Chapter 3²
Pagi itu udara serasa menusuk kulit. Menandakan musim dingin yang akan lekas datang menyapa. Ren mengemasi barang-barangnya saat itu. Memasukkan dompet, smartphone, serta barang-barang penting lainnya ke dalam tas selempang. Kamar Vier sudah sepi. Sejak subuh tadi, laki-laki nilam itu sudah hengkang dari sana. Kini, tinggalah Ren yang tengah sibuk bersiap pergi kota untuk mencari sesuatu yang bisa ia berikan pada Vier.
Ren menghela napas. Diperiksannya kembali isi dompetnya. Hanya ada enam aurum¹ di sana. Sisa dari uang kiriman dari Tropicae² untuk bulan ini. Tak banyak yang bisa ia terima bulan ini. Ibu angkatnya juga mengabari sedang dibutuhkan dana untuk perbaikan panti asuhan. Jadi, yeah, uang sakunya berkurang bulan ini. Tak disangkanya pula, bulan ini banyak hal yang harus ia beli untuk praktik beberapa mapel. Dan kemarin, baru saja ia diberitahu Rezel--dengan pincingan mata seperti bentuk ancaman--ia harus menyiapkan sebuah hadiah sebagai ucapan selamat untuk Vier. Ren kembali menghela napas. Jikalau tak ada yang bisa ia berikan pada Vier, sisi lain dirinya mengancam dengan segunung rasa bersalah. Teman macam apa, kau? Perkataan Vier sebelumnya terngiang tiba-tiba. Membuat Ren menggelengkan kepalanya lekas-lekas.
Apa yang bisa kubeli? Ren berpikir keras. Kakinya menyisir jalanan setapak yang mengarah ke gerbang luar Royal High School. Tangannya berulang kali meraba dompet tipisnya di dalam tas selempang. Ia tak yakin bisa membelikan sesuatu yang berarti untuk Vier dengan uang yang terbatas. Ren menampik kembali semua perasaan pesimisnya. Vier bukanlah orang yang suka melihat barang dari harganya. Yeah, apa pun itu pasti laki-laki itu bersedia menerimanya.
Gadis itu terhenti di pos jaga untuk meminta izin. Kali ini didapatinya Tn. Stamford tengah duduk bersandar di atas bangku yang nampak nyaman, ditemani secangkir kopi dengan kedua tangannya yang menggenggam koran pagi ini.
"Permisi." Ren menegur sopan.
Tn. Stamford menghentikan kegiatan. Ia membenarkan kaca matanya lantas berkata, "Ya. Ada yang bisa saya bantu." Tn. Stamford meletakkan korannya lantas berdiri.
"Ah, anu, s-saya ingin meminta izin pergi ke kota untuk membeli sesuatu."
"Berapa lama?" tanya Tn. Stamford lagi.
"Saya tak bisa perkirakan," jawab Ren, "tapi saya akan kembali sebelum pukul sepuluh."
Tn. Stamford tak banyak bicara. Hingga Ren tak perlu bersusah payah menahan kegugupannya untuk bicara dengan seorang yang lebih tua darinya. Tn. Stamford hanya mengangguk mengerti, lantas memerintahkan Ren untuk mencatat namanya dalam sebuah buku tebal bersampul kulit. Setelahnya, Tn. Stamford memberi gadis itu sebuah pin. Tertulis di sana, Tanda Perizinan Keluar Area, tertanda Royal High School. Ren menyematkan pin itu pada bajunya, kemudian segera bergegas keluar melalu pintu gerbang yang sudah terbuka lebar.
Ren berjalan ringan. Menyisir trotoar yang sudah cukup ramai. Banyak orang berlalu-lalang pagi ini. Banyak anak-anak SD sampai seusinya berbondong-bondong menapaki trotoar. Seragam yang mereka kenakan bervariasi. Mulai dari bawahan kotak-kotak hingga pattern batik yang mencolok. Ah, sepertinya asyik sekali bisa menikmati kota setiap kali berangkat ke sekolah. Sayangnya, Royal High School bukan tipe sekolah yang membebaskan siswa-siswinya melancong sampai ke ujung kota. Maklum, tipe sekolah itu adalah asrama dengan segudang peraturan.
Ren kembali menfokuskan pandangannya pada jajaran bangunan mungil yang berderet di pinggiran jalan raya. Tak terasa, dirinya sudah sampai di pusat kota. Kompleks pertokoan berdiri berjajar. Menawarkan berbagai barang dan jasa. Ren melirik sebuah bangunan dengan dekorasi bergaya victoria. Sepertinya cafe baru. Beberapa pegawai juga tampak menyebarkan pamflet-pamflet dengan iklan menarik pada pejalan kaki. Ren ingin berkunjung sebentar, tapi waktu dan isi dompetnya tak mengizinkan. Gadis itu lekas menggeleng. Meneruskan langkah kakinya. Sebelum hasrat mendorongnya berbuat nekat.
Di depan sana. Kira-kira tiga petak lagi, berdiri sebuah bangunan bercat cokelat pastel. Litchey Bakery, begitulah yang tertulis pada kaca lebar di depan toko. Ren bisa melihat roti-roti manis berjajar di dalam etalase melalui kaca itu. Gadis itu berhenti sejenak. Menyisir daftar menu kue-kue yang sengaja dipampang di depan toko. Tertulis di sana,
~ Cake for Congrate and Celebrate :
◇ Special Rainbow Cake
- Medium Size ...... 4,5 aurum
- Large Size ...... 6,5 aurum
◇ Red Velvet
- Medium Size ...... 4 aurum
- Large Size ...... 7 aurum
◇ Black Forest
- Medium Size ...... 5 aurum
- Large Size ...... 7,4 aurum
Ren mengamati harga tiap satuan kue. Berulang kali ia memikirkan cukup tidaknya uang yang ia bawa dalam dompet. "Red velvet, ukuran medium hanya empat aurum," gumamnya penuh minat. Orang bilang, red velvet di tempat ini benar-benar enak. Ia memantapkan pilihannya, lantas bergegas masuk ke dalam toko.
Bel yang sengaja di tempel di atas pintu berdenting, mengiringi kaki Ren yang memijak lantai kayu toko itu. Aroma manis berbagai jenis kue menyeruak, memenuhi penciuman Ren. Ia bisa mencium aroma manis selai buah-buahan, cokelat, juga keju-keju dengan kualitas terbaik. Mata gadis itu dihadapkan dengan berbagai warna dan bentuk kue yang berjajar di dalam etalase kaca. Melihatnya saja membuat gadis itu ingin mencicipinya satu per satu, tapi melihat keadaan keuangannya sepertinya mustahil. Itu semua hanya akan menjadi angan kosong. Untuk sekarang.
Belum sempat Ren mendekat pada etalase, sebuah tart cokelat dengan santainya meluncur ke arah bajunya. Meninggalkan noda kecokelatan cukup besar di sana. Ren berjingkat. Terkejut dengan apa yang telah terjadi. Dilihatnya, seorang anak laki-laki terduduk di lantai dengan tatapan nanar ke arah kue yang meloncat dari kardus--yang terhantam lantai terlebih dahulu--dan mengenai Ren.
"Julio, apa yang kau lakukan?!" seorang gadis yang terlihat lebih tua dari anak laki-laki itu berteriak histeris. Ia cepat-cepat menghampiri anak laki-laki itu dan membantunya berdiri.
"Maafkan aku, kakak." anak laki-laki itu berbicara dengan sesegukan. Matanya sudah sembab oleh air mata.
Ren masih terpaku di tempatnya. Ia masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Kejadian yang merenggut kebersihan bajunya. Hingga, gadis itu memanggilnya. "Kakak!" Ren terperanjat. "M-maafkan adikku," ujarnya sembari membungkukkan badan.
"Eh, t-tidak papa." Ren menjawab gugup. Ia selalu kesulitan berbicara dengan orang asing. Bahkan, anak kecil sekalipun.
"Hiks, kakak," pagil anak laki-laki itu, "bagaimana hiks ... dengan kuenya?" ia menarik ujung baju kakaknya.
"Tidak apa-apa masih ada tahun depan," jawab sang kakak setengah berbisik. Gadis itu--yang Ren rasa berusia sekitar 13--kembali menundukkan badan untuk meminta maaf pada Ren. Setelahnya, ia kembali mengelus pucuk kepala adiknya.
"Bagaimana dengan ulang tahun ayah?" anak laki-laki itu masih menggosok matanya. Mencoba menyingkirkan air mata yang berderai menutup pandangan. "Kita, kan, hiks ... Sudah susah-susah mengumpulkan uang untuk membelinya."
"Tidak papa." anak laki-laki--jika Ren tak salah dengar namanya Julio-- itu masih sedikit terisak. "Berhenti menangis, Julio."
Ren masih terdiam di tempat. Menatap kakak beradik itu dengan tatapan mengiba. Anak laki-laki itu, Julio, seakan tak rela kue tart cokelat itu--hancur terantuk lantai hingga mengenai orang lain--begitu saja. Apa lagi setelah mendengar alasan untuk apa mereka membeli kue. Juga, terdengar di antara isakan tangis Julio, mereka nampaknya susah payah mengumpulkan beberapa aurum untuk membeli kue itu.
Ren menggeleng. Ia melangkah ke arah etalase sembari membersihkan noda cokelat yang mengotori kain bajunya. Seorang pelayan wanita --yang sedari tadi memperhatikan kejadian terlemparnya sebuah kue hingga menubruk baju Ren sampai kini--menyapanya.
"Selamat datang di Litchey Bakery. Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya ramah.
Ren mencondongkan tubuhnya, lantas berbisik, "bisakah kau memberikanku kue yang sama persis dengan kue milik dua anak itu." Ren menunjuk kedua anak itu dengan menggunakan lirikan matanya. Pelayan itu mengangguk lantas bergegas ke arah pintu dapur. Beberapa menit kemudian, ia membawakan Ren sebuah kotak yang pastilah isinya roti yang sama dengan apa yang di beli dua kakak beradik tadi.
"Semuanya empat aurum."
Ren mengangguk, lantas menyerahkan uang dengan jumlah sekian. Dirinya lantas bergegas mengejar kakak beradik yang mungkin belum jauh meninggalkan toko. Mereka keluar beberapa detik lalu. Kemungkinan besar mereka masih berada di sekitaran toko.
"Hei, kalian berdua!" panggil Ren kala sudah menemukan dua anak yang dicarinya. Mereka berdua terhenti, menatap Ren dengan pandangan terkejut dan heran. Ada sedikit raut takut juga di sana.
"A-ada apa, kak?" Tanya sang kakak takut-takut. "Sekali lagi maaf telah mengotori bajumu." gadis itu menunduk.
Ren mengernyit. Ah, mungkin karena pin perizinannya yang tertanda Royal High School di sana. Oh, ayolah! Apa semua bangsawan memiliki ego yang besar untuk marah-marah hanya karena hal kecil, seperti halnya membuat baju bagus mereka kotor. Ren bahkan bukan bangsawan. Lagi pula, bajunya juga pemberian Mrs. Mire.
"Ah, bukan itu." Ren menggaruk tengkuknya. Ia mengulurkan tangannya, memberikan kotak berisi kue tart cokelat yang mereka berdua inginkan. "Untuk kalian."
Kakak beradik itu tertegun. Saling berpandangan sebelum Julio menerima dengan senang hati. Kakak Julio sempat melototinya sambil berbisik, "Hati-hati dengan pemberian orang asing." Namun, Ren cepat-cepat menyangkal. Ia kembali meyakinkan bahwa benda di dalam kotak itu adalah benda yang sama dengan apa yang mereka beli sebelumnya.
"T-terima kasih, kakak!" seru Julio senang.
Ren mengangguk, membenarkan tas selempangnya, lantas berujar, "Hati-hati membawanya. Jangan sampai jatu lagi." ia melambaikan tangannya dan berbalik pergi. Masih ada yang harus ia selesaikan. Ini sudah hampir pukul setengah delapan.
"Kakak!"
Ren terhenti dan kembali berbalik. Memperhatikan gadis yang memanggilnya. "Iya."
"Terima kasih," ujarnya, "Namaku Teresa dan ini adikku Julio. Siapa nama kakak?"
"Kalian bisa memanggilku Ren." Ren tersenyum. Perasaan senang meluap-luap dari dalam hatinya. Apa pun yang bisa ia lakukan untuk melihat orang tersenyum, itu sudah menjadi hal yang cukup untuk membuat dirinya bahagia. Apa lagi anak-anak. Dirinya besar di panti asuhan, jadi, ia mengerti menjadi anak-anak yang kurang beruntung dari sekian jumlah anak di dunia ini.
"Kak Ren, ya?" Teresa mengembangkan senyuman. "Kami tak akan melupakan nama itu. Terima kasih."
Ren kembali mengangguk. "Sampaikan salamku pada ayah kalian, ya."
Teresa dan Julio mengangguk. Mereka melambaikan tangannya sebelum bergegas dengan langkah riang untuk pulang. "Mereka manis sekali," gumam Ren melihat kedua kakak adik itu.
"Ah, jadi sekarang ..." Ren terhenti. Seakan ada sebuah batu besar mengahantam kepalanya, hingga membuatnya tersadar akan misinya. Dan ada satu masalah yang membuatnya melotot. Uangnya tinggal dua aurum. Apa yang harus ia beli dengan uang dua aurum? Satu cupcake mini? "Astaga! Bagaimana ini!?" Ren meremas rambut cokelatnya yang dibiarkan tergerai.
Gadis itu memutar pandangannya. Memperhatikan jajaran toko di setiap sudut kota. Berharap menemukan sebuah toko yang menjual benda--yang cocok sebagai perantara ucapan selamat--dengan harga yang ramah dengan isi dompetnya saat ini. Ren mendaftar satu-satu toko yang berjajar apik.
Toko senjata, tidak. Harga minimun senjata di sana mungkin lebih dari sepuluh aurum. Lalu di sampingnya, toko permen, tidak. Tertegas sekali lagi, tidak. Harga permen mungkin murah, bahkan untuk setengah aurum pun dapat ditukarkan dengan gula-gula manis itu, tapi bagaimana perasaan Vier kala mendapat sebuah sebuah gula-gula sebagai ucapan selamat karena dirinya sudah resmi jadi ketua utama Elite? Berlanjut toko sebelahnya lagi, toko sovenir dan oleh-oleh antik. Ren menggeleng. Nama belakang toko itu sudah membuatnya angkat tangan duluan. Antik berarti juga mahal. Benar, bukan? Selanjutnya, toko bunga dan kartu ucapan. Toko bercat ping-hijau itu memamerkan berbagai bunganya di pelataran. Mulai dari bunga mawar, krisan, aster, sampai tulip berjajar rapi di dalam ember-ember berisi air. Ren tertarik. Mungkin bisa. Lagi pula, satu buket bunga tak masalah untuk isi dompetnya yang tinggal dua aurum.
Ren bergegas. Menuju toko yang pelatarannya dipenuhi bunga-bungaan. Beberapa pengunjung namapak membeli berbagai jenis buket bunga. Apa lagi, untuk para remaja yang kasmaran, tak jarang dirinya melihat pemuda-pemuda bergiliran mengunjungi toko itu. Jadi, banyak yang kasmaran, ya hari ini.
"Selamat datang!" seru seorang perempuan ramah.
Ren balas tersenyum. "Maaf, apakah ada buket bunga seharga dua aurum?" tanya Ren takut-takut. Menurutnya, kurang sopam langsung menanyakan hal yang demikian.
"Ah, dua aurum, ya." perempuan pegawai toko itu berpikir sejenak. "Ada, tapi itu harga untuk bunga dengan kualitas kurang baik, nona," jawabnya kemudian.
"Boleh," jawab Ren seadanya. Apa boleh buat?
Perempuan itu menatap Ren agak aneh sebelum akhirnya mengangguk dan menggiringnya masuk ke dalam toko. Ia mengajak Ren keluar melalui pintu samping. Di sana, Ren melihat seorang laki-laki, pegawai toko, yang tengah merapikan daun-daun berlebih pada bunga krisan.
"Ryan, ada pelanggan yang mencari buket bunga kualitas F," adu sang perempuan. Ren mengernyit. Kualitas F katanya. Bunga macam apa itu? Mentang-mentang dirinya kelas F, sampai beli buket bunga pun dapat kualitas F juga. Ren tak mengerti maksudnya, tapi setengah dirinya mengatakan itu kualitas terendah. Seperti halnya di Royal High School.
"Kualitas F katamu?" laki-laki itu menautkan alisnya. "Sudah lama sekali tak ada yang memesan bunga itu." ia meletakkan guntingnya, lantas berjalan menuju sang perempuan.
"Ah, iya. Nona ini meminta yang murah." perempuan itu setengah berbisik, tapi pendengaran Ren tak bisa dibodohi dengan bisikan itu. Bahkan, bisikan itu amat menohok dirinya.
"Oh, ya?" Laki-laki itu beralih menatap Ren. Dilihatnya gadis itu dari atas ke bawah. Matanya memincing membuat Ren sedikit tak nyaman dengan itu. Ia malah merasa jadi penjahat yang menyamar dan laki-laki itu adalah detektifnya.
"Kuserahkan padamu, ya." perempuan itu melenggang pergi. Meninggalkan Ren dengan laki-laki itu.
"Apa bunga yang Anda inginkan?" laki-laki itu bertanya spontan dengan nada yang tak bisa dikatakan ramah. Bahkan, hampir terdengar ketus.
"S-sejujurnya aku tak tahu apa yang kalian maksud bunga kualitas F."
Laki-laki itu menghela napas. "Itu." telunjuknya menunjuk bunga aster dan krisan setengah layu di ember ujung. "Saya tak tahu kenapa Anda mencari bunga dengan kualitas buruk sedangkan Anda sendiri adalah siswi sekolah kenamaan di negeri ini," cetus laki-laki itu selepas menilik pin yang tersemat pada baju Ren.
Ren tersenyum kecut, tidak, lebih tepat dikatakan tersenyum miris. "Siswi Royal High School bukan berarti orang kaya, kan."
Laki-laki itu tak menjawab seterusnya. Namun, manik jelaganya masih menatap tajam pada Ren. Seakan dirinya tak punya tatapan santai untuk gadis bersurai cokelat di depannya. Laki-laki itu meminta Ren memilih bunga yan ia suka, tapi tentu jumlahnya sesuai jumlah cukup aurum-nya.
"Bisa kau membuat buket bunga sederhana dengan ini? Juga sertakan sebuah kartu ucapan selamat," pinta Ren dengan senyuman manis. Berharap si pegawai toko bersifat halus padanya.
"Anda banyak permintaan, Nona."
Jawaban yang keluar malah di luar ekspektasi Ren. Ia amat merasa terhina dengan jawaban itu. Gadis itu hampir meledakkan amarah yang ditahannya sedari tadi, tapi ditepisnya. Mengingat dirinya bukan seorang bangsawan arogan yang haus akan penghormatan, juga mengingat apa yang ia beli di toko ini.
"Ah, begitukah? Apa permintaanku berlebihan?"
Laki-laki itu mendecak. "Baiklah," ujarnya, "aku heran denganmu. Kau ingin membuat buket dengan bunga mengerikan ini." Logat sopannya hilang entah ke mana. Ini benar-benar penghinaan. Tak peduli apa kasta Ren di sini, dirinya tetaplah pembeli. Pepatah mengatakan, pembeli adalah raja. Bukan begitu?
"M-menurutku bunganya masih kelihatan bagus, kok. Hanya kurang sedikit air."
"Terkecuali." laki-laki itu mulai berujar lagi tanpa mengacuhkan perkataan Ren. Ren mendengarkan saksama apa yang akan dikatakannya. "Kecuali anda akan menggunakan buket ini sebagai bentuk penghinaan."
Bagai pana-panah bermata tajam menghunjam Ren bertubi-tubi. Perkataan laki-laki itu tadinya terdengar sarkastik, tapi yang ini terasa lebih tajam dan menyakitkan melebihi belati perak.
"Haha ... Benarkah? Terlihat seperti bentuk penghinaan?" Ren tertawa hambar. Tanpa sadar, jauh dalam dirinya terasa amat tersakiti. Apa buket ini terlihat seperti bentuk penghinaan untuk Vier? Ah, ayolah!
Ren memandangi buket bunga setengah layu dalam genggamannya. Ada setitik rasa penyesalan dalam relung hatinya. Mungkin, tadinya lebih baik uang dua aurum itu ditukarkan dengan dua atau tiga cup cake, atau bahkan permen lolipop. Dadanya serasa sesak mengingat perkataan laki-laki pegawai toko bunga itu. Rasanya ingin menangis, tapi air mata tak bisa keluar. Apa benar bunga ini simbol penghinaan untuk seorang yang menerimanya. Setelah apa yang penerima perbuat kepadanya? Huh, bahkan bunga itu pun tak sebanding dengan anting kaca yang diberikan Vier beberapa waktu lalu.
Gadis bersurai cokelat itu menatap kosong jalanan yang mulai dipadati orang-orang. Sesekali ia harus menyelip di antara lautan manusia yang memadati jalan utama. Bahkan, lagaknya trotoar pun amat kelebihan kapasitas untuk menampung orang sebanyak ini. Yeah, untunglah jalanan di sini bebas dengan kendaraan bermotor. Hanya ada pejalan kaki.Tak bisa Ren bayangkan seberapa sesak dan macetnya jalanan ini di saat jam berangkat dan pulang kerja.
Jam yang melingkar di pergelangan tangan baru menunjukkan pukul sembilan. Apa salahnya berjalan lambat untuk menikmati kesesakkan pusat perbelanjaan yang tak akan pernah ia lihat lagi. Dengan memikirkan hal itu, Ren malah merasakan dirinya akan mati bukan pindah sekolah.
Sebuah kebisingan dari arah belakang membuat Ren terpancing untuk menoleh. Tepat saat itu, seseorang menyambar tubuhnya keras. Gadis itu jatuh tersengkur. Parahnya, buket bunganya terlepas dari genggaman. Terlempar sekitar satu setengah meter dari posisinya. Ren lekas bangun, menyusul rangkaian bunga aster yang sudah terinjak beberapa orang yang lewat. Cukup parah, tapi tak terlalu buruk. Haha, pikiran siapa yang coba ia bohongi. Bunga mengerikan itu semakin terlihat mengenaskan keadaannya. Tanpa sadar, air mata mulai merembes keluar dari kelopak matanya. Namun,cepat-cepat ia hapus.
Ren melempar pandangannya liar. Siapa gerangan yang menyambarnya hingga tersungkur. Lalu, pergi begitu saja tanpa meminta maaf. Hingga ia sadari, orang yang menyambarnya keras tadinya adalah seorang pencopet. Seorang wanita paruh baya berteriak panik sembari terus mengejar pria pencopet. Ren menatapnya miris. Dengan orang sebanyak ini, pencopet itu bisa lolos dengan licinnya. Mungkin, ego orang-orang ini terlalu besar. Tak ada seorang pun yang peduli dengan wanita itu. Nampak sekali, keapatisan sudah mendarah daging di kota ini.
Tak banyak pikir panjang. Ren mempercepat langkahnya. Menyusul jejak wanita itu. Setidaknya emosinya akan terluapkan jika saja dirinya berhasil menangkap pencopet itu. Untunglah, dirinya diberkati tubuh ramping yang dapat dengan mudahnya kenyelip di antara orang-orang yang berdesakan. Tak lagi peduli dengan omelan tak suka orang-orang yang disenggolnya, Ren terus melangkah. Tak akan kubiarkan!
Kepadatan mulai merenggang. Di antara jalanan yang mulai lengang, seorang wanita paruh baya berteriak histeris. Napasnya tersengal, juga keringat bercucuran membasahi pelipisnya. Mustahil untuk mengejar dengan tubuhnya yang lumayan berisi. Ren melempar pandangannya. Di depan sana, seorang laki-laki--yang tadinya sempat membuatnya tersungkur--berlari semakin jauh dengan sebuah tas digenggaman tangannya. Gadis itu mempercepat langkahnya, mencoba menutup jarak antara dirinya dan pencopet.
Sial, mustahil terkejar, umpat Ren. Kakinya mulai lemas dan pegal. Namun, dirinya tak bisa menyerah sekarang. Dendamnya belum terbalas! Ayo berpikir! Di saat napasnya mulai sulit untuk diatur juga sakit sudah menjalari kakinya, sebuah bisikan menghentikannya.
"Kau punya cara lain," ujar bisikan itu membuat Ren berhenti berlari. Ia terdiam. "Konsentrasilah, dan buat dia terjatuh dengan kemampuanmu!"
Ren mengernyit. Apa maksudnya? Kemampuan apa? Ren tak mengerti makna tersirat dari kalimat itu. Namun, dirinya yakin, ada hal yang bisa dilakukannya selain mengejar laki-laki itu dengan berharap pada keberuntungan. Dia hanya perlu mendengarkan intuisinya. Ren menajamkan matanya, menfokuskan pikirannya ke depan, ke arah pencopet itu. "Jatuh!"
Gadis itu hampir tertawa menyadari kelakuan konyolnya barusan. Namun, kenyataannya malah membuatnya tercengang. Laki-laki pencopet itu jatuh sungguhan. Tersungkur dengan muka mencium aspal duluan. Ren nyengir. Mungkin, ini keberuntungan. Ia lekas-lekas angkat kaki menghapirinya. Merebut tas dalam cengkeraman laki-laki itu paksa.
"Kurang ajar!" laki-laki itu menyerapah. Menatap bengis pada Ren. Bak seorang tirani yang menghadapi kudeta di depan mata.
"Ini bukan milikmu." Ren memamerkan tas yang berhasil direbutnya. "Kau tak berhak mengambilnya."
"Jangan ikut campur, bocah!" cerca laki-laki itu, "kembalikan atau kau menerima akibatnya!" ia mengacungkan sebuah belati, membuat Ren sedikit ciut nyalinya untuk melawan, tapi dia tak punya pilihan. Dirinya tak mungkin menyerahkan tas milik ibu itu. Ayo mulai!
Sebelum herhasil menyerang Ren, laki-laki itu berhasil dibekuk seorang polisi muda dari belakang. Ia berhasil dilumpuhkan dengan kuncian elemen, membuatnya tak bisa bergerak. Hari ini keberuntungan dan kesialan--mungkin--sama-sama tengah mengeroyok Ren. Bergantian melanda melalui kejadian-kejadian yang tak pernah disangkanya.
"Terima kasih, Nona," ucap polisi muda itu. Ia menunjukkan senyum sumpringah pada orang yang--mungkin--telah meringankan pekerjaannya.
"Terima kasih kembali. Aku tak melakukan apa pun," jawab Ren sesikit bingung.
"Setidaknya Anda membuat penjahat ini diam di tempat. Kami jadi mudah menangkapnya," saut rekan sang polisi muda.
Ren hanya mengangguk. Tak lama, wanita pemilik tas sampai di tempat kejadian perkara. Ia terengah sembari menatap lega pada polisi dan seorang gadis yang telah menolongnya. Ternyata masih ada orang yang peduli sesama di dunia ini, ralat, kota ini.
"Terima kasih atas bantuan Anda semua." wanita itu membungkukkan badan tanda berterima kasih.
"Ini memang sudah menjadi tugas kami, Nyonya." dua polisi itu akhirnya pamit pergi dengan membawa pencopet yang tak bisa lahi berontak dari cengkeraman mereka.
"Sekali lagi terima kasih, Nak." wanita itu balik menatap Ren. "Apa yang bisa aku lakukan untuk membalas kebaikanmu?"
Ren tersentak. Tak tahu harus menjawab apa. Beberapa detik dirinya menimang-nimang. Apakah salah jika dirinya meminta wanita paruh baya itu untuk mengganti bunganya yang terinjak-injak karena ulah sang pencopet? Atau mungkin malah wanita itu dapat mengganti bunga itu dengan yang lebih baik. Tidak. Ren menepisnya. Dirinya tak berminat mencari pamrih. Ia hanya berniat membalas kerusakan bunganya dengan membengkuk si empunya akibat.
"Tidak perlu, Nyonya. Terima kasih," jawab Ren mantap, "saya harap anda lebih hati-hati. Permisi. Saya harus segera pergi."
Ren melanjutkan perjalanannya untuk pulang. Hari ini cukup melelahkan. Petualangan singkat yang berhasil membuat penampilannya berantakan. Dan tak ada keberuntungan yang dapat mengganti lembar-lembar aurum-nya. Ren menghela napas. Lagaknya bukan sekarang ia bisa memberi Vier sesuatu yang berarti. Mungkin, lain waktu. Masih ada hari.
Ren terperangah. Antara percaya atau tak percaya. Di depan pintu kamar Vier--entah fatamorgana atau sungguhan--menumpuk berbagai bingkisan dalam pelbagai bentuk. Ada kotak-kotak berpita besar sampai buket-buket bunga segar. Semuanya menumpuk tinggi di depan pintu. Menutupi jalan Ren untuk masuk.Gadis itu meremas buket yang ada di genggamannya. Bunganya itu sudah tak laik lagi disebut sebagai ucapan selamat. Malahan, lebih cocok disebut sebagai benda tanda teror. Ia tersenyum miris, lantas melempar asal buketnya ke atas tumpukan hadiah yang mulai menggunung.
Sekarang. Ia harus memikirkan cara masuk ke dalam kamar Vier untuk membersihkan diri dan perpakaian kemas. Jika diperhitungkan, tumpukan hadiah itu akan rubuh kala pintunya dibuka. Jadi, tak mungkin dirinya membukanya dengan cara biasa.
Suara heboh beberapa perempuan membuatnya terperanjat hingga menghambur dari lamunannya. Dilihatnya dua orang perempuan tengah mengobrol ria sembari berjalan penuh gairah di sepanjang lorong. Dilihatnya juga, masing-masing tangan mereka menenteng sebuah kotak dengan pattern indah dengan pita-pita yang mengembang.
"Apa Vier akan suka?"
"Ah, kau bagaimana, sih. Ini, kan, barang mahal. Mana mungkin dia menolak."
"Haha ... Iya. Malahan mungkin, salah satu dari kita akan jadi pacarnya."
Ren mengernyit mendengar obrolan mereka. Ia tak bermaksud menguping, tapi mereka bicara seolah ingin semuanya tahu barang--yang mereka gadang-gadang berharga mahal--itu akan dengan senang hati diterima Vier.
Mereka berhenti bercakap kala melihat Ren--dengan penampilan berantakannya--mematung di depan pintu kamar Vier yang sudah terhalang berbagai jenis barang. Mereka berbisik sambil sesekali melempar tatapan sinis.
"Lihat siapa gembel yang berdiri bagai orang bodoh di sini?!" seorang dari mereka angkat bicara. Manik matanya--yang terhalang softlens--memincing ke arah Ren. Tertulis pada name tag yang tersemat di dadanya, Letary Stephenson. Ah, Ren tahu dia. Seorang anak dari konglomerat Kota Natcattira sebelah utara. Ren sering dengar namanya diobrolkan oleh beberapa laki-laki di kelasnya sebagai seorang gadis cantik nan berbakat.
"Ah, iya." seorang lainnya menyahut. "Dia yangmenjadi trending topic minggu ini, ya." Gladies.J.Maureen. Itu yang bisa Ren tangkap dari name tag perempuan dengan kaca mata bulat tipis yang tengah mengetren akhir-akhir ini.
Ren hanya terdiam. Memperhatikan dengan saksama apa hal yang akan mereka lakukan. Melempar semua cerca dan kata-kata kasar? Atau malah langsung menggunakan fisik mereka untuk melukai? Tapi lagaknya salah. Setelah beberapa kali berbisik, mereka malah sibuk berkuatat dengan obrolan mereka. Memamerkan harga fantastis dari barang-barang bagus mereka yang ada di dalam kotak. Seakan ingin membuat Ren cemburu dengan mendengarnya.
"Hei!" panggil Letary membuat Ren tertoleh. "Kau yang namanya Ren Leighton, ya?" selang beberapa saat setelah terdiam, Letary berbicara dengan nada sinis. Mungkin, Ren salah. Mereka tak tinggal diam. Sebagai selayaknya kaum hawa, mulut adalah senjata mereka.
"I-iya."
Letary ber-oh ria. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya, "ingin melakukan hal yang buruk pada benda-bendai ini, ya?" ia menunjuk pada tumpukan kado-kado dan buket bunga yang masih tertata pada posisi mereka sejak beberapa saat lalu.
Perkataan Letary membuat gadis bersurai cokelat itu tersentak. Apa-apaan?! Satu-satunya hal buruk yang terpikir dalam benaknya saat ini adalah membuka pintu kamar Vier seperti biasa dan membuat gunung hadiah itu runtuh.
"T-tidak, kok."
"Agak mencurigakan, sih," ujar Gladies, "tapi awas saja jika kau menyentuh barang dari kami," lanjutnya dengan nada mengancam.
Ren menelan ludahnya susah payah. Harap-harap cemas dengan apa hal yang akan kembali dituduhkan dua orang perempuan itu padanya. Sampai mereka berdua berteriak riang saat melihat Rezel yang baru keluar dari dalam kamarnya. Ren rasa, laki-laki itu kecipratan populer saat jadi sahabat Vier.
"Rezel! Selamat pagi," sapa Letary membuat Ren risih. Ada gelenyar aneh yang ia rasakan saat mendengar sapaan dengan nada penuh makna itu. Entah karena tak rela mereka menggoda orang yang disukai sahabatnya atau apa.
Rezel melirik mereka sekilas, lantas memutar bola mata culas. "Apa lagi?" tanyanya ketus.
"Hehe ... Tidak." Latera cengengesan.
"Umm ... Masih mempertimbangkan penawaran kami?" tanya Gladies dengan manik berbinar.
"Penawaran apa, ya?" Rezel menelengkan kepalanya tak acuh. "Aku lupa," sambungnya tanpa rasa bersalah.
"Hei!" Gladies menggeretak. "Apa-apaan itu?" protesnya tak terima.
Rezel mulai menunjukkan sikap apatis. Fokusnya malah beralih pada Ren yang berdiri membatu tak jauh darinya. Gadis itu memperhatikannya--dengan penampilan yang tak terbilang rapi--yang tengah sibuk bercakap dengan dua gadis cantik.
"Apa-apaan penampilanmu, Ren?"
"Ah, anu." Ren menggaruk tengkuknya. "Sepertinya aku terlambat pulang." gadis itu menatap melas pada pintu yang terhalang gunung kado.
Rezel ber-oh ria. "Ngomong-ngomong Vier menitipkan ini padaku." ia menunjukkan sebuah paper bag di tangan kanannya. "Dia bilang, saat dia kembali untuk mengambil barang, kamar kosong dengan seragammu yang kautinggalkan di atas kasur."
"Benarkah!?" Ren mengambil alih paper bag itu. Matanya menunjukkan binar lega. "Ngomong-ngomong juga ..." gadis itu berjinjit mendekatkan bibirnya ke telinga Rezel. "Pinjam kamar mandi," bisiknya.
Rezel mendorong Ren untuk menjauh darinya. Maniknya menghunus, tajam ke arah gadis bersurai cokelat yang nyengir. "Apa?" laki-laki pirang itu hendak menghamburkan serapahan. Namun, tertahan karena tatapan melas Ren. "O-oke"
"Ayo!" Ren mengamit lengan Rezel. Memaksanya untuk menunjukkan kode kamarnya. Ia sudah tak tahan lagi. Kulitnya terasa lengket dengan keringat yang sudah membasahinya sejak tadi. Mengesampingkan rasa kecewanya karena berkeliling ke kota tanpa membawa suatu yang berguna tuk di bawa pulang.
📜Vocabulary
¹ Mata uang di Benua Shappire. 1 aurum ± Rp10.000
² Kota asal Ren sebelum masuk Royal High School.
📎Note:
Ini hari apa 😅
Readers: hari di mana lu php-in readers, Lin! 😡
Haha 😅 maafkan daku. Ini pun kupaksa update, mengingat nanti malam bakal sibuk buat belajar untuk tryout besok. 😔. Pengen update revisi-an sekalian, tapi apatah yang bisa Lin lakuin? Belum selesei 😫
Readers: nih orang demen banget curcol ya 😒
Jadi, begitulah 😊 sampai jumpa untuk pertemuan yang akan lama lagi berselang. Maaf untuk salah kata atau apa pun itu. Sampai jumpa 😆
Tolong typonya ingetin 😢
Salam
AleenaLin
🐣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top