Chapter 4²
Aula utama Royal High School hampir penuh. Kursi-kursi yang berderet pun hampir semua terisi. Di antara jajaran kursi paling depan, para anggota Elite--yang sudah nampak rapi dengan seragam khusus mereka--duduk dengan mengangkat wajah mereka tinggi-tinggi. Siap menyaksikan pelantikan pemimpin mereka yang baru.
Di antara jajaran bangku yang hampir mencapai barisan terbelakang, Ren terduduk di samping Rezel. Ia hanya meringis penuh penyesalan kala Rezel marah padanya. Ini salahnya. Jika saja ia bisa lebih cepat, mungkin, mereka berdua bisa dapat tempat duduk sedikit ke depan.
"Sudahlah, Rezel ..." Ren menarik lengan baju seragam Rezel. Berharap laki-laki itu memerhatikannya. "Berhenti marahnya," mohonnya.
Rezel tak menyahut. Jangankan mengangkat bibir, mendengarkan pun sepertinya enggan. Ren hendak berakata lagi, namun, dihentikan oleh suara mikrofon yang menyala dari titik pembawa acara. Ia mendengus. "Sudah dimulai."
Serentetan acara yang panjangnya mirip gerbong lokomotif mulai berlangsung. Mulai dari sambutan beberapa orang hingga pesan dan kesan untuk ketua sebelumnya dari beberapa perwakilan. Ren menghela napas. Yang terdengar hanyalah suara yang terhantar lewat mikrofon. Wajah-wajah mereka terhalang kepala-kepala yang berjajar hingga barisan terdepan. Mustahil bisa melihat Vier dengan jelas.
"Hei, Rezel!" panggil Ren, "apa kita bisa dapat foto Vier yang bagus dari sini?" tanyanya tanpa mengharap jawaban dari Rezel. Dirinya sudah tahu, Rezel pasti akan mengatakan tidak.
Rezel berdeham. "Menurutmu?" tanyanya dengan nada sarkastik. Manik zamrudnya melirik tajam. Menguarkan aura mengancam yang membuat Ren merasakan gelnyar-gelenyar aneh yang membuat bulu romanya meremang.
Ren mendengus. Ia menyerah. Tak mau lagi bertanya pada Rezel untuk saat ini. Ia benar-benar menyusahkan orang saat marah. Tak bisa diajak komunikasi dengan benar. Ren sibuk melamun, hingga suara pembawa acara--yang menggelegar bergema di seluruh ruangan--menyatakan kini saatnya puncak acara. Penobatan Vier sebagai ketua Elite yang baru.
Ren menegakkan tubuhnya. Mengusahakan dirinya bisa melihat sosok laki-laki bermanik biru itu di depan sana. Ia terperangah. Hampir-hampir tak percaya dengan penampilan Vier di depan sana. Ia nampak umm ... memukau dengan setelan biru dan terbalut jubah kebesaran. Umbai rambut yang biasanya ditatanya rapi di depan dahi, kini dirapikan ke belakang. Memperlihatkan dahinya. Ren melihatnya lebih jeli lagi, menelisik Vier dari atas sampai bawah--walau sedikit berjinjit-jinjit mengintip dari balik tubuh orang-orang yang dipersilakan berdiri--dengan saksama. Memastikan dia Vier yang ia kenal.
Namun, di balik penampilan Vier yang berlipat seratus kali, yang membuat Ren semakin ternganga adalah orang yang berdiri di sisinya. Pakaiannya hampir sama dengan milik Vier, tapi dengan gradasi warna yang berbeda. Digenggamnya sebuah pedang bersarung--yang orang bilang itu pedang kepemimpinan Elite, gladius. Dia, laki-laki itu, Ren merasa sangat familier dengannya. Ia ingat betul, laki-laki itu adalah sosok pirang yang muncul awal dirinya ada di Royal High School. Orang dengan kata-kata mengesalkan yang membuat Ren naik darah. Dia orang yang mengendarai mobil yang digunakan untuk menjemput Ren saat itu. Juga orang yang menurunkannya sembarang di gerbang terluar Royal High School, padahal saat itu Ren belum tahu menahu tentang wilayah Royal High School.
"Rezel!" Ren berbisik sembari menyenggol lengan Rezel yang ikut berdiri di sisinya. "Laki-laki itu siapa?" ia memberi isyarat dengan kerlingan mata.
"Kau tak tahu siapa dia?" Rezel menggeleng kepalanya tak percaya. "Dia Ken.R.Leanque. Ketua Utama Elite, atau lebih tepatnya mantan untuk saat ini."
"Apa!?" Ren berseru cukup keras, hingga beberapa orang menengok ke arahnya. Ia lekas membekap mulut dengan telapak tangan. Memasang senyum kecut--tanda maaf--pada beberapa orang yang menatapnya.
Rezel tak menyahut lagi. Ia hanya mengendikkan bahu.
Laki-laki pirang itu--yang Rezel bilang namanya Ken--menghunuskan pedang dari sarungnya. Suara desingan bergema. Lantas, ia mendekatkan pedang itu pada Vier yang berlutut di depannya.
"Dengan ini. Aku, Ken Ryluxius Leanque. Atas nama gladius menobatkanmu, Vier Warren, sebagai Ketua Utama Elite berikutnya," ujarnya mantap. "Bersediakah kau bersumpah, berdiri di sisi gladius untuk memimpin?"
"Ya. Aku bersumpah." Vier berujar tenang. "Aku, Vier Warren, bersumpah atas nama Elite dan gladius."
Laki-laki pirang itu, Ken, mempersilahkan Vier untuk berdiri. Mengalihkan sang gladius yang berada digenggamannya pada Vier. Sebagai tanda dirinya memasrahkan seluruh tanggungan Elite kepadanya. Ia sempat membisikkan sesuatu--yang Ren tak bisa menafsirkan gerak bibirnya--pada Vier. Vier mengangguk. Setelahnya ia berbalik, menghadap pada semua orang yang hadir sembari tersenyum. Gemuruh tepuk tangan terdengar setelahnya. Ia sempat menyampaikan sederet kalimat sebagi bentuk pidato sebelum acara pelantikan berakhir.
Aula utama hampir kosong. Namun, masih ada saja beberapa orang yang namapk berbincang dengan Vier di sana. Rezel pun masih tampak diam. Terduduk melipat lengan tanpa berminat meninggalkan kursi yang didudukinya sejak beberapa jam yang lalu.
Ren merutuki dirinya sendiri. Entahlah. Keengganan Rezel untuk beranjak lagaknya turut mempengaruhi dirinya. Bahkan, rasanya berat untuk sekadar berdiri dan menyapa Vier--yang masih nampak berbincang dengan beberapa orang--dan mengucapkan selamat.
"Hei, kalian!"
Ren terkesiap. Pandangannya langsung beralih pada Vier yang berjalan medekat ke arah mereka berdua. Ren rasa, sesi bincang-bincangnya sudah usai.
"Kemana saja kalian?" tanyanya dengan mata menyipit. "Jangan bilang kalian baru datang. Teman macam--"
"Argh ... Diam kau, Vier!" potong Rezel. "Aku tak akan duduk di kursi belakang jika bukan karena dia." Ia menunjuk Ren lewat lirikan matanya.
"Hampir belakang," koreksi Ren.
Rezel mengendikkan bahu. "Siapa peduli."
Kilat flash kamera membuyarkan pertikaian mereka. Mereka bertiga--secara bersamaan--menoleh pada asal cahaya kilat barusan.
Ada Zeon di sana, dengan Zuan di sampingnya. Ia menenteng sebuah kamera. "Momen ini seharusnya diabadikan, ya Rivalku." Zeon meringis. Kelopaknya ikut terkatup saat tersenyum.
"Maksud Zeon, dia ingin berfoto," cerocos Zuan menafsirkan.
"Jangan ngawur." Zeon menyela. Kedua saudara kembar itu sempat adu tatap sebelum Zeon membuang muka. Ia memutar bola matanya. "Tapi boleh dicoba."
"Jujur," kata Vier, "aku tak mengerti apa yang kalian bicarakan. Apa itu semacam kode rahasia?"
"Entah," jawab Zeon seadanya.
Ren beranjak dari tempat duduk. Tak mau terus berdiam dan ikut terhanyut pada sisi kelam Rezel. Ia menyabar lengan Vier. "Aku setuju untuk berfoto. Bagaimana foto untuk kenang-kenangan?" usulnya antusias.
"Umm ... Boleh juga." Zuan menjentikkan jari. "Ayo berfoto!"
"Oke." Zeon mengacungkan jempolnya. "Aku akan cari orang yang bisa mengambil gambar kita." ia bergegas mendatangi seorang laki-laki yang--masih asik bercengkrama dengan beberapa temannya--duduk di deret bangku tengah.
Zuan menyeret Rezel (dalam arti sesungguhnya). Mencoba mencairkan kekelamannya. Ren hampir tertawa melihat kelakuan laki-laki bermanik cokelat itu.
"Ren," panggil Vier.
Ren sedikit mendongakkan kepalanya untuk menghadap wajah Vier. Ia terkesiap. Jantungnya terasa berdebar saat melihat wajah Vier dari jarak yang cukup dekat. Perasaan macam apa ini!?
"Berhenti memegang tanganku begitu. Berat," ujarnya membuat Ren tersenyum kecut. Kiranya, Vier akan mengatakan suatu hal yang penting. Apa-apan itu?!
"Maaf."
"Hei, kalian! Ayo!" teriak Zuan heboh. Ia nampak sudah bersiap dengan mangatur gaya tubuhnya. Sedangkan laki-laki yang tengah memegang kamera Zeon tertawa tertahan. Zuan orang yang konyol. Hal itu yang bisa disimpulkan Ren dari saudara kembar Zeon.
"Aku datang!" seru Ren menghampiri mereka. Disusul Vier yang berjalan di belakangnya.
"Untuk pelantikan si rambut biru, katakan cheese!" Zeon berseru riang. Entah, hari ini ia terlihat senang sekali. Tak seperti biasanya. Bahkan bicara pun terdengar sudah enteng. Bukan bicara terseret-seret lagi seperti orang malas bicara.
"Cheese!"
Mereka sempat mengambil beberapa gambar sebelum baterai kamera Zeon habis. Dan saat itulah sesi foto-foto mereka diakhiri kata, "yahh ...". Zeon meringis. Lupa mengisi ulang baterai kameranya semalam.
Dan kini, Ren duduk kembali pada salah satu kursi yang ikut berderet pada baris tengah. Ditemani Zuan yang comel minta ampun di sampingnya. Ia baru sadar, Zuan cerewet sekali untuk ukuran laki-laki di Royal High School. Dan Vier, yeah ... Kembali pada aktivitas bincang-bincangnya dengan orang lain. Kali ini Ren lihat, ada Lya, Deaz, juga Rise di sana. Mereka yang tengah berbincang terlihat asyik sekali membuat Ren bersungut. Vier tak pernah terlihat secerah itu saat bicara dengannya.
"Oi, Ren!" Zuan mencolek pipi Ren. "Kau melihat ke arah Vier terus, sampai tak mendengarkanku," lanjutnya menyelidik.
"Ah, umm ... Maaf." Ren menggaruk tengkuknya.
Entahlah. Rasanya ada hal yang menyakiti hatinya saat Vier bisa tersenyum lebih dengan yang lain. Bukan berarti ia tak mau Vier bahagia. Hanya saja ... kenapa tidak dengan dirinya? Apa yang kupikirkan!? Ren memijat pelipisnya, membuat Zuan mengernyit.
"Kau baik-baik saja, kan, Ren?"
"Ah, i-iya," jawab Ren, "aku baik-baik saja."
Cekret!
Cahaya silau kamera kembali membuat Ren menutup matanya. Ia mengalihkan pandangannya pada siempunya sebab. Zeon. Lagaknya baterai kameranya sudah diganti. Ia sudah sibuk jeprat-jepret sana-sini bak seorang fotografer profesional.
"Ah, begini sudah betul," ujarnya lega, "aku lupa, aku bawa baterai cadangan." lantas ia duduk di sebelah Ren.
"Huh ... Kenapa tidak dari tadi?" decak Zuan. Semangat berposenya sudah hilang entah ke mana.
"Sudahlah." Zeon membalik kameranya untuk diarahkan pada mereka bertiga yang duduk berjajar. "Ayo berfoto dengan adik perempuan temuan dan katakan che--"
"Adik apa?" potong Ren. Jika tak salah dengar, Zeon tadi mengatakan pasal adik perempuan.
"Adik perempuan temuan," ulang Zuan. "Itu sebutan resmi untukmu dari kami."
"Apa artinya?"
"Yeah, itu karena kami menemukan seseorang yang mirip dengan adik perempuan kami." Zeon mengendikkan bahu.
"Betul," saut Zuan, "kau mirip Zean, tapi disamping itu fisikmu lebih mirip Stella."
"Stella?"
"Saudara tiri kami," jawab Zeon sembari memutar-mutar kamera yang dipegangnya.
Ada jeda di mana Ren terdiam untuk berpikir. "Kalian punya berapa saudari, sih?"
Zuan tertawa. "Satu kembaran, juga satu saudari tiri." ia memberi tanda isyarat dengan jarinya.
"Apa dia masih ..." Ren menjeda. "Hidup?" lidahnya terasa kelu hanya untuk mengucap satu kata. Terlebih, mereka berdua tak pernah mengungkit tentang saudari tiri mereka.
Zeon menghela napas panjang, lantas menyandarkan punggungnya. Matanya menerawang ke atas, ke arah lampu kristal besar yang menggantung. "Entahlah," jawabnya, "kami harap juga begitu."
Ren tersentak. "A-apa maksudmu?"
"Dengar Ren, saudari tiri kami, Stella, menghilang di hari meninggalnya Zean. Yang kami temukan dari sisa peperangan itu hanya jasad Zean, tanpa Stella." nada bicara Zuan terdengar lirih pada kalimat terakhir.
Berbeda dari Zeon yang lebih suka menerawangkan pandangannya, Zuan menunduk. Menatap sepasang sepatu hitam mengkilap yang dipakainya. Ren menghela napas. Ia tahu, kedua saudara kembar itu terlihat amat berat menceritakan latar belakang keluarga mereka. Apa lagi kedua saudari mereka. Bisa Ren tangkap dari binar mata mereka, mereka kehilangan.
"Jadi ..." Ren unjuk bicara. Memecah keheningan yang menguar aura kelam. "Aku ini ... Adik temuan kalian?"
"Yup!" Zuan menjentikkan jarinya. Ia mengangkat dagunya, menatap Ren antusias.
"Hnn ... Ya." Zeon berujar setelahnya. "Jadi apa? Kalian mau foto?" ia mengarahkan lensa kameranya pada mereka bertiga.
"Oke," jawab Ren mantap.
Zuan merapatkan duduknya. "Untuk datangnya seorang saudari temuan, katakan--"
"Cheese!" serobot Ren dan Zeon bersamaan.
Ren tersenyum. Rasanya lega sekali. Seakan kedua laki-laki yang duduk mengapitnya benar-benar saudaranya. Nyaman, selayaknya berada di tengah keluarga. Berat, kala ia menyadari fakta ia akan berpisah di saat ia baru menyadari anggapan si kembar pada dirinya.
Vier menghela napas panjang. Ia mengacak rambutnya sepanjang lorong. Memebenarkan posisi anakan rambutnya seperti biasa. Ren yang berjalan di sampingnya hanya menatapnya dalam diam. Mengamati saksama aksi Vier yang gerakkannya sedikit terlihat gusar.
"Kau terlihat kesal, Vier." Ren unjuk bicara. Tak bisa lagi terus diam mengamati pergerakan abstrak Vier di dekatnya.
"Huh?" Vier terhenti untuk menatap Ren sejenak. "Apa maksudmu?"
"Argh, lupakan saja!" Ren memutar bola matanya. Berusaha keras mencari topik lain. "Oh ya, kau akan terkejut jika melihat keadaan pintu kamarmu." Ren mengerling.
"Sudah biasa," jawab Vier santai.
Ren mengernyit. "Biasa bagaimana?"
Vier hanya tersenyum. Menebar aura misterius yang membuat Ren mendengus. Ia heran betul, orang-orang di Royal High School lagaknya suka bermain teka-teki. Mulai dari kepala sekolah yang tak diketahui rupanya, wakil kepala sekolah dengan perkataan misterius, sampai ketua Elite seperti Vier.
Ren mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Merenggangkan otot-ototnya yang menegang. "Hei, Vier," katanya, "bagaimana caramu mengurus Elite jika kau ada di Airstreet untuk kedepannya?"
Vier terdiam sejenak. Ia menghela napas lantas mengaruk tengkuk. "Yeah, tentu saja sebulan sekali aku kembali ke Royal High School," ujarnya dibarengi senyuman kecut.
Manik Vier menatap lurus ke depan. Sejenak, ada kerutan yang bisa Ren lihat lada tautan alisnya. Dia kelihatan lelah, atau semua ini melelahkan buatnya. Termasuk ... Aku?
Selepasnya, suasana kembali sunyi. Ren tertunduk. Merasakan sebuah perasaan yang mengganjal hatinya.
"Vier!"
Sebuah panggilan membuat Ren ikut menatap ke arah pemanggil. Dua orang laki-laki--yang sepertinya teman Vier--berdiri berkacak pinggang tepat di depan pintu kamarnya. Tepat di salah satu tangan mereka, tergenggam sebuah kantong besar berwarna hitam. Mereka mau apa?
"Ah, kalian datang awal sekali." Vier menyahut.
"Ya, tentu saja. Kau selalu ngomel jika kami terlambat," balas seorang laki-laki bersurai ikal. Manik matanya ikut berekpresi saat dirinya bicara.
"Langsung saja," kata laki-laki yang lainnya, "ada yang akan kausimpan, atau disumbangkan semuanya?"
"Kurasa seperti biasa," jawab Vier santai.
"Sungguh? Tak ada yang ingin kau ambil?" tanya laki-laki ikal sekali lagi.
"Hmm ..." Vier meletakkan jemarinya di dagu. Maniknya menyisir di antara tumpukan kado. Walau matanya terlihat menyisir, tapi Ren tahu, tatapannya tanpa minat.
Sembari menunggu telisiran Vier berhenti. Si laki-laki ikal memasukkan beberapa kotak hadiah ke dalam kantung besar. Di bantu laki-laki di sebelahnya. Ren melongos. Lagaknya Vier sama sekali tak berminat menjamah salah satu hadiah yang terhampar di sana. Entah apalah yang menjadi landasan keputusannya itu. Tak pernah Ren temui seseorang yang dengan santainya menolak sekumpulan hadiah yang mungkin isinya barang bernilai.
"Ah, tunggu, Deliaz." Vier berujar. Jemarinya memberi isyarat pada laki-laki ikal yang hendak memasukkan sebuah buket bunga aster ke dalam kantong. "Berikan itu padaku!" titahnya.
Laki-laki ikal itu, Deliaz, mengernyitkan keningnya. Ditatapnya kembali buket bunga itu. "Kau yakin?" Deliaz tertawa. Pasalnya, keadaan buket itu dalam keadaan yang tak baik.
"Ayolah, berikan!" Vier menyeringai. Sekilas maniknya melirik Ren. Membuat gadis itu seakan terantuk sesuatu.
Deliaz memutar matanya, lantas melempar buket itu pada Vier. "Apa lagi?" tanyanya kemudian.
"Tak ada," jawab Vier, "ambil cepat semuanya agar aku bisa lekas masuk ke dalam."
Beberapa menit kemudian ...
"Oke. Semuanya selesai." Deliaz menepuk tangannya. Berlagak menghapus debu dari sana.
Laki-laki di sampingnya mengangguk. "Yeah. Dua kantung besar yang penuh," katanya, "dan berat pastinya." ia mendengus, tapi hanya ditanggapi kekehan oleh Vier.
"Terimakasih bantuan kalian berdua."
Mereka berdua mengangguk. Setelahnya mereka pergi, sembari membawa 2 kantung besar berisi hadiah. Ren sempat nyengir. Jika mereka memakai setelan merah, Ren yakin, keduanya pasti mirip Santa Clause.
Ren tersentak. Disadarinya Vier sudah tak lagi ada di sebelahnya. Ia bergegas menyusul dengan langkah tergesa. Entah apalah yang mengambil alih fokusnya, ia menubruk Vier. Tepat mencium punggung laki-laki itu.
"Hei ..." Vier mendsis.
"Uhm ... Hehe, maaf." Ren menggaruk tengkuknya. Rasanya ada yang salah. Seakan ada sebuah selubung yang mengurungnya dalam kecanggungan tebal pada Vier. Padahal, tadinya ia tak merasakan hal yang demikian. "Vier, kenapa kau ambil bunga itu?"
Vier tertoleh, lantas mengembangkan senyum misterius. "Kenapa ya?" ujarnya sembari menyobek plastik pembungkus dengan jemarinya. Ren terbengong. Sudah pasti ekspresi Vier kali ini abnormal.
"Kenapa?" Ren mengulang kembali pertanyaannya.
"Milikmu, bukan?"
Ren merasa tertohok. Bagai mata pedang, perkataan Vier--yang dibawakan dengan santai--menghunjam Ren.
"B-bagaimana kau--" Suara Ren terdengar garau. Rasanya tercekat sekadar untuk bicara.
Ia membuang muka. Mencoba seakan bersikap apatis, tapi rasanya amat berat. Malahan, pundaknya seakan dijatuhi beban rasa malu yang tak yakin bisa dipanggulnya.
Vier terkekeh. "Tentu saja aku tahu."
Setelah mengatakan yang demikian. Lali-laki nilam itu melempar batang-batang aster itu pada vas kaca di atas meja sofa. Ren tercengang. Aster yang tadinya terkulai layu, kini berdiri tegak dengan mahkota bunganya yang terlihat bugar. Seakan tadinya bunga itu masih kuncup dan merekah saat itu.
"Bagaimana bisa?" Ren beringsut duduk di sofa. Menatap kagum aster dalam vas.
Vier tak menyahut. Ia malah sibuk mencuci tangan juga mukanya di wastafel. Ren yakin, laki-laki itu tak berminat menanggapi pertanyaannya. Tentu saja. Elemen laki-laki itu termasuk elemen kehidupan. Ren lanjut terdiam. Sejujurnya, baju yang dikenakannya sudah terasa gerah. Apa lagi, ia sudah banyak bergerak dan berkeringat hari ini. Kulitnya terasa lengket. Namun, tubuhnya enggan beranjak.
Ren mengetuk permukaan meja kaca dengan jemarinya. Kegiatannya terhenti kala Vier ikut terduduk di sofa. Ia sudah berganti baju. Tadinya kemeja biru muda yang penuh emblem melekat di tubuhnya, kini ia hanya memakai kaos polos. Tangannya mengusap rambutnya yang basah dengan handuk.
"Umm ... Vier, maaf."
Vier mengangkat wajahnya. Alisnya bertaut. "Untuk apa?"
"Untuk bunganya."
Vier tertawa. Pelan namun terasa bagai dua sisi koin untuk Ren. Sebagai penghinaan juga tawa yang berasil membuat hatinya tergugah. Laki-laki itu tak lekas menyahut. Malah sibuk menyugar rambutnya yang basah.
"Yeah ... Aku tak mengharap mendapat apa pun, sih." Vier melemaskan bahu, lantas menyandarkan punggungnya. "Tapi, kalau boleh jujur, kau keterlaluan."
Ren terbatuk. "Huh, a-aku tak bermaksud begitu." Ia menggaruk tengkuknya yang serasa meremang. "Sebenarnya aku agak kesulitan mencari barang dengan uang terbatas. Lagi pula ada sedikit tragedi juga, sih."
"Uang terbatas?" dahi Vier mengernyit. "Kau kemanakan uang-uang itu?"
"Uang apa? Maksudmu uang saku tiap bulan dari ibu asuhku? Sudah habis untuk praktik kemarin, tentunya."
"Uang saku beasiswamu?" Vier kembali menegakkan tubuhnya. Melempar pertanyaan bak seorang polisi yang temgah mengintrogasi.
"Memangnya ada? Aku tak dapat, tuh." Ren mengendikkan bahu. Vier mengernyit. Namun, belum sempat ia bicara, Ren menyela."Oh ya, bagaimana dengan kado-kado itu? Kau kemanakan?"
Vier mendengus. Ia memainkan ujung-ujung rambutnya yang masih meneteskan air. "Dipilah untuk disumbangkan," jawabnya.
"Lantas, kenapa kau terima bungaku. Bukankah itu pilih kasih. Kulihat mereka semanagat sekali mencari barang untukmu." tanpa sadar Ren malah menyembur panjang lebar. Seakan sudah ikut terpengaruh cara bicara Syira.
"Bisakah kau santai?" Vier tersenyum miring. "Kau hanya tak tahu apa yang mereka lakukan saat aku menerima atau memakai barang pemberian mereka."
"Maksudmu?"
"Dari mana aku mulai bercerita," ujar Vier, "ah, ya. Saat pelantikanku menjadi ketua angkatan sepuluh Elite. Saat itu, sama seperti kali ini, hadiah menumpuk. Dan kau tahu saat aku memakai jam, salah satu dari sekian banyak isi kado itu, ada yang mengaku sebagai pemberinya dan mengatakan jika aku memakainya aku menerima cintanya. Itu gila. Seminggu penuh ia menyebar kabar hoax tentang aku yang menjadi pacarnya."
Mendengar rentetan cerita Vier membuat Ren ikut kesal. Entah kenapa, dirinya juga tak rela Vier diaku-aku seperti itu. Yah, walaupun saat itu terjadi, dirinya belum mengenal Vier.
"Baiklah." Vier berdiri lantas mengibaskan handuknya. "Sebaiknya kau cepat mandi dan bersiap untuk makan malam."
Klek
Pintu kamar Vier terbuka. Setelahnya, Ren berhambur masuk lantas merebahkan dirinya di atas sofa. Ia berguling ke kanan, mengambil possi tengkurap, lantas meluruskan tangan ke depan.
"Ugh ... Aku mengantuk ..."
"Tidur sana!" Vier menjatuhkan bantal sofa tepat mengenai kepala Ren.
"Ya. Setelah aku membersihkan gigiku." Ren meringis. Menjereng giginya yang tersusun rapi. "Menu daging malam ini sepertinya menyelip."
"Itu menjijikan, Ren." Vier mendesis. "Cepat bersihkan!" titahnya.
Ren melongos. Ia segera beranjak menuju kamar mandi. Bebera menit kemudian ia kembali. Sembari mengelap wajahnya yang basah dengan handuk, ia memendarkan pandangannya ke seluruh sudut kamar. Sudah tak ada Vier. Yeah, mungkin, laki-laki itu sudah bertandang ke kamar Rezel. Ren meringis. Tak bisa ia bayangkan bagaimana suasana kamar Rezel saat ada Vier. Terlebih, kerap kali Vier kembali dengan wajah manyun.
"Hoam ..." Ren merentangkan kedua tangannya. "Saatnya tidur."
Ren berlonjak. Melempar handuknya asal. Mengambil ancang-ancang untuk menyelam ke dalam selimut. Ia hampir terlonjak kala menemukan Vier sudah menempati ranjang. Dengan nyenyaknya ia tidur di sana. Membenamkan setengah tubuhnya dalam selimut.
"Oi, Vier!"
Ren mengguncang tubuh Vier. Sudah tak tahan lagi dengan kantuknya. Namun, diurungkan niatnya untuk melanjutkan kembali kegiatan membangunkan Vier. Mungkin, laki-laki itu terlalu mengantuk untuk melakukan lintas kamar. Vier tertidur. Dalam pandangan Ren, wajah Vier saat itu terlihat lelah.
"Yeah, umm ... Oke aku cari tempat lain untuk tidur," gumam Ren.
Maniknya menyisir. Mencari tempat di mana ia bisa merebahkan punggung. Gadis itu menjentikkan jari kala ia menemukan sofa besar di sisi kamar. Ia melompat ke atasnya. Cukup nyaman untuk tidur. Selagi ia tak banyak berguling saat tidur.
"Selamat malam."
📎Note:
Hai! Selamat hari Rabu. Uhh ... Jadi ingat RABU EMEJING :v
Readers: Kemana aja lu, Lin?! 😠
Ahahaha ... 😅 kan, Lin udah bilang. Lin hampir gak punya waktu buat nulis. Ujian sebentar lagi. Dan sekarang pun lagi PAS (Penilaian Akhir Semester) maka dari itu, mungkin, PoP akan update secepat-cepatnya ±sebulan sekali. (Kalo bisa, sih, mau 2minggu sekali, tapi entahlah. Liat aja kedepannya).
Readers: yaelah, Lin. Lapak sebelah yang penulisnya juga lagi mau ujian rajin update.
Yah, itu, kan mereka bukan Lin 😅
Jadi, begitulah. Maafin Lin ya :' makasih buat kalian yang terus semangatin Lin. Tanpa kalian, POP bukan apa-apa dan gak akan jadi seperti ini 😊
Tolong typonya :v
Salam
AleenaLin
🐣
📍POJOK PROMOSI
Hei, hei! Lin juga lagi ngerjaiin projek baru,nih. Kali ini Lin gak sendiri. Projek kali ini adalah kolaborasi Lin dengan Kakku Defon_
Santai ... Projek ini gak akan ganggu keberlangsungan PoP kok. :" jangan panik gitu 😁
Jadi, Lin harap salah seorang kalian mau mampir. Tapi, ingat. Kami sama-sama baru pertama kali collab jadi masih banyak kekurangan. Kritik & saran kami terima tentunya.
Ini dia judul projek kami,
Dengan akun collab kami,
Terimakasih buat kalian yang sudah mampir 😋
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top