🌹Peran Baru
"Qadarullah
waa masyaAllah..."
-Princess Adhera
🌹🌹🌹
Wanita dengan gamis berenda berwarna biru langit itu terbelalak ketika matanya menangkap sebuah bangunan minimalis di depannya. Ia baru saja turun dari mobil saat Arsya, suaminya memperkenalkan bangunan itu sebagai rumah mereka. Sejak turun dari mobil hingga sampai di depan teras rumah itu, ia tak berhenti berdecak kagum.
Bangunan yang terletak di pinggiran jalanan kota itu tampak sederhana, namun tak mengurangi kesan indah dan nyamannya. Corak dan aksen-aksen modern kentara sekali di setiap sudut rumah. Halaman depan, tempat wanita itu berpijak saat ini terlihat hijau dan asri. Ditambah lagi tetes-tetes air hujan yang pagi tadi mengguyur kota Bogor, membuat deretan bunga berbagai jenis itu terlihat segar.
Adhera, wanita yang berdiri di samping Arsya itu mengembangkan senyumnya. Ia bahagia, sungguh. Arsya seakan selalu tahu seleranya. Puas memandangi halaman rumah baru mereka, kini ia beralih ke arah wajah tegas Arsya. Pria tampan di samping Adhera itu ikut tersenyum saat istrinya mendongak ke arahnya.
"Kamu suka?" tanyanya. Adhera mengangguk dengan cepat. Melihat hal itu, senyum manis Arsya bergantu menjadi kekehan ringan. "Yuk, masuk," ujarnya kemudian menggandeng tangan Adhera.
Sampai di dalam rumah, Adhera kembali dikejutkan dengan barang-barang mewah yang tertata rapi pada tempatnya. Bukannya kagum seperti beberapa saat lalu, kali ini ia malah berdecak tak senang.
"Mas," panggilnya, pelan. Arsya yang tengah menyeret koper mereka menoleh, dan hanya menjawab panggilan istri tercintanya dengan dehaman.
"Ck, emang gak papa, ya, kita pake barang-barang semewah ini?" tanyanya.
Arsya menghentikan kegiatan memindahkan barang-barang mereka, kemudian menatap sepenuhnya ke arah Adhera.
"Kenapa? Kamu gak suka, Dhe?" Arsya menatap sekelilingnya dengan khawatir. Takut-takut istrinya tidak menyukai barang-barang yang beberapa hari lalu ia pilih sendiri, bahkan menatanya sendiri.
Adhera meggeleng, "bukan gitu," ujarnya. Matanya kembali berkeliling melihat barang-barang mahal di depannya. "Apa ini gak terlalu berlebihan, Mas?"
Mengerti maksud istrinya, wajah khawatir Arsya kini berganti senyum teduh. Sebelum kembali membuka suara, ia menggiring istrinya menuju sofa dengan warna emas di ruang tengah. Ia mendudukkan wanitanya pada sofa, dan dengan posisi berjongkok di depannya.
"Dhe, apa kamu gak nyaman dengan semua ini?" tanyanya lembut. Tangan kananya memegang pinggiran sofa, sementara tangan kirinya menggenggap tangan Adhera yang berada dipangkuannya.
"Bukan gitu. Maksudku ... apa nggak sebaiknya kita pake yang lebih murah, dan uang sisanya ditabung saja? Kan sayang," ujar wanita itu.
Lagi-lagi Arsya tersenyum meneduhkan. Dengan senyum dan tatapannya yang begitu dalam dan perhatian, pria itu tak berhenti membuat Adhera salah tingkah. Seperti reaksinya yang tak biasa setiap kali Arsya tersenyum dan menyentuhnya, begitu juga dengan respon jantungnya yang berdetak abnormal. Arsya bukannya tak menyadari hal itu. Namun ia hanya ingin membuat Adhera terbiasa dengan setiap perlakuan manis juga sentuhannya.
"Gak papa. Asal kamu duduk dengan nyaman, tinggal dalam damai, dan tetap tersenyum di depanku, aku gak masalah kok harus kerja lebih keras untuk masa depan kita." Gombalan Arsya membuat Adhera tersedak ludahnya sendiri.
Ia memalingkan wajahnya, guna mengatur minik wajahnya yang mulai hancur. Pipinya memanas, dengan sudut bibir yang tak berhenti berkedut.
"Apa sih, Mas," ujarnya malu-malu.
Arsya terkiki geli menyaksikan hal itu.
"Udah, yuk. Kita mulai beres-beres. Besok aku harus mulai balik ke kantor," ujar Arsya kembali membawa suasana ke keadaan semula.
Adhara mengangguk setuju. Lalu mengikuti langkah suaminya yang membawa koper milik mereka ke dalam kamar dengan pintu bercat putih gading, yang ada di samping ruang tengah.
***
Selepas subuh tadi, Adhera langsung menuju dapur untuk membuat sarapan pertama mereka pagi ini. Meski hanya ada telur, daging ayam dan susu sapi di dalam kulkas, karena kebetulan Arsya bilang ia belum sempat berbelanja, tapi Adhera tak kehabisan akal. Beruntung ada beras di atas meja makan. Jadi rencanannya ia akan membuat nasi goreng dengan kreasinya.
Entah sudah berapa lama ia berkutat dengan bahan-bahan dapur itu, tak terasa kini nasi goreng buatannya sudah tersaji di atas piring. Tepat saat ia mulai memindahkan sarapannya ke atas meja makan, suara salam Arsya yang baru pulang dari masjid terdengar.
Dengan buru-buru, Adhera mengelap tangannya yang sedikit basah. Ia kemudian menyambut suaminya di depan pintu penghubung ruang tamu dengan ruang tengah.
"Wa'alaikumussalam," jawabnya seraya menampilkan senyum paling manis.
Ia meraih tangan Arsya, setelah pria itu berdiri di hadapannya, kemudian menciumnya dengan khidmat. Seperti kebiasaan mereka beberapa hari belakangan ini, setelah Adhera mencium tangan Arsya, pria itu lalu akan bergantian mencium kening istrinya.
"Aku udah siapin sarapan. Mau mandi dulu, apa langsung sarapan?" tanyanya pada Arsya yang kini berjalan melewatinya.
"Mandi dulu, Dhe. Biar entar sekalian langsung berangkat," jawab Arsya kemudian masuk ke dalam kamar.
Saat Arsya masuk ke dalam kamar, yang Adhera lakukan kini adalah menyiapkan pakaian untuk Arsya.
Suara langkah kaki wanita itu, serta bunyi reot saat lemari dibuka tertangkap jelas oleh telinga Arsya. Di dalam kamar mandi, diam-diam pria itu tersenyum dengan lafaz syukur yang tak berhenti terucap. Ia beruntung sekaligus bersyukur dipersatukan dengan wanita seperti Adhera. Wanita baik hati yang pengertian, dan selalu tahu apa yang dibutuhkan Arsya. Baginya, Adhera adalah istri idaman yang tak dimiliki orang lain.
Sementara di luar, Adhera yang tengah kocar kacir ke sana-ke mari juga diam-diam menarik sudut bibirnya. Rasanya bahagia bisa menjalankan tugasnya sebagai seorang istri. Ia menikmati setiap apa yang menjadi rutinitasnya di setiap pagi. Capek memang. Tapi rasa lelah itu ditutupi dengan perasaan bahagia setiap kali Arsya tersenyum menyambut paginya.
Setelah selesai menyiapkan pakaian kantor Arsya, wanita yang hanya mengenakan daster rumahan pemberian umi mertuanya itu kembali ke dapur. Setelah menata piring naso goreng di atas meja dengan rapi, ia kemudian membuat kopi untuk Arsya.
Suaminya itu muncul ketika ia sedang menaruh segelas susu segar miliknya di atas meja. Pria itu tersenyum ketika Adhera menyuruhnya untuk mendekat. Sebelum duduk di kursinya, ia mencium puncak kepala Adhera yang tak tertutup kerudung sebagai ucapan terima kasih.
"Hari ini ke TPQ?" tanyanya sambil menarik kursi di bagian kepala meja.
Adhera ikut duduk pada kursi di samping Arsya.
"Belum tahu. Kata Olly aku masih punya jatah cuti, Mas. Tapi biasanya kalo darurat, aku dipanggil," jelasnya.
Suami Adhera itu mengangguk-angguk kecil, tanda mengerti. Setelah menyuapkan nasi goreng ke dalam mulutnya, ia menatap jam pada pergelangan tangannya.
"Dhe, Mas hari ini ada rapat pagi. Maaf ya, nasi gorengnya gak Mas habisin," ujar Arsya seraya bangkit dari duduknya.
Adhera mendongak, kemudian ikut bangkit saat Arsya hendak meninggalkan dapur yang sekaligus merangkap menjadi ruang makan dengan buru-buru.
"Iya. Hati-hati di jalan. Jangan ngebut. Kalo gak keburu, suruh Rani buat ngundurin rapatnya," pesan Adhera sebelum Arsya benar-benar meninggalkan rumah.
Pria yang sudah rapi dengan setelan jas kerjanya itu tersenyum singkat, lalu mengenakan sepatunya.
"Hemm. Kamu juga hati-hati di rumah. Kalo mau keluar, jangan lupa ngasih kabar." Arsya ikut berpesan. Ia menyodorkan tangannya ke arah Adhera, dan disambut wanita itu dengan menciumnya. "Aku berangkat dulu. Assalamualaikum," ujar Arsya setelah mencium kening Adhera.
Mobil silver milik pria itu menjauh dari halaman rumah. Tapi Adhera masih terus berdiri di depan pintu, hingga kendaraan mewah Arsya menghilang dari pandangan matanya. Ia baru masuk ke dalam rumah saat ponsel yang ia letakkan di meja ruang tengah berdering.
"Dhe, ke TPQ sekarang. Ini darurat!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top