PoP: Amorist-Finale
Amorist Part 9: Finale
Rasa-rasanya semua yang telah terjadi adalah sebuah imajinasi liar belaka--yang datang dan pergi tanpa meninggalkan bekas. Yang terjadi malam itu pun tak nyata sama sekali. Barangkali Ren hanya berhalusinasi. Namun, saat bangun di siang bolong dalam kabin kapal, ia sadar satu hal: yang semalam dan beberapa minggu belakangan bukanlah sebuah halusinasi atau bahkan mimpi. Ia benar-benar di sana, menjadi saksi atas bergulirnya berbagai peristiwa. Bahkan terlibat di dalamnya. Jika bisa, ia harap semua itu tak nyata. Hidup akan terasa baik-baik saja tanpa hal-hal macam itu. Namun, ia pun sadar, hidup bukan tak mungkin bergulir tanpa hambatan.
Ren menghela napasnya panjang sembari memainkan sweter kasmir berwarna marun yang dipinjamkan Neiva. Setelah terbagun sangat siang--dengan matahari yang bahkan terlalu jauh untuk disapa, adik perempuan Vier itu menggiringnya ke dapur, memintanya duduk dan membiarkannya memperhatikan tangan-tangan gadis itu bergelut dengan peralatan dapur. Keberadaan Neiva di sisinya benar-benar berpengaruh besar bagi suasana hatinya di kapal. Apalagi saat harus tidur dalam kabin yang sempit dan pengap, ia hampir tak dapat tidur sepanjang malam. Untungnya, Neiva berada di sisinya, menemaninya sampai terlelap. Bahkan, jika perlu, gadis itu menawarkan untuk menyanyikan nina bobok untuknya. Sekarang, ia meragukan siapa yang lebih dewasa di antara mereka berdua.
Ia sejujurnya masih kurang mengerti dengan apa yang ia alami. Kehilangan ingatannya beberapa minggu belakangan membuatnya bingung. Apalagi jika mengingat-ingan tentang Ansel. Rasanya ia tak mau percaya. Kapten kapal muda yang ramah dan murah senyum itu menjadi biang atas hilangnya berkas-berkas penting IETDO sekaligus orang kurang waras yang memenjarakannya di pulau terpencil. Padahal, Ansel kelihatannya bukanlah orang yang seperti itu. Di dalam tim, dia adalah sosok paling dewasa. Pemimpin yang baik, satu-satunya orang yang mampu mengendalikan semua orang di tim. Sekaligus orang paling perhatian yang tak pernah melewatkan untuk memperhatikan keadaan seluruh anggota timnya. Ren tak dapat lagi memikirkan reaksi rekan-rekannya saat mendapatkan kabar tentang Ansel, kapten kapal muda yang selalu mereka kagumi. Apalagi, setelah ditelusuri, dia adalah mata-mata dari Regan Institute--pesaing IETDO sejak lama. Entahlah, Ren tak begitu paham tentang perselisihan dua organisasi besar itu. Walaupun berdiri dengan embel-embel mengembangkan teknologi elemen, keduanya tetap saja sebuah lembaga bisnis. Mereka sama-sama mengejar uang dan uang dapat membuat banyak orang buta.
"Apa kepalamu baik-baik saja?" Neiva meletakkan sepiring panekuk cokelat yang telah diberi beberapa potongan stroberi di hadapan Ren. Maniknya sibuk mengamati perempuan di hadapannya yang tengah memijiti pelipis dengan telunjuk dan terdengar beberapa kali menghela napas.
Ren manggut-manggut, hampir tak tahu bagaimana harus menjawab. "Aku sudah baik-baik saja, Neve. Terimakasih untuk perhatianmu."
Neiva mengangkat bibirnya, membentuk lengkungan lebar. "Oh, bukan apa-apa. Aku melakukannya karena kau orang pentingnya Prince." Ia lantas duduk di hadapan Ren tanpa melepas apronnya terlebih dahulu.
"Terimakasih. Panekuknya enak." Ren menyuapkan potongan panekuknya dengan setengah berpikir. Ia agak penasaran dengan hubungan kakak-adik antara Vier dan Neiva. Mereka mirip untuk beberapa hal. Keras kepala, tukang suruh, memiliki sifat perhatian yang agak ganjil, dan tidak begitu suka beramah-tamah dengan sembarang orang. Benar-benar keturunan Annelosia. Ia penasaran, apakah cuaca dingin ekstrem di Annelosia membuat orang-orangnya memiliki sifat seperti Vier dan Neve--agak dingin dan cuek untuk beberapa keadaan.
Neiva mengangguk-angguk, tampak lebih puas mendengar pujian Ren daripada mendapat satu set mendali. "Katakan padaku jika ingin tambah." dia beranjak melepas apronnya dan duduk kembali sembari bertumpu dagu. "Aku punya banyak bahan mentah di sini. Makanan praktis para prajurit tak cocok dengan seleraku. Jadi, aku meminta dikirimi beberapa bahan makanan selama berada di kapal patroli." Neiva tertawa, hampir menggebrak meja.
Ren memperhatikannya dengan dahi berkerut, sebelum mulai bertanya, "Sebenarnya apa yang seorang putri lakukan di kapal patroli bersama para prajurit?" ia memainkan garpunya yang dipenuhi lelehan cokelat, tapi pandangannya tak lepas dari Neiva.
"Ah, aku sedikit kesal." Neiva mengetuk-ngetuk meja dengan kuku jemarinya. "Prince memaksaku pulang ke Annelosia tanpa dirinya. Padahal, aku ikut ke Nimue karena ingin menghabiskan waktu bersamanya. Sebenarnya, saat kapal berangkat Annelosia, aku tidak ikut. Aku menyelinap ke kamarku. Tapi satu pagi Kak Rezel berteriak histeris karena Prince pergi dengan hanya meninggalkan sepucuk surat."
"Apa kau ada di sini karena mencari kakakmu juga?"
Neiva menggeleng. Ia menautkan jemarinya satu sama lain dan menaruhnya di meja. "Aku tak mengkhawatirkan kakak sok sibuk itu. Aku hanya penasaran apa yang membuat Prince pergi." ia mengerling pada Ren, memberinya isyarat bahwa ia adalah objek yang membuatnya penasaran sampai repot-repot berlayar langsung.
"Maaf." Ren menggaruk tengkuknya, merasa menjadi biang masalah yang sesungguhnya. Melihat kapal patroli Annelosia lengkap dengan satu unit pasukan yang berlayar di luar teritorinya saja--secara sederhana--membuatnya yakin bahwa ia telah menyebabkan kegemparan internasional. Walaupun ia cukup yakin bahwa kegemparan itu juga disebabkan oleh sabotase terhadap IETDO. Tetap saja. Ia harap, dirinya tidak secara mendadak menjadi sorotan publik lantaran namanya muncul di banyak media. Jika bisa, ia ingin menghapus memori semua orang di dunia untuk melupakan kejadian ini.
"Untuk apa minta maaf? Itu bukan kesalahan kok." Neiva mengendik dan bicara setenang air. Jemarinya sibuk memilin benang yang mencuat dari bajunya.
"Aku hanya merasa menyebabkan banyak masalah."
Neiva mengulum senyum. "Oh, ayolah! Pasti ada hal baik dari semua itu."
Ren manggut-manggut. Ia menumpu dagunya sembari memainkan garpu. Jika dipikirkan lagi, ada beberapa sisi baik yang ia peroleh karena peristiwa itu. Baiknya, ia bisa bicara dengan Vier lagi tanpa sekat canggung di antara mereka. Laki-laki itu mulai terasa seperti Vier yang dulu, Laki-laki keren yang selalu ia kagumi di balik mejanya. Berpisah dengan Vier untuk waktu yang lama hampir membuatnya lupa apa yang biasa mereka obrolkan atau sedekat apa dulunya. Hampir melupakan aroma mint dari tubuhnya jadi yang paling buruk. Sekarang semua perlahan kembali, seperti roda yang diputar balik menuruni jalan-jalan lama yang hampir dilupa. Hal itu pun menyadarkannya bahwa selama ini ia mengunci rapat hatinya untuk laki-laki lain. Namun, ia masih terlalu malu untuk mengakui bahwa hanya ada nama Vier di sana.
Semburat kemerahan perlahan menyebar di pipi Ren sampai-sampai membuatnya kepanasan. Ia memegangi dadanya yang bergejolak untuk beberapa waktu. "Ya. Ada sisi baiknya." Ren meringis pada Neiva, berharap mampu menutupi pikirannya dari gadis yang hampir identik dengan Vier sendiri.
Neiva mengangguk-angguk setuju. Ia meletakkan piring-piring yang telah bersih dari sisa noda cokelat panekuk ke rak, lantas mengusap tangannya lembut dengan handuk. Ren tersenyum memandangi gadis itu untuk waktu yang lama. Ia tampak anggun untuk setiap inci gerakan tubuhnya, tampak soalah telah diprogram untuk melakukan semua itu dengan detail dan sempurna. Sepintas, Ren merasa apa yang dianugerahkan untuk Annelo bersaudara itu tak adil untuk sebagian orang. Bagaimana mungkin orang lain berusaha merias dirinya dengan berbagai cara, sedangkan mereka hanya perlu lebih banyak tersenyum untuk dapat terlihat lebih sempurna. Mereka dianugerahi kulit pucat dan mulus yang tampak transparan di bawah cahaya matahari. Mata biru yang dalam dan tajam, seindah batu safir. Ah, bahkan boneka porselen yang cantik pun akan menangis jika disandingkan dengan mereka.
"Apa kau mengizinkanku untuk menata rambutmu?" Suara Neiva memecah lamunan Ren. Gadis itu sedari tadi telah melirik anakan rambut Ren yang mencuat ke sana ke mari, mereka seolah melambai ke padanya.
"Y-ya?"
"Aku belajar beberapa teknik mengepang dari nanny-ku. Apa kau ingin melihat kemampuanku?" Neiva menyingkap lengan bajunya dan menyisir rambut Ren dengan semangat. Ia tampak menikmati setiap sentuhan jemarinya yang bergerak-gerak di antara helaian rambut Ren yang sudah sepanjang pinggang.
"Ya, tentu. Itu sebuah kehormatan."
Sejujurnya selama bekerja di IETDO yang mengharuskannya melakukan penjelajahan dari benua ke benua membuat Ren jarang sekali memperhatikan rambutnya. Ia rasa, memotong bagian yang bercabang dan menyisirnya setiap hari sudah cukup untuk membuat rambut dalam keadaan baik. Jika putri-putri bangsawan lain sibuk merawat rambut mereka dengan mahal dan memperlakukannya bagai mahkota permata, Ren tak punya cukup waktu untuk memperhatikannya lebih. Memberinya vitamin sebulan sekali saja sudah bagus. Tapi Neiva bilang rambutnya lembut dan wangi. Ia harap itu bukan dalam standar penjelajah yang bahkan tak peduli dengan urusan rambut mereka.
"Aku sudah bilang bahwa aku penasan padamu sebelumnya, kan." Neiva berkata di tengah mengepang rambut Ren. "Sekarang aku tak mencemaskan hal itu lagi."
Ren berdeham, setengah tak mengerti kalimat Neiva. "Tentang aku? Kenapa?"
Gerakan tangan Neiva melembut, tapi tetap cekatan memilin dan mengepang seolah ia telah profesional dalam menata rambut. "Aku menyukaimu," katanya, "ah, sejujurnya aku jarang sekali bisa menyukai perempuan yang dekat dengan Prince. Aku selalu merasa mereka memiliki niat terselubung di matanya."
Mendengar kalimat Neiva, Ren tertawa. Rasanya ingin membanggakan diri karena pujian itu. "Aku juga menyukaimu, Neve. Kau sangat mirip Vier."
Neiva mengangkat bibir makin lebar di balik punggung Ren, merasa tersanjung. Hatinya--yang selalu penuh prasangka terhadap perempuan-perempuan yang berusaha menempeli kakaknya--entah kenapa kini tak berlaku untuk Ren. Ia hanya merasa perempuan dengan darah hoffan di nadinya itu tulus, seolah tak pernah mengharapkan apa-apa dari Vier sendiri. Ia pun sedikit demi sedikit mengerti, mengapa kakaknya menolak puluhan pinangan pernikahan politik yang dapat menguntungkan Annelosia. Sampai-sampai dewan kerajaan menggelar rapat rahasia tanpa Vier. Mereka membahas serius perkara si penerus tahta yang tampaknya tak tertarik dengan perempuan. Mungkin dia sedikit tidak normal untuk hal-hal seksualitas. Ah, hal itu bahkan membuat ayahnya, sang raja, lebih pusing daripada memikirkan masalah negara.
Tapi menurut Neiva, saat ini anggota dewan dan ayahnya pasti dapat sedikit melemaskan bahu. Vier membuat Rezel histeris pagi-pagi buta lantaran pergi ke tempat--yang mungkin saja--berbahaya seorang diri. Dan alasan kepergiannya itu karena seorang perempuan. Daripada memberikan kabar buruk pada Annelosia, Neiva rasa, itulah kabar baiknya. Ia tak mencemaskan keselamatan Vier sama sekali. Orang yang selamat dari Periwinkle Hill saat masih sangat belia, mana mungkin mati karena hanya menyelamatkan perempuan yang diculik seorang pria sinting.
Merasa Neiva tertawa-tawa di belakangnya, Ren mengernyit. Anehnya dia cukup pintar untuk tidak memikirkan rambutnya sebagai alasan gadis itu kelihatan sangat senang. Tapi bulu roma di tengkuknya meremang. "Kau kelihatan sangat senang." Ren melirik Neiva dari balik bahunya.
"Semua orang akan senang," jawab Neiva yang malah terdengar seperti gumaman untuk dirinya sendiri.
"Kuharap aku tahu apa itu."
Tersisa kurang dari dua hari lagi kapal patroli harus mengarungi lautan untuk sampai di pelabuhan terdekat. Rasanya Ren dibawa kembali pada masa ia memijak geladak kapal untuk pertama kalinya. Perjalanan pertamanya dari Sapphire ke Ruby memakan waktu hampir satu minggu--yang mana membuatnya lemas dan dehidrasi karena terlalu banyak memuntahkan isi perutnya. Saat itu, ia ingin cepat-cepat menyelesaikan karantina dan menyengajakan diri untuk tak lolos seleksi tahap akhir. Ia tak mau terus menghabiskannya hidupnya hanya untuk berlayar. Walaupun pekerjaan utamanya dilakukan di darat, ia tetap akan lebih banyak berada pada perjalanan laut untuk mengumpulkan sampel, material, melakukan uji coba di tempat yang jauh, dan banyak hal lain. Itu membuat ia yakin bahwa pekerjaannya tak lebih dari sekadar tukang suruh.
Tapi pada kenyataannya, menerima undangan bergabung IETDO merupakan suatu langkah berani. Ia tak bisa mundur selagi alasan ketidakmampuannya tak cukup khusus dan mendesak. Ren menghabiskan waktu cukup lama untuk dapat beradaptasi. Rekan-rekan asing, tempat antah berantah yang ia tuju, kapal sebagai transportasi tetap, dan lautan merupakan lanskap abadi. Mengesalkan untuk beberapa keadaan memang. Rasanya bahkan tak banyak yang menguntungkan dirinya sendiri. Gaji yang diberikan IETDO cukup banyak, tapi gadis itu merasa tak cukup membayar waktu yang telah ia habiskan secara sia-sia untuk puluhan perjalanan laut. IETDO belum juga menemukan teknologi mutakhir untuk sarana transportasi. Beberapa orang yang menguasai elemen dapat dengan mudah memindahkan diri mereka dari satu tempat ke tempat lain dalam hitungan detik, tapi kemampuan macam itu sangatlah langka dan membutuhkan banyak tenaga. Dan sampai sekarang pun tak ada teknologi murni ataupun percampuran teknologi-elemen yang mampu menghasilkan suatu terobosan teleportasi.
Angin laut berhembus di antara anakan rambut Ren. Gadis itu menghela napas lega, hampir seolah telah membuang segala hal di bahunya. Pagi ini ada telepon dari pihak Castelesia, secara jelasnya dari Zeon. Ia pikir, kakak laki-lakinya itu akan berbicara dengan manis dan menenangkannya--barangkali masih ada secuil trauma di sudut kepala adiknya. Alih-alih menanyakan kabar terlebih dahulu, ia menyembur Ren dengan amarah yang tak gadis itu tahu dengan jelas sejak kapan ditahannya. Ren tak merasa sakit hati, lebih-lebih terpuruk. Zeon memang bukan orang yang mudah marah padanya, tapi jika ia benar-benar marah, bukannya sudah cukup ada alasan logis untuk melakukannya?
Percakapan mereka berakhir dengan keputusan tegas Zeon. "Castelesia sudah mengirimkan surat pengunduran dirimu pada IETDO. Ayah setuju untuk tidak mengirimu ke luar Shappire lagi. Kau seharusnya tahu di mana tempatmu sebenarnya."
Perkataan Zeon memukul kepala Ren, tapi di sisi lain ia merasa lega. Sejujurnya ia lelah untuk terus menempuh perjalanan yang tak sebanding dengan apa yang ia dapatkan di tujuan. Belum lagi, IETDO adalah organisasi yang serakah dan punya banyak musuh. Walaupun banyak sisi baik yang patut dipertimbangkan, Ren yakin ini yang terbaik. Kini ada celah untuknya mundur. Ia tak akan menyianyiakannya. Yah, walaupun harus menerima dirinya sebagai pengangguran di hari-hari berikutnya.
Ren menghela napasnya sekali lagi, bingung harus bereaksi bagaimana. Ia tak suka menganggur, tapi lebih tak suka harus masuk ke dalam devisi Research & Exploration di dalam IETDO. Jika secara jelasnya ia akan betul-betul berpisah dari Vier setelah ini, ia akan menerima salah satu pinangan yang barangkali ditujukan untuknya. Ia masih menyimpan hatinya untuk Vier. Namun, tak betul-betul dapat memikirkan mereka berakhir dalam tautan benang yang sama. Strata seorang penerus takhta Annelosia dan putri bungsu Castelesia juga tentulah berbeda. Dan Vier barangkali telah memiliki calon pendamping di sisinya. Orang yang berkemampuan dan memang dilahirkan untuk berada di posisi itu. Ren telah berjanji pada dirinya sendiri, ia tak akan lagi mengharapkan Vier jika jalan untuknya telah tertutup.
"Hanya sedikit terasa tak adil untukku." Ren menggumam saat pikirannya melanglang buana. Ia seharusnya tak berpikir terlalu jauh. Seharusnya ia cukup tahu diri dan cukup merasa berterimakasih pada Vier. Laki-laki itu menolak puluhan pinangan--seperti kata Neiva--bukan berarti disebabkan oleh dirinya. Dan dia repot-repot menyeberangi lautan ke pulau terpencil untuknya, bukan berarti dia menyuakainya. Dia, 'kan telah berteman dengan Vier cukup lama. Mungkin Vier masih memiliki sikap simpatik dan kebiasaan melindungi dirinya seperti di masa lalu. Seperti dulu. Seperti semua kepura-puraan itu. Dan semua itu telah terlewat.
Suara deru rendah baling-baling kapal yang berputar di dalam air mengalihkan pikiran Ren. Gadis itu menyandarkan sikunya pada pagar pembatas kapal dengan manik yang sibuk mengeksplorasi segala hal yang terbentang di hadapannya. Karena geladak utama dipenuhi oleh beberapa prajurit yang tampak bosan tak ada kerjaan selama perjalan, Ren berakhir di buritan, bagian belakang kapal. Ia berharap tempat sepi dapat menenangkan hatinya dan membantunya fokus untuk merenung. Namun, pada akhirnya, renungan yang muncul hanya tentang kenyataan mengesalkan hatinya.
"Berhenti memikirkan Vier dan bersyukurlah untuk hidup." Ren mengetukkan dahinya pada pagar pembatas dan tetap diam dalam posisi tertunduk untuk beberapa saat. Jari-jarinya tersaruk ke arah helaian rambutnya yang telah dirapikan Neiva dengan gaya waterfall braid, yang sejujurnya tampak aneh untuknya.
Sebelum sebuah suara familier membuatnya kembali menegakkan tubuh. "Kuharap kau tak mencoba menghancurkan kepalamu sendiri. Karena aku sudah berusaha keras membawanya kembali dalam keadaan utuh."
Ren hampir merutuk karena menjumpai Vier di sana. Bukan tidak senang, tapi dirinya sedang dalam krisis untuk dapat berpikir positif tentang masa depan dan Vier sekarang. "Vier," ucapnya tanpa sadar, "bagaimana lukamu?"
Vier mengendikkan bahu, membuat kesan bahwa hal yang ditanyakan Ren bukanlah suatu hal penting. "Bukan hal yang besar untukku." ia berdiri di sisi Ren dengan pandangan yang teralih pada hamparan laut yang mulai menjauh.
"Tapi kau berdarah."
"Sebuah peluru tak cukup mengancam nyawaku, Ren."
Ren menunduk, merasa kekhawatirannya tak dibutuhkan sama sekali. "Kecuali benda itu meledak di kepalamu." ia menghela napasnya tersinggung. Namun, Vier tak memberikan reaksi apa pun. Yang malahan membentangkan jeda kesunyian yang luas di antara mereka.
Ren menghembuskan napasnya perlahan. Pandangannya masih terpaku pada Vier yang hanya berdiri tanpa kata di sisinya. Sampai sekarang pun, ia tak bisa mengerti apa yang ada di kepala laki-laki itu. Ia tak mungkin juga mencuri privasi dengan kemampuan matanya. Hoffan ada bukan untuk melakukan tindakan amoral. Ia juga berpikir, sekali pun mengintip apa yang ada di kepala Vier, belum tentu ia mengerti. Vier selalu pandai menyembunyikan sesuatu, membuat orang lain kebingungan, dan selalu kelihatan jujur untuk setiap hal yang dia tunjukkan.
Desiran lembut angin menyapu anakan rambut Vier yang bersemu biru. Ren memandanginya, seolah melihat anemon yang tengah bergoyang oleh gelombang laut. Pandangannya turun pada bulu mata lentik laki-laki itu yang membingkai kelopak matanya. Kelihatan cocok dengan manik sewarna air laut di bawah sana. Tanpa sadar, Ren malah sibuk memandangi wajah Vier dan memujinya dalam hati. Ia yakin, jika dirinya terlahir sebagai laki-laki, ia akan mendengki pada wajah itu. Mengharapkan memiliki wajah sepertinya saja sudah kedengaran muluk-muluk, apalagi menginginkan dirinya untuk dimiliki.
"Jadi berakhir seperti ini ya." Ren menggumam sembari melempar pandangannya kembali pada laut. "Kupikir setelah ini keluar dari Castelesia adalah hal yang sulit."
Vier meliriknya, dia menelengkan kepala dengan alis bertaut. "Kau bisa ke mana pun kau mau."
Ren menggeleng, lantas menghela napas untuk sekian kali selama hari ini. Ia menatap Vier dengan senyuman sendu. "Kedua kakakku sudah bertunangan dan akan menikah dalam waktu dekat. Aku juga tak bisa terus lari dari rumahku untuk menghindari hal itu. Kau pastinya juga akan segera menerima salah satu dari lamaran itu, 'kan, Vier?"
"Tidak," kata Vier, "aku tak akan menerimanaya dari siapa pun."
Mendengar perkataan Vier, Ren tersentak. Ia bingung harus bereaksi bagaimana. Itu kabar baik sekaligus buruk. "Kau tak akan menikah? Kupikir takhta membutuhkan penerus."
Vier malah tertawa tanpa Ren tahu sebabnya, bahkan hampir terbahak. Dia menutup mulutnya dengan bahu bergetar sebelum berkata, "Tidak menerima lamaran bukan berarti tak menikah." ia menghadapkan tubuhnya pada Ren dengan sedikit tawa yang masih tersisa. "Laki-laki punya gengsi, Ren. Walaupun dalam hal politik, dilamar adalah hal yang wajar untuk siapa pun, tapi harga diriku cukup tinggi."
"Ah, aku mengerti, Tuan dengan gengsi tinggi." Ren membalas perkataan Vier sembari menyengir lebar, berusaha untuk menggodanya. "Kuharap ada wanita yang cukup sabaran untuk menghadapimu."
Ren dengar kekehan kecil dari Vier, tapi dia tidak tertawa. "Yah, itu bukan hal yang patut dipikirkan serius."
Ren mengangguk paham. Ada jeda di mana ia menghirup napasnya dalam-dalam, membau aroma laut yang kaya akan garam. "Kau benar," katanya, "dipikirkan bagaimana pun juga, yang paling penting untuk Annelosia adalah kemampuan, 'kan."
Annelosia adalah negara besar, bukan semata-mata karena wilayahnya yang hampir mencakup seluruh dataran salju di Shappire, tapi juga karena kekuatannya. Kekuatan militer Annelosia adalah yang terbaik. Yah, tanah kelahiran Vier itu disinyalir menjadi negara dengan kuasa terbesar ketiga dalam beberapa tahun terakhir ini. Apalagi, setelah posisi penerus takhta dipegang sepenuhnya oleh Vier. Siapa pun tahu, dia memang orang yang cocok untuk duduk di kursi takhta. Namun, hal demikian juga membuat beberapa hal menjadi lebih sulit. Misalnya saja, seperti yang terlihat di sini, akan sulit menemukan pendamping yang cukup kuat untuk berada di sisi penerus takhta berikutnya. Ratu punya tanggung jawab yang besar dan Ren tahu itu. Dia tahu betapa beratnya tanggung jawab menjadi seorang pemimpin dan lari dari posisinya di Castelesia yang sebenarnya tak sebanding dengan apa yang akan diemban ratu Annelosia di masa mendatang.
Sekarang pun, hati Ren berubah kalut. Ia terlalu naif dan berharap terlalu tinggi untuk menjadi orang yang ada di sisi Vier. Ia tak berpikir lebih jauh bahwa yang dibutuhkan pengeran mahkota bukanlah sekedar cinta, tapi kekuatan juga. Dan dia menyadari bahwa ia tak memilikinya. Menjadi pemimpin sebuah negara bukanlah permainan rumah-rumahan. Salah satu jangkah, kau bisa membuat kekacauan pada banyak hal. Dan itu bukanlah sebuah hal remeh temeh.
Vier menyadari wajah masam Ren yang hampir tak terlihat karena kibaran rambutnya. Dia kedengaran semangat bercanda sebelumnya, tapi seakan suasana hatinya diputar seratus delapan puluh derajat dalam seperkian detik. "Kau memikirkan sesuatu?"
"Vier," panggil Ren dengan suara rendah, hampir-hampir terdengar seperti bisikan yang tertelan gemuruh angin. "Apa menurutmu aku ini seorang penakut? Aku ragu, apa aku telah berubah dan belajar dari kesalahan-kesalahanku?"
"Ya?" Vier mengerutkan kening. Namun, menjawab dengan cepat seolah tak perlu memikirkannya ulang. "Kau penakut," katanya, "tapi kupikir kau sudah cukup banyak berubah. Dan itu bagus."
Ren membenarkan cara berdirinya, tapi maniknya masih terpaku pada permukaan air laut yang memantulkan cahaya matahari. Kilauannya sesekali membuatnya memincing, menghalau lebih banyak lagi cahaya yang menusuk retinanya. "Itu kedengaran bagus untukku."
Gadis itu sedikit merasa lebih baik dengan beberapa kata dari Vier. Tapi tak serta merta menghilangkan kekalutannya. Ia hanya merasa, yah, sedikit berat hati untuk menerima apa yang terbentang di hadapannya. Sangat sulit untuk percaya bahwa bentang antara dirinya dan Vier semakin lebar jika ia berpikir lebih realistis lagi. Ia mungkin harus lebih banyak belajar. Kesibukan setidaknya dapat sedikit mengusir pemikiran-pemikiran yang hanya akan menyia-nyiakan waktu.
"Well, Vier," katanya, "sepertinya kita akan segera berpisah setelah sampai di Nimue. Aku harap kita bisa mengucapkan selamat tinggal dengan pantas."
Vier menegakkan tubuhnya, maniknya ikut berkilauan oleh pantul cahaya matahari di permukaan laut. "Kau berkata seolah-olah kita tak akan bertemu lagi."
"Dalam waktu dekat? Ya, mungkin begitu." Ren tertawa, tapi ia tak merasa sedikit pun kesenangan. Rasanya kosong. "Kita mungkin akan cepat bertemu di pernikahan Excel barangkali, atau kedua kakakku."
Ada jeda di mana deru putaran baling-baling kapal dan ombak kecil menjadi satu-satunya suara yang terdengar. Vier tak menyahut, lebih seperti tak setuju dengan kalimat Ren. Namun, laki-laki itu terlalu sibuk memandangi hamparan laut sampai-sampai tak menanggapi Ren sama sekali. Sedangkan gadis di sisinya terdiam, turut serta terlarut dalam kelengangan di sekitarnya. Toh, dia tak tahu apa lagi yang perlu ia bicarakan pada Vier sebelum kalimat selamat tinggal.
Namun, saat angin berhembus melewati dan memberaikan rambutnya, satu hal terlintas di pikiran Ren. Satu hal yang harus ia selesaikan sebagai langkah akhir memutus jalan antara dirinya dan Vier. "Kau akan melepas tandannya?" ia menyugar rambutnya yang sedikit menutup dahi.
Vier menatapnya sebentar, tapi tampak tak peduli untuk menanggapi pertanyaan Ren. Bersikap seolah gadis di sisinya itu tahu jawabannya dengan pasti.
"Kau selalu bilang itu akan terasa sakit, tapi bagiku tak masalah. Ini hanya sebuah tanda, 'kan."
Setelah kalimat itu, Ren pikir Vier akan sama bergemingnya. Namun, laki-laki itu malah menatapnya dengan sorot mata tajam. Ada sedikit kilat kemerahan di manik matanya yang sebiru safir. Dia marah, jika Ren tak salah tafsirkan.
"Hanya sebuah tanda?" katanya malah kedengaran seperti kalimat sarkasme.
"Umm...." Ren memutar pandangannya, berpaling dari Vier, merasa tak nyaman. Ia menekan jemarinya pada pagar pembatas sembari beringsut perlahan. "Yeah," katanya kemudian, "aku tahu tanda ini akan sangat berguna saat kau mencoba menemukanku, tapi sekarang, apakah itu penting?"
"Kau baru saja bisa terlepas dari laki-laki sinting berkat tanda itu dan sekarang kau berkata apakah itu penting?" Vier mengerutkan dahinya tak senang. Tatapannya menajam, menusuk tepat pada sepasang netra keemasan Ren. Ia bertingkah seolah-olah hasil karya yang ia buat sepenuh hati dicaci maki. Dan itu membuat Ren semakin tak mengerti.
Ren tersentak menyadari sesuatu, ia lekas-lekas mengibaskan tangan dan bicara dengan terbata, "Tidak, bukan maksudku begitu! Aku hanya merasa ini waktu yang tepat untuk mengakhirinya. Aku tak akan ada dalam bahaya lagi setelah ini. Dan aku berjanji tak akan merepotkanmu lagi."
Ya, mungkin tak akan ada lagi bahaya jika dirinya menetap di Castelesia untuk waktu yang lama. Dan dia bisa berhenti untuk melancong--yang mana mengumpankan dirinya pada bahaya-bahaya dengan ceroboh. Kurungan kastel akan cukup membuatnya aman dan berhenti membuat orang di sekitarnya kesulitan. Ren tahu itu pilihan yang berat, tapi itulah yang terbaik. Dan ia berpikir tak lagi membutuhkan pelacak sebagaimana salah satu fungsi tanda di dahinya. Vier tak perlu repot-repot lagi mencarinya, toh, Ren sendiri akan selalu berada di kastel untuk waktu yang lama.
Vier tampak tak puas dengan jawaban Ren. Ia malah mengambil sedikit demi sedikit langkah mendekat, menyingkap jarak yang dibentangkan Ren saat ia mulai beringsut tak nyaman. Menyadari gerakan laki-laki itu, Ren refleks melangkahkan kakinya mundur. Berusaha menghindar, padahal yang dilakukannya hanyalah kesia-siaan belaka. Sekalipun ia berlari sekarang dan mengurung dirinya di kabin, Vier tetap akan menemukan cara untuk bertatap muka kembali dengannya.
"Vier ... Aku tak bermaksud menyinggungmu." Ren berkata terbata, tampak mendapati pikiran buntu dan tak tahu harus bagaimana.
Gadis itu masih saja beringsut secara perlahan, sekalipun tahu Vier akan mampu menangkapnya jika ia mau. Sampai akhirnya ia sampai di batas di mana ia dapat mundur. Pinggangnya terantuk pagar pembatas sebelum hampir terjengkang ke belakang kalau saja Vier tak mengaitkan tangan di sepanjang lengannya.
Sejenak, udara di sekitar mereka terasa memanas. Ren hampir menahan napasnya saat wajah Vier mendekat, hingga sepasang netra birunya tampak sangat jelas. Ia membaca, ada sedikit kemarahan di sana, tapi juga ada sesuatu yang lain yang tak Ren mengerti. Dan ia lebih tak mengerti lagi tentang alasan di balik sikapnya ini.
"Kau perempuan paling tidak peka yang pernah kutemui." Vier berbica pelan tepat di telinga Ren. Sebelum kedua tangannya mencengkeram pinggang gadis itu dan mengangkatnya. Dalam dua kedipan, Ren merasa pantatnya menyentuh pagar pembatas. Dalam posisi itu, ia dapat menyejajari tinggi Vier dan dapat melihat wajahnya dengan jelas.
"V-vier." Ren bergerak-gerak resah, lantaran tak dapat kabur ke mana pun lagi. Karena gerakan yang salah akan membuatnya kehilangan keseimbangan di tempatnya duduk dan tercebur ke laut. Di mana ada lebih banyak lagi spesies ikan pemangsa yang akan menyambut tubuhnya sukarela.
Jemari Vier menyapu sebelah pipi Ren, sebelum beralih menyambar helaian rambutnya yang terburai oleh angin. Ia menyelipkannya ke belakang telinga gadis itu. "Apa kau lupa dengan jawabanku saat terakhir kali kau menanyakan hal yang sama?"
Ren merasakan sengatan listrik statis saat jemari Vier menyentuh pipinya. Ia menarik napas susah payah, lantas berpikir sejenak, mengingat-ingat jawaban Vier. "Tidak akan pernah," jawabnya.
Vier menarik bibirnya naik, mengulas segaris senyum getir. "Lalu, kenapa kau menanyakannya lagi?"
Ren mengetuk-etukkan jemari pada pagar pembatas. Netranya beralih pada bentang langit tanpa awan di atas sana, berusaha mencari hal lain kecuali wajah Vier untuk ditatap. "Aku hanya tak mengerti alasannya?"
Hembusan angin bertiup melewati mereka berdua. Memberi jeda beberapa ketukan sebelum Vier menjawab dengan suara lelah, "Kau juga tahu aku sudah menjawab itu."
"Karena tak ada yang boleh memilikimu kecuali aku." Ren mengulang kalimat Vier yang terlintas di kepalanya dengan terbata.
Sejujurnya Ren selalu mempertanyakan makna kalimat itu. Ia tak mau menafsirkannya secara gegabah dan terlalu percaya diri. Terakhir kali, saat Vier mengatakannya, dia tak memberikan penjelasannya lebih lanjut yang mana membuat Ren memendam rasa penasarannya seorang diri. Hal itu bahkan membuatnya takut untuk menyukai laki-laki nilam itu. Untuk apa menyimpan perasaan yang tak penah terbalaskan? Tapi, dia Vier, siapa pun tak dapat menolaknya. Begitu juga Ren.
Tanpa sadar, setetes air mata luruh dan membasuh sebelah pipi Ren. Ia tertunduk sebelum mengulum sebuah kalimat. "Aku menyukaimu Vier, tolong beri aku jawaban dengan pasti." Kalimat itu terdegar seperti bisikan yang tak ingin Ren utarakan sama sekali.
Angin laut berhembus dengan kencang di balik punggung Ren. Rambutnya terburai ke depan yang sebagian menempeli pipinya yang basah. Namun, jemari-jemari panjang dan tegas menyingkirkannya dengan lembut, sebelum menghapus kerumunan air mata yang mulai rebas. Ren merasa tubuhnya terdorong ke depan dan wajahnya menemui dada Vier yang lebar. Lengan laki-laki itu memutari tubuhnya dengan sebuah dekapan yang tak asing.
Ren terdiam untuk waktu yang lama, selagi mengeringkan air matanya yang luruh tanpa alasan. Dalam dekapan Vier, ia mendengar degub jantung laki-laki nilam itu dalam irama tetap dan napasnya yang teratur dan rileks. Ia selalu suka dengan dekapan Vier, untuk alasan apa pun. Dia selalu punya cara tersendiri untuk membuatnya tenang. Dan saat itu pula, aroma familier mengalir begitu saja di penciuman Ren, bercampur bersama oksigen yang ia hirup. Aroma mint manis yang menggelitik penciumannya dengan sensasi dingin. Ia menyukai aroma itu sejak pertama kali membaunya. Dengan aroma itu, ia selalu merasa nyaman dan terlindungi. Seolah-olah dengan hadirnya aroma itu, selalu ada orang di sisinya untuk menjamin segala keamanannya yang selalu saja terancam.
Napas Ren berangsur rileks, bahkan air matanya telah surut. Ia tetap diam dalam pelukan Vier tanpa reaksi. Sampai laki-laki itu membuka mulut untuk kembali bicara padanya.
"Ren," kata Vier lembut. "Maaf." kalimat berikutnya membuat tubuh Ren menagang. Kalimat itu kedengaran seperti sebuah penolakan yang menghantam kepalanya dalam sekali serang. Padahal itu hanya satu kata maaf. Kenapa dia minta maaf?
"Tidak," sahut Ren masih belum melepaskan pelukan Vier. "Aku seharunya tak seperti ini. Maaf."
"Bukan begitu maksudku." Ren dengar Vier terkekeh, tapi tak membenahi pelukannya.
"Tak apa. Katakan apa pun yang kau mau. Aku sudah baik-baik saja. Sungguh."
Dagu Vier bergeser ke bahu Ren, tapi tak serta merta melepaskan rengkuhan lengannya. "Aku membutuhkanmu," bisiknya, "untuk waktu yang sangat lama."
Ren terdiam, mencerna kalimat Vier dengan lebih teliti lagi. "Kaupikir aku mampu?" ia mengangkat dagu dan menyandarkannya pada bahu Vier. Di mana matanya bertemu dengan bentang angkasa yang luas.
"Ya." Suara Vier terdengar samar-samar lantaran ia menenggelamkan wajahnya pada bahu Ren. "Apa aku perlu memberimu cermin agar kau bisa melihat potensimu sendiri?"
Ren tertawa kecil. Semburat merah menyebar di kedua pipinya, merasa ingin menertawai dirinya sendiri. Ia malu, sampai-sampai tak ingin menatap Vier dan membiarkan dirinya mempertahankan dekapannya untuk beberapa saat. Ren merasa satu beban yang mengganjal hatinya menghilang. Menyisihkan ruang yang lapang dan terang. Sampai-sampai terasa seperti mimpi terlalu indah yang dapat ia jumpai dalam tidurnya. Ia harap waktu berhenti, membiarkan momen ini bertahan untuk waktu yang lama. Walaupun yang ia harapkan adalah suatu kemustahilan besar. Namun, dirinya tak menyesal sama sekali. Sekarang Vier ada di sisinya dan mungkin untuk waktu yang lama. Ia tak perlu lagi mengharapkan waktu untuk berhenti.
"Aku mencintaimu."
Ren tak pernah mengira, bahwa sebuah kalimat klise akan terasa berbeda saat keluar dari bibir Vier.
-- The End --
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top