Chapter 9²
Kelas regular AirsStreet tak ada bedanya dengan kelas-kelas normal di Royal High School. Jika kelas lainnya bersifat kejuruan, kelas regular sama halnya mendapat ilmu umum. Lain lagi dengan kelas penjaga, pemimpin, atau pun ksatria. Eva bilang tidak akan banyak praktik di dalamnya. Tinggal ikuti pelajaran seperti biasa.
Hari masih pagi. Bel penanda pelajaran berlangsung pun belum berdering. Ren masih duduk-duduk di bangkunya dengan wajah lesu. Tak ada Musa, satu-satunya orang yang nyambung dengannya. Ia ada di kelas pemimpin. Anne bilang, negeri asal Musa memiliki sistem pemerintah empat mata angin. Maknanya akan ada empat pemimpin utama di negeri yang dikatakan amat luas dan kaya itu. Musa masuk ke dalamnya karena raja yang memerintah di wilayah pusat saat ini hanya memiliki dua putra mahkota.
Eva, Anne, dan Cecil tak jauh-jauh dari tempat duduk Ren. Namun, ia merasa diabaikan. Mereka tengah mengobrolkan tentang sederet siswa populer yang rencananya akan mereka jadikan penunjang untuk naik rank kasta. Ren tak ingin bergabung. Sungguh!
"Hoo ... Lihat! Kelompok payah itu kedatangan anggota baru." suara sinis menusuk telinga Ren. Tanpa mengusut pun Ren tahu, perkataan itu ditujukan untunya dan tiga temannya.
"Siapa yang kau sebut payah, Ribbon?" Cecil yang bersumbu pendek berdiri dari kursinya. Maniknya menatap tajam ke arah perempuan berpenampilan nyentrik yang diikuti beberapa perempuan di belakangnya.
Sebelum berangkat tadi, Anne memberi tahu Ren suatu hal. Tentang ketua kelas, Ribbon, yang tak pernah suka dengan mereka bertiga. Itu artinya, dia juga tak akan suka pada Ren. Ren menengadah, memperhatikan perempuan bergaya nyentrik dengan aroma parfum yang kuat. Gadis itu tak kuat membaunya. Rambut Ribbon yang berwarna hitam dipoles dengan warna merah dan ungu di bagian kanan, hal itu membuatnya seperti bintang rock and roll kalau saja liptint merahnya diganti ungu.
"Hoho, masih ada di kasta orang biasa, Cecil dan kawan-kawan?" Ribbon memainkan ponselnya yang diberi gantungan kucing berwarna nila. Ren salah fokus, itu gantungan yang cantik!
"Jangan sombong! Kami akan menyusulmu." Eva ikut beranjak. Ia bersedekap.
"Bisa tidak, kita tidak membicarakan kasta?" tanpa sadar gumaman pelan Ren terdengar ke seluruh penjuru kelas. Suasana sunyi yang sempat terjadi membuat suaranya sanggup di dengar.
Semua pandangan beralih pada Ren. Gadis itu meneguk susah payah ludahnya. Pasang-pasang mata itu tak sekadar menatapnya biasa, namun menusuk seperri ribuan pasang belati.
"Kenapa?" Ribbon melotot. Manik violetnya berkilat marah.
Ren menghela napas. Orang-orang seperti Ribbon bukanlah ancaman! Jika tidak dilawan dengan benar, dia akan jadi racun. "Karena aku sangat tidak peduli," jawab Ren, memberanikan diri untuk melawan.
Bisik-bisik terdengar dari bibir-bibir tukang gosip. Entah apalah yang mereka katakan, tapi Ren yakin itu semua menyangkut dirinya dan mayoritas adalah gunjingan.
"Kau sombong sekali." Ren merasa geli dengan gerak bibir Ribbon--yang merah--saat tengah berbicara. Bibir itu maju beberapa senti. "Apa karena semalam kau jatuh menimpa Luca, dan sekarang kau sesombong ini?"
Sungguh tidak nyambung! Ren ingin berhenti membicarakan. Tentang kasta atau pun tentang tragedi tadi malam. Apanya yang bisa disombongkan dari jatuh menimpa laki-laki nilam itu? Tak ada, Ren rasa. Apa kejadian semalam membuatnya naik peringkat kasta? Sungguh, hebat sekali.
"Menyingkir dari temanku!" Cecil mendorong Ribbon menjauh. "Bilang saja kau iri tak bisa berkenalan dengan Luca. Kasta 'teman populermu' tak berpengaruh untuk hal itu, ya."
"Apa?!" Ribbon melotot marah. Matanya seperti akan keluar, Ren bergidik.
"Hmm ... Ya. Semua orang tahu kau suka menjadikan orang-orang dengan rank tinggi sebagai target bidikanmu. Namun, kau selalu ditolak, 'kan?" Cecil memasang raut angkuh. "Boleh saja kau ada dikategori teman populer, tapi kuyakin kau tak akan naik lagi."
"Itu dikatakan orang yang berusaha naik rank sejak semester awal dimulai, tapi masih berpijak di tempat yang belum benar. 446, tak buruk." Ribbon memilin rambutnya. Antingnya berayun saat kepalanya bergerak-gerak. Tingkahnya membuat Ren berpikir dia adalah antagonis di AirStreet.
"Sudahlah, Cecil." Ren menyentuh bahu Cecil. Meredam amarah perempuan itu yang kian lama kian membakar diri.
"Memang sulit bicara dengan rendahan keras kepala." Ribbon memainkan kuku-kuku jarinya. Beberapa perempuan yang berdiri di belakangnya pun ikut terkekik. Menertawai Cecil dan kelompoknya, menyetujui mereka sebagai rendahan.
"Apa kau bilang!?"
Cecil hendak menerkam Ribbon seperti singa lapar, mencabik, juga melumatnya. Namun, Ren lekas menarik Cecil menjauh. Sebelum amarah perempuan itu mengakibatkan masalah pelik yang kian runyam. Ren tak suka masalah.
Ribbon tertawa, melihat Ren--yang seperti pawang binatang buas--mencoba menenangkan Cecil si tukang murka. "Kau bahkan butuh pawang untuk keliaranmu."
Cecil menyibak tangan Ren kasar. Memberinya isyarat untuk menyingkirkan tangan dari bahunya. Ren terdiam. Maniknya beralih pada Ribbon yang tertawa-tawa menghina. Dia bukan ketua kelas yang patut dicontoh. Dia butuh setidaknya enam jilid buku panduan menjadi ketua kelas.
"Aku--"
Perkataan Cecil terpotong bel yang menyatakan pelajaran pertama segera berlangsung. Ribbon menghentikan kegiatan--yang Ren rasa tak memiliki faedah apa pun--untuk duduk di bangkunya yang ada di baris depan. Begitu pula orang-orang yang tadi menonton adu mulut rutin antara kelompok Ribbon dan Cecil.
"Tenangkan dirimu, Cecil." Eva berbisik pada Cecil yang masih bernapas gusar, sebelum akhirnya duduk di bangkunya.
Peringkat kasta populer benar-benar membuat mereka buta. Tak lebih baik dari kasta di Royal High School. Ren menatap ke depan. Mrs. Vella masuk membawa setumpuk buku sejarah.
"Ren, kami akan ke kantin. Kau ikut?" Anne beranjak dari duduknya. Hendak mengikuti Cecil dan Eva yang sudah beranjak duluan.
"Tidak, terima kasih. Aku akan menyelesaikan ini dulu." Ren menunjukkan lembaran soal yang belum tuntas terjawab. "Aku akan menyusul jika sempat."
Anne mengangguk, lantas melenggang pergi bersama Eva dan Cecil.
Bel pertanda istirahat baru saja dibunyikan. Namun, kelas sudah nampak lengang. Hanya ada beberapa siswa yang masih duduk dibangku mereka, sekadar tidur siang di bangku ataupun membaca buku-buku yang entah apa isinya. Ren sendiri tak berminat beranjak. Belum ada kiriman uang saku dari panti sejak seminggu lalu. Uang yang seharusnya habis minggu depan, malah hampir raib dari kantongnya tiga hari ini. Praktik di Royal High School benar-benar menguras kantongnya yang tak banyak berisi. Sekarang, dirinya tak bisa berleha menghabiskan waktu istirahat di kantin.
"Ren Leighton. Benar begitu?"
Ren menengadah, menatap sosok yang menyebut namanya. Seorang perempuan dengan kacamata bundar bertengger di hidungnya. Tubuhnya agak tambun, tapi lebih tinggi dari Ren. Jadi, dia tak terlihat begitu gemuk.
"Ya, benar."
"Salam kenal," katanya, "namaku Kanaya Eldora. Kau bisa memanggilku Kana."
"Salam kenal juga." Ren menjereng senyum. Mencoba bersikap ramah.
Kana menarik kursi, mendekatkannya pada Ren, lantas duduk di atasnya. "Aku mendengar perbincangan kalian dengan Ribbon," katanya sembari menupu dagu dengan kedua tangannya.
"Kenapa?" Ren mengernyit.
Banyak orang yang menonton pertunjukkan adu mulut tadi, tak salah jika Kana mendengarnya. Toh, tak ada yang peduli karena hal yang demikian nampaknya kerap terjadi.
"Aku hanya ingin bertanya, apa kau sungguh tak memedulikan kasta?" Kana memperhatikan wajah Ren lamat, berharap mendapat jawaban segera.
Ren terdiam sejenak, lantas tersenyum. Ia ikut menumpu dagu. "Tentu saja. Aku sungguh tak memikirkan apa pun tentang kasta. Lagipula, bukankah aplikasi itu ilegal?"
Ren tak tahu, tapi Eva bilang itu tak resmi dari AirStreet. Maknanya, tingkatan kasta yang ada tak terlalu penting buatnya. Ren tak ingin buat kesalahan, perintah resmi dari akademi akan ia lakukan. Namun, tidak untuk permainan kasta seperti anak TK. Ia tak menyukainya!
"Kupikir sudah hampir tidak ada orang yang berpikiran begitu." senyum Kana merekah. Ia terlihat begitu senang menderang hal yang dikatakan Ren. "Aku juga berpikir begitu!"
"Sungguh?"
"Ya, tentu. Tingkatan kasta benar-benar mencuci pikiran semua orang." Kana menggerakan telunjuknya memutar di kening.
Kling!
Fokus Ren teralihnya oleh nada dering pesan Let's Chat. Gadis itu memperhatikan layar ponselnya. Satu pesan dari kontak bernama Vier muncul di sana.
Berpikir sejenak, Ren tak lekas beranjak. Apa lagaknya barang yang membuat Vier buru-buru untuk menyerahkannya pada Ren.
"Ada apa, Ren?" Kana bertanya lantaran Ren terdiam cukup lama.
Ren beranjak dari duduknya. "Aku ada keperluan. Kita bicara lagi nanti, ya Kana."
Kana mengangguk, membiarkan Ren berjalan dan menghilang di luar pintu kelas.
Ren berlari kecil sepanjang lorong, berharap Vier tak menunggunya terlalu lama. Laki-laki nilam itu bisa jadi tidak sabaran di saat-saat tertentu. Emosinya bisa sangat labil. Ren terkadang keheranan. Apa dia punya keterbelakangan mental atau apa pun?
Celingukan, Ren memutar pandangnya ke seluruh penjuru. Maniknya menajam hingga menyisir ke balik sesemakan yang entah kenapa jadi transparan untuk sesaat. Ren menggeleng, kepalanya berdenyut sesaat. Apa aku berhalusinasi?
"Oi, Ren!"
Ren tertoleh, mendapati Vier duduk di tepi air mancur. Tangannya melambai, memberi isyarat pada Ren untuk mendekat. Gadis itu menurut. Ia bergegas ke arah Vier yang nampak sudah duduk di sana cukup lama.
"Maaf. Kau tak memberi tahu posisimu secara spesifik. Kau sulit dicari."
Vier tersenyum kecut. "Oke. Itu salahku."
"Lupakan," kata Ren, "apa yang dititipkan Ny. Mire untukku?"
Vier menyodorkan sebuah amplop cokelat ukuran sedang. Amplop itu nampak berisi, gmuk seperti perut buncit para pejabat korup. Ren menerimanya. Membukanya pelan-pelan, mencoba tak merusak isinya, apa pun itu.
"Ini ..."
"Apa?" Vier melirik Ren yang nampak terkejut.
"Uang sebanyak ini dari mana?!" Ren bertanya histeris. Mungkin saja Vier salah amplop.
"Itu uang saku beasiswamu," Vier menjawab, "yang entah bagaimana caranya, uang itu tak pernah sampai padamu. Tak usah terkejut, berapa bulan kau ada di Royal High School?"
"T-tidak mungkin sebanyak ini, 'kan." Ren masih tak percaya, lantaran uang yang ada di sana bisa dikatakan banyak. Selama ini, dirinya bahkan belum pernah memiliki uang sebanyak itu. "Kau salah amplop, ya?"
Vier menimpa kepala Ren dengan buku bacaan yang entah sejak kapan ada di genggamannya, mungkin saja ia menunggu Ren sembari membaca buku, atau buku itu bisa muncul tiba-tiba dari tangannya. Ren mengaduh, merasakan pikirannya agak ngawur setelah lembaran kertas yang dijilid jadi satu itu menghantam kepalanya.
"Sudah kubilang itu betul."
"Baiklah ..." Ren mengelus kepala. Ia bersyukur timpukan buku tak lebih sakit dari jitakan Vier yang lalu. Jarinya seperti cambuk besi penghukuman.
Vier membenarkan berdirinya yang tadi sempat merendah untuk menimpakan buku pada kepala Ren. "Aku pergi duluan." ia memutar tubuh, menjejak jalan alun-alun yang berhias batuan berwarna.
Ren melihat punggung Vier yang menjauh, kemudian menatap amplop cokelat berisi sejumlah uang. Itu terlalu banyak dan memakan tempat. Dalam pikiran Ren, kenapa tidak masukkan dalam rekening saja?! Sungguh, itu lebih praktis. Rasanya menyerahkan uang segepok secara langsung seperti menggunakan cara kuno. "Akan kumasukkan dalam rekening sendiri jika mereka tak mau repot," Ren menggumam.
Ren menengadah, menatap bumantara yang elok dipandang mata. Sekejab penampakan Kota Hillaria--yang jika dilihat dari atas--terlukis di sana. Ren mengerjab. Tak mungkin langit bisa merefleksikan benda di bawahnya. Langit bukan cermin. Semuanya menghilang di kerjapan mata Ren yang ke tiga. Apa yang kulihat barusan?
Pening, Ren memijit keningnya. Ia melihat hal yang aneh. Dari semak yang berubah transparan hingga Ren dapat melihat tupai yang tengah melompat di baliknya, juga bumantara yang merefleksikan bentuk Hillaria dari atas. "Aku sungguh butuh istirahat."
"Kau sungguh tidak ikut?" Anne bertanya ulang. Mengonfirmasi jawaban "tidak" yang sempat Ren sebut tadinya.
Ren mengangguk. "Aku akan langsung kembali ke asrama. Bersenang-senanglah!"
Setelah beberapa saat berpandang-pandangan, Cecil, Eva, dan Anne pergi. Memboyong diri mereka pergi menemui sederet nama yang telah mereka daftar sebelumnya. Orang-orang dengan status populer yang lagaknya dapat menaikkan peringkat populer mereka. "Terserah mereka saja." Ren menatap punggung teman-temannya pergi.
"Ren, kau sibuk?" Kana menepuk bahu Ren.
Ren yang tak lebih tinggi darinya menengadah. "Tidak, kurasa."
"Mau bergabung di klub perpustakaan?" tawarnya sembari menyerahkan brosur yang berisi keterangan lengkap klub perpustakaan, seperti jadwal pertemuan, kegiatan, event, dan hal-hal yang menarik perhatian Ren.
"Ada klub perpustakaan?" tanya Ren dengan mata berbinar.
"Tentu saja!"
"Aku ikut."
Ren tersenyum lebar sebelum akhirnya mendorong Kana--yang berjalan santai seperti kura-kura--untuk berjalan lebih cepat. Menjejak lantai koridor dan lekas sampai di tempat yang disebut-sebut sebagai surganya buku.
"Musa!" Kana melambaikan tangannya pada Musa yang hendak masuk ke dalam perpustakaan.
Perempuan berambut cokelat lurus yang merasa terpanggil berhenti. Ia tersenyum mendapati Kana berjalan ke arahnya. Oh, dengan Ren juga.
"Lihat kita punya anggota baru! Eh, calon." Kana menunjuk-nunjuk Ren di sampingnya.
"Aku tidak tahu kau suka buku, Ren." Musa masuk ke dalam, diikuti Kana dan Ren.
"Tentu saja aku suka."
Nuansa berbeda ditawarkan perpustakaan Airsrteet. Di dalam terasa terang, tapi tidak kering. Keseluruhan arsitekturnya hampir didominasi kayu. Langit-langitnya berbentuk kubah, terbuat dari kaca tebal yang jika diperhatikan tatanannya menyerupai mandala saat dipadukan dengan kerangka besi. Cahaya matahari leluasa masuk dari sana, tapi Ren tak merasa silau. Malahan, cahaya yang datang dari sana nampak sebagai alternatif penghemat listrik. Tumpukan rak buku berjajar di ketiga lantai, membentuk tatanan yang berbeda setiap lantainya.
Ren terpukau, perpustakaan AirStreet tak kalah megah dengan Royal High School. Seakan Ren bisa menemukan segala judul buku yang pernah ada di muka bumi. Surga ... Ren sibuk menyelami tulisan-tulusan yang tertera pada setiap rak hingga tanpa sadar menabrak punggung Musa yang berhenti di depannya.
"Aww, maaf." Ren mengelus hidung.
"Hati-hati, Ren. Kau hampir membuat hidungmu tenggelam. Aku tak ingin temanku kehilangan hidung mancungnya." Musa mengatakan gurauan dan berhasil membuat Kana terkekeh.
"Hidungku bisa berenang. Tak akan tenggelam semudah itu."
Kana tertawa. "Kau punya selera humor yang bagus."
"Hoo ... Aku ini humoris. Perlu kau tahu."
Ren dan Kana membincangkan satu dua hal. Dan semuanya tanpa menyinggung pasal kasta. Ren cukup menikmati. Siapa sangka masih ada satu dua orang yang tak memikirkan peringkat kasta di sini.
"Isi formulirnya." Musa memberikan selebaran formulir yang nampak sudah lama ada di lemari. Rasanya agak lembab saat kertas itu bersentuhan dengan ujung jari Ren.
Ren duduk di kursi terdekat yang di sisinya ada meja kayu. Jemarinya menggapai pena dari dalam tas, kemudia mengisi tuntas formulir dari musa.
"Ah, syukurlah kalian di sini. Aku perlu bantuan."
Perhatian Ren, Musa, dan Kana beralih dari sumber suara. Dari lantai dua seorang perempuan memanggil. Ia nampaknya salah satu dari sekian anggota perpustakaan.
"Ada apa, Sashi?" Musa membalas.
"Ada buku baru yang harus disusun. Di sini hanya ada aku dan Dean. Kalian harus membantu!" kata Sashi sembari memberi isyarat pada ketiga orang yang ada di lantai bawah untuk naik.
"Oke."
Ren ikut ke lantai atas. Selain membantu menata kumpulan buku baru, Musa mengenalkannya pada Sashi dan Dean. Gadis itu kira isi klub perpustakaan adalah para kutubuku berkacamata tebal, tapi dia salah. Satu-satunya orang berkacamta baru Kana di antara empat anggota yang kini tengah menata buku. Musa juga bilang, ada beberapa laki-laki lagi selain Dean. Walau faktanya tak lebih banyak dari anggota perempuan.
Cukup melelahkan. Tapi, disitulah Ren menyadari bahwa orang-orang di sini tak pernah menyenggol kasta dalam perbincangan mereka. Ia merasa menemukan kelompok yang tepat. Dirinya juga siap jika harus mengucapkan "Selamat tinggal untuk bergantung pada Vier!". Ren tak butuh dikawal lagi. Ia ingin berdikari, jadi lebih kuat dan melupakan betapa lemah dirinya yang dulu. Selamat datang, kau menemukan Ren yang baru!
Ren sudah berganti sweeter cokelatnya. Ia menerjang ke arah kasur ranjangnya. Matahari sudah kembali ke peraduaan, malam sudah mulai naik. Ini waktu yang tepat untuk berehat sejenak dari aktivitas padat AirStreet. Gadis itu celingukan sejenak menyadari teman-temannya belum juga kembali dari 'kesibukan tambahan' mereka. Musa pun juga bilang ada pembelajaran tambahan dari Mr. Alan sebelum makan malam.
Berguling, Ren mulai merasa bosan. Hanya suara serangga malam yang dapat merasuk ke pendengaran, sisanya suara samar keramaian di luar kamar. Tak begitu jelas, Ren juga tak mau menyelidiki suara keramaian itu.
Teringat sesuatu, Ren beranjak. Menggapai ponsel lantas duduk kembali di atas ranjang. Diketiknya nama Rezel pada kolom pencarian kontak Let's Chat. Ada yang perlu Ren tanyakan pada laki-laki pirang itu.
Tut ... Tut ...
Sejenak, Ren menunggu sambungan sebelum akhirnya suara Rezel terdengar dari seberamg sana.
"Apa? Kau tahu aku sedang menikmati watu rehatku?"
"Tentu saja tidak. Kau pikir aku cenayang?" Ren membalas ketus. Belum mengatalan apa pun Rezel sudah uring-uringan. Ren yakin di balik sana laki-laki itu tengah melotot dengan mata merah dan rambut awut-awutan.
"Tidak. Kupikir kau adalah orang bodoh yang pernah kutemui." Rezel bicara dengan nada malas.
"Lupakan!" Ren mendecak sembari memutar bola matanya. "Aku ingin bertanya--"
"Apa?"
Ren merutuki dirinya sendiri. Ia menyesal sudah menelpon Rezel. Seharusnya ia lebih sabar menunggu esok hari dan bertanya besok siang. Laki-laki itu tak akan senang diganggu pada jam istirahatnya.
"Ini tentang Vier." Ren terdiam sejenak, mencari kalimat untuk memulai. "Kenapa nama Vier berubah? Sejak kapan nama depannya berubah jadi Luca? Dia tidak sedang lupa saat pendataan data diri, kan?"
Hening sesaat. Tak ada suara dari Rezel. Ren malah menduga laki-laki itu tertidur saat mendengar ceritanya. Jauh di luar perkiraan, bagai plot twist yang mengejutkan, Rezel terbahak di seberang sana. Seakan tengah menonton opera komedi yang mengocok perut.
"Oh, astaga ..." Rezel belum sempat menyelesaikan kalimatnya malah kembali terbahak.
"Apa yang lucu?"
Ren menunggu beberapa saat hingga Rezel berhenti tertawa. Sejujurnya ia tak tahu apa sebab tawa Rezel meledak. Ia merasa baru saja membuat lawakan yang tak disadari dirinya sendiri.
"Aku lupa jika kau belum tahu tentang Vier."
"Tentang Vier yang mana? Tentang dia laki-laki dengan tinggi seperti pohon kelapa, rambutnya bersemu biru, atau tentang dirinya yang kadang mengesalkan itu?" Ren mencibir.
"Bukan," jawab Rezel, "tentang identitas aslinya sebagai putera mahkota Annelosia--"
"Apa?!" Ren memotong. Merasa terkejut fakta yang seharusnya ia tahu malah baru dirinya dengar. "Lalu, kenapa tidak ada yang tahu dirinya di Royal High School? Atau hanya aku yang tidak tahu?"
Ren bertanya histeris. Bahkan, ia tak bisa duduk tenang di ranjanya. Ia beranjak, berjalan berputar-putar di area kamar. Melempar pandang ke arah jendela tanpa masuk ke dalamnya.
"Sebagai putera mahkota bukan berarti mahkotanya selalu pas di kepala atau takhtanya mudah untuk diduduki. Akan banyak yang mencoba merebutnya. Annelosia adalah negara yang luas juga beriklim ekstrim, kami butuh raja yang kuat untuk semua itu." Rezel bercerita panjang lebar. Ren yang tadinya berjalan ke sana ke mari menarik bantal dan merebah di karpet bawah.
"Langsung saja," sela Ren merasa tak sabaran. Sejak kapan kemalasan Rezel untuk bicara kini enyah dan terganti keantusiasan yang membara?
"Oke," sahut Rezel kesal, "itu adalah bagian dari tesnya. Vier harus melatih diri jadi pemimpin yang baik, walaupun dirinya dianggap memiliki kasta rendah dan tidak mencolok. Sejak Vier kecil, banyak yang meragukan dirinya untuk menjadi raja berikutnya. Maka dari itu, sang raja mencoba menerjunkan Vier pada setiap tes yang harus ia selesaikan dengan keberhasilan mutlak. Dari situ, sedikit demi sedikit kepercayaan akan diberikan pada Vier."
"Kehidupan putera mahkota kedengaran berat." Ren membuang tatapannya pada langit-langit, masih menempelkan ponsel di telinganya. "Lalu, kenapa dia pakai nama Vier? Kenapa tidak Luca?"
"Karena itu panggilan yang spesial. Hanya ibu dan adik perempuannya yang memanggilnya begitu."
"Vier punya adik?!"
"Ya, adik perempuan yang kecil dan manis."
"Kau kedengaran seperti pedofil, Rezel."
"Humm ... Sudah, ah. Aku mau tidur sebelum makan malam. Jika kau ingin tanyakan banyak hal, tanyakan langsung pada Vier. Aku tak bisa terus-terusan membocorkan banyak hal tentangnya." Rezel kedengaran menguap sebelum akhirnya menutup telepon terlebih dahulu.
Pendar-pendar lampu kristal sebagai penerangan kamar meremang. Memberi isyarat pada Ren bahwa usia lampu tak akan lama. Ia harus segera menginformasikan pada teman-temannya agar mereka melaporkannya pada pengurus asrama.
Ren bangun dari rebahannya. Ia menatap ponselnya yang sudah mati. Terpikir ulang tentang kalimat-kalimat Rezel. Laki-laki pirang itu juga pernah bercerita tentang masa lalu Vier yang menyakitkan untuk diingat. Apakah itu juga termasuk dirinya yang terancam gagal mendapatkan takhta karena dianggap terlalu lemah untuk jadi raja? Dan laki-laki bernama Excel, apa dia adalah satu dari jumlah para perebut takhta?
Banyak kepingan puzle Vier yang tercecer di sini. Membeberkan Ren banyak fakta. Tentang Vier, si laki-laki nilam yang dingin dan tak mudah percaya pada orang-orang asing di sekitarnya. Mungkin, itu suatu bentuk perlindungan dirinya karena tak semua orang asing memiliki tujuan baik. Ada kalanya mereka akan menjadi senjata untuk melukai Vier. Karena itulah dari luar dia kelihatan begitu sombong. Orang yang tidak dipercaya tanpa suatu alasan sejak awal cenderung tidak mudah mempercayai orang lain.
📎Note:
Yo, Lin datang! Kemarin Lin gak update kerena belom nulis apa pun. Aku juga gak minat update tiap hari, sih 😂
Jadi, apa?
Gatau mau kasih note apaan (;▽;)
Hmm ... Perasaanku aja atau gaya bahasaku banyak berubah? Entahlah ...
Di luar semua itu, Lin coba rombak Ren pelan-pelan. Banyak yang bilang, "Ren terlalu lemah buat jadi main character."
Tapi, menurut Lin ya ... Agak aneh juga punya tokoh lemah, tapi kenapa tidak? Pion tanah liat akan mengeras dan semakin kuat selama proses pengeringan dan pembakarannya. Begitu juga Ren :v dia gak akan lemah selamanya kok. (Lin lagi baek ama Ren)
Dan entah kenapa hari ini lagi suka ngedit chat :v seperti yang kalian lihat satu contoh di atas. Note pun rasanya hambar jika tulisan gini doang. Sebagai bonus, ada editan gak berfaedah seperti di bawah ini,
Present
Sekian obrolan somplak ini.
Sorry for typo
Regard
AleenaLin
Jumat, 29 Juni 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top