PoP: Amorist 5
Amorist Part 8: Way Back Home
"Hah~" Ren menghela napasnya panjang sebelum membuka pintu sel Vier dan melemparkan mantel berbulu padanya. Laki-laki itu telah menanggalkan rantai di tangan dan kakinya entah dengan cara apa. Ren hanya yakin, laki-laki itu bahkan mampu kabur dari mansion tanpa bantuan sekecil apa pun darinya. Gadis itu lantas terpaku pada wajah Vier yang bersih, tampa luka segores pun.
"Lukamu." Ren mengelus pipi Vier tanpa sadar. Hampir-hampir membuat laki-laki itu terhenyak.
"Bukan hal yang tak bisa kutangani." Vier tersenyum. Ia lantas bertanya, "Apa kau siap?"
"Tentu saja."
Vier tersenyum. Garis senyumnya agak janggal. Ren tak dapat menebak apa yang dipikirkannya, tapi jujur saja senyumannya itu tampak kurang ramah. "Bagaimana kalau yang kukatakan hanyalah bualan dan kau memilih jalan yang salah?"
Ren sedikit bingung mendengar pertanyaan itu, tapi ia malah tersenyum. Ia memandang Vier dengan maniknya yang secerah batu topaz, tampak merefleksikan keyakinannya. "Selalu ada risiko untuk sebuah pilihan, bukan?"
Laki-laki nilam itu mengendikkan bahunya, lantas berjalan mendahului Ren. Garis senyumnya perlahan berubah. "Kau sudah berubah sangat jauh, Ren. Lebih jauh dari yang dapat kuperkirakan."
Mengernyit mendengar perkataan Vier, Ren tak menanyakannya lebih lanjut. Ia hanya mengekori laki-laki yang berjalan di hadapannya dengan tenang. Ia memandu seolah telah mengenali seisi mansion seperti kedua tangannya sendiri. Gadis itu duga, Vier sudah tuntas menyusuri mansion seutuhnya. Entah dengan cara apa sampai-sampai tak ada yang menyadari langkahnya. Bukan tidak mungkin, dia menyusup tiap malam. Menanggalkan semua pengekangnya semudah bernapas, lantas berjalan dengan langkah senyap dalam kegelapan. Menghafal lorong dan belokan, serta pintu-pintu. Yang terbayang di kepala Ren malah cuplikan-cuplikan dari adegan film detektif. Rasanya, sekarang ia mulai menggemari kisah-kisah itu.
"Hei, Vier." Ren mempercepat langkahnya, mencoba menyejajari Vier dengan langkahnya yang panjang. "Aku hanya penasaran."
"Apa?" Vier menyahut tanpa menoleh. Maniknya yang berkilat di tengah kegelapan tampak fokus memperhatikan lorong temaram di hadapannya.
Ren sempat menjeda, memilih antara mengutarakan pertanyaannya atau membatalkannya. "Apa hubungan kita sebelumnya? Maksudku, orang yang hanya mengenalku tak akan jauh-jauh kemari."
Vier hanya bergumam, tampak berpikir. Ia tak mengerti bagaimana cara menyebut hubungan antara mereka berdua sebelumnya. Ia yang hanya menjawab "teman" hanya akan membuat gadis itu kembali berdalih, "teman tak akan ambil pusing tentang keberadaanku." Namun, mereka juga sudah lama tak bertemu. Bahkan Vier sudah tak ingat lagi kapan terakhir mereka bertatap muka selain di festival kuliner.
"Entahlah." Vier akhirnya menjawab, sejalan dengan ketidakpahamannya. "Tergantung bagaimana kau menganggapnya."
Ren menghela napasnya panjang. "Jadi orang yang lupa ingatan benar-benar menyebalkan, ya. Aku bahkan tak tahu bagaimana aku biasa bersikap padamu."
"Memangnya perlu memperhatikan itu?"
"Tentu saj perlu!" Ren berdecak sebelum melanjutkan, "itu, 'kan bagian dasar dari tata krama, eh."
Vier tersenyum masam. "Kau lebih mengingat tata krama daripada mengingatku."
Bingung dengan perkataannya sendiri, Ren menggaruk tengkuknya. Pandangannya beralih pada muka jendela yang tak dilingkupi tirai. Cahaya bulan yang sudah makin meninggi menyusup melalui permukaan kacanya yang transparan. Gadis itu menutup matanya sembari mengatur napas. Ia kehilangan ingatan, tapi ia merasa kebiasaannya tak berubah. Bahkan, mungkin saja dirinya tak perlu susah payah berpikir untuk bagaimana bersikap di hadapan Vier. Mungkin reaksinya sekarang itulah yang seperti biasa. Setidaknya Vier tidak protes untuk apa pun yang ia lakukan.
"Ah, bulannya sudah tinggi sekali." Ren memelankan langkahnya dan hampir-hampir berhenti di bingkai jendela.
Laki-laki di sisinya ikut membuang tatapannya pada jendela. "Ya," katanya. "Malam akan segera pergi, begitu juga kita."
Vier menedang salah satu jendela kaca hingga menimbulkan bunyi keras--yang setidaknya mampu membuat Ren terlonjak. Kunci jendelanya patah seketika, dibarengi engsel yang lepas dan membuat sekrupnya menggelinding di antara rerumputan. Vier melompat keluar dengan santai, tak mempedulikan lagi jendela yang telah terlepas dari engsel dan beberapa bagian kaca yang retak.
"Kau seharusnya tak melakukan itu." Ren lantas melompati bingkai jendela dengan hati-hati, berusaha setenang yang ia bisa. Ia masih terkejut dengan apa yang dilakukan Vier. Laki-laki itu hanya perlu membuka kunci jendelanya, tak perlu sampai merusaknya. Semua barang di mansion kan berharga lumayan.
Vier mengendikkan bahu. "Satu jendela tak akan membuat kekasihmu miskin. Tenang saja," ujarnya santai.
"Berhenti menekan kata itu terus menerus." Ren mendesah panjang. Ia mengikuti langkah Vier dengan sedikit buru-buru.
Vier menyeringai. "Kenapa?" tanyanya tanpa mengalihkan pandang dari jalan berumput di hadapannya. "Kau menyukainya, 'kan?"
"Aku benci seorang pembohong."
Vier tertawa pelan, tapi masih mampu membuat Ren berdecih karena ditertawakan. Laki-laki nilam itu tak heran dengan jawaban Ren. Lebih-lebih ia sudah mengenal gadis itu lebih dari cukup untuk mengetahui apa-apa saja yang telah ia lalui. Ia telah hidup dalam banyak kebohongan. Pastinya, ia sudah kenyang dengan semua dusta itu, bukan? Tak dapat dipungkiri, ia lebih kerap terjerumus dalam kebohongan yang sama. Bahkan, perubahan dalam dirinya tak mampu mencegah itu. Kau selalu saja mudah tertipu dan melupakan sesuatu.
"Ya, itulah kau." Vier mengendik sebelum melanjutkan, "seharusnya kau tak senaif itu, menganggap baik semua orang yang tersenyum padamu. Sudah berapa kali kau diculik seumur hidupmu, Ren?"
"Kau menyindirku?" Ren melangkahkan kakinya dengan sedikit hentakan. Membuat cipratan air kotor menempel pada sepatu botnya, pun menodai sebagian dari celana Vier. "Memangnya aku bisa mengingat seberapa banyak dengan ingatanku saat ini? Tolong, Pandu saja jalannya dan jangan banyak bicara. Kau membuatku kesal."
Ren masih sibuk menggerutu saat Vier menariknya untuk merapatkan diri pada sebuah dinding. Laki-laki itu memintanya untuk diam selama beberapa saat ketika dirinya mengintip keadaan di dalam gudang logistik. Ada sedikit suara bising orang-orang yang sibuk memindahkan kotak-kotak barang. Kapal akan berangkat sebentar lagi, bagaimanapun caranya, mereka harus segera dapat menyusup. Namun, melihat seberapa ramainya orang-orang di gudang logistik yang mengarah langsung ke dermaga, rasanya hampir mustahil sama sekali.
Vier kembali menarik lengan Ren, lantas melingkupkan tudung mantel padanya. Membuat gadis itu memandangnya dengan alis berkerut. Namun, Vier cepat-cepat berkata, "Ini akan sedikit gelap, sempit dan berguncang."
"Hah?"
Tak ada waktu menjawab, Vier mengangkat tubuh Ren untuk melewati jendela samping yang sudah terbuka. Sebelum akhirnya, ia melompat dan mendarat dengan mulus. Ren hanya menatapnya dengan sedikit kagum. Gerakanya cepat dan cekatan. Rasanya ia hanya berpindah dari satu gerakan ke gerakan lainnya dengan satu kedipan mata.
"Kemari." Mereka merunduk di antara kotak-kotak logistik, menghindari cahaya lampu dan mata orang-orang di sana. Sebelum Vier berhenti di salah satu kotak kayu panjang dengan sterofoam melimpah ruah di dalamnya. "Semua benda ini akan diangkut ke kapal segera. Masuklah."
Bukannya menuruti perkataan Vier, Ren malah terdiam. Tercenung dengan ekspresi terkejut sekaligus enggan. Ia menatap kotak kayu dengan limpahan sterofoam butiran di dalamnya dengan alis bertaut. Seolah tengah melihat genangan lumpur lengket yang akan mengotori pakaiannya. Ia tampak tak sudi untuk masuk ke sana. Sekali pun benda itu cukup untuk membuat tubuhnya terbaring dengan nyaman. Itu lebih mirip peti mati.
"Aku tak suka tempat gelap dan sempit." Ren mundur beberapa langkah sembari mengelus lengannya tak nyaman. "K-kupikir ada cara lain yang lebih terang, lapang, dan mulus." Ia meringis dengan pancar mata mengiba, berharap Vier luluh dan mengusulkan cara lain.
Namun, bukannya mengasihaninya, laki-laki itu menggeleng dengan tegas. "Kupikir kau siap dengan konsekuensi yang ada."
"Apa pun kecuali tempat gelap dan sempit!"
Vier tiba-tiba berdiri dari posisi berlututnya di sisi kotak kayu--atau Ren lebih suka menyebutnya replika peti mati. Ia memperpendek jaraknya dengan Ren. Tubuhnya yang semampai memaksa gadis itu untuk mengangkat dagu tinggi-tinggi supaya dapat bertatapan langsung dengannya. Dia pasti punya cara lain, harap Ren dalam hatinya. Namun, spekulasinya itu terpatahkan saat Vier mengangkat tubuhnya semudah mengangkat tangkai dandelion. Ia menurunkan gadis itu tepat di dalam kotak kayu dengan posisi berbaring.
Ren mendadak sesak saat Vier menekan bahunya, membuatnya tetap dalam keadaan berbaring di antara sterofoam yang berkasak-kusuk. Ia merasa seolah dikubur hidup-hidup dalam peti mati paling jelek dan dikuburkan tanpa upacara ataupun basa-basi.
"Tidak!" Ren menggapai-gapai lengan Vier yang masih menekan bahunya. Ia menarik napas putus-putus, kesulitan seperti orang tenggelam--walaupun tenggelam dalam butiran-butiran sterofoam ada benarnya juga. "Aku tak menyukai caramu."
Ren tak tahu mengapa ia takut dengan tempat gelap dan sempit. Ia tak ingat kenapa. Hanya saja, ia lebih tak suka tempat itu ketimbang hewan buas apa pun. Ia merasa seperti dipaksa masuk ke dalam kematiannya sendiri. Dan dia lebih tak suka sikap memaksa laki-laki bermanik biru itu.
"Ren, dengar. Kita tak punya waktu untuk bertengkar."
"Jika kau lakukan ini padaku, aku akan mati!" Ren hampir-hampir ingin menangis, karena Vier tak kunjung melepaskan cengkeraman di bahunya. Ia berjanji tak akan takut dengan konsekuensi apa pun, tapi hal ini di luar bayangannya.
Vier menghela napasnya, tampak tak sabaran. Ia melepas cengkeramannya, tapi tampat tak berminat membantu Ren bangun. "Ketakutanmu bisa membunuh kita berdua."
Ren mengigit bibirnya sampai-sampai rasa seperti karat menghambur dalam indera perasanya. Ia merasa kekanakan dan seperti pengecut. Tapi, Ia pikir fobianya patut ditolerir. Setiap orang punya ketakutan dan kesulitannya masing-masing. Ya, begitu. Ia berusaha membela diri dalam pikirannya sendiri.
"Ini tak akan lama."
Ren buru-buru bangun saat Vier melepas cengkeraman di bahunya. Ia terduduk dengan napas terengah-engah. "Setidaknya beri waktu aku untuk bernapas!"
Vier berlutut di sisinya. Ia menghela napas lagi, tak tahu harus berbuat apa. Melepas tiket keluar mereka yang ada di depan mata? Ah, tentu saja tidak. Walaupun terlihat tenang bertahan di penjara bawa tanah, ia betul-betul tak ingin kembali ke sana. Gelap, lembab, penuh pengerat dan serangga. Ia lebih benci lagi harus menahan diri saat laki-laki sinting itu memukulinya dengan tak tahu malu. Setelah terdiam cukup lama, ia menjentikkan jarinya di udara. Membuat bola cahaya yang berubah padat saat disentuh.
"Apa itu?" Ren membenarkan duduknya di dalam kotak kayu dengan mata penasaran seperti bayi melihat mainan baru.
Vier memberikan bola cahaya itu pada Ren dan berkata, "Aku tak bisa berbuat banyak untuk ini. Tapi aku bisa mengatasi ketakutanmu akan kegelapan dengan benda itu."
"Tapi, cahayanya akan membuat kotaknya mencurigakan."
Menggeleng, Vier mengetukkan jemarinya pada bola cahaya yang sudah ada di pelukan Ren. "Cahayanya akan tetap berada di dalam kotak." ia kembali menekan bahu Ren, membaringkannya dengan sedikit lebih halus. "Tahan sebentar. Aku janji ini tak akan lama. Kita hanya butuh kotak-kotak ini untuk sampai di kapal saja."
"Bagaimana denganmu?"
"Ah, aku bisa menyusup dengan mulus," tanggap Vier disertai seringaian kecil. "Hanya saja aku tak bisa membawamu dengan kondisiku sekarang. Kekuatanku terlalu terbatas di tempat ini. Kau bisa sedikit mengerti, 'kan, Ren."
Penekan di kalimat Vier membuat Ren menghembuskan napasnya agak kesal, tapi ia tak akan menyanggah lagi. Waktunya semakin sempit. "Baiklah. Anggap saja aku mengerti."
"Terimakasih."
Ren menarik napasnya dalam-dalam. Ia mengeratkan pelukannya pada bola cahaya yang diberikan Vier. Entah kenapa, ia merasa sangat nyaman dengan pendaran hangat dari bola itu. Ia melihat Vier beranjak dan pandangannya beralih pada papan penutup kotak kayu yang akhirnya membuatnya betul-betul terkurung dalam ruang sempit. Lalu, semunya menjadi lebih gelap dan sunyi. Ia harap pengorbanannya yang menjengkelkan itu terbayar dengan akhir yang bagus.
Ren merasakan sedikit guncangan, sebelum semuanya benar-benar terasa tenang, bahkan untuk waktu yang cukup lama. Ia menahan dirinya untuk terlalu banyak bergerak, lagi pula ia hampir tak dapat mengubah posisi berbaringnya sama sekali. Yang dapat dirinya lakukan saat ini hanyalah mengatur napasnya dengan sekuat tenaga, sebisa mungkin untuk tak merasa sesak. Bagaimanapun juga, ruang sempit adalah satu hal yang membuatnya merasa tak nyaman. Tapi, untunglah, bola cahaya di pelukannya dapat membantunya menghilangkan kecemasan. Setidaknya, bola itu mengingatkannya bahwa apa pun keadaanya, Vier akan ada untuknya. Sekalipun dalam bahaya, Vier akan datang menolongnya. Ya, begitu. Walaupun belum tentu dapat dibuktikan, Ren hanya merasa laki-laki selalu di pihaknya.
Ada waktu di mana semuanya terasa sunyi. Walaupun merasa sedikit tak nyaman, Ren mati-matian menahannya. Ia hanya terus berharap Vier menepati apa yang ia katakan. Ia akan menyusup dengan mulus. Begitu yang ia katakan, bukan.
Ah, sejak tadi Ren lebih banyak memikirkan Vier daripada apa yang menimpa dirinya. Entah kenapa, ia merasa tenang hanya mengingat-ingat sosoknya saja. Ia rasa dirinya mulai gila. Padahal, ia tak merasakan apa pun saat berminggu-minggu bersama Ansel. Tapi, malah merasa begitu berdebar dengan laki-laki yang baru dijumpainya dalam hitungan hari. Apa sebelumnya ia memiliki perasaan macam ini pada Vier? Ren mengembuskan napasnya dengan tenang, sebelum kembali menatap bola cahaya dipelukannya.
"Apa aku punya kesempatan?" Ren bergumam dalam lamunannya.
Ia hanya merasa, mendapatkan Vier secara harfiah memerlukan usaha yang tak dapat ia kira sulitnya. Ia tak ingat, tapi merasa hampir mustahil. Apa aku pernah patah hati karena dia? Mendadak, pipi Ren terasa panas. Ia akan sangat malu jika sebelumnya memang begitu. Ah, tapi Vier tak mengatakan apa-apa. Malahan, menyerahkan semua pada pendapat Ren sendiri. Memangnya hubungan macam apa yang terjalin di antara mereka? Hanya saja, rasanya spesial saat gadis itu mengingat lagi tanda aneh di dahinya. Vier tak akan memberikan tanda itu semata-mata untuk semua orang yang ia kenal.
Saat sibuk berpikir, Ren merasa kotak tempatnya bersemayam kembali berguncang. Penutup kotak perlahan terbuka dan cahaya yang entah datang dari mana merebak masuk ke dalam retina matanya. Ren mengerang sembari menutup matanya dengan lengan.
"Kau melakukannya dengan baik."
"Vier...." Ren memanggil Vier dengan suara rendah, terdengar seperti sebuah keluhan. "Aku tak tahu apa yang harus kulakukan padamu jika kau memaksaku melakukan ini lagi."
Vier terkekeh sembari mengulurkan tangannya pada Ren. Gadis itu menyambut uluran tangannya dengan senang hati, bahkan hampir tak ingin melepaskannya. Setelah terbangun seutuhnya, Ren mengedarkan pandangnya pada sekitar. Mereka berada di dalam lumbung kapal. Tepatnya bersama kotak-kotak logistik. Benda-benda itu bertumpuk dan tertata menjadi beberapa barisan yang padat hingga mampu menjadi tempat mereka dapat bersembunyi.
"Kita mungkin akan kelaparan tanpa perbekalan. Menurutmu, apa kita bisa bertahan lima hari." Ren merasa melupakan sesuatu yang penting.
"Kita tak butuh waktu selama itu untuk berada di kapal ini." Vier menanggapi dengan tenang, seolah tak memiliki kekhawatiran pada apa pun.
"Apa rencanamu?" Ren melompat keluar kotak dengan hati-hati, lantas merapatkan diri pada Vier yang duduk di atas sebuah kotak.
Vier berkata setenang air, "Kita akan keluar dari jangkauan barrier pulau dalam beberapa jam lagi. Dan setelah itu, aku akan menghubungi kapal patroli terdekat."
"Kapal patroli?"
Mengangguk, Vier kembali melanjutkan. "Menurutmu, seberapa banyak tenaga dikerahkan untuk mencarimu yang tiba-tiba menghilang dalam semalam?"
Entah kenapa, bukannya merasa bersalah Ren masalah merasa tersanjung dengan perkataan Vier. Ia tersenyum malu-malu dengan sedikit rona di wajahnya.
"Aku tak mengerti kenapa aku sangat penting."
"Banyak hal yang akan kau mengerti jika mengingat semuanya." Vier menghembuskan napasnya lelah. "Tunggulah, semuanya akan segera berakhir."
"Vier." panggilan Ren lagi, membuat Vier mau tak mau memusatkan perhatian padanya. "Aku merasa aneh."
"Ada apa?"
"Aku tak kedinginan, tapi rasanya aku ingin memelukmu."
Vier sedikit terkejut, tapi dia tak menyangkal apa-apa. Ia hanya merasa Ren sedikit lebih berbeda saat kehilangan ingatannya. "Kemarilah."
Ren tersenyum lebar saat Vier merentangkan lengan untuknya. Ia menghambur padanya dengan senang hati. Sejenak, Ren ingin waktu berhenti agar ia tak perlu untuk melepaskan pelukannya. Ia merasakan kenyamanan familier yang terasa begitu ia kenal. Apalagi, saat aroma mint yang menguar dari tubuh Vier terasa di indera penciumannya. Ia merasa sangat mengenal Vier untuk waktu yang lama. Lebih lama dari sekadar teman yang hanya bertegur sapa.
Jari-jari Ren mengerat saat mencengkeram punggung Vier. Seolah tak mau melepaskannya untuk alasan apa pun. Ia turut menenggelamkan wajahnya pada dada Vier yang lapang. Ia merasa sangat tenang sekaligus aman. Seolah pelukan laki-laki itu merupakan benteng tak bercela yang akan selalu melindunginya dari marabahaya. Ren menghembuskan napasnya tenang, merasa damai untuk sesaat. Sebelum semua itu lekas sirna saat Vier menarik tubuhnya dengan hentakan kasar.
Ren dengar sesuatu menghantam dinding lambung kapal dengan keras. Ia melepas pelukannya berat hati guna melihat apa yang telah terjadi. Beberapa anak panah yang dilentingkan dari panah silang tertancam cukup dalam pada dinding logam yang tebal. Ren tersentak mendapati beberpa peluru--yang juga ditujukan pada mereka berdua--berakhir melubangi dinding.
"Beraninya orang rendahan sepertimu menculik kekasihku."
Manik mata Ren melebar mendengar suara familier yang terdengar sangat marah itu. Itu adalah hal yang paling tak diharapkannya. Ansel berdiri di antara sela-sela kotak kayu berjajar. Di belakangnya, para anak buahnya menenteng panah silang dan sebagian lagi membawa pistol--yang ngomong-ngomong sedang dikembangkan akhir-akhir ini.
"Kau sedang merancau." Ren dengar Vier berkata sinis dengan intonasi berbeda dari yang biasa. Tampak kesal sekaligus marah. "Jika menyukai seseorang, setidaknya dapatkan dia dengan lebih bermoral."
Ansel berdecih, sebelum melempar perhatiannya pada Ren. "Stella, aku tak tahu bualan apa yang ia katakan padamu. Kau seharusnya tak terhasut dengan hal macam itu."
Ren tak menyahut, malahan semakin merapatkan dirinya pada Vier. Ia hanya berharap laki-laki nilam itu dapat mengatasi satu orang sinting di depan sana. Tapi, Ansel tak hanya membawa kekuatan dalam dirinya saja, tapi orang-orang yang belum diketahui seberapa hebatnya. Bukan tidak mungkin, mereka mampu menggagalkan aksi pelarian mereka.
"Mundur." Vier berbisik pada Ren dan menarik gadis itu untuk berada di belakangnya.
"V-vier."
"Tetap pada rencana awal," katanya, "aku mungkin bisa mengulur sedikit waktu." Suara berdesing yang mengilukan telinga menyertai kemunculan sebilah pedang transparan di tangan Vier. Ia menghunuskannya ke depan, seolah siap menebas apa pun.
"Aku tak membuat pilihan sulit untukmu." Ansel berkata tenang di sisi lain. "Jika kau menyerahkan kembali kekasihku padaku, aku akan membiarkanmu pergi dengan selamat."
"Itu cuma cara seorang pengecut yang tak berani menegakkan senjatanya."
"Sebaiknya kau pikirkan dulu apa yang akan kau katakan. Karena selalu ada konsekuensi untuk itu." Ansel memberi insyarat dengan jemarinya. Orang-orang di belakangnya kontan mengambil posisi dan berdiri berjajar membentuk tembok di depannya. Mereka mengacungkan senjata ke arah Vier, menyambut tantangan dari hunusan pedang laki-laki nilam itu.
Satu persatu anak panah dan peluru mulai melesat dari tempatnya. Berhambur dan bersiap melukai apa pun yang berada di jalurnya. Ren tak tahu apa yang harus dilakukan. Ansel benar-benar sudah sinting. Untuk apa ia jauh-jauh kemari jika hanya untuk membunuh Vier beserta dirinya?! Gadis itu menjerit saat Vier menarik tubuhnya untuk menghindar dari serangan yang diluncurkan orang-orang Ansel. Laki-laki nilam itu lantas mendorong Ren ke arah tumpukan kotak kayu.
"Berlindunglah di sana." Vier berbisik di tengah jerit ketakutan Ren. "Kakakmu tak akan mengampuniku jika membawamu pulang dengan luka."
Nyali Ren ciut saat mendengar suara desing pedang Vier dan letupan senjata api mulai bersahut-sahutan. Ia meringkuk di balik tembok tumpukan kotak kayu--yang sebetulnya tak dapat melindunginya dari apa pun, termasuk kematian itu sendiri. Ia tak tahu apa yang dapat dilakukannya untuk membantu Vier barang sedikit, laki-laki itu tak mungkin menghadapi ini seorang diri. Dia bilang, barrier juga membatasi kekuatannya. Maknanya, ia tak dapat bertarung dengan leluasa dan entah kenapa Ren yakin Vier sedang tidak dalam kondisi terbaiknya. Ansel melukainya di beberapa malam terakhir. Walaupun tampak cepat pulih, Ren yakin Vier tak sepenuhnya pulih dalam waktu secepat itu. Sekalipun penguasaan elemennya bagus, dia tetap saja manusia.
Ren menggigiti kuku jemarinya dengan resah, selagi suara bising mengisi ruang di sekitarnya. Ia tak dapat memikirkan jalan apa pun. Ia lantas memandangi kedua tangannya. Semuanya akan lebih baik jika ia sedikit mengingat bagaimana cara menggunakan elemennya. Vier bercerita bahwa dirinya bekerja di organisasi pengembangan elemen, bukan? Ia tak mungkin bekerja di tempat itu jika tak memiliki pengendalian yang cukup hebat. Laki-laki itu juga pernah bercerita bahwa dirinya menyelamatkan benua. Tapi, sekarang dirinya bahkan tak yakin dengan apa yang dapat dilakukan. Apa ia mampu?
Lamunan Ren terhenti saat mendengar suara kesakitan dari Vier. Gadis itu lekas-lekas mengalihkan pandangannya pada laki-laki itu. Ia berlutut sembari bertumpu pada pedangnya yang sebening air. Lengan pakaian atasnya robek dengan darah yang merembes dari kulit yang tersayat. Sedangkan di depan sana, orang-orang Ansel masih kukuh berdiri. Mereka tak terluka sama sekali karena Vier tampaknya tak memiliki kesempatan untuk menedekat pada mereka.
"Aku sudah memberikan penawaran bagus untukmu, tapi kau menolaknya dengan tak tahu malu." Suara Ansel mengalun di tengah kelengangan yang terjadi.
"Aku tak pernah menyesal dengan apa yang kupilih." Vier menjawab dengan intonasi yang tak kalah tegas. Kedengaran tak merasa nyawanya dalam bahaya sama sekali.
Ren dengar Ansel tertawa, seolah menghardik ironi di hadapannya. Namun, ia tak lagi berbicara pada Vier. "Stella," katanya dengan suara rendah yang membut Ren merinding. "Apa keputusanmu? Kembali padaku selagi ada kesempatan, atau melihat kekasih barumu mati terlebih dahulu?"
Ren menggigit bibirnya sebelum beranjak, dan melangkah perlahan keluar dari bayang tumpukan kotak kayu. Ia tak ingin lagi meringkuk di sana seperti tikus kecil yang menunggu ajal. Hal yang dilakukannya itu malah akan membuat Vier semakin dalam bahaya. Cepat atau lambat, Ansel akan membunuhnya. Ingat bahwa dia seorang laki-laki sinting.
Ansel mengukir senyum lebar saat Ren keluar dari tempat persembunyiannya. Dia mengulurkan tangan dan dengan lembut berkata, "Ayo pulang, Stella."
Namun, Ren malah berhenti tepat beberapa jangkah di depan Vier. Ia menatap nyalang Ansel, mengisyaratkan bahwa ini tak akan berakhir semudah itu. Gadis itu melepas kalung belatinya dan mengayunkannya hingga berubah menjadi sebilah pedang perak. Tubuhnya cukup panda mengingat, bahkan saat kepalanya tak cukup dapat mengingat apa pun.
Ren menegakkan pedangnya. "Aku tak akan sudi kembali bersamamu."
Ekspresi Ansel berubah. Ia tak lagi mengukir senyumnya dan tak akan bermah-tamah untuk beberapa waktu ke depan. Ia menghela napasnya jengah, sebelum memberi komando selanjutnya. "Bawa dia kembali padaku apa pun caranya. Sedikit luka tak akan jadi masalah."
Orang-orang yang diperintah Ansel langsung saja menegakkan senjata mereka. Panah-panah silang dan moncong senjata api mereka menghadap langsung pada Ren, seolah tak peduli ia akan mati dengan itu. Namun, itu semua tak mampu membuat Ren gentar. Ia melirik Vier sesaat. Laki-laki itu hanya tersenyum dan kembali berdiri dengan perlahan. Ia tampak lega seolah mengatakan, "Ini gadis hebat yang kukenal."
Saat serangan mulai diluncurkan, perisai elemen Vier mengembang dan melingkupi mereka berdua. Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk menerjang ke depan. Hanya menahan serangan mereka tak akan cukup untuk mengulur waktu. Selagi kapal masih bergerak ke depan, mereka akan baik-baik saja jika mampu bertahan.
Tubuh Ren bergerak refleks menebas dengan cekatan orang-orang di hadapannya. Tubuhnya bergerak begitu saja. Sejenak, ia merasa tak memiliki iba atau rasa kasihan. Bagaimana pun juga, ini bentuk pertahanan dirinya. Satu tebasan yang melumpuhkan tak akan cukup membunuh. Setidaknya itu prinsip yang Ren gunakan sekarang. Orang-orang Ansel tak memiliki cukup kemampuan bertarung jarak dekat, itu menguntungkan mereka berdua. Hanya saja, menghindari peluru dan anak panah cukup menguras konsentrasi. Ren ingin memuji dirinya sendiri karena mampu menghindarinya.
Namun, di tengah pertarungan, Ren kehilangan konsentrasi dan satu jegalan cukup untuk membuatnya terjatuh dan terpisah dari pedang peraknya. Ren mengerang saat seseorang mengunci tubuhnya. Ia juga mengikat kedua lengannya di balik punggung. Ren sudah berusaha memberontak tapi tak berbuah apa-apa. Tak lama setelah itu, suara berdebuk mengalihkan fokusnya. Vier berguling di lantai dengan mengerang kesakitan. Darah mengalir dari perutnya yang berusaha keras ia tekan. Sedangkan Ansel berdiri di atas kemenangannya dengan angkuh. Ia mengarahkan pedang transparan Vier ke arah leher laki-laki nilam itu.
"Hentikan, Ansel!" Ren berteriak di tengah usaha membetontaknya dari cengkeraman seorang pria bertubuh kekar.
Ansel tertawa. "Aku sudah memberimu kesempatan, Stella, tapi itu sudah tak berarti apa-apa."
Ia lantas mengangkat pedang itu tinggi-tinggi dan mengayunkannya pada leher Vier. Ren berteriak di tempatnya, masih berusaha membuat Ansel merubah pikirannya. Walaupun satu titik dalam dirinya tahu hal itu sia-sia. Ia menutup matanya dengan air mata yang perlahan rebas. Namun, pendengarannya menangkap suara air yang menghantam lantai kapal. Ia lekas membuka matanya lebar dan mendapati Vier dibasahi air, bukannya darah. Pedang yang ada di tangan Ansel melebur menjadi air yang tak melukai laki-laki nilam itu sama sekali.
"Kau tahu, pepatah senjata makan tuan tak pernah berlaku untukku."
Saat semuanya tengah sibuk terperangah dengan tuan mereka yang gagal membunuh laki-laki nilam, Ren mengambil kesempatan melepaskan diri. Syukurnya memanipulasi ikatan di pergelangan tangan dapat ia lakukan. Ia membenturkan kepalanya pada dagu pria kekar yang mengunci tubuhnya. Lantas, berlari ke arah Ansel dan mengarahkan tinjunya dengan sekuat tenaga. Laki-laki itu tumbang menghantam lantai kapal dengan keras karena pukulan dari Ren.
Gadis itu tersenyum dengan lebar. "Itu untuk bualan yang kaukatakan padaku."
"Stella, k-kau." Ansel menatap Ren tak percaya. Ia pikir ingatan yang terhapus dari kepala Ren sudah cukup membuat gadis itu hidup diam dalam kebohongannya. Ia salah. Kepala tak menyimpan seluruh ingatan Ren, tapi tubuhnya juga menyimpan banyak ingatan.
Sejenak, kapal berguncang seolah diterjang gelombang kuat. Setelahnya tenang seperti sebelumnya. Ren mendadak merasa mual dan pusing. Ia jatuh berlutut sembari memegangi kepalanya. Kepalanya pening seperti di hantam sesuatu yang keras.
"Apa yang kalian tunggu di sana?" Ansel berteriak sembari memegangi pipinya. "Tangkap gadis itu dan bunuh laki-lakinya!"
Orang-orang yang dibayar untuk menuruti segala perintah Ansel itu hendak melakukan apa yang majikan mereka suruh. Namun, suara tembakan terdengar dan menghentikan mereka. Tembakan itu terdengar sebanyak tiga kali dan dilepaskan ke arah udara. Dalam bahasa isyarat tembakan di beberapa benua--seperti Shappire, Topaz, dan Ruby--artinya sebuah peringatan. Kurang lebih seperti, "jangan bergerak atau mati."
Suara langkah dari sepatu bersol tebal terdengar menuruni tangga menuju lambung kapal. Orang-orang berseragam militer Annelosia muncul lengkap dengan senjata mereka. Membuat orang-orang Ansel menciut.
Ansel mencebik, "A-apa-apaan ini?!" Ia marah sekaligus bingung melihat pengepungan itu.
Vier perlahan berdiri ia menatap Ansel dengan kemenangan. "Ini sudah berakhir." Ia lantas beralih menatap pasukan yang sudah begitu ia kenal dan memberi komando dengan senang hati, "seleasaikan sisanya."
Seusai memberi perintah, laki-laki itu menghampiri Ren yang tengah bersimpuh menahan sakit di kepalanya. "Aku tak apa, Vier. Hanya saja mengingat selalu saja terasa menyakitkan." gadis itu tersenyum dengan bibir yang memucat.
"Semuanya sudah selesai. Ayo pulang," kata Vier sembari membantu Ren berdiri.
Saat Vier menggiringnya pergi, Ren menahannya sejenak dan berkata, "ada satu hal yang harus kulakukan."
Ren menghampiri Ansel dengan raut yang kaku. Laki-laki itu menatapnya dengan kebencian di matanya. Seolah hendak menerkamnya jikalau ia mampu. Namun, ia sudah berakhir sekarang. Ren menghembuskan napas panjang sebelum merogoh saku dan melemparkan beberapa lembar kertas kepad Ansel. Kertas-kertas itu berupa data diri dan potret cetak kekasih Ansel yang sebenarnya.
"Aku bukan Lyara, Ansel. Dan Lyara tak akan pernah senang dengan apa yang kaulakukan padaku."
Ini belum benar-benar selesai :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top