Otori Eiji
Kepalanya menunduk dalam-dalam. Kedua tangannya saling menaut. Ia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Bahunya bergetar pelan, sesekali ia menggeleng kala adanya pikiran buruk.
Seluruh teman-temannya menatap iba padanya. Mereka tahu bahwa ia berusaha agar tetap kuat. Betapa kuatnya ia agar tidak membiarkan setetes airmata jatuh di pipinya. Sosoknya terasa sangat rapuh, seakan ia bisa hancur menjadi debu kala disentuh.
Batinnya berdoa tak henti, mengharap keselamatan bagi sosok tercintanya. Pertahanannya hancur seketika, kala ia mendengar jerit kesakitan dari ruang tempat ia menunggu.
Airmatanya menetes perlahan. Kepalanya menoleh ke kaca buram yang terletak di belakangnya. Telapak tangannya bertemu dengan permukaan kaca tersebut. Menatap sedih perjuangan sang sosok yang ia sangat sayangi.
'Kami-sama, tolong jangan rebut dia dariku.'
What if Your Husband is :
Otori Eiji
(c) Broccoli
Warn : OOC and Typo
Eiji P.O.V
Jeritannya kembali terdengar, ia sangat kesakitan. Kenapa aku tak bisa menemaninya? Kenapa aku terlalu takut untuk berada di sisinya saat ia membutuhkanku.
Tuhan, aku merasa sangat sakit. Seorang pengecut, ya, aku memang pengecut. Bagaimana bisa saat istrimu sedang berusaha keras untuk melahirkan buah hatimu kau duduk tanpa alasan yang jelas, Eiji.
Tolong jangan tatap aku seperti itu. Jangan membuatku semakin merasa bersalah karena meninggalkannya sendiri disana. Tangan Nii-san menyentuh pundakku, suaranya terdengar lebih halus saat berbisik di telingaku.
"Tenanglah Eiji, dia akan baik-baik saja."
Aku tahu itu Nii-san, tapi rasakanlah rasa sakitnya saat ia menjerit. Rasakanlah perasaan pedih saat ia menangis. Rasakanlah perasaan yang menyakitkan hati hanya dengan melihatnya, Nii-san.
Tuhan, aku tahu ini egois. Tapi tolong, selamatkan hidup mereka. Hidup istriku dan hidup bayiku. Mereka harta yang paling berharga bagiku. Kebahagiaan dan malaikatku.
"Eiji...."
Suara ini, suara milik Nagi. Ia sudah menduduki bangku di sebelahku. Tapi kapan? Bukankah sebelumnya hanya ada Nii-san dan Kiryuin-san? Apa aku terlalu larut hingga tak sadar bahwa seluruh teman-temanku sudah berada disini?
"Dia akan baik-baik saja," ujarnya pelan.
'Tidak, dia tidak baik-baik saja.'
"Ya, kau benar Nagi. (Name)-san pasti baik-baik saja."
Aku berdusta sekarang. Astaga tuhan, tolong maafkan aku. Suara bising terdengar kembali dari ruang bersalin. Kami semua mengintip untuk mengetahui apa yang terjadi.
Sekarang aku menyesali keputusanku untuk mengintip. Disana, (Name)-san sedang mencoba menghirup oksigen sebanyak yang ia bisa. Matanya hampir menutup. Keringat meluncur di dahinya.
Ini tidak akan menjadi kabar yang bagus. Apa ia mulai kelelahan? Dia menatapku, memaksakan sebuah senyumnya untukku.
Nyeri, sakit, sesak. Aku tak bisa menahannya lebih lama lagi. Biarlah airmata ku terus menetes. Aku sudah tak tahan lagi, dia berjuang disana. Mempertaruhkan nyawanya, sedangkan aku? Hanya menahan rasa takut yang membuncah tanpa berada di sisinya.
"(Na-Name)-san...,"lirihku.
Pandanganku hanya tertuju pada sepatu dan airmataku yang jatuh. Rasanya sangat sakit, aku tak tahu apalagi yang lebih menyakitkan daripada ini. Kakiku terasa sudah tak kuat lagi.
Kami-sama, kumohon jangan bawa mereka pergi dariku. Kain tipis mengusap pelan pipiku. Aku menatap siapa yang melakukannya. Ah, ternyata itu Sumeragi-san. Sorot matanya seperti bertanya bagaimana keadaanku.
"Terimakasih, Sumeragi-san. Aku... baik-baik saja," ujarku.
Pria yang lebih tua di hadapanku ini hanya mengganguk. Suasana kembali tegang, para suster dan dokter disana berusaha keras agar mereka selamat.
"Eiichi! Eiji!" Suara seorang wanita menggema di lorong putih ini. Kakak iparku berlari kemari dengan raut panik. Ia berhenti tepat di hadapan Nii-san.
"Ba-bagaimana keadaan (Name)?"
Nii-san hanya menggeleng. Raut wajah Nee-san semakin tak karuan. Ia melangkah menuju pintu ruang persalinan. Ruangan yang tak berani aku masuki. Aku menahan tangannya sebentar, ia menatapku heran sejenak.
"Ne- Nee-san, a-aku titip (Name)-san padamu."
Suaraku agak terbata karena tangisanku. Nee-san tersenyum kecil, ia mengusap rambutku perlahan. Aku rindu sensasi ini, sensasi saat tangan (Name)-san melewati rambutku seperti ini.
"Baik Eiji, kau bisa mengandalkanku!"
Lega, tapi tak selega itu. Nee-san menggenggam tangan (Name)-san, memberikannya bantuan apa yang harus ia lakukan. (Name)-san hanya mengganguk lemah.
Apa dia masih kuat? (Name)-san, tolong selamat. Aku, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku jika kau tidak ada lagi.
Jika kau tidak ada lagi, siapa yang akan menyapaku saat bangun? Siapa lagi yang akan ku bantu saat memasak? Siapa yang akan bernyanyi bersamaku?
Dan yang terpenting, siapa yang akan menjadi belahan jiwaku?
Aku kembali menutup wajahku dengan telapak tangan. Membiarkan seluruh airmata ku tumpah. Ia kembali menangis kesakitan, benar-benar memilukan. Aku tak pernah bisa memaafkan diriku jika seperti ini ceritanya.
"Kakak Eiji... kenapa kakak menangis?"
Suara halus ini, ah, ternyata Nee-san membawa keponakanku kemari. Aku mengintip dari balik jari-jari ku. Senyum kecil kuulas untuknya.
"Kakak tidak menangis kok! Hanya kemasukan debu saja."
Hebat Eiji, sekarang kau berbohong pada keponakanmu sendiri. Ia menggeleng-geleng mendengar jawabanku. "Kakak bohong! Kakak bohong! Nanti hidung kakak mirip Pi-pi-pii--"
"Pinokio."
"Nah! Itu! Nanti hidung kakak mirip Pinokio!"
Aku hanya bisa tersenyum miris, bukannya aku yang selalu menghiburnya? Apa aku sesedih itu hingga anak kecil pun bisa menyadarinya.
"Bintang pasti memberkatinya."
Kami menatap Shion-san heran. Ia menatap balik sebentar, kemudian kembali menutup matanya. "(Name) adalah komposer Heavens. Bintang pasti memberkatinya," jelasnya.
_____
_____
Penantian kami akhirnya terbayarkan. Suara tangisan bayi memecah keheningan tempat ini. Suara malaikat yang telah kutunggu selama sembilan bulan lamanya.
Keberanianku akhirnya muncul, pintu yang kutakutkan kubuka lebar-lebar. Itu dia, nee-san dan sosok yang sangat berharga bagiku, (Name)-san.
"Eiji selamat!" Ujar nee-san sambil berjalan melewatiku.
(Name)-san tersenyum lembut padaku, di dekapannya tertidur seorang bayi yang dibalut selimut hangat. Bayiku, yang kusayangi, yang sudah kutunggu kedatangannya.
"Eiji lihat, dia mirip denganmu. Benar-benar mirip seperti malaikat,"bisiknya pelan.
Aku mengulas senyum yang sama untuknya. Tangannya yang dingin Ku genggam erat. "Maaf (Name)-san ... a-aku tidak ada disampingmu pada saat kau membutuhkanku. Aku benar-benar payah,"sesalku.
Ia hanya tertawa pelan, pandangannya kembali tertuju pada bayi kami. "Menurutmu, kita harus memberinya nama apa?"
Aku berpikir sejenak, aku baru teringat bahwa kami belum menyiapkan nama untuknya. Terlintas sebuah di kepalaku, ku singkirkan helaian rambut milik (Name)-san. Mengecup dahinya dengan lembut.
"Otori (Kid's Name), bagaimana dengan itu?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top