam pujian Sabrin. Senyumnya mengembang saat ia mendongak menatap mata sahabat sekaligus calon adik iparnya itu. Tangan dinginnya ikut menggenggam tangan mungil gadis yang sudah bersusah payah mengurus segala persiapan pernikahannya.
"Aku malah lebih beruntung karena bisa berjodoh dengan Abang kamu. Orang yang dulu sering kamu bangga-banggain. Lelaki soleh serta berilmu yang sangat menyayangi adiknya, berbakti kepada kedua orang tuannya dan menjadi pujaan ibu-ibu sekomplek karena wibawanya," jeda sejenak. Adhera terkekeh pelan saat mengingat bagaimana dulu ibu-ibu di dekat rumah Sabrin memuja calon suaminya. "Dan dari dulu, aku gak pernah berhenti berharap agar bisa mendapatkan orang yang seperti Abangmu itu." Jeda sejenak. Adhera tersenyum simpul seraya menatap Sabrin yang masih terdiam. "Dan sekarang, Allah kabulkan. Ia bahkan ngasih aku bonus. Adik ipar yang baik dan cantik. Mana dia sholehah lagi," lanjutnya dengan kekehan kecil.
Sebuah lengkungan indah terbit di wajah Sabrin. Matanya berbinar ketika Adhera mengakhiri ucapannya. Ia mulai merangkul tubuh Adhera dari samping. Gemas, ia memeluk gadis itu dengan erat.
"Manis banget sih," kekehnya.
Suara pembawa acara yang tengah menyambut kedatangan tamu di luar ruangan, membuat Sabrin melepaskan pelukannya. Dari kamar tempatnya saat ini, mereka dapat mendengar lalu-lalang orang-orang. Karena kebetulan ruangan itu berjarak hanya dua meter dari musholla hotel tempat ijab qabul akan di langsungkan.
"Siap-siap. Bentar lagi udah mau ijab tuh," ujarnya yang dibalas Adhera dengan anggukan kecil.
Beberapa saat, mereka terdiam. Adhera meremas tangannya dengan gugup. Suara lembut Arsya terdengar nyaring di telinganya.
"Qobiltu nikaahahaa wa tazwiijahaa bil mahril madz-kuur wa rodhiitu bihi wallahu waliiyut-Taufiq."
Air mata yang sedari tadi menggenang di pelupuk, kini jatuh ke pipi tirusnya. Jantungnya berdetak semakin kencang kala pintu kayu itu kembali terbuka, menampakkan wajah wanita paruh baya yang sangat mirip dengan gadis di sampingnya. Sebelum melangkah masuk, wanita itu tersenyum lebar ke arah Adhera. Dengan perlahan, Sabrin menuntunnya untuk berdiri.
"Ayo Nak Dhera, keluar dulu." Wanita itu meraih sebelah tangannya. Sementara tangannya yang lain sudah digandeng Sabrin.
Sementara di musholla, Arsya menghembuskan napasnya dengan lega. Keringat dingin yang lima belas menit lalu membasahi pelipisnya, hilang ditiup angin segar yang tiba-tiba berhembus. Tangan kekar seorang lelaki di sampingnya menepuk pundak Arsya. Senyum haru terlihat jelas di wajah lelaki paruh baya yang ia panggil abi itu.
"Acara selanjutnya yakni, penyerahan cinci dan penandatanganan surat nikah untuk mempelai," ujar pembawa acara tersebut.
Dari kejauhan, Arsya dapat melihat Adhera yang kini berjalan anggun didampingi adik dan umminya. Gaun putih menjuntai Indah menyapu lantai musholla yang tertutup karpet. Tangan putih bersihnya tertutup lukisan hena berwarna merah. Kepalanya menunduk, membuat Arsya tidak dapat melihat pipi merona di wajah cantiknya.
"Sabar, Sya. Pengantin ente gak bakalan lari," ujar Alfan-sahabtanya-seraya menepuk pundaknya.
Arsya mendelik ke arah pria dengan kemeja batik itu. Tampang songongnya membuat Arsya merasa dongkol. Sejam lagi, jangan harap bibir doer pria itu berhenti mengoceh, pikirnya.
Ia mengalihkan pandangannya saat gadisnya sudah duduk tepat di hadapannya. Adhera masih saja menenunduk, menatap tangannya yang ia taruh di atas pangkuannya. Ia baru mengangkat kepalanya saat melihat tangan Arsya terjulur di depannya. Mata hitam legam Arsya menatap lurus ke arah Adhera.
Dengan tangan yang sedikit bergetar, Adhera meraih tangan kekar itu kemudian menciumnya. Saat ia melepaskan tangannya, barulah Arsya memajukan wajahnya kemudian mencium lama kening gadis itu. Kedua pipinya yang terpoles blush on, semakin terlihat merah karena salah tingkah.
"Entar malem dilanjutin, Sya. Kasian nih tamu undangan belum dikasih makan." Alfan kembali bersuara membuat Arsya salah tingkah kemudian memundurkan wajahnya. Tangannya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Suara sorak sorai tamu undangan serta kekehan dari orang-orang di belakangnya membuat Adhera kembali menundukan kepalanya. Gadis itu tersenyum malu-malu.
🌹🌹🌹
Jauh di bawah undakan panggung tempat kedua mempelai yang tengah tersenyum malu-malu itu, berdiri seorang pria dengan setelan jas hitamnya. Senyum tipis tersungging saat matanya tak sengaja melihat binar bahagia dari sang mempelai wanita. Dengan perasaan tak menentu, pria itu memundurkan langkahnya kemudian membalikan badan.
"Za."
Panggilan Ibu Ratih membuat langkah pria itu terhenti. Pandangannya yang lurus ke depan, ia palingkan ke arah di mana wanita paruh baya itu berdiri.
"Ibu," ujarnya seraya meraih punggung tangan wanita dengan kebaya berwarna ungu di depannya.
"Apa kabar, Nak Zaid?" tanyanya dengan ramah.
"Alhamdulillah baik, Bu."
"Ummi kamu mana? Dari tadi Ibu cariin tapi kok gak kelihatan."
"Iya, Bu. Ummi masih di jalan. Mungkin sebentar lagi sampai," ujar Zaid. Pria itu terlihat tidak nyaman. Tatapan orang-orang yang duduk pada kursi di pojokan menatap ke arahnya. "Sepertinya saya harus pamit, Bu."
"Loh, kok cepat sekali. Sudah ketemu Adhe belum?"
Zaid menggaruk tengkuknya, mata hitam tajamnya menoleh ke arah panggung. Di sana, Adhera tengah tertawa bahagia bersama seorang pria tampan di sampingnya. Terlihat cocok dan serasi, pikir Zaid.
"Saya buru-buru, Bu. Tadi dapat telpon dari kantor," elaknya.
Wanita paruh baya yang merupakan ibu asuh dari Adhera itu mendesah kecewa. Tangan kanannya yang sudah tampak keriput mengusap pelan bahu Zaid, dengan senyum kecil yang terlihat dipaksakan.
"Adhera katanya kangen sama Nak Zaid. Udah lama kalian tidak bertemu. Sekarang kalian sudah sama-sama dewasa. Sudah mulai mengerti tentang pentingnya menjaga tali silaturahmi.
Melihat hubungan kalian dulu, ibu kecewa jika di saat-saat seperti ini kamu tidak bisa menemui adikmu karena tuntutan pekerjaan. Sekarang yang ibu minta, temui adikmu. Beri dia wejangan selayaknya seorang kakak, Za. Perbaiki apa yang dulu belum sempat kalian perbaiki."
Zaid terdiam dengan tatapannya kosong. Saat punggung tangan dingin itu menepuk pundaknya beberapa kali, barulah ia tersadar. Raut wajah wanita paruh baya itu terlihat sendu. Genangan di pelupuk matanya membuat Zaid merasa bersalah.
Adik kecilnya, adik kecilnya, adik kecilnya. Kata-kata itu terus terngiang di telinganya. Kini perasaan bimbang kembali menghampiri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top