Chapter 7²
#PoPikutmudik 😂
"Kalian, segera menuju peron tujuh," ujar Ms. Delian, selaku pembimbing dan penanggung jawab perpindahan siswa kali ini, sembari menunjuk ke arah peron bernomor tujuh.
Mereka yang dititah Ms. Delian segera bergegas menuju peron tujuh. Termasuk Ren. Dia merasa terasing di perjalanan ini. Bagaimana tidak? Empat anggota lainnya adalah para pemilik elemen of god. Walaupun jika setengah sun dalam dirinya masih dianggap, dirinya tetap ada di golongan mereka.
"Di sini sangat dingin." Lya merapatkan syalnya. Menghalau udara dingin merangsek lebih jauh.
"Kau seperti tak pernah merasakan musim dingin saja." Deaz berkata tanpa memalingkan pandangannya dari catatan yang tak berminat dimasukkannya kembali ke dalam kopernya yang sesak.
Lya mendengkus. Merasa perhatian yang seharusnya ia dapatkan malah direbut oleh setumpuk catatan yang entah apa isinya.
"Bukannya tak pernah, tapi aku ini orang tropis." Lya mengendikkan bahu. Tak mendapat tanggapan Deaz, ia menghembuskan napas kesal. Uap dingin mengepul seiiring dirinya menghembuskan napas.
"Pasti sangat sulit beradaptasi, ya, Kak Lya." Rise berkata simpatik sembari tersenyum. Ia selalu menutup matanya kala tersenyum. Membuat orang lain selalu bilang bahwa siapapun dapat bersembunyi kala Rise tersenyum atau tertawa. Seperti petak umpet dengan Rise sebagai pencarinya.
"Rise memang orang yang pengertian!" Lya bersorak, lantas mendekap Rise.
"Haha, jangan begitu. Kakak tahu bagainana aku."
Bincang-bincang mereka tak pernah terputus. Bahkan sekadar berhenti untuk mempersilakan Ren bergabung. Gadis itu hanya tersenyum mendengar perbincangan mereka berempat yang seharusnya membuatnya terbahak.
Ren melirik Vier. Dia juga asik dengan topik perbincangannya sendiri. Sesekali Rise harus mencubitnya agar laki-laki itu berhenti bicara hal menyebalkan. Ren ingin mentertawainya. Namun, sulit untuk berbaur. Ia juga merasa sulit berhubungan dengan Lya. Perempuan pemilik elemen of god tipe nature itu selalu menatapnya tajam saat mereka saling berhadapan. Ren tak sanggup mendapatkan tatapan itu. Bulu romanya selalu meremang karenanya. Walaupun tak mengerti sebab pastinya, Ren lebih baik menghindarinya.
"Apa ada barang kalian yang tertinggal?" Ms. Delian bertanya selepas kembali bersama beberapa pembimbing lainnya.
"Aku lengkap," ujar Lya. Matanya menyisir ulang catatan yang berisi daftar barang bawaannya.
"Yang lain?" Ms. Delian memutar pandangannya yang disambut dengan gelengan kepala anak-anak yang ia bimbing di perjalan ini. "Bagus."
Tak lama kereta datang. Kereta resmi Royal Academia. Ren terpukau melihat tampilan luarnya. Kereta itu memiliki warna dasar putih dengan garis-garis hitam dan emas. Simbol perserikatan Royal Academia juga tertempel di sana. Terpukau di luar, tak membuat Ren merasa biasa dengan isi kereta itu. Lebih tepat dikatakan kereta mewah dengan fasilitas lengkap ketimbang kereta penjemputan siswa.
Selepas meletakkan barang-barang di tempat yang ditunjuk Ms. Delian, semuanya berkumpul di gerbong lima. Gerbong itu didekor selayaknya ruang berkumpul dengan kursi-kusi empuk berbalut beledu. Ada nakas-nakas kecil yang berisi makanan ringan, juga TV yang tertempel di dinding gerbong. Selagi yang lainnya sibuk berbincang banyak hal, Ren hanya terbengong. Untuk pertama kalinya mendapat fasilitas semewah ini. Jika biasanya kereta antarnegeri yang membawanya memiliki gerbong dengan isi deretan bangku sempit yang menyulitkan ruang geraknya, kini ia mendapat kereta dengan fasilitas mewah dengan ruang luas yang akan membawanya dalam perjalanan tiga hari tinga malam. Menembus hutan, sungai, lembah, juga melewati tiga negeri luas di utara dan barat.
Beberapa menit berlalu. Merasa semua persiapan telah usai, kereta bergerak meninggalkan peron. Meninggalkan stasiun Kota Natcattira. Pindah lagi, pikir Ren, semakin jauh dari Tropicae. Maniknya menatap keluar jendela kaca. Memperhatikan pemandangan terakhir Natcattira.
"Rise, tidak bisa!"
Seruan Lya mengalihkan Ren. Perempuan bersurai pirang itu sibuk berteriak sembari mencoba merebut sekotak cokelat dari tangan Rise.
"Kalian, jangan berebut." Deaz datang sebagai penengah. Ia mengambil santai kotak cokelat yang dipegang Rise. "Jangan seperti anak kecil." ia berujar sembari memasukkan cokelat ke dalam mulutnya.
"Deaz ..." Lya menggeram. Memberi tatapan maut pada Deaz yang tanpa rasa bersalah mengulum cokelat di mulutnya.
"Kak Deaz curang!" Rise ikut bersorak.
Mereka semakin riuh saat Lya dan Rise mencoba merebut cokelar dari tangan Deaz yang panjang. Ren terkekeh, tak bisa tahan melihat kelakuan ala bocah orang-orang di depannya. Yah, setidaknya suasana tidak jadi membosankan. Walaupun fakta mereka mengabaikan Ren masih belum berubah.
Ren mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Menatap rimbun pepohonan, sungai-sungai yang mengalir sepanjang rel, juga pemukiman yang berlalu cepat saat kereta melintas. Tak lama, ia beranjak. Bermaksud berkeliling ke gerbong depan. Lagi pula, kereta tidak akan sampai dalam waktu lima menit. Ada banyak waktu untuk dirinya bersantai. Tak ada yang memperhatikan saat Ren beranjak. Gadis itu juga tak menemukan Vier, satu-satunya orang yang ia kenal di sana.
Pintu antargerbong berderit samar kala Ren membukanya. Gadis itu menjejaki gerbong empat. Di sana terdapat bilik-bilik kamar yang jika dilihat fasilitasnya cukup lengkap dan nyaman. Lorong yang tercipta karena bilik kamar--yang lebarnya cukup dimasuki dua orang--membawanya maju ke arah gerbong selanjutnya. Gerbong tiga diisi dengan kursi-kursi berjajar selayaknya kereta antarnegeri yang biasa Ren tumpangi. Namun, jarak antar kursi nampak cukup lebar. Hingga hanya ada beberapa barisan.
Ren menengadah, menyadari pola tiap kain beledu yang membalut dinding-dinding gerbong selalu berbeda. Dari mulai warna hingga coraknya. Namun, setiap coraknya memiliki kesan mewah yang kuat. Tangan Ren mengelus kain-kain halus yang membalut kursi-kursi empuk di gerbong tiga. Ia masih asik berjalan sembari bersenandung pelan hingga dirinya sampai di depan pintu menuju gerbong berikutnya.
Gerbong dua tak jauh berbeda dengan gerbong tiga. Isinya dipenuhi deretan bangku-bangku. Namun, yang membuat Ren tertarik untuk tinggal sejenak adalah jendela yang lebar menghias dinding gerbong itu. Seakan memiliki maksud untuk menunjukkan bentang alam di luar dengan maksimal. Gadis itu duduk di deret bangku tengah dekat jendela. Mengamati pemandangan yang tersaji di luar sana. Hutan-hutan cemara berkelebat cepat. Menandakan kereta melaju dengan kecepatan tinggi. Menembus kabut hutan pada jalanan meliuk di tepian hutan.
Menghela napas, Ren menyandarkan punggungnya. Lembut dan nyaman. Siapa sangka dirinya yang dulu menumpang kereta biasa sudah terasa mewah, kini malah menumpang kereta kelas VVIP yang belum tentu salah satu anak kelas A di Royal High School dapat menjejak ke dalamya. Ia tengah beruntung.
"Ren Leighton!"
Ren terlonjak. Merasa terpanggil, ia tertoleh pada arah suara. Ms. Delian berdiri di depan pintu antara gerbong dua dan tiga.
"I-iya."
"Ah, benar, ya." Ms.Delian berjalan mendekat ke arah Ren. "Aku mencarimu ke mana-mana."
"M-maafkan saya."
"Ah, tak apa. Menikmati pemandangan?" Ren mengangguk. "Kaubisa melanjutkannya nanti. Ini waktunya makan siang."
"Baik."
Selepas makan siang, Ren menghabiskan siangnya di gerbong lima. Ia menyibukkan diri dengan mengutik ponsel sembari mengunyah keripik kentang yang ia temukan di nakas dekat tempatnya duduk. Rasanya sebungkus keripik kentang ukuran sedang itu tak lagi muat masuk ke dalam perutnya. Ia sangat kenyang.
Di sisi kursi lain, Vier tengah sibuk dalam dunianya sendiri. Ia mendengarkan musik lewat head phone sembari membaca novel. Menganggap musik yang diputar sebagai backsound atas serangkaian kisah yang dibacanya. Di sampingnya, Rise memeluk bantal bulat. Duduk anteng sembari menonton acara pada TV layar datar. Lya sendiri malah sudah terlelap di atas kursi panjang yang dipenuni dirinya sendiri. Yang tidak Ren lihat hanyalah laki-laki dengan surai kadru ikal yang sebelum makan siang nampak berebut cokelat dengan Lya dan Rise.
Kling!
Ponsel Ren kembali berdering. Satu dua notifikasi Let's Chat muncul di layar utama. Semuanya dari Syira. Perempuan itu sibuk menyiapkan sederet pertanyaan yang harus lekas Ren jawab sebelum pertanyaan lain Syira kirimkan. Gadis bersurai cokelat itu sesekali terkikik dengan tanggapan Syira. Dia tetap terlihat cerewet walaupun bicara dalam bentuk chat.
Beberapa menit berlalu. Ponsel Ren berhenti berdering. Ia memutuskan untuk mengantonginya dan kembali ke aktvitasnya bersantai ria sambil mengagumi pemandangan di luar kereta.
Ren beranjak lagi dari duduknya. Mengambil posisi semula di gerbong dua. Pemandangan yang berkelebat cepat tak membuatnya jengah. Malahan terus membuatnya terkagum. Gerbong dua lengang ikut membuatnya leluasa menikmati pemandangan.
Ren melemaskan punggung, menyandarkannya pada sandaran kursi berbalut beledu. Sangat nyaman. Merasa sunyi gadis itu menggapai ponsel di sakunya. Memilah lagu yang kiranya cocok untuk menemaninya saat ini. Sebuah lagu menjadi pilihannya, tertulis di sana When Can I See You Again_Owl City. Lagu yang selalu memberinya cerita seperti sebuah dongeng, memberinya ingatan seolah kenangan, juga memberinya semangat selayaknya motivator.
Lagu mulai berputar, Ren memasang ear phone pada telinganya. Memasangkan posisinya hingga dirasa nyaman.
Switch on the sky and the stars glow for you
Go see the world 'cause it's all brand new
Don't close your eyes 'cause your future's ready to shine
It's a matter of time, before we learn to fly
Welcome to the rhytm of the night
There's something in the air you can't deny
Ren menatap kelebatan pemandangan, sembari ikut bersenandung pelan.
It's been fun but now i've got to go
Life is way too short to take it slow
But before i go and hit the road
I gotta know, 'till then
When can we do this again
Oh oh oh oh
When can i see you again
Oh oh oh oh
When can we do this again
Oh oh oh oh
Whe can i see you again
Oh oh oh oh
Lantuanan lagu mulai berputar dan memberi segambaran cerita pada Ren. Mengingatkannya tentang Tropicae. Tentang hal apa saja yang pernah ia lakukan dengan kakaknya. Kapan dirinya bisa bertemu dengan mereka lagi? Ia merindukannya. Ren mengehela napas melanjutkan senandungannya yang seiirama lagu.
Joined at the hip, yeah your sidekick need you
Life is a trip down the road that lead you
Look all around at all the montain you haven't climbed
It's just matter of time, before we learn to fly
Welcome go rhythm of the night
There's something in the air can't deny
Tanpa sadar lagu itu menghanyutkan Ren lebih dalam. Semakin dalam. Hingga ikut terlarut menjelajah makna lirik puitis yang indah. Kesunyian sekitar tertimbun keramaian lagu yang Ren dengar. Dirinya mulai lelah terjaga. Ren mulai menguap satu dua kali hingga akhirnya tertidur. Menjelajah alam mimpi mengikuti ritme lagu yang masih berputar di kepalanya.
"Ugh ..."
Ren merenggangkan otot-otot lengannya yang menegang. Ia baru tersadar telah tertidur hingga langit gelap. Manik kuning keemasan Ren reflek tertoleh pada kaca lebar di sampingnya. Suasana sekitar telah gelap. Lampu nampak berkelip dari rumah-rumah yang berdiri jauh di ujung pandang. Langit nampak berwarna biru tua, cerah tanpa awan. Menampilkan sekumpulan bintang yang bertabur membentuk rasi-rasi.
"Sudah malam."
Gadis itu hendak beranjak, tapi terkejut dengan kehadiran sosok laki-laki nilam yang entah sehjak kapan telah duduk di sampingnya. Ia bersedekap sembari mperhatikan wajah Ren yang berantakan setelah terbangun.
"Vier, a-apa yang kau lakukan?" Ren beringsut mundur. Jantungnya masih berpacu cepat karena terkejut. Setidaknya bukan sosok seram yang benar-benar muncul di hadapannya. Ia bisa jantungan.
"Mencarimu." Vier menautkan alis. "Ini hampir pukul tujuh. Sejak kapan kau tidur di sana? Ini sudah waktunya makan malam."
"Sudah hampir makan malam?!" Ren melirik layar ponselnya, tapi tak ada apa pun di sana. Gelap. Dirinya memutar lagu seharian sampai batrainya habis. "Aku tidur terlalu lama, tapi tetap masih mengantuk." ia kembali menyandarkan punggungnya.
"Kau bisa tidur lagi selepas makan malam," ujar Vier. Laki-laki nilam itu berdiri, lantas kembali memusatkan tatapannya pada Ren. "Ayo!"
Ren menatap Vier sejenak. Ia mengangguk dan ikut beranjak sebelum laki-laki itu kembali meraung seperti singa marah.
Berjalan di belakang Vier, Ren agak sempoyongan. Kantuknya masih belum tanggal, tapi laparnya juga tak mau kalah. Selepas makan siang perutnya penuh. Kini rasanya makanan itu telah raib tergantikan kekosongan yang membuat perutnya bergemuruh. Vier menggiring Ren yang terkantuk-kantuk ke gerbong enam. Di sana ada meja panjang yang tertempel di dinding gerbong. Juga sudah ada tiga anggota perjalanan yang lain.
"Kemana saja kau, Vier?" Deaz bertanya. Maniknya menyisir.
"Tidak kemana-mana. Aku masih didalam kereta." Vier mengendikkan bahu, sambil menampilkan raut biasa.
"Ah, terserah," kata Deaz, "kemari dan ayo makan malam!"
Ren ikut duduk di samping Vier yang kembali mengabaikannya. Gadis itu juga tampak tak peduli. Keinginannya kali ini hanya habiskan makan malam dan tidur. Kereta yang terus bergerak membuatnya sedikit pusing. Mabuk daratnya sudah lama hilang, tapi ia tetap tak terbiasa dengan perjalanan jauh dan lama.
Berbeda Ren yang hanya terdiam saat melumat makanannya, di ujug meja Lya sibuk berceloteh hingga sesekali topik yang ia bahas membuat Rise terbatuk.
"Kak, Ly ..." Rise berujar mengingatkan.
Lya nyengir. "Oh, ayolah, Rise. Kau sangat polos." ia mengendikkan bahu sembari menunjuk Rise dengan garpu di tangannya. "Apa kau tak pernah pecaran?"
"Tidak." Rise mengusap bibirnya santai dengan tisu. Ia menggapai minuman lantas meneguknya pelan.
"Apa kau tak pernah membayangkan kau akan berciuman dengan Vier?"
"Uhuk!" Rise terbatuk, hampir menyemburkan air ke wajah Lya. "Kak Lya, kau bicara apa, sih?!"
Rise memijit hidung. Air yang tadi diminumnya masuk ke hidung. Meninggalkan rasa perih di sana. Sedangkan Lya malah terbahak dengan respon Rise. Tanpa ada yang sadar, Ren hampir tersedak makanannya saat mendengar perkataan Lya yang ia yakin juga didengar Vier.
"Kau harus diajari tata krama, Lya." Deaz berujar dari ujung lain meja.
"Huu ... Aku sudah membaca satu buku tebal tentang tata krama."
"Kenapa tak kau praktikan?" Deaz mengernyit curiga. Perempuan itu tak selalu berkelakuan beres.
"Karena hanya kubaca sekilas."
Dan sisa waktu makan malam saat itu diisi oleh perdebatan antara Lya dan Deaz. Rasanya satu gerbong panjang itu hanya diisi suara mereka berdua.
Pagi-pagi selepas berpakaian kemas, Ren berjalan santai menuju gerbong lima. Berharap menemukan snack yang dapat mengganjal perutnya sebelum sarapan bersama pukul delapan.
Ren merapatkan syalnya, merasa penghangat ruangan di dalam kereta belum cukup menghalau dingin padanya. Gadis itu bahkan memakai sweeter turtle neck berlengan panjang juga blazer rajut. Berharap tubuhnya jadi lebih hangat di awal musim dingin ini.
Rise nampak duduk di salah satu sofa gerbong lima. Ia nampak asik membaca majalah sembari mengulum permen karet. Ia mendongak, menyadari Ren muncul dari balik pintu gerbong empat.
"Selamat pagi, Ren," sapa Rise ramah. "Duduklah!" ia menepuk sofa di sampingnya.
Ren mengangguk dan menurut untuk duduk di samping Rise.
"Bagaimana tidurmu?" Rise memulai percakapan. Dari sudut pandang Ren perempuan itu nampak ramah. Tatapannya nampak lembut tidak seperti mata Lya yang menusuk serupa duri.
"Tidak terlalu nyenyak," jawab Ren canggung. Ia tak pernah berbicara langsung dengan Rise, dan tak tahu orang macam apa dia. Ia tak mau salah ucap, bisa saja Rise orang yang sensitif.
"Benarkah? Kenapa?"
"Aku tidak terbiasa dengan perjalanan jauh. Keretanya terus bergerak." Ren memegang perutnya. Merasakan sebuah gejolak aneh di sana.
"Haha, perjalanan jauh melelahkan, bukan?" Rise meniup permen karetnya hingga membentuk gelembung kecil dan meletup di depan mulutnya. "Yah, bagaimana lagi. Airstreet ada di ujung tombaknya Benua Shappire." ia mengendikkan bahu.
Ren pernah mendengar tentang Tombak Benua Shappire. Itu sebuatan negeri di ujung barat Benua Shappire, Cornelisium. Negeri yang berbatasan langsung dengan zona kegelapan. Negeri di mana kuil barrier utama berdiri, kuil untuk para pemilik elemen dewa mengutkan barrier yang melingkupi Benua Shappire. Juga negeri yang memiliki barrier terkuat di seluruh Shappire. Ada yang bilang jika Cornelisium hancur, maka itu adalah awal kehancuran seluruh Benua Shappire. Menakutkan.
"Hoam, apa sarapan sudah siap?" Lya muncul dari balik pintu. Rambutnya masih berantakan.
"Kakak baru bangun?" Rise mincingkan matanya. Hampie tertawa melihat Lya yang masih menggunakan piama.
"Uhum, aku sangat mengatuk." Lya berjalan ke arah sofa panjang. Ia merebah di atas sana. Memeluk bantal bulat, lantas kembali meneruskan mimpinya yang terpotong.
"Dasar, Kak Lya." Rise menggeleng. Pandangannya beralih pada Ren. "Kau tak keberatan, 'kan, dengan kelakuannya?" ia menunjuk Lya yang sudah kembali tertidur.
"T-tidak. Tentu saja tidak."
"Baguslah. Dia selalu blak-blakan." Rise tertawa.
Ren ikut tersenyum. Dilihat dari sisi mana pun Rise selalu lebih unggul dari Ren. Perempuan dengan surai pirang keemasan itu memiliki paras yang sempurna, kuat, tekat, keberanian, juga keramahan. Benar-benar sifat unggul tokoh utama dalam cerita. Tak salah dia ada di sisi orang seperti Vier. T-tunggu! Apa? Kenapa Vier? Ren terdiam memikirkan pemikirannya sendiri, lantas tertawa dalam hati. Bodoh!
Suasana kembali sunyi. Rise kembali fokus pada majalah di tangannya. Ren sendiri malah sibuk mengamati berkas-berkas cahaya matahari yang merasuk ke celah-celah pepohonan di tepi rel dan langit di bagiang utara terlihat mendung. Padahal pagi belum menuntaskan waktunya, tapi langit di sana begitu gelap.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" Ms. Delian datang dengan berkacak pinggang. Melihat anak-anak bimbingannya masih bersantai-santai di gerbong lima. Apalagi salah satu dari mereka masih terlelap tenang di sofa panjang. "Pergi ke gerbong enam untuk sarapan! Aku akan membangunkan Nona Verrin."
Ren ikut beranjak. Mengekori Rise yang berjalan duluan di depan. Masa bodoh dengan memikirkan menu sarapan pagi ini, Ren malah memikirkan langit mendung yang melingkupi wilayah utara. Ren ingin tahu alasannya!
Ren berhenti melangkah kala mendapati Vier duduk di deretan kursi gerbong dua. Dia bersandar sembari menutup matanya. Head phone masih digunakannya seperti kemarin. Ren hanya penasaran, lagu apa yang ia dengarkan hingga terlihat nyaman di dudukannya. Bahkan, hingga tak sadar Ren berdiri di sampingnya.
Menggeleng. Ren melanjutkan langkahnya dan duduk di kursi paling depan. Ia menumpu dagunya, menempelkan sikunya pada tepian jendela lebar. Ia baru sadar, kereta melaju ke arah utara. Ke arah tempat yang dilingkupi awan mendung. Seolah tempat itu dipenuhi badai dan hujan hingga terlihat mengerikan walau dari jauh.
"Kau tak pernah merasakan musim dingin, ya?"
Ren terentak. Ia memutar pandangannya ke belakan dan mendapati Vier menyandarkan sikunya pada sandarang bangku yang Ren duduki.
"Tentu saja belum. Tropicae, 'kan, kota tropis."
"Pantas saja kau melihat awan itu aneh." Vier berpindah duduk di samping Ren. Ikut memandangi suasana di luar jendela.
"Apa artinya awan-awan itu?" Ren bertanya penasan. Ada perasaan yang menggelitik hatinya untuk segera mencari tahu.
"Kau akan tahu saat kita melewati daerah di bawah awan itu." Vier menunjuk ke arah luar jendela kaca lebar.
Ren hanya menangguk-angguk memperhatikan. Ia kembali membuang tatapannya pada suasana luar. Namun sesuatu yang dingin dari luar membuat kaca jendela berembun dan menutup seluruh pandangan Ren. Tanpa sadar gadis itu terkejut karena semua rerjadi begitu cepat. Ia beringsut ke belakang dan ubun-ubunnya menghantam dagu Vier keras.
"Aww, apa yang ..." Ren mengaduh. Menatap laki-laki yang dagunya lebam.
"Hati-hati, Ren."
"Maaf. Maafkan aku,"ujar Ren dengan raut panik.
"Tidak apa-apa," ujar Vier, "kau bisa tenang."
Menunduk, Ren terdiam. Tangannya masih mengelus ubu-ubun yang sakit karena menubruk dagu Vier dengan keras. Ia merasa bersalah. Apalagi dagu Vier sampai lebam.
"Lihat, 'kan, apa yang membuat tempat itu dikelilingi awan mendung? Kita sudah ada di dalamnya." Vier menunjuk ke arah kaca jendela yang berembun.
Ren ikut menoleh. Sikunya menghapus embun agar ia bisa melihat ke luar. Salju-salju dengan lebatnya turun dari atas langit. Membuat tumpukan di ranting-ranting tak berdaun. Sungai-sungai mengalir dengan kristal-kristal es di dalamnya. Juga tanaman-tanaman di sepanjang jalan, mereka terbalut es.
"I-ini musim dingin?" Ren terpukau. Melihat keindahan di balik tebalnya es yang menutup tanah.
"Selamat datang di negeriku, Annelosia. Negeri dengan kurun waktu musim dingin terlama."
"Ini tanah kelahiranmu?" Ren bertanya takjub. Benar-benar negeri yang indah.
Vier mengangguk. "Rapatkan syal dan mantelmu. Kita akan seharian melwati area dingin. Di dalam gerbong dengan penghangat tak akan menjamin kau tak akan kedinginan."
"Aku akan menikmati keidahan ini dulu." Ren mempelkan wajahnya pada kaca, membuat Vier menggeleng. Merasa aneh dengan kelakuannya.
"Terserah."
📎Note:
Readers: ini betulan update?
Iyalah 😂
Halo Lin kembali dengan cepat. Gatau, lagi pengen aja ngerampungin PoP: Memories secepatnya. Dan makasih untuk kalian yang terus support Lin. MAKASIH!
Walau banyak readers generasi old yang gugur ditelan waktu :') tapi Lin yakin masih ada yang nungguin cerita ini walau gak sebanyak dulu. Semoga kalian betah^^
Mulai hari ini PoP mudik yak 😂
Readers: udah rampung kali, Lin, lebarannya_-"
Gapapalah ... Yang penting hijrah pindah tempat :v
Gamau banyak cuap-cuap, aih. Maunya ngobrol ma kalian di kolom komentar. Kutunggu tanggapan kalian! Sampai jumpa^^
Regard
AleenaLin
Senin, 25 Juni 2018
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top