PoP: Amorist 3


Part 5: who's in Ansel's heart?

Matahari masih terbit dari timur di pagi hari, dan terbenam pada mega merah di sebelah barat menjelang malam. Ombak masih berdebur dan dedaunan pohon casuarina masih bergemerisik tertiup angin laut. Semuanya masih berjalan sebagaimana mestinya. Begitu juga kehidupan di dalam mansion. Lengang dan tenang seperti biasa. Hampir terasa memuakkan.

Apakah seperti ini adalah sebuah hidup yang normal?

Seperti halnya rutinitasnya, Ren kembali duduk terdiam di depan jendela besar. Ia telah mengulangi itu setiap pagi. Entah besok, lusa, atau lusanya lagi. Selagi ia masih terus berdiam di dalam mansion, mungkin kebiasaannya itu tak akan hilang. Toh, tak banyak yang bisa dilakukan. Setidaknya lanskap muram itu sedikit dapat mengusir kebosanannya atau mungkin saja malah memperparahnya.

Setelah memandangi luar jendela selama setengah jam, biasanya ia akan pergi mandi. Berendam sampai kulit jemarinya berkerut kalau dirinya lebih bosan lagi. Tapi, pagi ini langit begitu mendung. Lebih mendung dari yang sudah-sudah. Air tawar yang keluar dari keran pasti akan sangat dingin. Rasanya lebih baik tak mandi. Toh, ia juga tak berkeringat sama sekali. Bukankah tak mandi selama sehari bukan masalah?

Ren sempat mengganti piamanya sebelum mengikat rambut dan melenggang keluar kamar. Pagi di mansion tampak lengang, seperti biasa. Yang gadis itu temui hanya lorong-lorong sepi.  Mereka seolah-olah tengah berbisik padanya. Aksen klasik dari mansion kadang kala membuatnya takut. Rasanya seperti terkurung di tempat angker yang dihuni hantu-hantu gentayangan. Atau lebih spesifiknya dapat dikategorikan mirip mansion terkutuk yang menyimpan beribu misteri. Mungkin terkurung juga ada benarnya. Entahlah.

Ia akui, Ansel punya selera buruk untuk memilih mansion macam ini. Dirinya sekarang akan lebih suka jika mereka pergi ke tempat yang lebih berwarna dari sekadar pantai pasir hitam. Seperti pulau pasir putih dengan ombak laut yang tenang misalnya, atau bahkan vila di perbukitan. Membeli bangunan di tempat-tempat itu pasti lebih murah daripada mansion ini. Lihatlah, memikirkan cara membangun bangunan di tempat terpencil dan kontur tanah tak bersahabat macam ini pastinya telah menguras kantong. Untuk apa membayar mahal lanskap yang sama sekali tak memiliki nilai estetik. Kecuali Ansel adalah orang dengan selera unik.

Ren sudah turun ke lantai bawah saat Ansel meletakkan mug-nya di atas meja makan. Laki-laki itu tersenyum saat melihatnya. "Aku baru saja akan memanggilmu."

"Ah, tidak, tidak. Aku bisa turun sendiri."

Ren lantas menempatkan dirinya di salah satu kursi dan meraih gelas berisi susu yang telah disiapkan untuknya. Asap dari minuman itu mengepul, ikut membaurkan aroma susu kental kualitas terbaik. Ia bertanya-tanya, dari mana laki-laki itu mendapat pemasok kebutuhan yang mau jauh-jauh mengirimkan barang. Apalagi, kebanyakan komoditas malah akan busuk di perjalanan, atau mereka punya cara khusus. Ah, yang Ren yakin, Ansel cukup kaya untuk membayar semua itu.

Ansel lantas duduk di seberang Ren dan membiarkan pelayan menyiapkan sarapan mereka. Ia sempat menyesap minumannya sebelum bertanya seperti pagi-pagi lainnya.  "Apa tidurmu nyenyak?"

Ren menyelesaikan tegukannya dan mengangguk. "Ini semua berkatmu. Kurasa aku mulai menyukai mansion lagi." ia meringis, berusaha menutupi kebohongannya. Ia tak suka mansion ini. Setidak suka dirinya pada lanskap muram di luarnya. Namun, ia tak mau mengungkapkannya. Terakhir kali ia mengutarakan kehendak hatinya, Ansel marah dan menutup mulut darinya selama tiga hari.

"Syukurlah." Ansel memotong telur setengah matang di piringnya, membuat kuning telurnya meleber keluar dan membasahi roti panggang yang ditaburi peterseli dan lelehan mentega.

"Ada rencana untuk hari ini?" Ren lantas menggigit sosisnya. Maniknya tetap lurus menatap Ansel. Laki-laki itu sering keluar akhir-akhir ini. Kadangkala, ia bahkan tak ada di mansion pada malam hari. Entahalah, Ren tak begitu mengerti kemana kekasihnya itu pergi atau apa yang ia kerjakan. Ansel tak bilang apa-apa. Ia juga tak mau bertanya dan membuatnya marah lagi seperti yang lalu.

"Tidak." Ansel menelan suapan terakhirnya dan melanjutkan, "aku ada di rumah sampai lusa."

Ren hanya mengangguk-angguk. Tak mempertanyakan lebih lanjut kemana laki-laki itu pergi. Ia hanya perlu mengikuti arus. Ansel biasanya akan pergi selama beberapa hari, lantas kembali seperti tak terjadi apa-apa. Ren hanya ingin hidup yang normal. Walaupun mansion di pulau ini sudah sedikit menimpangkan kenormalan itu. Tak apa. Kehidupan mana yang lebih normal dari ini? Ren harap, setelah ingatannya kembali, tak ada yang berubah. Walaupun dengan hati yang kalut dan bingung, setidaknya kehidupan sebagai Stella kekasih Ansel tak buruk juga.

Tak lama, hujan turun dengan deras. Membuat air di keran lebih dingin lagi dan jendela mulai berembun. Ren akhirnya memutuskan untuk berdiam di depan perapian. Pelayan juga sudah menyediakannya kudapan atas perintah Ansel. Sebelum kembali ke meja kerjanya-- untuk mengerjakan suatu hal yang Ren tak begitu mengerti--Ansel meminta pelayan menyiapkan satu mug cokelat panas dan beberapa biskuit. Mungkin jika terus berulang begini, cepat atau lambat Ren akan segera gemuk. Tak ada yang bisa ia lakukan selain makan dan tidur.

Ren menghela napasnya panjang. Ia duduk beberapa jangakah dari perapian dengan selimut yang ia bentangkan di atas punggungnya. Ini hari yang normal, tapi hampir membuatnya mati bosan.

Guntur terdengar mengaum dan kilat melintas di luar jendela dalam satu kedipan membuat Ren berjengkit. Ia menatap jendela besar dengan risau. Kilat terasa bukan pertanda yang bagus buatnya. Barangkali memang suatu yang ia ingin tinggalkan dalam ingatannya lamanya. Ia tak suka kilat atau guntur.

Tak hanya sekali, lagaknya kilat di luar sana senang sekali menggoda Ren. Hingga akhirnya ia menyerah untuk diam di depan perapian. Perlahan, gadis itu beranjak dan menanggalkan selimutnya. Ia berniat mencari Ansel. Mungkin keberadaan orang lain di sisinya dapat sedikit meredakan ketakutan. Ia takut pada petir dan guntur. Itu sangat kekanakan.

"Ansel kau di dalam?" Ren mengetuk-ngetuk pintu ruang kerja Ansel. Berharap mendapatkan jawaban dari dalam.

Seperti yang ia harapkan, Ansel menyahut dan memintanya masuk. Saat dirinya masuk, laki-laki itu masih duduk mengutik laptopnya. Ren lihat banyak tumpukan kertas tebal yang beberapa telah dijilid. Lagi, rak kayu tertempel di salah satu sisi dinding. Membuat pandangan Ren jatuh pada jajaran rapi buku--yang tanpa sadar menarik minatnya.

"Ada apa?" Ansel menutup laptopnya dan memusatkan perhatian pada Ren.

Sekali lagi, gelegar di luar jendela membuat Ren berjengkit. "Aku, kau tahu, sedikit terganggu dengan petir dan guntur," jawabnya ragu-ragu. Kalau-kalau Ansel malah menertawainya karena bersikap seperti bocah dua tahun yang lebih senang bermain bara api di kedua tangannya daripada mendengar badai di luar jendela.

Ansel tersenyum lembut, lantas berdiri dari kursinya. "Kemarilah." ia memberi isyarat pada Ren untuk mengambil alih kursinya.

Ren hanya mengangguk dan menuruti apa yang Ansel minta. Kursi kerja Ansel melembut saat ia duduki. Pantas saja laki-laki itu nyaman berdiam duduk di sana selama berjam-jam. Ia bahkan pernah tak keluar dari ruang kerjanya seharian penuh. Ren masih terus penasaran apa gerangan yang laki-laki itu kerjakan. Barangkali dirinya bisa membantu dan kekasihnya itu punya sedikit waktu untuk bersantai. Setidaknya sedikit waktu untuknya juga. Ia kesepian dan hampir mati bosan.

"Aku akan meminta pelayan membuatkanmu minuman hangat."

Ren menahan lengan Ansel saat laki-laki itu hendak beranjak. "Jangan pergi," larangnya, "aku kemari karena ingin kau menemaniku." lagi pula, perutnya sudah cukup menggelembung terisi cokelat panas--yang bahkan belum ia habiskan--dan beberapa keping biskuit.

Ansel mengacak rambut Ren gemas. "Sebentar saja. Sungguh. Kupikir aku juga perlu minuman hangat untuk bersantai."

Gadis itu akhirnya hanya dapat mengangguk lesu,  membiarkan Ansel menghilang di balik pintu. Sembari menunggu laki-laki itu kembali, Ren melemaskan bahunya dan bersandar pada kursi. Maniknya mengamati derai hujan di balik jendela. Ruang kerja Ansel bukannya kedap suara, tapi mampu menghalau setidaknya setengah dari suara di luar sana. Yah, Ren cukup mensyukuri itu, tapi ia berharap lebih. Seperti mendapat kamar yang kedap suara sama sekali.

Merasa bosan menunggu, Ren beranjak dari kursi. Maniknya meraba jajaran buku pada rak yang tertanam pada dinding. Ia ingin membacanya satu per satu, setidaknya itu akan mengisi waktu luangnya. Ralat, semua waktunya adalah waktu luang. Ren menghela napasnya panjang. Ia menyipitkan matanya, membaca tiap judul dengan seksama. Namun, ada sebuah buku tanpa keterangan yang menarik perhatiannya. Tanpa memikirkan lagi boleh tidaknya ia menyentuh buku-buku Ansel, Ren mengambilnya. Itu sebuah buku bersampul maroon dengan garis-garis emas. Pada sampul depannya, tertulis Memories of Heart.

"Nama yang manis," gumamnya sebelum tertawa kecil. Lebih kedengaran menggelikan daripada manis. Lagi-lagi Ansel punya selera unik untuk memilih judul buku. Ia antas, melanjutkan ke halaman depan.

Pada halaman depan, terdapat gambar hati dan sebuah kalimat 'Who's in my heart? That's you'. Ren tersenyum dan tanpa sadar merasa tersipu. Entah kenapa kalimat itu seolah ditujukan padanya sebagai kekasih Ansel. Ia semakin penasaran dengan isi buku itu dan melanjutkan. Namun, apa yang ada di halaman berikutnya membuatnya melotot. Perasaannya bergulir 180 derajat secara drastis. Ia melihat sebuah potret Ansel dan seorang perempuan di sisinya. Dan perempuan itu bukanlah dirinya. Dilihat dari mana pun, itu sebuah potret sepasang kekasih.

Jemari Ren bergetar. Ia membuka halaman berikutnya dan berikutnya lagi. Semuanya hanya berisikan foto Ansel dan perempuan itu. Jantung Ren mencelus. Itu sebuah buku yang seharusnya tidak ia sentuh. Cepat-cepat, ia mengembalikannya ke antara jajaran buku lainnya. Lantas berjalan lemas ke kursi kerja Ansel dengan jantung yang masih berderu.

Ren menggigiti kuku jemarinya. Apa yang sebenarnya ia lihat tadi? Siapa wanita itu? Apakah dia kekasih Ansel yang lain, atau hanya masa lalunya. Namun, jika sampai memiliki buku kenangan dengan puluhan foto macam itu, tentunya hubungan mereka bukan sekadar hubungan biasa. Ren memijiti pelipisnya. Andai ia ingat, mungkin ia tak setakut ini untuk bertanya. Ia tak tahu, apakah perempuan itu topik yang terlarang antara dirinya dan Ansel. Jika ia salah berkata lagi, Ansel akan marah dan ia tak mau bertengkar lagi.

Terlalu sibuk berpikir dan menggigiti kukunya, Ren tak menyadari Ansel sudah kembali dengan sebuah nampan berisikan dua mug dan beberapa kudapan. "Stella." Panggilan itu membuat Ren berjengkit dan tanpa sengaja sikunya menyenggol tumpukan kertas di meja. Lembaran kertas itu berhamburan menghujani lantai.

"Ma-maafkan aku." Ren beranjak dengan refleks setengah panik. Pucuk kepalanya bahkan sempat berbenturan dengan dagu Ansel sebelum bersimpuh sembari meringis kesakitan.

"Hei, kau tak apa?" Ansel turut berjongkok dan mengelus pucuk kepala Ren yang menghantam dagunya. Ia bahkan tak mengacuhkan dagunya yang lebam keunguan.

"Ansel," panggil Ren terdengar bagai rintihan. "Maaf."

Ansel terdiam sejenak, tampak kebingungan. Sebelum akhirnya ia tersenyum. "Kenapa kau minta maaf? Bangunlah." laki-laki itu membantu Ren kembali duduk di kursi. Mata amber-nya melembut. Ia kembali mengelus pucuk kepala Ren sebelum berkata, "Nah, minumlah. Aku akan bereskan ini."

Ren hanya mengangguk. Namun, matanya tetap terfokus pada Ansel yang memunguti lembaran kertas yang tersebar di lantai.

"Maaf."

Ia harap perempuan di album foto bukanlah sosok yang mendiami hati Ansel saat ini. Jika iya, memangnya apa posisi dirinya di sini? Apa Ansel mencintainya?





Part 6: Underground Prison

Malam lebih cepat datang dari yang Ren kira. Hujan seharian penuh hampir-hampir membuat tembok kamarnya kuyup. Ia dapat merasakan dingin yang merembes menyusupi lapisan-lapisannya. Ia seakan merintih pada Ren. Memprotes gigil dari hujan yang terus membasahinya seharian tanpa henti. Gadis itu kembali bertanya-tanya dan berkhayal. Bagaimana rasanya jadi dinding mansion yang berdiri bak benteng pertahanan di sebuah pulau yang bahkan tak ingin orang jamah sama sekali? Apakah rasanya seperti sia-sia dan kecewa memiliki pemilik berselera buruk dan aneh? Lain lagi kalau jadi tembok penjara. Tapi ini, 'kan bukan penjara, ini mansion mewah dengan setumpuk barang mahal di dalamnya.

Ren menggulirkan tubuhnya di atas kasur, membuat piamanya lebih kusut lagi. Ia tak begitu memperhatikannya, toh memangnya siapa yang mau memprotes piamanya kusut waktu tidur? Mungkin saja piamanya itu akan lebih kusut lagi kalau dirinya tak lekas terlelap. Semakin terjaga, semakin gatal pula tubuhnya untuk terus bergerak, sekadar berguling ke sana kemari. Ren menghela napasnya panjang, sembari menyorotkan pandangannya pada plafon kamar yang digantungi chandelier kristal--yang kini cahayanya padam, digantikan lampu tidur sewarna senja di atas nakasnya.

Sebelum akhirnya, gadis itu berguling bangun dan duduk di tepi ranjang. Maniknya bergerak-gerak, meniti tiap jengkal barang yang ada di kamarnya. Temaram, hanya sedikit wujud yang dapat ia tangkap. Ren lantas beranjak hendak menggapai pintu. Namun, suara dentuman yang keras menghentikan langkahnya. Suara itu disusul dentuman-dentuman berikutnya. Suaranya mirip ledakan bom yang membuat tembok-tembok dan pilar roboh, sisanya mirip puing-puing berjatuhan. Mendengar suara-suara itu, Ren hanya berdiri membantu di depan pintu. Ia penasaran, tapi rasa takutnya lebih besar lagi dan mampu menguncinya di tempat.

Apa yang terjadi di luar pintu kamarnya? Apa ada atap yang runtuh karena terlalu memaksakan diri menahan bobot hujan sepanjang siang? Atau ombak ganas baru saja merangsek masuk? Ah, tapi keduanya kedengaran mustahil. Bangunan yang dirancang mirip benteng pertahanan yang bahkan tahan terhadap bom, mana mungkin runtuh karena hujan. Ombak juga terlalu jauh untuk bisa menggapai beranda.

Ren menempelkan jemarinya pada kenop pintu. Dingin permukaan besi merambat pada kulitnya, menambah sensasi gigil yang telah terlebih dahulu diuarkan rasa takut. Tidak, mungkin lebih tepatnya cemas. Ketidaktahuannya akan apa yang ada di balik pintunya membuatnya berpikir berkali-kali lagi untuk mencari tahu. Namun, ada Ansel, bukan? Dua jam yang lalu laki-laki itu masih ia temui di meja makan. Pasti tak apa jika ia keluar.

Meneguk ludahnya susah payah, Ren memberanikan diri membuka pintu. Keluar dari sarangnya yang paling aman di rumah ini, menuju lorong gelap dengan cahaya temaram dari lampu-lampu kekuningan. Lengang, tak ada apa pun di lorong depan kamarnya kecuali guci-guci dan pajangan beraksen klasik. Ren rasa suara-suara itu terdengar dari lantai satu.

"Ansel," panggil Ren dengan suara ragu-ragu. Suaranya hampir terdengar seperti cicitan tikus yang terjepit pintu.

Ia lantas melangkah melewati ambang pintu dan menyusuri lorong yang tak lagi asing untuknya. Tak ada yang bisa Ren dengar kecuali langkahnya sendiri di lantai pualam. Hanya kaki telanjangnya. Mungkin jika Ansel melihatnya sekarang, ia akan marah. Melihat bagaimana kaki Ren dengan bebasnya tanpa alas menjejaki pualam dalam kegelapan. Ia tak akan tahu apa yang ia injak. Ah, lagi pula, Ansel memang biasa meributkan hal-hal sepele.

Ren tercekat saat hendak turun ke lantai bawah. Ruang keluarga yang punya chandelier besar di langit-langitnya gelap gulita. Samar-samar, dengan cahaya lampu luar yang menyusup melalui celah gorden, Ren lihat ruangan itu porak poranda. Sofa-sofa terjengkang dari posisinya dan kapas-kapas pengisinya terburai. Chandelier--yang beberapa jam lalu masih tergelantung--hancur menjadi serpihan dan sebongkah kerangka besi di atas pualam retak. Pajangan-pajangan yang tak terhingga harganya juga ikut hancur terbelah sana sini. Kesilang-sengkarutan itu membuat ruangan seolah baru saja diterpa topan dan gempa.

"Apa yang terjadi?"

Ren masih terdiam di pijakannya. Mengamati pemandangan sayup-sayup di bawah cahaya redup yang susah payah menyusupi celah gorden tebal.

"Ansel." Ren mengeratkan genggamannya pada pegangan tangga. Menimbang-nimbang lagi untuk turun ke lantai bawah. Hingga suara dentuman keras sekali lagi terdengar diiringi suara erangan kesakitan. Nyali gadis itu makin menciut, tapi ia lebih takut sesuatu yang buruk terjadi pada Ansel.

Dengan langkah tergesa, Ren menuruni tangga dengan kaki telanjang. Tak memikirkan lagi bagaimana jika serpihan kristal dari chandelier melukai kakinya. Tempo langkahnya tak berubah saat sampai di lantai bawah. Pikirannya hanya terfokus pada satu titik: temukan Ansel. Napas gadis itu memburu, hampir-hampir membuatnya kesulitan bernapas.

Ruangan-ruangan yang ia putari dan lorong-lorong yang ia jelajahi hanya menunjukkan kelengangan. Hanya kegelapan tanpa sosok. Seolah kekacauan yang ia lihat sebelumnya terjadi begitu saja tanpa biang. Namun, ia tak menyerah untuk menemukan Ansel. Dirinya hanya berharap tak ada hal buruk yang terjadi pada laki-laki itu.

Ren menghentikan langkahnya tiba-tiba tepat di depan sebuah pintu yang terbuka. Itu sebuah pintu yang tak pernah sekali pun terbuka selama ia tinggal di mansion. Namun, malam ini pintunya terbuka lebar seolah hendak menerkam siapa pun yang berdiri di hadapannya. Tak ada yang bisa Ren lihat di dalamnya, hanya ada kegelapan yang begitu pekat. Ia terdiam cukup lama. Tak ada yang dapat ia dengar kecuali detak jantung dan napasnya sendiri. Apa ini pertanda buruk?

Tubuh Ren membeku saat mendengar langkah teratur dari ruangan gelap itu. Napasnya sesak, seolah sesuatu telah mencekik leher dan menyempitkan saluran pernapasannya. Bulu romanya meremang. Jelas perasaan itu lebih mengerikan dari mendengar badai mengamuk di luar jendela. Suara langkah itu semakin jelas dan semakin jelas. Samar, Ren menangkap sebuah pergerakan dalam kegelapan itu. Dan yang paling ia lihat jelas adalah sebuah tangan yang hendak menerkamnya. Sontak, gadis itu memejamkan mata dan menjerit.

"Stella!"

Dengan napas yang masih memburu, Ren membuka matanya lebar dan menatap sosok di hadapannya. "A-ansel...." suaranya terdengar bergetar.

"Ya, ini aku. Tenanglah." Ansel berbicara dengan suara khasnya. Ia meraih tubuh Ren dan memeluknya.

Ren membiarkan Ansel memeluknya. Mereka berdua terdiam cukup lama selagi ia menenangkan dirinya. Tak apa. Ansel ada di sini,  bisiknya berulang-ulang pada dirinya sendiri. Setelah cukup tenang, Ansel melepaskan pelukannya dan Ren menatap dalam wajahnya. Ia mendapati wajah laki-laki itu tak seperti saat-saat biasanya. Rambutnya yang sewarna tembaga terurai agak berantakan. Wajahnya lebam di beberapa bagian dan dihiasi beberapa luka baret yang masih basah. Ren sedikit menunduk dan mendapati sebuah pedang juga tergantung di pinggang Ansel. Ia lantas kembali mengangkat wajahnya dan menyapukan jemari di pipi laki-laki itu.

"Apa yang terjadi?" ia harap ini bukan salah satu hobi aneh Ansel lagi: menggila dengan menghancurkan rumah di malam hari. Akan lebih buruk lagi kalau ia punya keterbelakangan mental.

Ansel berpaling lantas menutup pintu ruangan--yang masih begitu misterius untuk Ren--dan menguncinya rapat. "Penyusup," katanya singkat, hampir tak bisa Ren mengerti. Namun,  satu hal yang pasti, Ansel baru saja bertarung dengan orang lain.

Tanpa memperjelas perkataannya, Ansel menuntun Ren kembali ke kamarnya. Ia bersikap seolah-olah hal yang baru saja terjadi bukanlah masalah besar dan mampu mengatasi semuanya dengan satu petikan jari. Tetap saja, semuanya membuat dahi Ren berkedut dan ia siap mempertanyakannya.

Mulut Ansel tetap bungkam saat mereka sampai di kamar Ren. Ia bahkan menutup pintu tanpa mengatakan apa-apa. Ren hanya menatapnya. Sebelum akhirnya tak tahan untuk mengatakan, "Katakan padaku apa yang terjadi?"

Ansel menatapnya. Pancar matanya berubah, tapi Ren tak dapat membacanya. "Penyusup," katanya sekali lagi. "Ada orang yang menyusup dan berusaha mencuri sesuatu yang berharga dariku."

"Penyusup?" Ren tak begitu heran. Bagaimana pun juga, mansion dan pulau pribadi Ansel terlalu mencurigakan jika dikatan tak menyimpan barang-barang berharga. Siapa yang tahu kalau mansion ini dibangun untuk melindungi benda-benda yang tak terhitung harganya. Jadi, benar ya kalau ini gudang harta karun?

Ansel menghampiri Ren dan membuat gadis itu terduduk di tepi ranjang. "Dengarkan aku, sementara ini tetaplah berada di dalam mansion. Aku tak tahu berapa banyak orang yang menyusup. Satu sudah terkurung di balik jeruji penjara bawah tanah tak menjamin keamanan mansion. Dan aku tak ingin kau terluka."

Ren mengangguk-angguk, setengah tak paham. "Apa yang mereka inginkan?"

Menghela napas panjang, Ansel menimpali, "Aku tak tahu pasti. Ada banyak kemungkinan." jemarinya mengelus wajah Ren, membaca garis ekspresi yang ditunjukannya. "Tetaplah aman," bisiknya sebelum memeluk Ren erat.

Setelah kejadian malam itu, mansion dalam masa renovasi. Entah berapa banyak uang yang keluar dari kantong Ansel untuk perbaikan itu. Yang pasti, mengganti chandelier kristal dan memoles dinding hingga mulus kembali bukanlah suatu hal yang murah. Dan Ren menyayangkan itu semua. Mansion di tengah pulau yang jauh dari daratan utama betul-betul menghabiskan banyak dana. Rasanya ingin merajuk dan memaksa Ansel menjual pulaunya dan pindah ke tempat yang lebih normal. Yah, kalaupun ada orang yang lebih sinting dari Ansel dan mau membeli pulau itu.

Siang itu, setelah makan siang, Ren tak langsung meninggalkan meja makan. Ia memperhatikan Ansel yang sempat berbincang dengan dua laki-laki berseragam--yang Ren ketahui sebagai penjaga mansion--di tempatnya duduk. Ia mendengarkan, tapi tak begitu paham apa yang mereka bincangkan. Yang ia tahu pasti hanya itu tentang penyusup yang dikurung di penjara bawah tanah. Gadis itu penasaran, apa yang Ansel lakukan padanya. Ia juga sedikit penasaran bagaimana wajah penyusup itu. Pastinya dia seorang yang cukup tangguh dan gila untuk menyusup ke tempat macam ini.

Setelah Ansel beranjak pergi dari meja makan, diam-diam Ren mengekorinya. Ia berjalan dengan mengatur rentang jaraknya dan berjalan dengan langkah senyap. Entah dari mana ia mempelajari keterampilan sempurna untuk menguntit. Apa sebelumnya ia terbiasa dengan hal-hal macam itu? Walaupun ia akui, dirinya buruk dalam menguping.

Ren pun tetap tak kehilangan tekadnya saat Ansel turun ke penjara bawah tanah melalui pintu yang hampir tak pernah terbuka. Sekarang gadis itu tahu apa yang di baliknya. Penjara bawah tanah yang lembab, berjamur, dan lumutan. Penciumannya dipenuhi aroma debu dan sesuatu yang basah. Bahkan, ia hampir tergelincir di undakan tangga. Ia harap jeritan tertahannya tak cukup kuat untuk bisa didengar Ansel. Ren merapatkan dirinya pada dinding dan berusaha bersembunyi. Namun, tetap berusaha untuk bisa melihat sosok penyusup di balik jeruji besi.

"Kau ternyata orang yang cukup nekat, ya. Kau pikir bisa melakukan apa saja di tempat ini dengan kekuatan hebatmu itu?" Ren dengar suara Ansel yang sarkastik dan penuh tekanan. Namun, ia tak mendengar balasan dari perkataan itu.

Ren mencondongkan tubuhnya di balik dinding, berusaha untuk mengintip.
Walaupun sedikit, ia melihat sosok Ansel--yang diikuti dua laki-laki di belakangnya--berdiri dengan angkuh. Di balik jeruji penjara, samar Ren melihat laki-laki yang kedua tangan dan kakinya terikat rantai. Dia tampak terluka di beberapa bagian tubuhnya. Bekas darah yang sudah mengering, baret-baret, dan lebam keunguan. Wajahnya tak begitu jelas dilihat dari tempat persembunyian Ren. Namun, gadis itu menemukan sesuatu dari laki-laki itu yang membuatnya seperti tersengat sesuatu.

Ada sebuah tanda di punggung tangan laki-laki itu. Ren meraba dahinya. Ia yakin bentuknya sama dengan apa yang ditemukannya di dahinya saat bercermin. Begitu identik dan hampir tak bercela. Ren merasakan dadanya bergolak, kepalanya pening. Ia merasa mengingat sesuatu, tapi hampir tak dapat mengetahuinya. Seolah ada sesuatu yang berusaha menghalanginya untuk mengingat.

Semua perasaan itu buyar sesaat saat ia mendengar suara langkah Ansel. Ia cepat-cepat menyembunyikan dirinya di balik bayang dinding. Sudah terlambat untuk kabur, maka sembunyi adalah pilihan terakhir. Jika beruntung, Ansel tak akan melihatnya berdiri di sana.

Ren menahan napasnya saat Ansel berjalan di hadapannya dan laki-laki itu tak menyadari keberadaannya. Suara pintu yang tertutup akhirnya membuat Ren menghembuskan napasnya. Bahunya naik turun, masih mencoba mengatur napas. Ia tak lagi memikirkan masalah Ansel, pikirannya tertuju sepenuhnya pada si penyusup. Perlahan, Ren meninggalkan tempat persembunyiannya. Ia masih mengatur langkahnya untuk tetap senyap tanpa suara.

Sosok si penyusup berangsur jelas. Dan kini dia tepat berada di pusat penglihatan Ren. Dia seorang laki-laki dengan bahu yang tegas. Berkulit hampir pucat dan bersurai kebiruan. Ren akui dia cukup tampan walaupun wajahnya dihias beberapa lebam dan darah kering. Laki-laki itu hanya menatap Ren dalam geming. Namun, maniknya yang sewarna safir akhirnya menarik Ren untuk bicara duluan.

"Apa artinya itu?" tanyanya.

Dahi laki-laki itu mengernyit. "Apa?"

"Apa arti tanda di punggung tanganmu. Apa itu memiliki arti yang sama dengan ini?" Ren menyugar rambutnya, membuat tanda di dahinya terlihat.

Laki-laki itu hanya terdiam dalam waktu yang cukup lama. Begitu juga Ren, ia menunggu. Anehnya gadis itu menyukai suasana itu. Hanya berdiri menatap laki-laki dengan rantai di tangan dan kakinya. Melihat wajah familier--yang tak bis a ia ingat--itu dan kelengangan yang terjadi di antara mereka. Ren merindukannya. Ia seharusnya tak merindukan hal yang sama sekali tidak ia ingat.

Sampai akhirnya suara tawa geli laki-laki itu mengejutkannya. Tawa sinis yang penuh cemooh--yang tak tahu dengan jelas ditujukan untuk sipa.

"Apa kita harus memulainya dari awal lagi?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top