Chapter 5²

Matahari baru naik dua penggalah. Cahayanya agak temaram, tertutup awan-awan yang mulai berarakan. Embun-embun masih bergelantungan di balik sisi daun. Menguar hawa dingin, mengingatkan tentang musim dingin yang dapat dihitung hari. Hawa dingin luar membuat suasana agak basah. Di sisi lain, Ren merasakan yang sebaliknya. Hangat. Gadis itu masih menenggelamkan dirinya dalam selimut wol. Hingga rasa pegal mulai merambati punggung hingga lengan kirinya yang tertindih membangunkannya.

Ren berguling. Membuat posisinya tengkurap. Ia menumpu tubuhnya dengan lengan kanan, sedangkan tangan lainnya mengelus punggung. Bibirnya komat-kamit. Menggumamkan beberapa rutukan tentang seberapa kejamnya Vier mengambil alih ranjang yang seharusnya ditempatinya. Yeah, walaupun laki-laki itu lebih berhak, tapi ini keterlaluan.

"Ukh ... Punggungku." Ren mendesis sembari mengambil posisi duduk. Ia menyugar rambut yang kian nakal menutupi pandang.

"Kupikir kau tak akan bangun." Vier menumpu tubuhnya dengan lengan pada sandaran sofa. Ia meringis sembari menatap sok kasihan pada Ren yang masih mengelus punggungnya.

"Apa?" Ren balas menatap. "Kau harus tanggung jawab! Punggungku sakit."

Vier memutar tubuh, mendudukan dirinya pada sandaran sofa. "Kenapa aku?"

Ren melempar bantal sofa pada laki-laki itu. Namun, dengan mudahnya Vier menangkap bantal itu dengan satu tangan. Bahkan, di akhir gerakan jemarinya mencengkeram bantal, ia sempat tersenyum angkuh. Mengesalkan.

"Karena kau mengambil alih kasur sembarangan."

Ren menatap berang. Namun, entah kenapa dirinya nyaman dengan Vier yang seperti ini. Vier yang hangat. Bukan pangeran es seperti yang orang-orang bilang.

"Aku ketiduran," ujar Vier, "kenapa tak membangunkanku?" laki-laki itu balas memberi tatapan mengintimidasi. Tatapannya itu seakan berkata, "ini salah siapa?".

Ren menggaruk tengkuknya. Mencari-cari jawaban yang tepat. Menyibak semak-semak perdu yang menutup pikirannya untuk berpetualang. Memikirkan alasan yang logis dan tentunya tak sampai mengundang tawa dari laki-laki di depannya. Terlalu banyak tuntutan yang harus terpenuhi dalam alasannya malah membuat Ren menemukan kekosongan. Tak ada apa pun yang bisa ia jabarkan. Tak ada satu pun alasan--yang aneh sekalipun--muncul di lorong-lorong pikirannya.

"Uhm ... Entahlah." Ren mengendikkan bahu, melambaikan tangan pada pikirannya yang buntu untuk mencari-cari alasan.

"Intinya itu bukan salahku."

Vier beranjak. Ia berjalan ke arah kaca balkon yang masih tertutup dua lapis gorden. Jemarinya menyingkap gorden yang paling tebal, membuat berkas-berkas cahaya matahari pagi berebut masuk menembus kaca dan lapisan gorden tipis. Cahayanya langsung jatuh ke dalam kama, lantas memantul ke segala arah. Kamar yang tadinya agak temaram kini sedikit lebih terang.

"Cepat bangun!" Vier melempar bantal pada Ren yang hendak membaringkan dirinya lagi.

"Argh ... Vier!"

"Jangan banyak mengeluh jika kau tak puas dengan hari terakhirmu di sini."

Vier memasukkan kode nomor untuk membuka pintu. Ia sempat menoleh untuk memastikan Ren sudah bangun, lantas menghilang di balik pintu.

Ren menguap lebar. Direnggangkannya otot-otot tangan yang menegang. Ia memijit leher sejenak. Agaknya posisi tidur miring di atas sofa adalah pilihan yang buruk. Ia tak akan lagi mau mengulangnya walaupun harus membangunkan Vier yang tidur di tempatnya karena kelelahan.

Selepas melipat selimut dan melemparnya asal ke atas kasur, Ren menjejak lantai menuju balkon. Tangannya sempat meraih dream catcher yang bergemerincing tertiup angin. Manik keemasannya menyisir, mengamati dedaunan hijau yang berkerumun di atas dahan-dahan. Lagaknya musim gugur tak mempengaruhi mereka. Berbeda jauh dengan pohon apel dan pir yang ada di ujung pandang Ren. Yang tersisa hanya ranting-ranting tak berdaun.

"Musim dingin." Ren menggumam. "Bagaimana rasanya salju?" ia menengadah, menatap bumantara luas yang tak secerah pagi musim panas. Membayangkan keping-keping salju yang dingin berjatuhan dari sana.

Lelah berdiri, Ren akhirnya duduk di atas kursi rotan dengan busa empuk. Suasana tenang balkon kamar Vier memang cocok untuk bersantai. Kecuali di waktu pergantian musim seperti saat ini. Ren bisa merasakan hawa dingin yang menusuk, menembus balutan piyama tipisnya. Benar-benar dingin. "Sepertinya es lebih dingin dari Vier." Ren menggumam sembari membayangkan sikap dingin Vier kala mereka pertama kali bertemu. Ren bisa terkikik kala mengingatnya.

Tanpa sadar, puluhan menit telah berlalu. Status bebas mulai hari ini membuat Ren semangat berleha-leha. Menghiraukan udara yang kian dingin berhembus, ia masih duduk-duduk santai dengan piyamanya. Sekali dua kali angin bertiup, membuat dream chatcer bergemerincing lagi. Ren melemaskan duduk, mengamati bumantara yang masih digantungi awan. Suasana kamar Vier benar-benar luar biasa. Bahkan, jika ia jadi Vier, dirinya tak pernah akan rela meninggalkan surga dunia yang menentramkan ini. Seakan segalanya tersedia. Ketenangan yang tak akan pernah terusik.

"Oi, Ren!"

Ren terperanjat. Ia lekas menegakkan duduknya. Maniknya langsung tertuju pada siempunya suara. Vier tengah berdiri sembari menyandarkan sikunya pada kusen besi pintu kaca. Matanya menyipit. Menyisir Ren yang menatapnya dalam diam.

"Masih belum beranjak? Astaga." Vier memutar bola mata. "Kau tak menafsirkan perkataanku dengan benar."

Mengendikkan bahu, lantas kembali melemaskan tubuh. Ren kembali meneruskan kegiatan berleha-lehanya selepas Vier terdiam. Ocehan laki-laki itu tak lagi digubrisnya. Hingga sesuatu yang dingin dan basah menimpa wajahnya. Ren gelagapan. Bersegera menyeka wajahnya yang kuyup.

"Vier!"

Ren menatap tajam laki-laki yang tengah memainkan elemen air di telapak tangannya. Vier tersenyum, seakan mengatakan, "mau mandi?". Ia juga sempat terkekeh saat Ren menatapnya geram.

"Mandilah!" Vier berbalik. "Kau bau," lanjutnya diiringi kekehan.

"Oi!"

Detik jam mengisi kesunyian sejenak. Menemani Ren yang bergumam tak jelas sembari mengusap rambutnya dengan handuk. Tak lama berselang, Vier kembali muncul dari pintu. Ren heran, apa laki-laki itu tak punya rasa lelah? Ia berkali-kali menghilang dan muncul dari pintu. Terus berulang hingga membuat Ren terperangah. Dia bukan manusia.

"Ini," ujar Vier, "Mrs. Mire menitipkan ini padaku. Untukmu." ia meletakkan sebuah paper bag ukuran sedang di pangkuan Ren.

"Apa ini? Semacam hadiah perpisahan atau ucapan selamat tinggal?"

Vier tak menjawab ia hanya mengendikkan bahu, lantas membaringkan tubuhnya di ranjang. Dia menghela napas lelah. Oke, dia kelelahan. Dia manusia.

Jemari Ren memunggah isi paper bag dengan cepat. Ditemukannya beberapa sweeter rajut dan beberapa kaus wol. Ada tiga mantel, kupluk, juga syal. Semuanya jenis pakaian musim dingin. Ren tersenyum. Mrs. Mire benar-benar memperhatikannya. Sejak kecil, ia sudah sering bertemu dengan wanita kepala tiga itu. Sebagai penyumbang dana terbesar di panti, ia dan seorang laki-laki--yang jika tak salah ingat namaya Norm--sering berkunjung. Mrs. Mire pula yang menawarinya beasiswa di sekolah kenamaan yang tergabung pada Royal Academia, Royal High School. Ren tak bisa melupakan kebaikan hati wanita itu.

"Vier, kau sudah berkemas?" Ren celingukan. Mencari benda bernama koper di seluruh sudut ruangan.

"Itu mudah," jawab Vier, "tak banyak yang akan kubawa."

Ren hanya ber-oh ria. Dirinya bahkan tak tahu apa yang harus dikemas. Ia mendengkus, membuang tatapannya pada jam yang tertempel di dinding. Pukul sembilan pagi.

"Vier, aku akan jalan-jalan. Jangan mencariku."

Gadis bermanik keemasan itu melompat turun dari kursi. Ia membelitkan syal ungu di lehernya. Ia bisa membeku jadi patung es bila tak mengenakannya. Negeri empat musim agaknya kurang cocok dengan orang tropis seperti dirinya.

Vier mendeham. "Tak ada yang peduli kau pergi ke mana, Ren," ujarnya tanpa membuka mata.

"Kau jahat, Vier," ujar Ren, "setidaknya bersikaplah seakan kau peduli." Ia mendecak sembari mengenakan sepatu flat-nya.

"Terserah."

Ren menggeleng. Memasukkan kode nomor lantas menjejak keluar kamar. Ia menghirup udara dalam-dalam, tak lebih hangat dari kamar Vier. Ia malah menggigil selepas menutup pintu. Ini baru akhir musim gugur, tak bisa ia bayangkan seberapa dinginnya badai di tengah musim dingin. Padahal, orang bilang AirStreet akan lebih dingin dari Royal High School.

Udara makin terasa dingin kala kaki Ren telah menjejak keluar area asrama. Jalanan setapak sepanjang Royal Secret Garden nampak legang. Wajar saja, ini jam belajar. Kebanyakan siswa pasti tengah duduk bosan di bangku kelas mereka. Apa lagi untuk kelas XF, mereka pasti tengah menumpu dagu sembari berharap pelajaran lekas rampung. Ren tersenyum, kilas balik tentang kelasnya membuatnya agak tak yakin harus pergi. Tak akan ada lagi kelas yang bersorak-sorak kala jam kosong, atau hukuman yang dijatuhkan ke seluruh penghuni kelas karena kesalahan kecil seorang.

"AirStreet seperti apa?" Ren merapatkan syalnya. Memandangi batuan yang menyusun jalanan setapak.

Ren berhenti melangkah. Didapatinya Felix tengah bersandar sembari melemaskan bahunya di bangku kayu. Matanya terkatup. Menikmati kesunyian sekitar. Bahkan, ia tak membuka matanya kala Ren duduk di sebelahnya.

"Felix!"

Laki-laki itu mendengkus sebelum membuka matanya. Manik zamrudnya menelisir sekilas. "Apa?" tanyanya ketus.

"Bukankah ini jam belajar?" tanya Ren.

"Aku sedang tidak." Felix menjawab sembari mengatupkan kembali kelopak matanya. Ia menjawab seperti gumaman orang yang tidur.

"Kau bolos?"

"Tidak."

"Lalu?" Ren tak tahu, tapi mengajak bicara Felix yang tengah mengantuk sungguh menyenangkan. Apakan ini termasuk pengusikan?

"Hnn ... Diam dan pergilah!" Felix membuka sedikit kelopaknya. Memberikan ekspresi pengusiran pada gadis yang sibuk menyiapkan daftar pertanyaan bak seorang wartawan.

Ren tak menggubris perintah laki-laki di sebelahnya. Gadis itu malah menjatuhkan punggungnya pada sandaran bangku. Ia bersedekap, berharap tubuhnya menjadi sedikit lebih hangat.

"Ah, ayolah! Aku kesepian dan tak tahu harus melakukan apa." Ren mengatupkan matanya. Berlagak menjadi orang yang tengah sengsara.

Felix membuka mata dan menegakkan tubuhnya. Ia menyugar sejenak rambutnya yang tak lagi dijepit ke belakang. Rambutnya jadi tampak lebih panjang. "Lakukan ini," katanya sembari mendekatkan wajahnya pada Ren, "pergi dan menjauh dariku! Aku ingin tidur."

Felix beranjak gusar, tapi tangan Ren menggapai tangannya. Membuat laki-laki itu kembali duduk.

"Hei!" manik zamrud Felix mulai terhunus. Memberi peringatan mutlak pada gadis yang bersikeras bicara padanya.

"Kau tak ingin memberi kesan terakhir terbaik padaku?" Ren termanyun. "Teman macam apa kau ini?"

"Sejak kapan kita berteman?"

Felix bersedekap, mengangkat dagu dan memberi ekspresi angkuh. Ren ingin mencabiknya. Umpan balik Felix malah terasa menusuk. Seperti sekumpulan jarum kecil yang menusuk dalam waktu bersamaan.

"Menyebalkan!" Ren mencerca.

"Memang." Felix menjawab santai, kembali membuat Ren mendengkus dan memutar bola mata.

Beberapa detik berlalu dan Ren malah ikut terdiam. Ia mengumpat karena benar-benar tak menemukan topik yang dapat mengusik Felix. Laki-laki itu tersenyum puas. Ia kembali menyandarkan pungungnya.

"Kau payah."

"Terserah ..." Ren memutar bola mata.

"Kau mencoba mengusikku karena kau akan merindukanku ya?" Felix mengerling, memasang wajah angkuh.

"Omong kosong!" Ren berseru. Lagaknya kantuk Felix telah raib. "Aku bahkan tak tahu siapa yang harus kurindukan selain Syira." ia memanyunkan bibir. Merasa aneh dengan suasana ini. Apa Felix mencoba membuatnya kesal dengan berlagak sok seperti itu?

"Kau punya ponsel?" Felix mengalihkan pembicaraan. Ia menengadahkan tangannya ke arah Ren.

"Ya. Ada." Ren menunjukkan ponselnya. Ia memainkannya di antara jari-jari.

"Berikan!" Felix mengambil paksa ponsel Ren, lantas mengotak-atiknya.

"Hei!"

Felix tak mengacuhkan Ren yang mencoba merebut ponselnya kembali. Jari-jarinya sibuk mengotak-atik. Meluncur di atas permukaan layar yang licin. Hingga beberapa menit, Ren akhirnya hanya diam dan memperhatikan.

"Buat apa kau punya smartphone, tapi isinya benar-benar membosankan. Lebih baik gunakan telepati ketimbang benda seperti ini kau sia-siakan." Felix mendesis.

Ren mengernyit. Laki-laki berambut jingga kemerahan itu tak seperti biasanya. Sejak kapan ia peduli dengan apa-apa tentang Ren. Apalagi tentang isi ponselnya. Lagi pula, memang ponselnya tak banyak isi. Bahkan kontak Let's Chat saja hanya berisi Vier, Rezel, si kembar, juga Syira. Tak salah Vier mengatainya kurang up-to-date.

"Ini!" Felix melempar ponsel ke pangkuan Ren. Membuat gadis itu terlonjak.

"Apa yang kau lakukan pada ponselku?" Ren mulai mengutik ponselnya. Berharap Felix tidak tengah merusak ponselnya dengan virus, atau merubah setting-an ponselnya menjadi alay. Mengingat dia yang kelihatan ganjil hari ini.

Ren terkesiap kala puluhan notifikasi memenuhi ponselnya. Aplikasi Let's Chat mendadak ramai notifikasi. Sebuah grup chat bernama Royal High School 20th Generation membuat notifikasi penuh. Ponsel Ren terus berdering selama beberapa saat lalu kembali senyap.

"Apa ini?" Ren menatap Felix. Berharap mendapatkan penjelasan mutlak. "Aku bahkan bukan siswa Royal High School lagi selepas ini."

"Tidak? Sungguh?" Felix tersenyum miring. "Yang kutahu, kau dialihkan sementara untuk menfokuskan perkembangan kemampuanmu di sekolah kejuruan AirStreet. Kau pikir aku tak tahu?"

"S-sungguh ..." Jujur saja, Ren tak tahu.

"Sudahlah!" Felix mengibas-ibaskan tangannya. "Kau bilang tak punya orang untuk dirindukan. Kamusku mengatakan kau tak punya teman untuk mengobrol."

"Hei, sejak kapan jadi seperti itu?" Ren tersenyum kecut.

"Sudah, ah." Felix kembali menyandarkan punggungnya. "Pergi sana! Jangan ganggu aku lagi."

Ren mendecih. "Huh, baiklah." ia beranjak. "Lagi pula, masih banyak yang ingin kutemui. Kau juga tak ada dalam daftar-orang-yang-harus-dipamiti."

Gadis itu melenggang pergi. Namun, yang tak ia ketahui, Felix membuka sebelah matanya lantas tersenyum. "Gadis yang mudah ditipu."

Ren yang tadinya sempat duduk dengan Felix kini berjalan seorang diri di sepanjang jalan setapak. Ia masih memikirkan tentang gelagat aneh Felix. Tidak biasanya ia bersikap demikian. Ia terlihat lebih tenang saat keadaan normal. Seperti yang sudah-sudah. Namun, kali ini sosoknya agak lain. Apa-apaan senyumannya itu? Ren bergumam dalam hati. Mengingatnya membuat bulu romanya meremang.

Awalnya laki-laki bersurai jingga kemerahan itu terlihat biasa. Tenang dan gaya bicara ketus saat terusik. Dia juga masih sama sebagai seorang yang pengantuk dan tak acuh. Namun, semuanya mendadak terasa ganjil saat ia mulai bicara panjang lebar.

Ren menggelengkan kepalanya. "Sudahlah, Ren. Itu mukin sifat terpendamnya." ia tersenyum kecut.

Ren menghela napas. Ia celingukan sebelum akhirnya menemukan Syira yang sibuk bergulat dengan tali sepatunya.

"Hei, Syirr!"

"Ah, Ren! Hallo!" gadis itu berdiri dan mengamit lengan Ren. Ia menyeret Ren untuk duduk pada bangku di bawah pohon pir yang telah usai meranggas.

"Kau punya alasan berkeliaran di jam belajar?" Ren memincingkan matanya. Menginterogasi sagabatnya yang hampir tak pernah melanggar tata tertib mutlak Royal High School.

"Kami ada pelajaran luar ruangan dan usai lebih awal." Syira tersenyum. Lesung pipitnya yang dalam mulai terlihat.

"Syukurlah ..."

Ren menegakkan tubuhnya. Menjauhkan punggungnya dengan sandaran kursi. Tangannya meraba leher, membenarkan syal yang mulai terasa gatal di sana. Syal sungguh tak cocok buatnya. Ia lebih suka memakai baju longgar berbahan katun ketimbang sweeter wol berbalut mantel dan syal. Semuanya terasa berat saat dikenakan.

"Umm ...Ren!" Syira memanggil. Namun, tatapannya jatuh pada arakan awan yang menggantung di angkasa. "Nyamankan dirimu di AirStreet, ya! Jangan lupakan aku!" ia mengembangkan senyum. Namun, titik air mata menggenang di sudut matanya.

"Eh, S-syira," kata Ren, "jangan menangis!"

"Huu ... Ren ..."

Tangan Syira merengkuh tubuh Ren yang menggigil di sana. Mengutarakan semua kesedihan akan perpisahan dan kehilangan. Memberi isyarat pada Ren bahwa gadis itu tak lagi bisa mendapat teman langka sepatut dirinya.Ren sempat terentak, tapi lekas-lekas dihapusnya dengan ulasan senyum. Tanpa sadar tangannya mengelus punggung Syira yang ikut bergetar kala gadis itu terisak.

"Aku akan merindukan teman sehebat dirimu," bisik Ren. Bulir-bulir bening ikut jatuh. Membentuk anakan sungai di pipinya.

Pada akhirnya,mereka berdua ikut terlarut pada sebuah penyesalan akan perpisahan. Juga kesedihan akan kehilangan.

Sepatutnya manusia memang diciptakan untuk bertemu yang pada akhirnya juga harus saling merelakan untuk berpisah.

"Berhenti menangis, Syira!" Ren menegakkan bahu Syira. "Kau tahu, tampak cengeng tidak baik untuk penerus takhta tunggal kerajaan terkaya di benua ini, Nona Mirenta."

Syira menghentikan isakannya. Menatap lamat Ren yang tersenyum penuh ketulusan. Memberi tahunya tentang semua akan baik-baik saja. Percayalah!

"Kau memang sahabat yang pintar merayu."

"A-apa?"

Di sisi yang berbeda, jalan setapak alun-alun Royal Secret Garden, Felix melangkah panjang-panjang. Menjejaki batuan-butuan yang menyusun jalanan panjang yang melingkari air mancur utama. Giginya bergemeletuk. Manik hijaunya yang tajam menyisr ke segala arah. Mencari sosok amulet kurang ajar yang berjalan-jalan tanpa izin sang majikan.

"Ayolah, Felix!" perempuan berambut gelap di sampingnya bersuara. Saking sibuknya mencari, Felix bahkan tak ingat ada dia di sana. "Kupikir Orion tak akan melakukan hal yang aneh. Seperti menghancurkan area Royal High School misalnya."

"Jika kau yang mengatakan itu entah kenapa aku malah punya firasat buruk."

Felix mendengkus. Mengatur dua amulet yang turun-temurun melayani keluarganya bukanlah hal yang mudah. Apalagi dengan mengorbankan dirinya sebagai predator untuk dapat mengikat janji dengan kedua amulet. Ditambah lagi, pada masanya para predator dicap sebagai orang-orang lemah yang meminjam kekuatan soul--para jiwa yang diciptakan tanpa raga. Ia tak pernah suka anggapan itu. Kebanyakan bukan berarti seluruhnya. Apalagi kedua amulet-nya bukanlah amulet jalanan sembarangan. Mereka termasuk dalam sepuluh tingkatan tertinggi jiwa tanpa raga, soul.

"Tenanglah ... Aku tahu betul sifat Orion. Kau tahu, dia hanya perlu diajak jalan-jalan."

"Lynx, kalian serigala bukan anjing." Felix melirik amulet-nya dengan ekor mata. Daripada soul berusia ratusan tahun, dia lebih mirip perempuan sebayanya. Sungguh tak adil.

"Bukankah orang-orang sering mengira kami ini siberian husky?" Lynx mengangkat bahu sembari menampilkan raut bangga.

"Kenapa kau senang?"

Felix bergidik. Jalan pikiran manusia dan soul ternyata berbeda. Apa-apaan dengan bangga disebut sebagai anjing. Bukankah di dunia para soul anjing bukan kategori bangsawan? Lynx masih cengar-cengir. Merasa sebutan siberian husky untuknya adalah sebuah hal yang perlu dibanggakan. Aneh. Sungguh!

"Itu Orion!" Lynx menunjuk laki-laki berambut jingga kemerahan yang tengah melemaskan punggungnya di sandaran bangku taman.

Felix ikut menoleh. Ia sedikit tersentak kala menemukan 'dirinya yang lain' tengah berleha-leha di jam belajar. Orion sialan! Umpatnya dalam hati. Laki-laki itu mendekat. Menghentak kursi dengan tubuhnya.

"Orion, kau minta dienyahkan, ya!?" bentaknya melengking.

Laki-laki di samping Felix hanya membuka sedikit matanya lantas berdeham. "Halo," katanya dengan nada ngelantur.

"Apanya yang halo!?" dahi Felix berkerut. Matanya memincing, membuat ujung alisnya yang saling berhadapan ikut turun. "Jangan mengambil wujudku sembarangan! Bagaimana jika orang salah mengira aku bolos?"

Pendar-pendar cahaya membalut tubuh Orion. Mengikis tampilannya yang tadi menyerupai Felix. Rambut jingga kemerahannya memudar menjadi keperakan. Manik hijaunya mulai berubah kuning, hingga berubah seperti mata serigala sungguhan. Taring yang tadinya ia pendekkan untuk meniru Felix kembali sedikit mencuat keluar dari ujung bibirnya.

"Sudah." Orion berkata tanpa membuka mata apalagi membenahi duduknya. Ia tersenyum-senyum, membuat Felix curiga.

"Siapa yang kau tipu?" Felix membenahi duduknya. Lynx yang lelah berdiri pun ikut duduk di sebelahnya.

"Seorang gadis manis."

Tanpa bertanya pun, Felix tahu siapa gerangan. Gadis manis yang disebutkan Orion pastinya orang yang bebas di jam belajar dan tentunya punya seonggok keberanian untuk menganggunya yang tengah mengantuk. Ren Leighton. Orion tak pernah memberi embel-embel manis pada gadis yang terlihat tak lugu.

"Apa yang kau lakukan padanya?" Felix bersedekap. Tak bisa berhenti menajamkan penglihatannya pada sosok Orion yang tengah malas-malasan di depannya.

"Tidak lakukan apa pun." Orion membuka matanya. Mulai merasa kesal dengan interogasi Felix. "Hanya bersikap sedikit berbeda."

Laki-laki itu tersenyum. Membuat Felix bergidik curiga. Ia menyambar ponsel dalam saku lantas mencari nomor Ren dalam aplikasi Let's Chat. Butuh waktu sejenak untuk tersambung pada ponsel Ren.

"Ya, halo."

Suara Ren menyahut di seberang sana.

"Ren, ini Felix--"

"Felix, ada apa lagi? Sudah cukup membuatku kebingungan?"

Cara bicara Ren terdengar ketus. Meyakinkan pada Felix, Orion telah membuat keadaan menjadi janggal. Bahkan, Ren sempat memotong perkataan Felix. Fakta itu cukup menguatkan.

"Apa-apaan cara bicaramu yang seperti orang ngelindur itu?" Felix melirik Orion dengan ekor matanya. Ia masih sibuk senyam-senyum di depan sana. Menghiraukan Felix yang dongkol.

"Huh, apa? Aku? Bukannya dari tadi kau yang berlaku aneh seperti orang ngelindur. Lagi pula, tak ada geledek tak ada hujan, kenapa kau menelponku?"

"Makannya dengarkan aku dulu, bodoh! Kau memotongku!" Felix menggeretakkan gigi. Merasa lawan bicaranya menjadi agak mengesalkan dirinya. "Dengar! Yang kau temui tadi bukan aku! Kau dengar!? Sekali lagi itu bukan aku!" Felix menaikkan suaranya satu oktaf.

Jeda beberapa saat sebelum suara Ren kembali terdengar. "Oh, begitu ..."

"Aku tak bercanda, Bodoh!" Felix tersulut kala mendapat tanggapan yang terang-terang menyatakan ketidakpercayaan pada perkataannya--yang jika ditelaah--tidak masuk akal, dan terdengar mengada-ada.

"Ya, ya. Ada lagi?"

"Sudah kubilang itu bukan aku! Itu Orion!"

Pip

Felix mematikan sambungan saking kesalnya. Ia merasa dipermainkan oleh gadis bebal di seberang sana.

"Aku akan membunuhmu, Orion," desisi Felix sebelum menjatuhkan tatapannya pada Orion lagi.

Ren masih memeluk Syira hingga ponselnya berdering nyaring. Dari sanalah Ren mendengar suara Felix dalam emosi uring-uringan. Gadis itu sempat menanggapi seadanya karena Felix memang agak aneh hari ini. Namun, cercaan laki-laki itu yang kian meluap-luap membuat tawa Ren hampir pecah. Apa-apaan sikap labilnya itu.

Selepas kata Orion terucap, Felix menutup teleponnya. Ren mengernyit. Mengingat-ingat dengan jeli wajah orang bernama Orion. Ia tak pernah tahu ada orang bernama Orion di Royal High School. Mungkin dia nama saudara kembar Felix atau Orion itu nama kepribadian Felix yang lain. Ren meletakkan jarinya di dagu sembari berpikir keras. Yang pastinya orang itu memiliki wajah yang mirip dengan Felix.

"Apa yang kau pikirkan, Ren?" Syira menelengkan kepalanya. Menyadari Ren yang tak kunjung bicara.

"Apa kau tahu ada orang bernama Orion di sekitar sini?"

Syira mengernyitkan keningnya. Dahinya berkerut. Ia ikut berpikir. Orang dengan koneksi luas seperti Syira pasti mudah familiar dengan nama-nama orang Royal High School.

"Kurasa tidak." gadis itu mengendikkan bahu. "Aku tak pernah tahu."

"Ah, sudah kuduga. Felix mengada-ada." Ren mencicit sembari menatap kosong layar ponselnya yang sudah gelap.

"Itu tadi Felix?" Ren mengangguk. "Kecuali yang ia maksud adalah Orion dan Lynx. Soul yang mengabdi pada keluarga Fionelyst dari waktu ke waktu."

Ren berpikir sejenak. Maksud Syira, soul itu jiwa yang diciptakan tanpa raga? Setahunya, soul akan disebut amulet saat mereka membuat kontrak perjanjiandengan manusia. Namun, Ren tak pernah dengar tentang soul yang mengabdikan dirinya seumur hidup pada manusia.

"Dia tadi amulet?" Ren menatap Syira tak percaya.

"Sepertinya begitu."

Matahari hampir enyah di katulistiwa, meninggalkan berkas-berkas cahaya jingga. Tanpa sadar, Ren menghabiskan waktunya hari ini bersama Syira. Selepas jam belajar berakhir, Syira dan dirinya menghabiskan hari ini dengan banyak hal. Sampai-sampai ia tak ingat waktu sudah terlewat begitu banyak.

"Huh, aku lelah."

Ren merenggangkan lengannya. Sore ini ia menjejak tanpa arah ke area belakang asrama, di mana danau buatan dan pohon besar yang biasa ia singgahi bersama si kembar berada. Gadis itu tertoleh, ke arah pohon yang masih kokoh berdiri dengan daunnya yang masih lebat. Ren bahakan tak tahu pohon apa itu. Di sana, samar-samar siluet dua orang laki-laki nampak berada di sekitar pohon. Berlatar langit jingga, sosok mereka sama sekali tak terlihat. Namun, Ren tahu siapa mereka. Siapa lagi kalau bukan si kembar.

Misi terakhir, habiskan senja dengan mereka!

📋POJOK IKLAN

Halo, selain kembali melanjutkan menulis Prince or Princess buku kedua, Lin juga punya poyek baru di wattpad. Karena beberapa alasan, akhirnya Lin memutuskan mempublikasikan cerita fantasy yang satu ini sesegera mungkin.

Reades: elah, Lin. Promosi?

Anggap aja gitu^^

"Jika mimpi tak membuatku gila dan buta, maka aku akan memilikinya beberapa."

<Tahun 1025Yst--Masa di mana manusia dan siluman masih hidup berdampingan.>

Cattleya, seorang siluman kecoa yang masih berada di fase anak-anak tersingkir dari peradaban dunia siluman. Tinggal di reruntuhan Kastil Serangga dengan siluman serangga terbuang lainnya. Ia masih jadi bocah siluman biasa hingga mimpi-mimpi kecil--yang ia torehkan dalam lembaran kertas kuning--membawanya pergi jauh. Menjejak dunia manusia untuk mencari kakaknya yang pergi dua puluh tahun silam.

Namun, perjalanannya yang seorang diri tak pernah mulus. Sebuah kecerobohan yang berakibat masalah pelik membuatnya menjadi tawanan para siluman elang. Namun, hal itu pula yang membawanya lebih jauh ke dalam ruang mimpi. Sangat jauh. Hingga hidupnya ketergantungan oleh mimpi.

Namun, tak semua mimpinya membawanya dalam kebahagiaan. Ada kalanya mimpi itu akan menyakiti dirinya sendiri.

"Mimpi juga bisa membuatmu terbunuh. Berhati-hatilah, Bocah!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top