PoP: Amorist 1
am·o·rist
/ˈamərəst/
(n) a person who is in love or who writes about love.
Amorist part 1: His Engagement
Angin yang berdesir serta merta membawa aroma garam yang menyengat. Ombak-ombak kecil berdebur, menghantam dasar kapal. Lagaknya seolah mengajak ia berhenti barang sejenak dan menengok keindahan laut. Burung-burung camar juga tak mau kalah menarik perhatian orang-orang di geladak kapal. Mereka beterbangan di atas permukaan air dalam kawanan, sesekali bersuara dan mencoba mengintai ikan. Suasana laut yang begitu memukau, bukan begitu?
Bagi Ren, keadaan macam itu adalah sesuatu yang memuakkan. Tak jarang bau garam laut membuatnya pusing, belum lagi laut yang tak bisa diam kerap kali membuat perutnya bergolak. Walaupun mabuk lautnya sudah menghilang beberapa bulan silam, tetap saja laut tak bisa begitu saja ia sebut tempat yang nyaman. Kadang kala laut begitu misterius, tak dapat ditebak. Kadang tenang, kadang bergelombang, tak mengherankan juga mengamuk bersama badai. Banyak pengalaman tentang sisi-sisi tak beraturan laut yang sudah Ren alami.
"Kau sudah merasa lebih baik?"
Ren tertoleh oleh sebuah suara. Ia disambut senyuman oleh si empunya suara yang berdiri di sisinya. Gadis itu mengangkat bibir. "Hei, Capt," sapanya, "aku sudah tak apa."
Laki-laki dengan rambut sewarna tembaga itu bersandar pada pembatas, lengannya bersedekap. "Merindukan daratan? Tak biasanya kau mabuk laut."
Ren menatap laki-laki itu sejenak sebelum menggeleng. "Kita baru saja meninggalkan pelabuhan dua minggu yang lalu." bahunya mengendik.
Setelah bergabung dengan IETDO (International Element and Technology Development Organization), perjalanan laut sudah menjadi sebuah kebiasaan yang tak lagi dapat dipungkiri. Menyeberang dari benua ke benua, membelah samudra, menerjang badai. Sifat laut mana yang belum pernah ia jumpai.
Awalnya memang tak mudah. Ren ingat sekali saat pertama kali menjejak geladak. Itu terjadi beberapa bulan selepas kelulusannya dari Royal High School. Ia menerima undangan IETDO untuk menjalani serangkaian karantina sebelum benar-benar terjun pada misi. Karantina dilakukan di benua seberang, Ruby. Membuat semua peserta mesti menyeberangi samudra untuk tiba di sana. Hal yang pertama kali Ren rasakan saat tiba di pelabuhan adalah mual. Ia tidak begitu terbiasa dengan aroma laut. Pun aroma garam yang menusuk hidung. Keadaan gadis itu makin parah saat kapal mulai berlayar. Gelombang laut membuat kapal terus berguncang dan mengocok perutnya.
"Jadi." laki-laki berambut tembaga yang Ren kenal sebagai kapten kapal termuda itu memutus lamunan Ren. "Sudah mulai mencoba bersahabat dengan laut?"
Ren menoleh ke arahnya sebelum membuang tatapannya pada permukaan laut. "Mungkin," jawabnya, "laut kadang sulit ditebak. Kadangkala juga membuatku jengkel." gadis itu tertawa. "Bagaimana denganmu, Capt? Kau menyukai laut?"
"Ansel," kata laki-laki itu kembali membuat Ren teralih. "Sudah berapa kali kubilang untuk memanggil namaku?" ia mendecak dan hanya ditanggapi Ren dengan kekehan. "Yah, kurasau kau tak perlu menanyakan hal yang sudah pasti pada orang yang tumbuh di laut."
Ren hanya berdeham. Manik keemasannya terfokus pada helaian rambut Ansel yang tertiup angin. Sebagai kapten kapal resmi IETDO, laki-laki itu cukup populer. Yah, Ren tak heran. Siapa yang tidak takjub dengan gelar kaptennya itu di usia muda. Coba periksa lagi berapa banyak namanya tercatat di buku penghargaan IETDO. Selain itu, orang-orang juga bakal lebih fokus dengan perupaannya. Dia, kau tahu, cukup tampan.
"Hei, Stella," panggil Ansel dengan nada akrab. "Ngomong-ngomong tentang menyukai sesuatu, apa kau memiliki orang yang kau sukai?"
Ren tak langsung menjawab, malah sibuk berpikir. Namun, akhirnya ia berkata, "Entahlah. Mungkin saja."
Sudah lama sekali ya. Berlayar membuat Ren kadang melupakan sesuatu.
Setelah berbicara dengan Ansel sepanjang siang, Ren berniat mencari teman-teman perempuannya. Dengan langit cerah dan matahari yang meningkatkan suhu udara, Ren rasa teman-temannya itu tengah berkumpul di ruang istirahat dan menikmati beberapa scoop es krim. Namun, hal mengejutkan betul-betul membuat gadis itu terperangah. Teman-temannya malah menggelar piknik di geladak. Lengkap dengan payung dan pakaian musim panas.
"Hei, Stella, ayo bergabung." Apolline berseru sembari memberi isyarat pada Ren untuk mendekat.
"Apa yang kalian lakukan?" gadis itu betul-betul tak mengerti pemikiran kawan-kawannya itu mengarah. Yang jelas, mereka sekumpulan orang-orang berpemikiran aneh dan kadang kala ... gila.
"Kita sedang piknik." Fleur membenarkan topinya. Ren lihat gadis itu memakai dress katun musim panas, lengkap dengan topi dan kacamata hitam.
"Tak salah kalian piknik di dek?" Ren akhirnya ikut serta duduk di atas gelaran tikar dan mencomot minuman dingin dari kotak pendingin. Ia tak bisa melepaskan pandangannya dari Apolline yang tampak menyangga kepalanya dalam posisi setengah berbaring. Ia juga mengenakan jumpsuit, seolah tengah berlibur ke pantai.
Ren mengamati teman-temannya satu persatu. Tak hanya Apolline atau Fleur, Catarina dan Mayda juga ikut-ikutan berpakaian layaknya tengah liburan musim panas. Ah, siapa sih yang mencanangkan ide macam ini.
"Oh, Ayolah, Stella." Fleur mengibas-ibaskan lengannya. "Thalassa membawa kita terus berpindah setiap detiknya. Artinya kita berpindah tempat setiap Thalasaa bergerak." ia mengendikkan bahu.
"Apa hubungannya dengan berpindah setiap detik dan apa tadi? Thalassa? Kau memberi nama kapal ini Thalassa?"
"Berhenti mendengarkan ocehan Fleur," sela Catarina.
"Kau seperti tidak tahu seberapa tidak jelas isi kepalanya saja," sambung Mayda menyetujui perkataan Catarina.
"Jalani saja piknik kita yang langka ini." Apolline berujar santai, membuat Ren pada akhirnya ikut menikmati deck picnic mereka.
Ren membaringkan dirinya di atas tikar. Ia sempat meminjam kacamata Fleur sebelum telentang dan memandangi angkasa yang biru. Kalau dipikir-pikir warnanya safir. Mirip dengan manik mata kawan lamanya. Vier, bukannya begitu? Gadis itu mulai berkelana dalam pikirannya. Diingat-ingat, kapan terakhir kali ia bertemu Vier? Di hari kelulusan? Wah, itu sudah berlalu beberapa tahun yang lalu.
Tanpa sadar bibir Ren terangkat. Banyak hal yang belum ia pahami tentang Vier. Laki-laki itu seperti lukisan abstrak yang sukar ditelaah maknanya. Ketidakpahamannya tentang Vier lah yang pada akhirnya membuat Ren menyimpan perasaannya dalam-dalam. Ia takut mengutarakannya. Aku mencintainya, tapi apakah dia mencintaiku? Sejujurnya Ren tak begitu berani berharap. Vier memang tampak dekat dengannya selama di Royal High School, tapi bukan tidak mungkin kedekatan itu menjadi sebuah hal yang wajar di antara mereka. Laki-laki itu juga kerap mengutarakan kalimat-kalimat penuh ambiguitas yang kerap kali membuat orang salah paham. Bisa saja kalimat, "Hanya aku yang boleh memilikimu." memiliki arti, "Tak akan ada yang menandaimu lagi kecuali aku." atau "Aku malas melepas tandanya.".
Ren menghela napasnya panjang. Jika memikirkan Vier, entah kenapa perasaannya berubah getir. Vier adalah laki-laki yang pertama kali ia sukai, dan sejauh ini perasaannya belum juga beralih. Manakala laki-laki itu tak memiliki perasaan apa pun padanya, rasanya pasti kecewa sekali.
"Hei, ayo bergosip." Catarina duduk berselonjor di samping Ren. Tangannya sibuk menusukkan garpu pada nanas kalengan.
"Kurasa itu ritual wajib untuk perkumpulan perempuan." Fleur menyahut penuh minat. "Mulai dari mana?"
"Ah, aku tahu!" Mayda mengacungkan telunjuknya. "Tahu tentang pernikahan termewah tahun ini?"
Ren lihat teman-temannya yang tadinya sibuk berselfi ria saling merapat kepada Mayda. Sudah jelas, 'kan, hobi mereka. Yah, setidaknya dengan itu Ren bisa menguping informasi-informasi terbaru. Walaupun tidak semua dari obrolan mereka bisa dibenarkan faktanya.
"Oh, maksudmu pangeran kedua kerajaan Ayden dan Lady Serephia?"Fleur menyahut dengan penuh gairah.
Mayda mengangguk. "Mereka jadi couple icon tahun ini. Tapi, yang publik tidak tahu, mereka ternyata menikah hanya karena masalah politik lho."
"Yang benar?" Apolline bersuara dari sisi lain, tampak tak percaya. "Sayang sekali kalau itu benar adanya."
Catarina membuka sekaleng soda dan membuat suara ributnya sendiri. Ia lantas berkata acuh tak acuh, "Hal macam itu kan sudah biasa terjadi di kalangan bangsawan. Padahal budaya perjodohan itu hal yang kuno. Orang-orang kerajaan memang primitif baik dari penjuru benua mana pun." ia meneguk sodanya hingga setengah. "Oh, bukan bermaksud menyinggungmu, Stella."
Mendengar namanya disebut, Ren hanya tersenyum masam. Menjadi satu-satunya perempuan berlatar belakang aristokrat dalam kelompok kerjanya membuatnya sedikit merasa terkucil. Yah, teman-temannya bukanlah sekumpulan orang yang menitikberatkan tata krama sebagai acuan berperilaku. Bisa dilihat, bagaimana tingkah mereka yang absurd tak tertolong itu. Beberapa dari teman-temannya itu juga berasal dari negara dengan sistem pemerintahan republik dan serikat. Budaya mereka jelas berbeda dengan tempat asal Ren, bukan?
Ren sibuk berkutat dengan pikirannya sendiri. Namun, suara riuh gosip teman-temannya masih lamat-lamat terdengar. Laksana suara sirine yang tak mungkin dibungkam. Sebelum sebuah kalimat mengambil perhatian Ren seutuhnya. "Dengar tentang hubungan Annelosia dan Nimue menjadi sengat erat berkat pertunangan putra mahkota Annelosia dan Putri kedua Nimue."
"Eh, a-apa?" pertanyaan Ren membuat keempat temannya menatap ia dengan alis bertaut. "Bisa kau ulangi?"
"Oh, kau tertarik dengan pertunangan pangeran mahkota Annelosia dengan Putri kedua Nimue ya?" Fleur berucap dengan mata berbinar. Entah merasa senang untuk hal apa.
Jantung Ren mencelus. Rasanya kabar itu bagai mengentak ketenangan dirinya yang tak tergoyahkan. "Putra mahkota Annelosia, maksudnya Luca Annelo?"
Apolline mengendikkan bahu. "Kurasa iya."
Ren terdiam, tak lagi mengindahkan kegiatan bergosip teman-temannya yang masih terus berlanjut. Tempo detak jantungnya kian meningkat. Perasaanya berubah kalut. Ini tidak benar, bukan? Ya, laki-laki itu pasti mengabarinya saat akan bertunangan, bukan? Ada titik resah yang terbaca dari pancar mata gadis itu. Berbagai spekulasi mendadak bermunculan. Dari spekulasi positif hingga yang paling negatif di antara semuanya. Bergelut dalam pikirannya membuat Ren tanpa sadar menggigiti kuku jemarinya. Ia tak pernah merasa setidak enak ini.
Bagaimana mungkin laki-laki yang tak ada kabar untuknya selama berbulan-bulan itu tiba-tiba sudah bertunangan? Ren berpikir sekali lagi. Dia yang tak memberi kabar selama itu, mana mungkin memberi kabar pertunangannya. Memangnya kau siapa? Gadis itu menggigit bibirnya sebelum beranjak risau. Jemarinya lantas mengutik ponsel dan menemukan nama Vier di kolom terakhir kontaknya. Tak ada riwayat pesan atau panggilan dari nomor itu berbulan-bulan lamanya.
Ren akhirnya menekan tombol panggil setelah menimbang-nimbang cukup lama. Namun, tak ada jawaban sejauh lima panggilan darinya. Wajah Ren mengkerut. Ia merasa ada yang aneh dengan gejolak di dadanya. Rasanya sesak dan tidak nyaman. Sampai-sampai mengundang air matanya untuk berkerumun di pelupuk. Namun, dering ponselnya, membuat Ren kembali teralihkan. Satu pesan masuk dari nomor yang berusaha ia hubungi.
Balasan dari Vier membuat Ren menghela napasnya panjang. Setidaknya laki-laki itu tak seutuhnya mengabaikan panggilan kawan lama.
Tetapi, Ren tak akan menduga bahwa tak ada panggilan dari Vier sampai dirinya tiba di pelabuhan Nimue.
Amorist part 2: Memory of Apple Caramel
Pelabuhan Nimue tampak sangat ramai. Bahkan Ren rasa lebih padat dari pelabuhan-pelabuhan yang pernah ia kunjungi. Ansel bilang, ada festival kembang api dan culinary fest selama seminggu. Tak heran negara dengan pemasukan terbesar dari pelabuhan seperti Nimue mendadak ramai. Nimue termasuk negara kenamaan yang maju di daratan Topaz. Tak ayal, festival macam pesta kembang api dan kuliner membuat orang-orang dari negeri seberang--bahkan benua seberang--berbondong-bondong menghadirinya.
Pantas saja, partalian hubungan antara Nimue dan Annelosia menarik perhatian orang banyak. Negara dengan kekuatan militer terkuat seperti Annelosia berhubungan erat dengan negara kaya yang maju seperti Nimue. Rasanya-rasanya seperti terikatnya hubungan antara ksatria hebat dan putri yang anggun. Sangat cocok. Seperti kisah dalam dongeng-dongeng.
Ren termanyun saat turun dari kapal. Ia bahkan tampak abai dengan teman-teman perempuannya yang bergerombol menikmati keramaian pelabuhan. Ia tampak tak tertarik sekadar untuk melihat-lihat. Sikapnya itu sempat beberapa kali menarik perhatian Ansel. Walau gadis itu pada akhirnya hanya menggeleng dan tersenyum untuk membalas segala pertanyaan kapten kapal itu. Gadis itu tetap membisu sampai mereka tiba di penginapan.
Malam datang dengan cepat. Dilihat Dari lantai dua penginapan, jalan kota masih terlihat begitu ramai. Cahaya-cahaya lampion tampak menyala-nyala Dari segala sudut. Belum lagi keramaian manusia yang memadati jalanan utama. Keramaian jalanan itu juga dapat didengar dengan jelas. Rasanya kurang pas jika hanya tidur dan mengabaikannya begitu saja. Ren dengar Fleur berseru-seru di kamar sebelah. Ia mengajak teman-temannya--yang lesu karena lelah oleh perjalanan--untuk menikmati malam pembukaan culinary fest. Perempuan itu juga menghambur ke kamar Ren. Berseru riang seperti seorang bocah yang akan diajak liburan ke water park.
"Hei, Ren ayo cepat!" Fleur menarik lengan Ren, memaksa gadis dengan tubuh yang lebih kecil darinya itu beranjak. Namum, orang yang ditariknya itu tampak tak memiliki minat sama sekali dengan culinary fest.
"Aku lelah, Fleur."
Apolline berdiri di ambang pintu dan berkata, "Tidak ada yang boleh tidur sebelum mengunjungi culinary fest."
Ren menghela napasnya panjang. "Baiklah." padahal suasana hatinya sedang tidak bagus.
"Come on!" Fleur berseru semangat sembari menggandeng Ren keluar kamar.
Aroma makanan menguar memenuhi penciuman saat mereka terjun ke jalan utama. Banyak lapak-lapak pedagang yang turut serta memeriahkan festival kuliner malam itu. Bahkan, tak hanya lapak kuliner asli Nimue, tapi juga kuliner-kuliner dari negara luar. Tak sulit juga ditemui kuliner dari benua seberang. Memang betul, culinary fest di Nimue adalah yang terbesar. Beruntung Ren dan teman-temannya tiba di Nimue saat culinary fest tahunan diadakan. Setidaknya hal itu dapat menghibur mereka dari lelahnya perjalanan laut dan tugas yang harus mereka kerjakan di tempat itu.
"Aku ingin makan cumi panggang saus lava khas Nimue." Catarina bersuara dari sisi Ren. Perempuan itu tampak menaruh minat yang besar pada jajanan seafood. "Bagaimana, May?" ia mencolek Mayda yang berjalan di depannya.
"Aku ingin makanan yang gurih. Keripik seafood mungkin." ia tertawa.
Selagi teman-temannya sibuk memilih kuliner mereka, Ren hanya memperhatikan jalanan tanpa minat yang besar. Mungkin ia mesti mencicip satu kuliner agar teman-temannya itu tak ribut lagi. Sesekali ia menilik hp yang digenggamnya. Barangkali Vier mengirim balasan pesannya--yang sejujurnya sudah lewat beberapa hari yang lalu. Itu sudah kedaluarsa.
"Manisan!" seruan Apolline membuat Ren terhenyak. "Ren, temani aku!" tanpa aba-aba ia menarik tangan Ren dan membawanya ke lapak manisan buah. Sedangkan yang lainnya sibuk dilema oleh lapak yang berderet-deret.
Mungkin salah mengira Apolline orang tercepat yang membuat keputusan memilih kulinernya. Ia tetap saja berdiri lama di depan lapak pedagang manisan. Dirinya dilema macam buah yang disediakan di sana. Ah, Ren ingin pulang dan menghabiskan malamnya dengan kualitas tidur yang bagus. Menunggu Apolline membuatnya lelah sendiri. Ia akhirnya mengalihkan fokusnya pada ponsel. Gadis itu mengutiknya tanpa tujuan. Setidaknya pura-pura sibuk membuat kantuknya sedikit menghilang.
Ren membalikkan badan, berniat mengalihkan pandangannya dari manisan yang diletakkan dalam wadah-wadah kaca transparan. Namun, gadis itu malah menabrak seseorang dan membuat ponselnya menghantam jalanan aspal.
"Maafkan aku." Ren berkata tanpa melihat siapa yang ditabraknya. Ia lekas-lekas mengambil ponselnya yang terjatuh dan memeriksa kerusakannya. Layarnya sedikit retak.
"Maaf."
Mendengar permintaan maaf dari seseorang yang ditabraknya membuat Ren kembali berdiri dan menggeleng dengan raut bersalah. "Ini bukan salah Anda. Maaf aku tidak hati-hati--" Namun, Ren mendadak terbungkam melihat laki-laki di hadapannya. "Vier?"
"Ren? Lama tak melihatmu," sapanya dengan senyuman.
Ren kembali terdiam dan hanya menatap wajah laki-laki nilam itu. Lidahnya kelu. Ia ingin segera bertanya tentang rumor pertunangan itu, tapi ia tak mampu terucap. Namun, jika diperhatikan keberadaan Vier di Nimue bukankah menjawab pertanyaannya? Tak mungkin ia hanya jalan-jalan di tempat ini.
"Vier, aku--"
"Prince!"
Perkataan Ren terputus oleh suara seorang gadis yang tiba-tiba memeluk pinggang Vier dari belakang. Laki-laki itu tampak terkejut, lebih lagi Ren. Dia seorang gadis berambut hitam legam dengan manik safir. Ren lihat wajahnya putih agak pucat, tapi mulus. Dia sangat cantik. Diakah Putri kedua kerajaan Nimue itu?
"Neve," kata Vier memanggil gadis yang memeluknya itu.
"Prince, pesta kembang apinya akan segera di mulai. Ayo pergi." gadis itu berkata dengan raut memohon. Maniknya berbinar-binar seperti anak kecil yang meminta sekotak cokelat. "Oh, apa dia temanmu?"
"Ya," jawab Vier sembari melepas pelukan gadis bermanik biru itu. "Nah, Neiva, perkenalkan ini Stella Castiella."
"Hai, namaku Neiva. Salam kenal!" gadis itu mengenalkan dirinya semangat. Dia terlihat seperti anak kecil. Yah, Ren tak mempermasalahkannya karena hal itu tak aneh jika disandingkan dengan wajahnya yang baby face.
"Salam kenal," sahut Ren kikuk.
"Nah, Prince, ayo pergi," kata Neiva sekali lagi dengan nada merengek.
"Baiklah. Ren, aku duluan."
Vier berpamitan pergi dan berlalu dari hadapan Ren sebelum gadis itu menyampaikan pertanyaannya. Ia menatap punggung Vier dan Neiva yang menghilang di antara kerumunan orang-orang. Bibirnya terangkat, tersenyum masam, menghardik dirinya yang bodoh. Mengapa tak lekas bertanya? Ren menepuk keningnya frustasi.
"Hei, Stella. Mau manisan?"
Ren kembali tertoleh pada Apolline dengan wajah lesu. "Tidak."
Malam kedua culinary fest, Ren menyusuri jalanan ramai seorang diri. Kemarin malam ia tak dapat memejamkan matanya barang sebentar. Hal itu justru membuatnya terlelap sepanjang siang. Saat bangun, hari sudah petang saja. Ia bahkan belum sempat sarapan atau makan siang.
Kegiatan penelitian belum dimulai. Mengingat bagaimana festival-festival ini merusak konsentrasi untuk bekerja. Yah, setidaknya Ren dan teman-temannya memperoleh bonus rehat lebih lama dari yang biasa. Membicarakan bonus rehat, rasanya Ren malah tak ada kerjaan. Ia tak begitu tertarik dengan semaraknya festival. Lebih lagi dengan keadaan hatinya saat ini. Mendadak semuanya terasa hampa. Dirinya terus mencoba menerima. Toh, pertunangan itu adalah hak Vier bukan dirinya. Memangnya kau ini siapa?
Ren menyepak bungkus makanan yang terserak di jalanan yang sesak. Tak ia kira, bungkus makanan itu terlontar ke arah punggung seseorang dan membuat pakaiannya kotor. Ren berjengkit. Satu hal yang musti ia ingat, jangan bertindak sembarangan jika suasana hati sedang buruk.
"Maaf, Tuan," kata Ren seraya buru-buru mengambil sapu tangan dari sakunya. Saat dirinya kembali mendongak. Ia kembali dikejutkan dengan sosok di hadapannya. "Vier!"
Vier meringis. "Rasanya deja vu."
Laki-laki nilam itu tampak baru saja, menyelesaikan panggilan teleponnya. Melihat bagaimana ia mengutik ponselnya sejenak, lantas membenamkannya dalam saku.
"Kau sendirian?" Ren celingukan, mencoba mencari sosok--khususnya Neiva--di sekitar Vier. Aneh kalau dia berkeliaran di festival seorang diri.
"Iya," jawabnya. "Neve sakit perut karena terlalu banyak makan makanan pedas. Malam ini dia memintaku membelikannya apel karamel." Vier mengendikkan bahunya sembari mulai melangkah. Ren mengikuti laki-laki itu.
Wah, sikap perhatiannya yang pilih-pilih itu ternyata masih ada ya, batin Ren sembari tersenyum getir. Lagi pula, perhatian laki-laki itu kan bukan untuknya lagi. Gadis itu merasa dicemooh oleh dirinya sendiri.
"Kupikir aku juga mau satu." Ren menyisirkan tatapannya pada lapak-lapak pedagang yang dikerumuni banyak orang. Ia pikir, melihat lapak-lapak itu dapat mengalihkan pikirannya dari Vier. Yah, walaupun ia telah mengambil langkah salah dengan mengikuti laki-laki itu.
"Aku akan mentraktirmu," sambut Vier membuat Ren meringis.
Obrolan mereka sampai di situ saja. Bahkan, Vier tetap tak mengajukan topik apa pun sampai mereka berdua berhenti di lapak apel karamel. Ren tertunduk. Merasa atmosfer antara dirinya dan Vier semakin kikuk. Seolah sesuatu yang berbeda sudah terbentang di antara mereka. Biasanya Ren akan senang jika berjalan-jalan dengan laki-laki nilam itu. Mereka akan bercakap-cakap panjang lebar tanpa sedikit pun rasa canggung. Namun, kali ini, ia tak begitu merasakan kesenangannya. Hanya ada rasa ganjil yang membuat benak tak nyaman.
"Hei." Vier memutar apel karamel di depan wajah Ren, membuyarkan gadis itu dari lamunannya.
"Terimakasih," sambutnya dengan senyuman. "Bisa kita--"
Perkataan Ren terputus dering ponsel Vier. Gadis itu pada akhirnya kembali menahan diri untuk bicara. Ia kembali bergeming, hanya memperhatikan Vier dalam percakapan teleponnya. Laki-laki itu tampak menyugar rambutnya dan menjawab telepon dengan raut tak suka. Di mana pun, dia selalu tampak sibuk.
Dalam bungkamnya, Ren mengamati rambut hitam kebiruan Vier. Modelnya masih sama sejak kelulusan, bagian belakangnya masih menggapai tengkuk dan dahinya masih ia tampakkan. Apa rambutnya tak tumbuh sama sekali? Atau dia menjaganya tetap seperti itu?
"Ren." panggilan Vier menghentak Ren. Gadis itu cepat-cepat mendongak dengan wajah kebingungan. "Aku harus segera kembali. Sampai jumpa." ia melambaikan tangannya dan menghilang di kerumunan.
Kenapa pertemuannya selalu terasa begitu singkat? Memangnya dua tahun tak bertemu tak membangkitkan rasa rindu apa pun? Ren menggeleng. Mungkin tidak untuk Vier. Ren harap ia bisa bicara dengannya lebih lama lagi. Yah, sebelum dirinya betul-betul kehilangan laki-laki itu.
"Hei, Ren."
Ren merasa lengannya disenggol seseorang. Saat ia tertoleh, Catarina dan Mayda ada di sisinya. Meringis dengan alis terangkat.
"Kau jalan-jalan sendirian. Aku tadinya penasaran, tapi sudah mendapatkan jawaban. Kau kencan ya?" perkataan Mayda membuat wajah Ren mengkerut. Tapi perempuan itu tampak tak memperhatikannya lebih lanjut.
"Siapa laki-laki itu?"
Ren membuang tatapannya pada keramaian. Punggung Vier sudah menghilang dari jalanan. Ia pergi seolah tak akan kembali lagi. Ren pikir seharusnya mereka saling mengucapkan selamat tinggal. "Luca Annelo." ia menjawab Mayda tanpa mengalihkan pandangannya.
Catarina menepuk bahu Ren keras. Cukup keras hingga membuat gadis itu berjingkat. "Kau tidak sedang mengencani orang yang sudah tunangan, bukan?" ia mengguncang tubuh Ren dengan wajah menuntut. Perempuan itu berkata tanpa mempertanyakan apa Vier dan dirinya saling kenal.
"T-tidak!" tanpa sadar Ren meninggikan suaranya. Yang malahan, membuat kedua temannya menaruh curiga yang lebih. Gadis itu tersenyum getir, mana ada percakapan singkat itu disebut sebagai kencan?
"Ren, kuharap kau tak melakukannya lagi," Catarina berkata serius, "tak ada wanita yang lebih buruk dari wanita yang mengencani pria yang sudah memiliki pasangan."
"Lagi pula, Ren, dia itu Luca Annelo." Mayda melanjutkan perkataan Catarina. Seolah pemikiran mereka selalu menyatu. "Kau seharusnya lebih tahu diri."
"A-apa." Ren merasa percakapan dengan dua temannya itu berangsur menuju pada atmosfer yang tak nyaman. Mereka bicara seolah Ren adalah orang yang tengah berusaha merusak hubungan orang lain. Ia tahu, dirinya tak begitu rela orang dalam tanda kutip yang ia sukai itu bertunangan. Namun, dirinya tak akan melakukan hal biadab macam itu.
"Dengar, aku mengatakan ini demi kebaikanmu. Walaupun kau seorang bangsawan dan Castelesia adalah negara yang kaya dan luas, kau tak sebanding dengan pangeran mahkota Annelosia." Catarina berkata dengan alis turun, seolah turut prihatin.
Mendengar omongan Catarina, Ren merasa geram. Ia memperengut. Perempuan itu tak hanya menghina dirinya, tapi negerinya. Ia berkata seolah-olah Castelesia adalah sebuah negara gembel yang bukan apa-apa dibandingkan Annelosia. Ren tahu, Castelesia bukanlah negara maju. Namun, bukan berarti dia bisa secara bebas menjadi bahan olok-olokan.
"Aku tak suka bicaramu," kata Ren berang.
"Hei, kami hanya mengingatkanmu. Jangan marah." Mayda membalas Ren dengan tatapan sinis. Seolah sejak awal Renlah yang memulai semua ini.
Kau tidak pantas untuknya, Ren.
Ren mendecak. Sebelum berbalik dan meninggalkan kedua temannya dengan wajah merah padam. Ia berjalan dengan langkah panjang-panjang dan tidak etis. Masa bodoh dengan tata krama.
Laut di bawah bentang langit malam yang muram tampak seperti bentangan kosong. Tanpa jiwa, tanpa keindahan, tanpa kehidupan. Kemuramannya seolah seperti laut terkutuk yang dihuni sekumpulan makhluk buas pemakan manusia. Lamat-lamat, Ren bisa lihat bayangan bulan yang terhalang sekumpulan awan pada permukaan laut yang kelam. Laut merefleksikan apa yang langit katakan. Kini juga merefleksikan suasana hati Ren.
Gadis itu terdiam di bibir tebing karang yang menghadap langsung ke laut. Duduk sembari membenamkan wajahnya di antara lutut. Tangannya menggenggam apel karamel yang belum sempat ia makan. Entah kenapa, apel karamel yang begitu manis malah selalu menemaninya di saat hatinya sakit. Makanan itu malah menoreh luka lama dan mencampurnya dengan luka baru yang masih basah.
Ren menutup matanya rapat. Dadanya sesak dan perih. Seolah sesuatu di dalam sana telah dilukai hingga sekarat. Ia tak bisa menahan air mata yang akhirnya rebas, membentuk anakan sungai di pipi. Ren rasa dirinya terlalu rapuh dan lemah. Mengapa hal macam ini sudah cukup untuk membuatnya hancur? Ia menyimpan perasaan yang seharusnya tidak ia simpan. Pada akhirnya, perasaan itu membuatnya begitu kurang ajar tak merelakan orang yang sejak awal tak pernah ia miliki. Memangnya kau memiliki hak apa? Kau tak pantas. Ren terisak dalam keheningan laut dan suara samar-samar dari festival.
Tiba-tiba angin berhembus kencang dari arah laut, serta merta memberaikan rambut Ren yang terurai. Gadis itu menegakkan wajahnya dan dihadapkan bumantara juga cakrawala yang hitam pekat. Sepertinya akan ada badai. Padahal beberapa menit lalu bulan yang bertengger di takhtanya cukup kuat untuk bisa ia lihat. Ombak-ombak mulai berdebur. Menghantam dasar karang yang Ren duduki. Ombak-ombak itu mengabarkan gelombang air yang bergolak dari jauh. Daun-daun pohon bakau juga ikut bergemerisik tertiup angin, membuat Ren ngilu mendengarnya. Namun, gadis itu belum juga beranjak. Sebelum suara Ansel terdengar di belakang punggungnya.
"Stella, apa yang kau lakukan di sana?"
Ren bergeming. Tak mengindahkan panggilan laki-laki berambut tembaga itu. Ia tak punya sedikit pun minat untuk menyahut. Yang pada akhirnya membuat kapten kapal itu menghela napasnya.
"Kau ada masalah?" tanya Ansel yang hanya dibalas deburan ombak dan gemuruh dari laut. "Kau bisa ceritakan padaku masalahmu. Aku mungkin tak dapat membantumu, tapi menyimpan masalahmu sendiri tak akan menyelesaikan apa pun."
Ren makin terbungkam mendengar perkataan Ansel. Entah mengapa kata-kata itu begitu mirip dengan kalimat Vier. Hal itu membuatnya makin termanyun. Kenapa ia tak dapat melupakan Vier. Seolah laki-laki itu merupakan bagian dari ingatannya yang sukar dihapus.
"Pergilah, Ansel!" suara Ren meninggi bersama dengan hembusan angin yang bergemuruh. Menanak risau bagi orang yang mendengarnya. Lagaknya, badai besar dari laut tengah akan segera menyambangi kota Nimue.
"Stella, badai akan segera datang. Kita harus pergi dari sini," tutur Ansel dengan nada cemas. Namun, Ren kembali tak mengindahkannya.
Ombak kembali berdebur. Kini gelombang airnya agak tinggi, membuat percikannya sampai pada Ren. Gadis itu lantas beranjak, merasa pakaiannya yang basah tak nyaman untuk tetap mendekam. Ia menghadap Ansel dan menatapnya nyalang. "Tinggalkan aku sendiri! Kau ini tak mengerti juga ya."
Ansel terdiam. Ini pertama kalinya ia melihat gadis itu marah. Sejauh yang ia tahu, Ren tak mudah marah. Sekali pun melewati hari yang berat. Wajah muramnya adalah hal yang wajar. Tapi untuk marah, berarti ada hal yang sudah melewati batas kesabarannya.
"Stella, aku--"
"Diam!" gertak Ren dengan wajah merah padam. Ia merasa terusik dan kesal. Ada kemarahan yang menggumpal dalam dadanya. Rasanya meluap-luap dan tak lagi tertahankan. Ia ingin sendirian. Merenungi semua masalah dan menangis semaunya. Namun, Ansel berhasil membuatnya makin mendidih. Ia kehilangan perhatian Vier, diolok teman-temannya, dan keberadaan Ansel membuatnya tambah geram. Rasanya ingin pergi ke tempat yang jauh saja.
"Tenangkan dirimu, okay?" Ansel perlahan mendekat. Namun, sebaliknya Ren beringsut mundur, mencoba menghindar.
"Aku menyuruhmu untuk meninggalkanku. Kumohon, biarkan aku sendirian." gadis itu menghentikan langkahnya seusai mendapati bibir tebing hanya beberapa senti dari tumit kakinya. "Aku hanya tak ingin orang lain melihatku." ia kembali larut dalam isakan. Semakin ia berusaha menghapus air mata, semakin deras pula air matanya luruh.
"Tak apa," kata Ansel dengan nada yang halus. "Kau boleh sendirian, tapi bukan di sini. Badai akan segera datang."
Masih dengan usahanya menghapus air mata, Ren mengangkat wajahnya. Ansel mengulurkan tangan, masih dalam keadaan membujuk. Laki-laki itu benar. Sebelum berhasil merenungkan masalahnya, ia akan lebih dulu disapu ombak. Jangan pernah melawan badai dengan badai pada dirimu sendiri yang belum kau atasi.
Ren baru saja hendak berjalan ke arah Ansel. Namun, ombak di belakangnya membumbung tinggi dan dengan cepat menerjangnya. Ombak itu menarik tubuhnya jatuh dari tebing dan membawanya pada lautan yang dalam. Dalam jeritannya, samar Ren melihat Ansel berusaha menggapai tangannya. Namun, dia terlambat. Tubuh Ren jatuh berdebur dalam air laut yang bergolak.
Semuanya menggelap dan dipenuhi air asin.
To be continue....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top