Chapter 30²

Saat terbangun, Ren merasakan punggungnya sakit. Mungkin karena sempat menghantam dinding dan mengalasi tubuhnya di lantai yang keras dan dingin selama beberapa saat. Gadis itu mengerang. Ia berguling, mengambil posisi tengkurap dan berusaha untuk bangun. Kepalanya pening. Mungkin karena ingatannya tiba-tiba kembali dan banyak yang harus kepalanya simpan. Hawa dingin menguar dan menggelitik tengkuk Ren. Ia sontak mengedarkan pandangan. Dirinya masih di tempat yang sama sejak sebelum kehilangan kesadaran. Masih ada batangan-batangan besi melingkarinya, seperti sangkar yang merenggut kebebasan burung.

Ren beranjak berdiri, jemarinya menggapai batangan besi. Keras dan dingin. Mungkin butuh sedikit usaha untuk membuatnya hancur. Yah, semoga saja batangan besi itu tidak dililit rune, atau usahanya akan berakhir sia-sia. Baru saja akan mengaktifkan elemen, suara langkah seseorang menghentikannya. Gadis itu memasang tatapan siaga, lantas mundur beberapa langkah ke belakang. Sosok Edgar muncul dari keremangan lorong yang hanya diterangi obor. Laki-laki itu menatapnya sejenak sebelum berkata, "Kau sudah sadar rupanya."

Mengertakkan gigi, Ren menatap Edgar tajam. "Apa yang kau inginkan?" geramnya.

Ren lihat bibir Edgar naik, dia tersenyum. "Tenanglah," katanya. Laki-laki itu lantas menyandarkan punggungnya pada batangan besi, ia melipat lengan. "Ini bukan perintah Ratu Besar," tambahnya.

Dengan tetap siaga, Ren menatap punggung laki-laki itu dalam diam.  Ia memang tenang, tapi siapa tahu dia akan menyerang tiba-tiba lagi. Dirinya sudah cukup tertipu satu kali dan tak akan kehilangan senjatanya lagi.

"Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Ren pada akhirnya, selepas suasana hening yang terbentang antara mereka. 

Edgar melirik Ren lewat sudut matanya. Namun, arah penglihatannya itu lekas kembali mengarah ke depan. Seolah menatap sesuatu yang bersembunyi dalam kegelapan dan menyapanya. "Kau mau membuat kesepakatan dan membantu kami?"

Ren mengernyit, menatap punggung Edgar kebingungan. Apa yang bisa ia bantu? Mereka semua kelewat profesional sampai membuat Ren bergidik. Rasa-rasanya tak akan membutuhkan bantuan tak berarti dari seorang Ren Leighton. Kecuali jika bantuan itu maknanya membawa semua pemilik elemen dewa ke penjerat kematian ini. Ren menghela napas, lantas tersenyum masam. Ia tak akan melakukannya lagi.

"Sudah kubilang ini bukan perintah ratu," kata Edgar memutus pemikiran Ren. Laki-laki itu seolah membaca Ren yang tengah menimbang-nimbang keputusan. "Bisa dibilang, ini adalah pemberontakan terhadap ratu."

Ren melotot. Apa telinganya tak salah dengar? Bagaimana mungkin servant yang setia dan terikat bisa memiliki niatan memberontak? Apa mereka tak takut mati? "Kau tidak sedang mencoba memperdayaku dengan bilang, 'kita di pihak yang sama', kan?" Ren tersenyum sinis. Di belakang punggung, elemen bergejolak pada permukaan telapak tangannya. Siap menciptakan senjata mematikan yang ia anggap mampu melumpuhkan sekali pun digunakan oleh orang lemah.

Edgar terkekeh. Ia menoleh pada Ren dengan punggungnya yang masih bersandar. "Mau bertaruh aku tak akan memperdayamu kali ini?" Laki-laki itu melempar sesuatu yang sontak ditangkap Ren dengan tangkupan tangan. Sebuah kalung. Belati perak! "Nah, mau kerja sama dengan kami, atau membiarkan temanmu mati satu per satu?"

"Kau yakin ini tidak merugikan salah satu dari kita?" Ren menggegam erat belati perak. Tatapannya menajam.

"Ini semacam simbiosis mutualisme. Kau tak perlu takut."

Pernah dengar istilah musuh dari musuh adalah kawan? Jika memang benar kini Edgar dan kelompoknya--entah berapa orang-- menjelma sebagai pemberontak, maka Ren berkesempatan menggapai uluran tangan dari mereka.

Ren terdiam. Gejolak elemen di belakang punggungnya mulai padam. Gadis itu lantas menghela napas panjang. Apa tak masalah jika ia mencoba percaya pada orang mencurigakan untuk kedua kalinya? Ia tak akan jatuh ke dalam lubang yang sama, kan?

Elle, bagaimana menurutmu.

"Kurasa boleh dicoba. Lebih baik jika kau mengambil jalan yang punya resiko. Semuanya akan lebih cepat selesai." Suara Ellea menggema dalam pikirannya, membuat Ren menghela napas, lantas mengangguk pada Edgar.

Pemberontak dari pemberontak? Lucu juga.


Obor yang tertanam di dinding lorong tampak meremang. Hanya ada beberapa obor yang apinya masih menjilati udara. Sisanya padam entah kenapa. Dalam keremangan itu, Ren mengikuti Edgar yang melangkah tanpa suara. Laki-laki itu meminta Ren agar tak membuat kebisingan. Lebih-lebih membuat yang lainnya terbangun dan semuanya akan lebih rumit. Bagaimana pun juga, status Ren di kastil hitam saat ini adalah tawanan. Barang bekas yang habis sekali pakai. Ren menggumam dalam langkahnya yang senyap.

Sebuah pintu terbuka di sisi lorong, membuat cahaya obor yang benderang menyorot keluar. Edgar menarik Ren lekas ke belokan lorong. Laki-laki itu juga membungkam mulut Ren dari belakang. Langkah kaki yang mendekat membuat Ren menahan napasnya di tengah bungkaman Edgar. Jantung gadis itu berdetak kencang, menyeru-nyeru di dalam dadanya. Melihat kegelisahan Ren, Edgar mendekatkan bibirnya ke telinga gadis itu, lantas berbisik, "Tenanglah."

Namun, wajah seseorang yang menengok ke arahnya dari titik buta belokan lorong hampir membuat Ren menjerit--kalau saja Edgar tak membungkam mulutnya.

"Well, kau di sini," kata seseorang yang wajahnya tak terlihat jelas dalam kegelapan.

Tubuh Ren gemetaran. Masa ketahuan secepat ini? ungkapnya dalam hati. Jemarinya mencengkeram lengan Edgar yang masih dalam posisi membungkamnya.

"Bisakah kalian tidak melotot padaku seperti itu?" kata sosok itu lagi. Suaranya terdengar tak terima.

Setelahnya, Ren dengar kekehan dari Edgar. Laki-laki itu melepas bekapanya dan merangkul Ren--membuat tambahan beban di pundak gadis itu. Oh, ayolah, tidakkah ia berpikir lengannya seperti kaki gajah? Berat. "Hanya sedikit mendramatisir. Bukankah ini seru?"

"Apanya?" Sosok itu berkata ketus. Ia lantas berbalik dan memberi isyarat Ren dan Edgar untuk mengikutinya. Dari suaranya, Ren rasa dia perempuan. Perempuan dengan kaki jenjang dan manik hazel yang berbinar samar di kegelapan.

Edgar menepuk bahu Ren, memberinya isyarat untuk mulai melangkah. Lorong remang menyapa Ren setelah menuruni tangga berulir--yang dirinya sendiri tak ingat letaknya di sebelah kastil yang mana. Pencahayaan obor semakin jauh semakin berkurang. Pupil mata Ren melebar di tengah kegelapan, mencoba tetap fokus pada perempuan yang memandu jalannya. Ia sungguh tak suka gelap. Ia tak tahu apa yang ia injak atau yang ia sentuh. Semuanya terlalu mengerikan untuk dibayangkan. Setelah lorong-lorong gelap berlalu, di ujung lorong ada sebuah pintu. Tanpa ketukan atau permisi, perempuan yang memandu Ren membuka pintu.

"Tums, kami sudah membawanya."

Mata Ren menyipit saat cahaya benderang merasuki retina matanya. Gadis itu hanya terdiam di depan pintu saat Edgar dan perempuan yang tak ia ketahui namanya masuk. Di dalam sudah ada tujuh orang yang duduk mengitari sebuah meja bundar. Semuanya menatap ke arah Ren. Namun, Ren terdiam bukan karena merasa terbebani dengan tatapan mereka, tapi ia hanya penasaran kenapa ada Tums di sana? Laki-laki itu tampak duduk di salah satu kursi, memegang beberapa lembar kertas dan sebuah pulpen. Dia adalah tangan kanan ratu besar. Kesetiaannya pasti melebihi siapa pun di kastil ini. Apa Edgar hendak memperdayanya lagi?

"Berhenti berdiri di sana dan masuklah, Ren."

Suara Tums membuyarkan lamunan Ren. Namun, bukannya lekas menuruti perkataan laki-laki itu, ia malah tersenyum sinis dan berkata, "Bagaimana bisa aku percaya ini bukan jebakan."

Tums menatap Ren sejenak, tak lama dia tersenyum dan menggeleng. "Kau tampaknya pengidap paranoid. Apa kami kelihatan akan menipumu?"

Ren mendecak. "Bukan kalian, tapi kau. Bukannya kau yang paling setia pada ratu. Untuk apa aku bekerja sama dengan tangan kanan ratu yang notabenenya ada di pihaknya."

"Jaga omonganmu, sialan!" Laura berdiri dari kursinya dengan murka, seolah akan segera mencabik wajah Ren. Namun, seorang perempuan di sisinya berusaha menahan. Hingga perempuan itu tak dapat langsung menubruk Ren dan menghabisinya.

"Sebaiknya kau masuk dulu. Semuanya akan kacau jika ada yang tahu kita berkumpul di sini."

Edgar menghampiri Ren dan mendorong punggungnya. Ia juga menutup pintu dengan pandangan siaga. Memastikan tak ada seorang pun yang tengah memperhatikan mereka. Di luar ruangan, lorong masih saja gelap dan hampa. Namun, siapa tahu ada pengamat-pengamat dengan mata dan pendengaran yang tajam tengah mengintai rapat mereka.

"Duduklah dulu, aku akan jelaskan semuanya." Tums berkata dengan artikulasi khasnya.

Edgar menarik kursi dan meminta Ren untuk duduk. Mengabaikan tatapan was-was gadis itu yang sudah mirip singa betina yang siap menerkam. Ia tak tahu apa yang sudah terjadi dengannya, yang pasti kepribadiannya berubah separuh. Ia bahkan tak takut lagi menatap mata orang-orang. Lagi, mampu memberi tatapan tajam yang penuh ancaman. Sungguhkah gadis itu tak tengah dirasuki sesuatu?

"Kurasa Edgar sudah menjelaskan garis besarnya padamu." Tums berhenti memperhatikan kertas-kertas di tangannya. Manik jelaganya kini mengarah pada Ren. "Mungkin kau meragukanku, tapi percayalah aku bukanlah pengabdi ratu seperti yang kaupikirkan."

Ren tersentak saat Edgar menyentuh kedua bahunya. Gadis itu ingin segera menepisnya, tapi tak ia lakukan. Mereka tak mencoba melakukan muslihat hipnotis lagi, bukan? Ren menggigit bibir. Sepertinya benar, ia mulai paranoid.

"Lemaskan bahumu," kata Edgar, "kau sudah melalui hari yang berat. Kau aman bersama kami. Percayalah."

Menghela napas panjang, Ren menyandarkan punggungnya dan mencoba tenang. Ia punya Ellea, ingatan, juga belati perak. Tak perlu takut. "Aku akan dengarkan semuanya."

Tums mengangguk dan mulai menjelaskan rencana yang telah mereka susun. Ren tak tahu sejak kapan jelasnya kelompok kecil ini mulai merencanakan pemberontakan. Walaupun dengan sembilan orang, Ren rasa mereka tak bisa diremehkan. Terlebih, Tums akan tahu banyak rahasia dan bagaimana memboikot dengan sempurna, bukan?

Rencana mereka akan dimulai besok sebelum subuh. Saat obor di lorong masih dalam cahaya remang, secara berkelompok mereka akan melumpuhkan para penjaga. Sebisa mungkin tidak menyulut keributan. Karena dengan jumlah mereka yang minor, mereka akan kewalahan. Subuh hari, orang-orang yang menjaga pintu ruang takhta akan kelelahan karena berjaga semalaman. Maka dari itu, melumpuhkan mereka adalah perkara mudah. Tujuan mereka esok itu hanyalah mengantarkan Ren tanpa luka ke ruang takhta. Membawa gadis itu bertatap muka dengan Ratu Besar Zenaide dan rencana utama akan dimulai; Membunuh ratu. Ren tak tahu apakah tugas yang diembannya besok akan betul ia laksanakan dengan tuntas. Mengapa ia jadi pion utama di saat yang kurang tepat begini?

"Jika kalian ingin membunuh ratu, mengapa tak kalian lakukan sendiri?" Ren memicingkan matanya curiga.

Wajah-wajah orang yang duduk mengitari meja berubah. Sebagian besarnya tampak masam. Ren bisa lihat dengan jelas Laura mengertakkan giginya. Setelah terdiam cukup lama, Edgar memecah keheningan. "Kalaupun bisa, kami sudah melakukannya sejak lama." Laki-laki itu masih berdiri di sisi Ren, mengetuk-ngetukan jarinya pada meja. "Kami terikat padanya. Kami tak mungkin bisa melawan tanpa orang luar."

Ren mengangguk samar. Penjelasan itu rasanya cukup baginya. Mereka dan ratu besar seumpama budak dan majikan yang di masing-masing jari mereka dililit benang sumpah. Budak tak akan menyakiti majikannya. Walaupun berusaha sekeras apa pun, mereka takkan mampu melakukannya. Sekalipun hanya membuat goresan kecil di wajah majikan. "Aku mengerti," gumam Ren.

"Jadi?" Tums kembali bicara. Ia tampak memperhatikan Ren dengan pancar mata penuh permohonan. Kalaupun Ren menolak, mereka juga tak bisa melakukan apa pun. Bahkan untuk cara terkasar sekalipun; mengancamnya. Gadis itu punya precious dan dia sangat kuat. Bukannya berhasil lolos dari Ratu Besar, mereka hanya akan jadi mayat yang tercabik di tangan gadis itu.

Ren menghela napasnya. Ini waktunya memutuskan. Gadis itu mengangguk. "Aku akan melakukannya. Aku sungguh memerlukan bantuan yang sama pula. Aku ingin menyelamatkan teman-temanku, tanpa luka. Dan mengakhiri segalanya. Apa kalian bisa menepati itu?"

Semuanya mengangguk seolah sudah siap mengorbankan apa saja yang mereka punya.

"Apa yang terjadi jika aku berhasil membunuh ratu?" Rasanya kata membunuh yang merujuk pada dirinya sendiri membuat Ren merinding. Ia tak pernah mengotori pedangnya dengan darah yang menyiratkan hilangnya sebuah nyawa. Apa semuanya akan berakhir?

"Setelah itu, ikatan kami akan terbebas. Kami bisa membantumu dengan leluasa. Saat ini kekuatan kami tersegel separuh," sahut Edgar menanggapi.

Dahi Ren mengernyit ragu. Dengan kelompok minoritas ini, apa ia mampu membawa nyawanya sendiri dan teman-temannya keluar dengan raga yang masih utuh?

"Tatapanmu meragukan kami ya?" Laura berkata dari seberang meja. Ren tersentak. Dia tampaknya sosok yang sesinis itu. Padahal, saat pertama kali bertemu, dia sangat ramah. Bahkan, memeluk Ren dengan eratnya seolah mereka betul-betul dibesarkan bersama. Siapa sangka, itu cuma akting belaka.

"Tak apa," kata Tums, "kami memang terlihat lemah. Namun, kau hanya belum tahu kami siapa."

"Siapa?" Ren bertanya penasaran.

"Pernah dengar kisah sembilan pahlawan dari Negeri Cyclone? Mereka yang bersembilan itu mampu menyingkirkan puluhan pasukan pengkhianat dalam usaha mereka melakukan kudeta." Edgar mengangkat bibirnya angkuh, seolah tengah berusaha menunjukkan kesombongannya.

Seolah mengerti ke mana perkataan Edgar mengarah, Ren menyahut, "Oh, yang juga setahun setelah menerima penghargaan sebagai pahlawan, berkhianat dan bergabung dengan para pemberontak? Itu kalian?" Gadis itu memicingkan mata, kembali ragu.

"Sialan, aku tak tahan dengan mulutmu! Sejak kapan gadis penakut itu jadi semengesalkan ini?" Laura melempar punggungnya kasar ke sandaran kursi. Gadis itu melirik sinis dengan geraman samar yang terdengar dari mulutnya. Tampak begitu kesal dengan asumsi Ren yang begitu terang-terangan.

"Bukan berkhianat, lebih tepatnya ditangkap dan ditawan."

Ren kembali menatap Tums di ujung meja. Pancar wajahnya terlihat begitu berbeda. Ada kesedihan di sana. Sebuah keputusasaan yang hanya terkikis oleh sedikit asa yang masih tertanam dalam kepercayaannya. Ren tahu, banyak hal yang sudah laki-laki itu lalui. Masa-masa terburuk dari yang pernah Ren lalui. Dirinya kini sadar, masih begitu banyak masalah yang lebih berat dari masalahnya menimpa orang lain. Namun, mereka masih begitu tegar. Bahkan tampak tak akan kehilangan pengharapan.

"Aku mengerti." Ren mengarahkan mata pada kedua telapak tangannya. Apa kedua tangannya itu mampu--dengan tanpa gentar--menebas dan membunuh? "Aku akan membantu."

Apa pun itu, bukankah ini utangnya? Ini bukan masalah yang harus diselesaikan orang lain seperti yang telah lalu. Tanpa sadar Ren sendiri tak pernah menyelesaikan masalahnya dengan tuntas tanpa bantuan. Ia bahkah hampir tak mengetahui bahwa semua masalahnya yang lalu ikut terpikul di beban Vier.

Ren menggigit bibir. Bertahanlah, teman-teman. Bertahanlah, barrier. Bertahanlah, Shappire. Ia harap semuanya masih sempat.

Api-api yang menyulut obor di dinding berkelebat. Terhempas kerusuhan yang terjadi sejak kelompok sembilan pahlawan--yang berusaha melakukan perlawanan--melancarkan aksi mereka. Menebas orang-orang yang tadinya masih menjadi kawan seperjuangan di dalam kastil hitam. Sebelum ini, Ren sempat bertanya bukannya terlalu kejam membunuh mereka semua? Pasti ada satu dua orang yang memiliki pemikiran sama dengan mereka. Namun, Ren terkesiap saat Tums berkata dengan tegas, "Mereka tak akan pernah punya pemikiran macam itu." Tubuh gadis itu masih gemetaran hingga sekarang mendengarnya. Oleh karenanya, gadis itu hanya berdiri di belakang punggung Edgar saat yang lain tengah terlarut dalam euforia menebas mereka. Hati Ren mulai gentar. Mengerikan.

Ren menolehkan pandangannya ke belakang saat mereka mulai melangkah maju--setelah menyelesaikan beberapa orang di lorong itu. Dalam lorong yang remang oleh temaram obor, tubuh-tubuh tergolek dalam balutan cairan merah berbau anyir. Ren bergidik. Orang-orang ini betul-betul liar. Sekalipun punya kekuatan besar, Ren mungkin tak begitu yakin bisa menang dari mereka.

Ini belum sampai waktu subuh. Langit di luar masih begitu gelap. Mayoritas orang-orang di kastil masih terbuai dalam tidur mereka dan tak akan terbangun dengan sedikit kebisingan. Orang-orang yang terbangun hanyalah para penjaga shift malam yang sudah berjaga semalam suntuk. Mereka akan mudah tumbang dengan sekali tebas.

"Tetaplah di belakangku," bisik Edgar, "kau harus hemat tenagamu. Tahu siapa yang harus kau hadapi, kan?" Ren hanya mengangguk tanpa suara.

Ren tersentak saat Edgar menarik tangannya dan berlari. Gadis itu terlalu larut dalam kemelut hatinya dan tanpa sadar melamun. Sampai instruksi Tums di depan tak tertangkap telinganya. Gadis itu mengikuti langkah Edgar yang panjang dengan kewalahan. Menyusuri lorong dengan cahaya temaram yang membutakan. Mendekati belokan lorong ke arah ruang takhta, Tums menginstruksikan untuk berhenti lewat gerakan tangan. Sembilan orang di belakangnya ikut berhenti dan merapatkan diri di dinding. Di sepanjang lorong ke arah ruang takhta, sekiranya ada lima belas orang yang berjaga. Walaupun kalah jumlah, tapi para penjaga itu pastilah dalam kondisi didera kantuk. Ini mudah. Ren harap-harap cemas. Hal macam ini mudah untuk sembilan pahlawan, kan?

"Kami akan menahan penjaga." Tums berbalik badan dan mulai mrnyampaikan siasatnya. "Edgar, lindungi Ren dan bawa dia ke ruang takhta. Tugasmu sampai di sana. Dan Ren, keberhasilan misi ini bergantung padamu."

"Tidak," kata Ren, "keberhasilannya tergantung kita semua."

Tums menatapnya sejenak lantas mengangkat bibir. "Benar, kita sekarang tim." Laki-laki itu mulai berbalik badan dan mengangkat lengannya, bersiap memberi instruksi. "Ayo!"

Ren merasa tubuhnya kembali dihentak. Edgar menarik tangannya dengan genggaman kuat, seolah tak mau gadis itu lepas. Delapan yang lain sibuk mengadu pedang. Memoar kisruh di pagi buta. Suara besi yang saling beradu merangsang telinga Ren, ngilu. Penciumannya juga dengan jelas membau aroma anyir. Ini betul-betul area pertempuran. Ia serasa dibawa melintasi sebuah lembah yang tengah disibukkan oleh peperangan yang sengit. Suasana itu membuatnya pening

Sedangkan Edgar, yang kini menunjukkan punggung ke arahnya, masih menggenggam tangannya kuat dengan tangan kiri. Tangan kanannya menghunuskan pedang, siap menebas semua halangan. Mereka berusaha keras. Tak peduli seberapa banyak peluh yang harus mereka korbankan. Demi kebebasan, apa yang tidak akan mereka tukarkan? Rasanya semua ini akan jadi hal yang berbeda dengan sudut pandang berbeda. Seperti halnya Ren masuk ke dalam sudut pandang mereka masing-masing. Bagi para bangsa terang, bangsa gelap adalah monster-monster berkulit manusia. Namun, pada kenyataannya kehidupan di zona gelap tak ada bedanya. Dalam sudut pandang para pemberontak juga, mereka harus berjuang meraih kebebasan mereka sendiri yang tak pernah bisa dimiliki.

Yah, Ren belajar banyak hal. Lewat sudut pandang yang berbeda-beda, ia belajar bagaimana cara mentolerir dan bersimpati. Ada pepatah mengatakan, setiap pembaca akan mendukung tokoh utama dalam setiap cerita. Sekalipun sebuah cerita menggambarkan seorang tiran sebagai tokoh utama. Dengan sebuah latar belakang yang diketahui, pembaca akan mendukungnya. Sebuah prinsip dasar yang tak semua orang sadari.

Ren kembali dibuat terkejut saat Edgar tiba-tiba berhenti. Gadis itu mengira ada musuh dengan tatapan pembunuh menghadang mereka. Tanpa sadar, mereka sudah berdiri tepat di hadapan pintu ruang takhta.

Edgar menatap Ren dengan terengah. "Apa kau siap?"

Ren mengangkat dagunya sembari menggapai belati perak yang telah terhunus menjadi sebuah pedang perak. "Aku akan melakukan dosa hari ini. Aku siap."

"Bagus. Ayo mulai."

Ren membuka pintu dan masuk secara kasar. Tak peduli apa pun yang menyambutnya di balik sana. Tak peduli seberapa gentar hatinya. Tak peduli bagaimana tipisnya sekat antara hidup dan mati. Ini adalah langkah awalnya untuk membayar utang.

"Aku mendengar sedikit keributan," kata sebuah suara, membuat Ren mengangkat wajahnya ke depan. "Ternyata itu kau ya, Sayang."

Ren terbelalak. Mendapati Vier juga di sana. Duduk di takhta dalam diam dan pandangan kosong. Sang ratu duduk di pangkuannya. Tersenyum lebar dengan bibirnya yang dipoles merah darah. Ren mendesis. Ada rasa tak terima yang meluap di dadanya. Ia tak suka, bagaimana ratu duduk di pangkuan Vier dan membelai pipinya. Kalau saja laki-laki itu dalam kesadarannya, Ren yakin ia akan memotong kedua tangan menjijikan itu.

"Lepaskan teman-temanku, atau kau akan mati ditanganku," ancam Ren sembari memincingkan mata. Ia tahu perkataan macam ini tak ada gunanya. Namun, ia terlanjur kesal. Kemarahannya hampir sampai di ubun-ubun.

"Kenapa kau marah seperti itu? Apa Tums berlaku kasar padamu?" Wanita itu bertanya dengan suara rendah yang membuat Ren jengah. "Ah, padahal aku sudah berbaik hati dengan tidak melukaimu. Namun, tampaknya hal ini tak akan berakhir dengan tenang, 'kan?"

Ren mengibaskan pedang peraknya dan mengambil sikap kuda-kuda. Maniknya berkilat, tampak mengaktifkan kemampuan hoffan. Ia mendesis, memantapkan hatinya. Di depan sana, hanya ada ratu yang tangannya tak suka kotor. Dia bukan apa-apa melainkan pion paling lemah dalam permainan catur. Ren sudah mendapatkan pion terkuatnya, para sembilan pahlawan. Maka, menghadapi ratu bukanlah hal yang perlu dicemaskan.

"Ah, kau begitu memaksaku."

Sang ratu merentangkan kedua tangannya dan di saat yang bersamaan, sulur-sulur berduri mencuat dari dalam tanah. Jumlahnya tak terhitung dan panjangnya tak dapat Ren perkirakan. Sulur-sulur itu bergolak, bergerak liar ke arah Ren. Gadis itu mengambil napasnya panjang, lantas berlari maju ke depan. Dengan fast sight--yang kini mampu ia kuasai--ia mulai lihai berkelit. Melompat, merunduk, menebas. Apa pun gerakan spontan yang bisa ia lakukan untuk melakukan hindaran. Jarak pandang Ren berkurang dengan sulur-sulur yang merambat-rambat memenuhi pandangan. Ratu yang berdiri di hadapannya pun tak dapat matanya tangkap.

Ren mengayunkan pedang peraknya lebih agresif saat sulur-sulur yang datang ke arahnya semakin banyak. Bergolak dan berusaha menjeratnya. Rasanya jarak dirinya dan ratu besar makin jauh saja. Padahal, itu hanyalah efek dari sulur yang sulit disingkirkan. Gadis itu mengaktifkan penglihatannya lagi. Di depan sana, di balik sulur-sulur yang menghalangi pandangnya, seseorang berdiri. Tak terlalu jelas di penglihatan mata Ren yang mulai lelah. Ia harus segera mencapai sosok itu dan menebasnya.

Merasa melewati halang rintang sulur tak ada gunanya, gadis itu mengayunkan tangannya sekali lagi. Elemennya merasuk ke dalam bilah besi dan bergolak keluar sebagai nyala api. Sulur di sekitarnya terbakar dan dengan cepat berubah menjadi abu hingga tak perlu banyak usaha untuk melewatinya. Dengan lekas, Ren berlari ke depan. Menerjang sulur dengan api yang membuatnya tiada. Hampir sampai di ujung, gadis itu berguling dan berdiri dengan cepat. Pedangnya teracung ke depan dan ujungnya mengarah tepat pada sosok di hadapannya. Ren terperanjat, bukan ratu besar yang berdiri di hadapannya. Namun, Vier dengan pandangan kosong. Seolah ada cahaya yang hilang dari matanya. Vier dengan kesadaran ganda tak akan mudah terhipnotis dengan kemampuan murahan ratu besar, bukan?

Ren terpaku. Memandang Vier cukup lama. Ia bahkan tak sadar, air mata sudah sedikit demi sedikit mengalir di pipinya. Mengapa hatinya terasa begitu sakit? Ada segumpal sesak yang mengimpit kerongkongannya, membuat gadis itu sulit bernapas. Rasa bersalah kembali menguasainya. Memoar kisruh dalam pikiran. Ren terlalu terpaku dan terlarut dalam perasaannya yang kalut, hingga melupakan di mana dirinya sekarang.  Tanpa ia sadari. Sulur-sulur di belakang mulai merambat lagi dan menyabet punggungnya keras. Ren hampir jatuh karena limbung, tapi sulur itu melilit tubuhnya erat. Duri-duri kecil menancap di kulitnya. Belum sampai disitu, sulur itu kembali bergerak, mengangkat tubunya dari tanah, lantas melemparnya ke arah pilar yang menyangga atap ruang takhta. Ren mengerang dan susah payah bangun. Punggungnya sakit sekali sampai sulit untuk berdiri. Namun, pertarungannya baru saja dimulai.

"Sebenarnya kau tak perlu terluka macam ini jika kau menurut dan diam di sangkarmu." Suara ratu besar terdengar dari sisi lain. Ia hanya berdiri, mengambil jarak jauh dari Ren dan mengandalkan sesulurnya untuk bertarung. Orang bodoh pun bisa menebaknya, dia petarung jarak jauh. Seperti kebiasaannya, dia tak suka mengotori tangannya dan membiarkan para bawahan bekerja atas perintahnya. Namun, hal itu menguntungkan Ren dalam pertarungan ini. Karena kemampuan bertarungnya yang tak terasah selama ratusan tahun, kemampuan ratu besar sangatlah tumpul.

"Kau pikir aku akan melakukannya." Ren berusaha berdiri dengan berpegangan pada pilar raksasa. Kakinya baik-baik saja, luka akibat duri pun hampir tak terasa, tapi punggungnya sakit. Rasanya seperti tulang-tulangnya diremuk. "Toh, dalam pertarungan ini pun, kau tak akan membunuhku."

Ren lihat ekspresi ratu berubah. Dia tampak terkejut Ren mengetahui hal itu. Sebelum rencana pemberontakan dari sembilan pahlawan betul-betul dilaksanakan, Tums memberitahunya satu hal. Membunuh ratu besar bukanlah rencana akhir mereka. Sebagaimana pun, ratu juga merupakan boneka yang dikendalikan seseorang. Penjahat sebenarnya dalam kasus ini adalah dia. Dia yang menghasut Ratu Zenaide ratusan tahun silam, membantunya membuat pasukan, dan mengatur seluruh rencana pemberontakan. Ren juga tahu, dia menginginkannya. Kekuatan sun lebih tepatnya. Jadi, gadis itu tak mungkin terbunuh sebelum kekuatannya telah diambil. Jika ia mati, maka dia perlu belasan tahun lagi untuk menemukan pemilik kekuatan sun berikutnya.

Kebenaran itu sesungguhnya membuat Ren agak tertekan. Namun, ini adalah sebuah kenyataan yang harus diterimanya mentah-mentah.

"Aku tak peduli bagaimana caramu tahu. Aku memang tak akan membunuhmu, tapi membuatmu cacat tak ada salahnya." Sang ratu kembali mengangkat tangannya. Sulur di bawah kakinya kembali bergolak. Bergerak meliuk-liuk bagai ular yang melata. Menjijikan.

Ren menegakkan punggung. Memaksa rasa sakit untuk tidak ikut campur sementara ini. Api mulai berkobar di permukaan pedangnya. Sulur-sulur mulai berusaha menyambar tubuhnya. Menghunjam bagai hujan yang siap menerkam tanah kering. Fast sight Ren kembali aktif, menyertai dirinya yang sibuk berkelit. Pedangnya juga turut serta menebas, menghanguskan sulur kurang ajar yang berusaha menerkamnya. Di tengah kesibukannya itu, otaknya berpikir keras. Mencari setidaknya secuil ide yang dapat mengunggulkannya dalam pertarungan ini. Bagaimanapun juga, ia harus segera mengakhirinya, atau ia yang akan kalah telak karena kehabisan tenaga. Kastil hitam memiliki barrier gelap yang cukup kuat. Bukannya meregenerasi energinya, ia malah akan lemas karena terlalu banyak energi yang terserap barrier.

Karena sedikit lengah, pinggang Ren tergores sulur. Gadis itu tersentak dan hampir jatuh. Ia segera melompat mundur. Menjauhi area yang telah dilalap sulur. Ia meringis sembari memegangi pinggangnya yang perih. Bajunya sedikit terkoyak dan darah keluar dari sana. Elle, aku butuh sedikit pemikiran otakmu. Apa yang harus kulakukan? Ren mulai membuat jarak, selama dirinya harus berkomunikasi dengan precious.

"Pertarungan di tempat ini menyudutkanmu," kata Ellea dari telepati.

Aku tahu, maka dari itu aku butuh bantuanmu. Kau sudah hidup ribuan tahun dan sudah bertarung dengan jutaan orang yang berbeda.

"Mau serahkan kesadaranmu padaku?"

Dan kau yang bertarung? Tidak. Ini pertarunganku. Ren kembali melompat ke belakang saat sulur berusaha mencabiknya. Ia terengah dalam usaha hindarannya.

"Sejak kapan kau jadi keras kepala seperti ini?" Ren dengar Ellea mendecak sebelum berucap, "gunakan matamu. Kaupikir aku tak tahu kau diam-diam berlatih kemampuan paling berbahaya?"

Ren tersenyum kecut. Benar. Ia berlatih diam-diam dan menyembunyikannya dari Gael. Matanya memiliki potensi lebih dari yang ia kira. Ia bahkan tak butuh waktu lama untuk menguasai satu kemampuan. Termasuk brain control. Memang, ia tak mempraktikkannya pada subyek manusia, tapi melihat bagaimana pengerat--yang suka merusuh di kamar--menuruti apa perintahnya cukup membuktikan kemampuannya berfungsi.

Aku agak takut ini tak berfungsi.

"Ah, ayolah! Siapa yang akan kebal dengan kemampuan hoffan?"

Pembantaian hoffan yang dilakukan seabad lalu pun disebabkan karena hoffan begitu berkuasa dan tak dapat disangkal. Mereka terlalu hebat sampai bisa mengancam orang-orang.

Akan kucoba. Ren kembali menghela napas dan menutup matanya. Menguatkan tekad untuk menggunakan kemampuan hoffan--yang sebetulnya akan menghabiskan sisa energinya. Hanya sekali kesempatan. Ia gagal membunuh ratu di kesempatan ini, maka tak ada kesempatan lain. Saat membuka mata, manik Ren berkilat. Menyiratkan bahwa matanya itu siap membuat orang tak berkutik atas kuasanya. Gadis itu lantas mulai berlari ke depan. Menerjang sulur-sulur dengan tebasan tak beraturan. Saat ia berhasil memperpendek jarak dan mendapatkan tatapan mata sang ratu, ia berkata, "Dengarkan perintahku, berhenti!" Namun, sulur yang berpangkal tajam tetap bergerak ke arahnya dan siap menikam. Ren menutup matanya rapat.

Beberapa detik berlalu, tak ada yang terjadi. Ren pun tak merasakan suatu rasa sakit yang dirangsang tubuhnya. Saat gadis itu membuka mata, sulur yang tadinya hendak menikam dirinya terhenti. Berdiri menggantung begitu saja tanpa tanda akan kembali bergerak. Di depan sana, sang ratu juga berhenti bergerak. Ia mengerang-erang, berusaha menggerakkan tubuhnya yang membatu. "Apa yang kaulakukan padaku!" Pekiknya dengan suara mengerikan.

Ren kembali menghela napas. Hatinya perlahan melega. Api yang melalap pedangnya mulai padam. Dirinya kini berjalan pelan, mendekat ke arah sang ratu yang tak lagi dapat berkelit darinya. "Kuperintahkan kau untuk diam." Pekikan sang ratu berhenti. Yang tersisa hanya sorot mata geramnya.

Ekspresi Ren menegas, ia membuang hati dan belas kasihnya sesaat. Tak ada lagi gentar, ini kesempatan yang bagus untuk mengakhiri pertarungan. Tubuhnya sudah lelah dan matanya mulai perih. Gadis itu berdiri beberapa jangkah dari sang ratu dan mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. Ia menahan napas sembari mengayunkan pedangnya secara horizontal. Di saat yang bersamaan, darah berbau karat mengotori wajah dan seonggok kepala menggelinding di bawah kakinya.

Pertarungan ini berkahir.

Napas Ren terasa sesak. Gadis itu berdiri terengah dengan pedang perak yang telah berlumur darah. Jantungnya berdetak kencang. Ia tak pernah mengotori tangannya dengan darah orang lain, lebih-lebih memenggal. Membunuh adalah sebuah dosa. Dengan tubuh gemetar, Ren berbalik dan hendak menengok Vier. Namun, gadis itu kembali terbelak saat sosok laki-laki itu berdiri di hadapannya.

"Kau ini berada di pihak siapa?" tanyanya membuat Ren tercenung. Gadis itu terbungkam. Tak ada satu kata pun yang mampu ia sampaikan. Ia ingin bicara, tapi mulutnya malah terdiam.

"Ren, berikan kesadaranmu padaku." Suara Ellea kembali terdengar dalam kepalanya. "Aku yang akan bicara padanya."

Bersamaan dengan itu, pandangan Ren menggelap dan tubuhnya diambil alih. Mata yang tadi berbinar keemasan, kini berubah semerah darah. Nada bicara gadis itu pun berubah. "Halo, kau sedang berbicara dengan precious."

(*Dari mana asalnya gambar mengerikan ini?)

Note:

Hai lagi. Sepertinya untuk target update seminggu sekali gagal (lagi). Yah, karena kegiatan sok sibuk belajar buat PAT, nulis agak kewalahan. Tapi asik juga sih nulis buat refreshing otak.

Jadi begitulah, cerita ini HAMPIR TAMAT. Jadi, Lin juga semangat nulisnya hehe. Maapakan terkhusus pada para pembaca yang merasa ter-PHP (padahal Lin ngerasa gak pernah ngasih harapan). Updatenya mungkin jadi kesendat-sendat, tapi bakal selesai beberapa chapter ke depan.

Special thaks to sintamaya_ yang mau ikut berburu typo dan kesalahan lain. Dan makasih teruntuk semuanya yang telah mengikuti PoP: Memories sejauh ini.  🤗

Salam dari Lin yang ceritanya hampir tamat ;)

Kusayang kalian semua ;>

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top