Chapter 29²

Putih. Ren membuka matanya di sebuah ruang hampa tanpa sudut. Sejauh mata memandang, hanya ada bentang putih yang kosong. Seumpama lembaran kertas yang belum ternoda oleh tinta. Gadis itu beranjak linglung. Kakinya menapak di permukaan yang dingin. Entah sejak kapan kakinya itu dalam kondisi telanjang, tanpa alas. Ini di mana? tanyanya dalam hati. Otaknya bekerja keras, berusaha mengingat alasan dirinya sampai di sana.

Ah, Ren ingat. Ia ingat bagaimana Edgar membawanya ke tempat yang mirip penjara. Ia juga ingat bagaimana laki-laki itu mendorong tubuhnya kasar dan memutus kalung topasnya. Tanpa sadar, Ren meraba lehernya. Kosong. Tak ada lagi benda yang tergelantung di sana. Baik kalung topas maupun belati perak. Seharusnya ia tak memberikan belati perak pada Edgar begitu saja. Itu punya Vier. Ren mengepalkan tangannya. Penyesalan. Oh, betapa bencinya ia akan hal itu. Penyesalan selalu menoreh luka. Menggerogoti jiwanya, hingga membuatnya jatuh dalam keterpurukan. Ia merasa tak lagi punya kuasa untuk bangun.

"Kau bodoh, Ren."

Mendengar sebuah suara yang begitu ia kenal, Ren sontak berbalik. Mencari asal muasal suara itu. Gadis itu terperangah, mendapati sosok yang begitu ia cari-cari. Sosok yang menghilang tanpa jejak begitu saja. Kini, sosok itu di hadapannya. Berdiri dengan ekspresi terluka. Ellea menatapnya. Ren tak suka tatapan itu. Tatapan menghardik yang penuh kekecewaan.

"Seharusnya kau melepas kalungnya lebih awal," lanjut Ellea. Gadis itu menggeleng, menunjukkan wajahnya yang dilingkupi kekecewaan mendalam.

"Maaf." Suara Ren terdengar bagai cicitan. Ia tak sanggup bicara. Melihat bagaimana sikap precious, ia jelas telah melakukan hal yang tak bisa dibanggakan. Memangnya sejak kapan dia bisa membuat precious senang?

"Kau melangkah terlalu jauh. Sadarkah kau sudah diperdaya?" Suara Ellea meninggi. Ren bisa merasakan kemarahannya. "Kau pikir kau ini bagian dari mereka? Pemberontak! Orang-orang gila!"

Ren tertunduk, ia menggigit bibir bawahnya. Perasaan senang saat berjumpa lagi dengan Ellea--setelah sekian lama--sirna. Enyah begitu saja. Meninggalkan gejolak kosong yang tak lagi berarti. Ia pikir, tadinya bisa berlari ke arah perempuan bersurai perak itu. Memeluknya erat, lantas mengadu. Menumpahkan segala keluh kesahnya yang bergolak. Namun, sekarang hal itu hanyalah angan. Ren merasa dirinya terlalu pandai. Pandai membuat kesalahan, menoreh penyesalan, dan membuat orang lain kecewa.

"Maaf," ulang Ren, "aku tak tahu jika kalung itu menghalangi komunikasiku denganmu. Aku sungguh minta maaf."

"Kenapa kau ikuti mereka?" Ren masih dengar dengan jelas nada menghardik di setiap perkataan Ellea. "Kemana nalurimu? Kau punya hati untuk memastikan keyakinanmu."

"Maaf."

Hanya satu kata yang terus terulang dari bibir Ren. Ia sungguh tak mengerti bagaimana menanggapi Ellea tanpa terlihat tengah mencari-cari alasan. Ia tak tahu bagaimana menjelaskan semua. Terlalu payah dan tak berguna. Rasa-rasanya predikat itu tak akan pernah tanggal dari namanya. Sejujurnya, Ren sendiri tak mengerti caranya mendengarkan kata hati, mengikuti naluri. Omong kosong. Hanya ada kehampaan yang menuntunnya dalam kegelapan. Ia hanya punya precious! Tidakkah jiwa tanpa raga itu mengerti?

Ellea menghela napasnya panjang. Seolah berusaha keras menanggalkan amarahnya yang tak terbendung. Bagaimanapun juga, ada hal yang lebih penting dari pada memarahi gadis bodoh yang tak berguna.

"Lupakan," kata Precious kemudian. "Itu sudah terjadi dan waktu tak bisa kau ulang."

Ren merasa angin berdesir melewatinya. Mengibarkan beberapa helai anak rambutnya yang mencuat keluar dari ikatan. Sebuah pintu raksasa muncul tiba-tiba di belakang Ellea. Ren rasa, tingginya tak kurang dari sepuluh meter dan lebarnya melebihi seperempatnya.

Ini alam bawah sadar Ren dan segala jenis ilusi dapat diciptakan, tapi pemiliknya sendiri tak terlalu paham cara kerjanya. Terlebih, Precious lah yang mengatur bagaimana penampakan alam bawah sadarnya. Perempuan itu biasanya akan membuat ilusi tentang hutan atau taman bunga. Namun, kini, untuk pertama kalinya hanya ada ruang hampa dan sebuah pintu. Pintu raksasa yang tak pernah Ren lihat.

"Selama komunikasi kita terputus, sebuah jiwa datang padaku," tutur Ellea sembari mengarahkan pandangannya pada pintu raksasa. "Dia jiwa saudaramu yang telah tiada. Dia akan membantu mengembalikan ingatanmu. Temuilah dia sekarang."

Ren memandangi pintu itu cukup lama. Ada titik-titik keraguan dalam hatinya. Precious dapat dipercaya, tapi jiwa asing itu. Apa dia sama dapat dipercayanya dengan Ellea? Terlalu banyak diperdaya dan melangkah jauh dalam ketersesatan membuat hati Ren mudah goyah. Plin-plan dan penuh oleh keragu-raguan. Bahkan, kini rasanya perkataan Ellea terasa menggentarkannya.

"Kau tak perlu takut." Nada bicara Ellea melunak. Mencoba meyakinkan Ren dalam kemelut hatinya. Yah, dia hanyalah gadis bodoh yang belum menemukan jati dirinya. Dia gadis yang belum dewasa dan belum memahami dunia.

Derit pintu yang lantang membuyarkan lamunan Ren. Cahaya yang begitu terang menyusupi retinanya, menusuk hingga membuat ia menutup mata. Di tengah kebutaannya, Ellea mendorong punggungnya cukup kuat. Ren jatuh tersungkur, menyeberang ke balik pintu yang entah membawanya kemana. Gadis itu meringis, berusaha bangun dari posisi tersungkurnya. Matanya mulai membiasakan cahaya di sekitar, terbebas dari kebutaan. Saat pandangan matanya mulai jelas, Ren mendapati sepasang kaki berdiri di hadapannya. Menyisir, ia mendapati seorang perempuan sebayanya. Berdiri diam sembari mengulas senyum, seolah mengatakan, "Hai." Ren mulai bertanya-tanya, diakah jiwa yang disebut oleh precious?

"Akhirnya, kita bisa bertemu." Perempuan itu mengulas senyum lebih lebar sembari membantu Ren berdiri.

Ren sendiri hanya tercenung. Mencoba menggali sosok itu dalam sudut-sudut ingatan jauh yang terlupakan. Manik emas gadis itu menyisir, mengamati wajah perempuan itu. Dilihat dari mana pun, mereka tak punya kemiripan. Rambut perempuan itu cokelat gelap dan mengilap, lain dengan helaian rambut Ren yang cokelat kemerahan. Lagi, warna mata perempuan itu cokelat pekat, lain dengan manik keemasan Ren. Apa dia bukan jiwa yang salah alamat?

"Kau saudaraku?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Ren. Gadis itu tak bisa menahan gejolak ingin tahu yang meletup dalam dadanya. Ia berdebar. Ada rasa senang yang meluap dan rasa gundah di waktu bersamaan. Ia hanya takut perempuan itu meralat kedatangannya dan berkata dirinya sudah salah mendatangi seseorang. Dan Ren hanya takut, takut menelan kekecewaan atas pengharapan ingatannya akan kembali.

Perempuan itu terkekeh. Dia sangat manis saat tertawa. Dia tampak sepantaran dengan Ren, tapi entah kenapa jika diamati lebih lanjut wajahnya begitu terlihat muda. "Tentu saja," jawab perempuan itu mantap, "sudah lama sekali ya, Estella."

Ren tersentak mendengar panggilan perempuan itu untuknya. "Estella," gumamnya dengan suara rendah. Nama yang indah!

"Ayo ikut aku! Aku akan berbagi ingatan denganmu." Perempuan itu mengamit lengan Ren dan mulai melangkah. Ren lihat, ruang kosong yang polos di hadapannya perlahan berubah. Bukan lagi ruang tanpa dimensi dan sudut, tapi rerumputan yang tumbuh sampai betis terhampar. Pepohonan persik yang tengah berbunga, lagi rerumpun bunga berbagai jenis.

Aroma nektar bunga yang manis berbaur bersama aroma rerumputan basah. Ren bisa merasakan betapa sejuknya udara yang ia hirup. Suhu udara yang hangat dan sedikit basah, tapi begitu terasa nyaman. Musim semi, katanya dalam hati. Rerumputan yang tubuh setinggi betis menggelitik kaki setiap gadis itu melangkah. Ia juga bisa merasakan tanah basah di bawah kakinya yang telanjang, tanah yang basah oleh lelehan salju. Ilusi di alam bawah sadarnya sungguh mengangumkan. Bagaimana mungkin semua ini bukanlah hal yang nyata?

"Kau ingat, dulu kau suka sekali musim semi dan membenci musim dingin?" Perempuan--yang belum Ren dengar namanya--itu memulai percakapan. Seolah tahu Ren tengah menikmati ilusi aroma pagi musim semi yang memabukkan. "Kau bilang, musim dingin membawa petaka dan musim semi datang menghapusnya." Perempuan itu kembali tertawa.

Ren tertegun. Sebuah ingatan datang begitu saja. Tergambar jelas sebagai ingatan masa kecil. Ia, di usianya yang masih sekitar lima tahun, berjalan memijaki kebun bunga basah di pagi pertama musim semi. Berceloteh panjang lebar tentang musim dingin dan musim semi pada seorang gadis kecil bermanik cokelat.

"Musim dingin adalah penjahat dan musim semi adalah pahlawan yang menghapus kejahatan musim dingin," gumam Ren tanpa sadar. Ya, ia tahu alasan mengapa dirinya begitu tak nyaman dengan suhu dingin dan salju yang merajai hari. Itu karena ia tak pernah menyukai musim dingin. Ren menegakkan wajahnya, menatap punggung perempuan bersurai cokelat. Ia masih begitu penasaran dengan ingatannya dan bagaimana ia menyebut sosok di hadapannya itu. Ia ingin tahu lebih banyak. Sebanyak yang bisa ia dapatkan.

"Kemari." Perempuan itu mengulurkan tangannya pada Ren. Gadis itu baru tersadar, mereka berdua berdiri di tepi tebing. Danau berair biru kehijauan terbentang di hadapan. Membentangkan panorama menakjubkan yang mampu membuat Ren tergugah. Di seberangnya, pohon-pohon persik tengah berbunga, membuat tepian danau dipenuhi warna merah muda yang manis. Warna cerah itu kontras dengan pepohonan hijau yang menjulang tinggi di belakangnya. Tepat di antara pepohonan hijau itu, sebuah menara berdinding putih menyembul seolah berusaha menggapai langit. Ren yakin, ada kastil di balik pepohonan itu.

"Kita di mana?"

Perempuan itu tertoleh pada Ren sambil tersenyum. "Tempat yang bagus untuk mengingat. Dataran paling luas dan indah di selatan Shappire, Castelesia."

"Castelesia," gumam Ren pelan. Ia mengingat nama tempat itu sebagai negeri terluas di Shappire. Yang saking luasnya, negeri ini memiliki sistem pemerintahan monarki baru, sistem pemerintahan empat mata angin. Ada empat raja sebagai pemerintah dalam satu negeri. Namun, tetap saja, pemerintah tertinggi adalah raja utama yang memerintah di istana pusat. Ini negeri si kembar dan Musa. Ren selalu bertanya-tanya, bagaimana penampakan negeri kaya itu. Seperti inilah kelihatannya. Ilusi yang tercipta di sini betul-betul luar biasa!

"Kupikir rumah akan membuatmu lebih mudah mengingat." Perempuan itu menatap lurus ke arah danau. Ren bisa melihat pancar kerinduan dari kedua matanya. Ren tertunduk sejenak, wajar ia merindukan rumah. Bagaimanapun juga, dia sudah tiada.

Ren menghela napas, menguatkan dirinya. "Jadi, kau saudaraku." Ren menjeda sesaat, merangkai ucapannya. Walaupun terasa familiar, ia masih merasa kikuk. "Umm, siapa namamu?"

Perempuan itu menatap Ren sebentar, lantas tertawa. Membuat gadis di hadapannya kebingungan. "Bodohnya aku." Ia menggeleng sebelum melanjutkan, "Nah, Estella, ingat namaku baik-baik. Namaku Zean. Zean Castellia Vient. Kuharap kau tak melupakan nama kakakmu lagi."

Ren tersentak dan sontak berkata, "Kau saudara kembar Zeon dan Zuan?" Ia menatap perempuan--yang mengaku dirinya Zean-- tak percaya.

Memang, Ren pernah dengar cerita dari si kembar. Tentang adik tiri mereka yang menghilang tanpa jejak apa pun. Namun, bukankah mustahil jika adik tiri itu adalah dirinya?

"Kau mengenal mereka? Apa mereka memperlakukanmu dengan baik?"

Ren mengangguk. Dahinya masih berkerut, seolah mempertanyakan sebuah kebenaran yang masih dirundung keraguan. Gadis itu memegangi dadanya yang berdebar. Mengetahui kebenaran rasanya begitu menghentak dadanya. Yah, rasa penasarannya selalu membuat dua kemungkinan. Kemungkinan baik dan kemungkinan buruk. Kemungkinan yang penuh keraguan selalu saja membuatnya cemas.

"Kau kelihatan sulit percaya ya." Zean tersenyum tipis. Seolah maklum dengan keraguan di mata Ren. "Yah, kita mulai mengingat dulu saja."

Angin bertiup cukup kencang. Cukup untuk memberaikan rambut Ren dan membuat kelopak matanya terkatup. Belaian angin di pipi membuatnya terasa dibawa terbang jauh. Tubuhnya terasa ringan, seolah dapat melayang--menanggalkan gravitasi yang mengekang tapak kakinya di muka bumi. Sejenak, semuanya terasa begitu damai. Ren begitu menikmatinya. Sampai saat sebuah suara berkata, "Stella, buka matamu. Ini waktunya mengingat."

Perlahan, Ren membuka matanya. Ia mendapati dirinya berdiri di sebuah ballroom megah dengan lantai pualam yang mengilap. Gadis itu menyisirkan pandangannya, takjub. "Tempat apa ini?" Tanpa sadar dirinya bersuara.

Zean mengangkat bibir. "Ingatanku tentangmu berawal dari sini."

Sebuah musik merasuk di pendengaran Ren. Musik menghentak yang menyeru pada orang-orang untuk berdansa. Seketika, ballroom dipenuhi banyak orang--yang tentunya hanyalah sebuah ilusi dari gambaran ingatan Zean. Zean mulai bercerita. Ia bilang, akan memulainya dari awal pertemuan mereka. Pertemuan yang awalnya tak pernah diinginkan si kembar.

Musik terlantun dari para kelompok okestra. Alunannya tampak mengajak orang-orang untuk segera terjun ke lantai dansa. Euforia tampak begitu terasa di tengah-tengah ballroom malam itu. Pesta malam ini adalah pesta perayaan untuk ratu baru Castelesia. Kabarnya, sang raja menikahi seorang wanita hoffan sebagai pengganti ratu sebelumnya yang telah wafat. Tentu saja orang-orang tahu bahwa ini adalah sebuah pernikahan politik. Akan sangat bagus jika Castelesia mempererat hubungan mereka dengan klan hoffan yang terhormat.

Selain keuntungan politis, rasanya pernikah demikian memang perlu dilakukan. Posisi ratu yang kosong terlalu lama akan menyulut konflik. Terlebih, pangeran dan putri masih sangat kecil. Mereka membutuhkan kasih sayang seorang ibu, bukan sekadar pengasuh. Namun, orang-orang mempertanyakan keputusan sang raja dalam memilih wanita. Ia memilih seorang wanita yang statusnya adalah seorang janda yang telah memiliki satu putri.

Di luar desas-desus itu, malam ini tetaplah malam bahagia. Malam euforia bukan seharusnya diisi gosip tak jelas dan meragukan seorang ratu yang terpilih. Pernah dengar kisah lama? Kisah yang mengatakan bahwa setiap ratu Castelesia adalah pilihan takdir. Ia adalah yang terpilih.

Suara musik dan ramainya ballroom menusuk pendengaran seorang gadis kecil yang menggenggam erat tangan kedua kakaknya. Ia menetap gemerlap lampu dengan pandangannya yang lugu. Tatapannya seperti seorang gadis kecil yang belum mengerti apa pun tentang dunia. Tapi dirinya adalah seorang Castel. Mereka tumbuh dengan pemikiran dan kecerdasan lebih dewasa dari anak-anak lainnya. Gadis kecil itu adalah Zean. Usianya belum genap lima tahun. Namun, ia mengerti betul bahwa ada seorang wanita asing dan putrinya yang masuk di antara keluarga mereka--seolah merebut posisi ibunya yang telah tiada.

"Kakak, aku tidak mau ibu tiri," celetuk Zean kecil dengan mengeratkan genggaman tangan pada kedua kakaknya. Ia memebenci ibu tiri, sebagaimana ia membenci setiap ibu tiri dalam dongeng yang dibacakan Nanny Erita setiap malam.

"Ya, aku juga begitu." Zeon kecil di sisinya bicara sembari termanyun. Manik cokelatnya memandangi seorang gadis kecil yang berdiri tak jauh dari mereka. Ia seorang gadis berusia empat tahun yang memiliki mata berwarna emas dan berdarah hoffan. Warna matanya terasa memuakkan untuk bocah laki-laki itu.

"Tapi, ayah bilang Castelesia membutuhkannya." Si kecil Zuan bicara dari sisi lain.

"Dia tetap saja ibu tiri dan saudara tiri. Mereka selalu jahat."

Perbincangan mereka terputus oleh panggilan ramah seorang wanita. Nanny Erita, pengasuh mereka. Wanita itu berjalan tergopoh-gopoh dan berkata sang raja menginginkan ketiga putra-putrinya segera menghadap. Ketiganya lantas saling bergandengan dan berjalan selayaknya bocah.

Zean kecil melepaskan genggaman tangan dari kedua kakaknya saat melihat sosok sang ayah berdiri tak jauh dari mereka. Ia berlari semangat seolah hendak segera memeluk sang ayah. Namun, ia terhenti saat mendapati sosok wanita di sisi ayahnya, juga gadis kecil yang berdiri malu-malu.

"Kalian sudah datang rupanya." Sang raja berkata lembut. Ia menatap si kembar dengan mata yang begitu teduh. "Zeon, Zuan, Zean, mulai hari ini Lady Janira adalah ibu kalian. Dan kalian punya saudara baru, namanya Estella. Beri salam pada mereka."

Ya, hari itu adalah perkenalan resmi mereka. Perkenalan yang tak diinginkan si kembar. Mereka tak ingin ibu tiri apalagi saudara tiri. Namun, siapa tahu awal yang memuakkan ini akan menjadi hal yang tak mereka inginkan untuk berakhir.

Beberapa hari berlalu sejak pengangkatan Lady Janira sebagai ratu baru. Semua berjalan seperti biasanya. Dan istana pusat--tempat si kembar berada--masih seperti biasanya. Hanya saja, ada satu kutu kecil yang terasa menganggu bagi mereka bertiga. Seorang gadis kecil yang lugu, tidak gadis yang bodoh. Zean bilang, dia tak memiliki darah Castel maka dari itu kedewasaan mereka sungguh berbeda. Gadis itu menolak setiap Nanny Erita memintanya untuk bermain bersama Estella. "Dia bodoh, tak akan mengerti apa yang kukatakan."

Seperti halnya Zean, si kembar yang lain menunjukkan hal yang sama. Seolah sebuah kalimat, 'kami benci saudara tiri' telah mereka tuliskan di dahi mereka dengan huruf kapital. Walaupun Lady Janira selalu bersikap lembut pada mereka, siapa tahu saat ada celah dia akan menjelma jadu ibu tiri jahat. Dan putrinya pasti jahat juga. Jadi, mereka membencinya.

Siang itu, matahari terasa membakar udara di bulan awal musim panas. Udara yang berhembus dari luar jendela terasa kering. Menguar gerah dan mengundang peluh. Saat itu pula, Zean kecil tampak mengendap-endap di dapur. Maniknya menyisir, mencoba mencari benda cokelat yang manis dan lumer di mulut. Cokelat. Madam Ellaire, juru masak istana, biasanya akan menyimpan sekotak cokelat di tempat yang tak akan bisa dijangkau si kembar. Jadi, gadis kecil itu mencoba memutar otak. Memikirkan tempat-tempat paling tak bisa ia jangkau. Pikirannya jatuh pada lemari tinggi di sisi ruangan. Di sana ada sebuah kotak yang tergeletak di atas beberpa benda lain. Mata Zean kecil berbinar. "Cokelat!"

Dengan segala akalnya, gadis kecil itu mendorong kursi dan naik ke atasnya, berusaha menggapai sekotak cokelat yang tinggi. Namun, sebuah suara menghentikannya, "Kakak sedang apa?"

Zean kecil mendecak kesal lantas menyahut, "Bukan urusanmu. Kamu tak akan mengerti karena kamu bodoh."

"Apa kakak mau mencuri cokelat? Madam Ellaire akan marah." Estella menatap sang kakak dengan pandangan lugu. Gadis itu memeluk sebuah boneka kucing yang menjadi teman bermainnya sejak si kembar berusaha keras mengabaikannya.

"Berisik, Bodoh! Madam tak akan tahu."

"Apa yang kalian lakukan di sana?" Suara Nanny Erita membuat Zean kecil terlonjak dan tanpa sengaja menjatuhkan kotak cokelat yang hampir berhasil digapainya. Cokelat-cokelat manis yang akan lumer saat di makan itu jatuh bertebaran di lantai dapur yang kotor.

"N-nanny ...," lirih Zean kecil.

"Apa yang Saya bilang tentang batasan makan cokelat, Putri?" Nanny Erita bersedekap. Memandangi Zean dan Estella kecil secara bergantian. "Tidak ada camilan siang ini untuk kalian," lanjutnya kemudian menjatuhkan hukuman.

"T-tapi siang ini sangat panas. Aku mau camilan dingin!" sanggah Zean kecil sembari melompat turun dari kursi.

Nanny Erita menggelengkan kepalanya. "Ini hukuman karena Anda melanggar."

Zean kecil termanyun. Ia tampak menahan air mata yang berkerumun di pelupuk. Ia sangat ingin camilan siang. Panasnya matahari musim panas betul-betul membuatnya kepanasan. Jika Nanny Erita tak memberinya jatah camilan siang, mungkin dirinya akan mati. Tidak mau!

"Nanny, kakak tidak bersalah. Ini salah Stella." Sebuah suara kecil dengan takut-takut menyela. "Karena Stella ingin cokelat lebih, Stella minta kakak untuk mengambilkannya. Kakak sudah melarang, tapi Stella tak mau dengar."

"Kalau benar begitu, berarti yang dihukum hanya Putri Estella. Lain kali, mungkin Saya akan memberikan hukuman yang lebih buruk. Jadi, Tuan Putri, biasakan diri kalian untuk menaati peraturan."

Sepeninggalan Nanny Erita, Zean kecil menatap Estella dalam diam. Dia menautkan alisnya. Setelah terdiam cukup lama, dia bertanya, "Kenapa kamu menolongku? Mau cari perhatian atau karena kamu bodoh?"

Estella mengeratkan pelukannya pada boneka. Ia tersenyum lebar. "Karena kakak begitu ingin makan camilan. Stella tak mau kakak sedih."

Jawabannya membuat Zean kecil terdiam cukup lama. Kalau dipikir-pikir lagi, saudara tirinya itu tak buruk juga. Yah, kalau sifat baiknya itu bukan sekadar topeng belaka.

Karena kejadian hari itu, Zean kecil memulai misi rahasianya untuk mematai-matai Estella. Ia akan menguak topeng lugu adik tirinya itu. Pasti ada yang ia sembunyikan. Ia pasti bukan gadis yang baik--seperti yang ia tunjukkan di hadapannya. Akan lebih bagus lagi jika Zean kecil segera mengungkapnya. Kedua kakaknya pasti sangat bangga!

Zean kecil mengendep, menyusuri lorong yang ditelusuri Estella seorang diri. Gadis itu punya kebiasaan aneh. Ia akan menghilang dan berjalan-jalan seorang diri setelah jam camilan siang. Zean kira, ia akan mendapati saudara tirinya itu dengan hal mengejutkan--menunjukkan belangnya misal. Namun, gadis itu hanya mendapati Estella masuk ke ruang baca dan menghabiskan waktu siangnya dengan membaca buku. Sayang, Zean tak dapat membaca buku apa yang saudara tirinya baca. Buku itu ditulis sepenuhnya dengan aksara hoffan.

Selama Zean membututinya, Estella tak menunjukkan perilaku mencurigakan. Bagaimanapun juga, dia hanya gadis kecil berusia empat tahun. Kesehariannya sejak bangun pagi hanya sarapan, mendapat pelajaran tata krama, makan siang, makan camilan, membaca buku, makan malam, tidur. Tak banyak kegiatan yang ia lakukan, mungkin karena masih terlalu kecil dan tak memiliki kecerdasan seorang Castel. Namun, hal mengejutkan lain justru didapat Zean. Hal mengejutkan yang sejujurnya hal yang bukan ia cari. Perangai Estella sangat sopan dan halus. Sampai-sampai, ia selalu menyapa semua orang yang ia ditemui--sekalipun ia hanya pelayan rendahan. Ia juga rajin dan patuh saat kelas tata kramanya. Dan di usia yang masih sangat muda itu, dia telah mampu menggunakan kemampuan mata hoffan-nya. Zean pun baru sadar, apa yang dibaca saudara tirinya tiap habis waktu camilan itu adalah buku-buku teori tentang kemampuan mata hoffan. Buku yang tak akan dapat sembarangan dibaca.

"Adik, ternyata kau pintar ya." Siang itu, Zean tak mampu menahan keinginan dirinya untuk menghampiri Estella yang duduk dalam diam di ruang baca. Gadis itu selalu sendirian saat belajar. Apa dia tak kesepian?

"Karena kakak yang mengatakannya, Stella jadi malu." Estella menjawab sembari tersenyum malu-malu. Lagi pula, kakaknya itu kan hampir mustahil untuk memujinya. "Karena Stella pintar, apa Stella boleh bermain dengan kakak?"

Zean terkejut dengan perkataan Estella berikutnya. Gadis itu tampak bersemangat dan berkata penuh harap. Matanya berbinar-binar. Ia bersikap seolah usaha kerasnya untuk menjadi pintar hanyalah untuk masuk ke dalam lingkaran si kembar yang tertutup.

"Hmm ...." Zean terdiam cukup lama. Ia berpikir. Melihat bagaimana keseharian Estella akhir-akhir ini membuat sesuatu dalam hatinya berubah. Dia bukan saudara tiri yang jahat. Lagi pula, ibunya, Ratu Jenira sangat baik dan hangat. Zean sadar, ia telah termakan bualan dongeng yang meracuni pikiran anak-anak. "Boleh, tapi kamu harus membantuku memetik buah persik diam-diam saat musim semi tiba. Dan ... mencuri cokelat dari lemari Madam Ellaire."

"Iya. Stella akan melakukannya bersama kakak!"

Hari itu adalah awal kedekatan mereka berdua. Mereka jadi semakin dekat sejak bersama-sama tertangkap basah mencuri cokelat dan memanjat pohon di belakang kastil. Mereka pun sama-sama kehilangan jatah camilan selama seminggu. Namun, tak apa. Keduanya menikmati keseharian dan petualangan mereka.

Di sisi lain, Zeon dan Zuan mulai menyadari saudara perempuannya berganti haluan untuk bersama dengan Estella. Tentu pertengkaran antara sesama saudara kembar betul-betul terjadi. "Padahal kau sendiri yang paling membencinya." Zeon yang biasanya paling mendukung gadis itu pun tampak kecewa. Dia adalah putra tertua yang memiliki kedewasaan Castel lebih dari dua saudaranya yang lain. Tentu pendiriannya akan lebih tegas dan kukuh. Maka dari itu, ialah yang paling marah saat melihat Zean terkikik senang dan bermain-main bersama Estella--seperti orang bodoh. Ia merasa terkhianati.

Ada yang bilang, Estella selalu berhasil meluluhkan setiap orang. Nanny Erita yang tengah marah pun akan menghela napasnya panjang mendengar satu dua kalimat gadis itu. Walaupun masih sangat kecil, dia lumayan pandai bicara dan tahu bagaimana bertingkah laku sesuai situasi. Dia cerdas walaupun tak memiliki darah Castel. Dengan gelar peluluh itu, tentunya hal demikian juga mempan untuk Zeon dan Zuan. Kembar yang keras kepala. Walaupun membutuhkan waktu lebih lama dari meluluhkan Zean, setidaknya gadis kecil itu berhasil membuat kakak tirinya beramah-tamah padanya--tanpa ia sadari tentu saja.

Banyak cerita dari waktu pendek kebersamaan mereka berempat. Sangat banyak untuk disimpan sebagai pundi-pundi ingatan. Estella pun tak pernah berpikir ketiga kakaknya bisa bersikap halus dan mengakui dirinya sebagai saudara. Zean sangat baik, sebagai sesama gadis ia lebih mengerti dirinya ketimbang yang lain. Zeon seorang kakak yang tegas, kadang kala jadi sedikit posesif. Zuan adalah kakak periang yang suka melucu. Estella tak akan pernah menyesali nama Castel yang tersemat di tengah namanya. Ia sangat beruntung. Ini sebuah takdir kehidupan yang menyenangkan.

Angin kembali berdesir, mengusir semua gambaran ingatan Zean. Gambaran keempat saudara yang tengah terlarut dalam canda mengabur, bergantikan ilusi danau berair biru kehijauan. Zean menatap Ren di sisinya. Gadis itu masih menatap ke depan, terperangah. Ada segaris senyuman yang perlahan tersungging di bibir gadis itu.

"Aku tak tahu aku melupakan hal berharga macam ini." Ren menggeleng kepalanya. Ia tak dapat menyembunyikan kebahagiaannya. Walaupun yang ditunjukkan Zean adalah ingatan perempuan itu, tapi ingatan dirinya sendiri tentang Estella perlahan kembali. Bagaimana mungkin kehidupannya yang menyenangkan itu berubah menjadi sekacau ini?

"Ya, kau tak boleh melupakannya." Zean ikut tersenyum. Matanya menatap Ren dengan pandangan teduh. "Awalnya memang kami tak menerimamu, tapi jujur saja aku menyanyangimu. Mungkin hal demikian juga dirasakan Zeon dan Zuan."

Ren mengangguk sembari menahan senyumnya agar tak tersungging terlalu lebar. Pandangan gadis itu jatuh pada permukaan air danau yang tenang. Hatinya terasa ringan. Seolah semua bebannya menghilang, tanpa bekas.

"Tapi, Stella." Zean mulai bicara lagi setelah terdiam beberapa saat. "Kau juga harus ingat bagaimana kita terpisah."

"Oh." Ren tertunduk. Ia tampak berpikir sejenak sebelum berkata, "Kudengar itu karena sebuah percobaan kudeta." Gadis itu tersenyum masam. Mendadak hatinya terasa sakit. Ia tak begitu ingat kejadian yang membuatnya hilang atau yang membuat Zean tewas. Ia takut untuk mengingatnya lagi.

"Ya. Kau benar." Zean menengadahkan kepalanya. Pandangannya kini beralih pada bumantara biru yang terbentang di atas sana. Begitu biru dan jauh. "Saat itu ayah, Zeon, dan Zuan sedang berada di kastil utara. Dan kastil pusat dalam penjagaan yang lengah. Siapa tahu kesempatan itu digunakan untuk percobaan kudeta."

Ren ingin menutup telinganya rapat, atau membungkam mulut Zean untuk berhenti bicara. Namun, tubuhnya sama sekali tak bereaksi saat Zean mulai bercerita lagi. Mau tidak mau, ia harus mendengarnya sampai selesai.

Zean bercerita tentang bagaimana mengerikannya hari itu. Bahkan, sampai mengundang ingatan kelam itu dari sudut ingatan Ren yang jauh. Gadis itu mendadak mual mengingat bagaimana aroma anyir merajai penciumannya. Dadanya sesak mengingat udara yang ia hirup bercampur asap hitam yang membuat angkasa kelabu. Sebuah ingatan mengerikan--yang pernah mendatangi ia sebelumnya--kembali terlintas. Ingatan saat ia melihat kastil pusat hanya bersisakan reruntuhan yang dilebur api. Ibunya dengan penampilan kacau berlari ke arahnya dengan tergopoh-gopoh. Atau seorang royal knight Dylon Alteira yang meregang nyawa secara terhormat karena berusaha melindungi tuannya. Dengan ingatannya yang sudah terkumpul saat ini, perlahan ia paham dengan apa yang terjadi.

Ren memegangi dadanya. Diingat berapa kali pun, ingatan itu tetap menyesakkan. Ingatan itu akan kembali membawanya pada detik-detik terbaliknya kehidupannya yang tenang dan nyaman. Itu awal di mana dirinya kehilangan segalanya dalam hidup; keluarga, jati diri, bahkan juga ingatan di usia yang terlalu muda.

Air mata membanjiri pipi Ren saat ingatan gadis itu sampai pada saat paling menyesakkan. Gadis yang dulunya berusia enam tahun itu, melihat sang ibu terpenggal dengan mata kepalanya sendiri. Ia masih ingat saat-saat bagaimana Zean kecil berusaha melindunginya dari orang berpakaian serba hitam yang telah membunuh Dylon dan ibunya. Saat itu Zean masih anak-anak, hal yang tidak mungkin ia bisa melindungi dirinya sendiri lagi Ren. Dada Ren sakit, seperti ditusuk ribuan jarum tak kasat mata. Gadis itu kembali disuguhkan ingatan tentang bagaimana ia kehilangan orang yang ia sayangi. Zean yang berusaha melindunginya terbunuh.

Dan hal terakhir yang mengakhiri ingatan itu adalah saat suara raungan menggema, menusuk pendengaran. Mengiringi kedatangan makhluk bercakar yang tak dapat Ren identifikasi. Yang jelas, ia salah satu peliharaan bangsa dark pengkhianat yang buas. Dalam ingatannya, cakar makhluk bersayap itu menggapai Ren dengan kasar. Mengapit pinggang gadis itu tanpa memperhatikan cakarnya yang menusuk perut dan merobek pinggang. Ren ingat dirinya meraung tak berdaya. Berharap dengan ajaibnya semua kekacauan itu hanyalah mimpi.

Ren merasakan sepasang tangan menggapai tubuhnya. Zean memeluknya erat sembari berbisik, "Tak apa. Itu semua hanya masa lalu." Perempuan itu mengelus punggung Ren yang bergetar. "Maaf," katanya, "ingatanku berakhir di sini."

Tersengal, Ren tak dapat menghentikan tangisnya sekali pun pelukan Zean makin mengerat. "Rasanya sakit," ungkapnya dengan air mata yang belum berhenti mengalir.

"Aku tahu." Zean berkata dengan suara rendah. "Tapi itu semua sudah berakhir. Kau perlu ingat ada masalah di masa ini yang perlu kau selesaikan."

Ren menegakkan tubuhnya dan melepas pelukan Zean perlahan. Gadis itu menatap wajah kakaknya dengan mata yang masih basah. Sebagaimana pun, jiwa di hadapannya hanyalah jiwa seorang anak yang belum genap berusia tujuh tahun. Seolah sosoknya saat ini berkata, "Inilah sosokku kalau saja aku masih hidup hingga saat ini." Hati Ren kembali terasa perih. Namun, ia tak ingin terlalu lama larut dalam perasaannya itu. Zean benar. Ia masih punya masalah yang perlu di selesaikan.

"Tugasku sudah selesai, Estella. Jangan lupakan ingatanmu lagi ya." Ren lihat, tubuh Zean mulai mengabur dan mulai berubah menjadi kepingan cahaya. "Selesaikan semuanya dan segeralah pulang. Mereka pasti merindukanmu."

Ren memeluk kembali tubuh Zean yang mulai menghilang. Tak ingin menyia-nyiakan saat-saat terakhir bersama kakaknya yang tak akan pernah ia jumpai lagi itu. "Selamat jalan."

Sunyi. Dengan hilangnya jiwa Zean dari hadapan Ren, ilusi dari danau dan pepohonan juga menghilang. Meninggalkan ruang kosong yang putih dan monoton. Tinggalah Ren--dengan mata yang masih basah--dan Ellea yang berdiri di hadapannya.

"Nah, Ren," kata Ellea, "kau mau mati, atau menyelesaikan semua masalah yang kau perbuat?"

Ren menghela napasnya panjang. Ia beranjak berdiri sembari menghapus air matanya. Gadis itu lantas menatap Precious dan berkata dengan suara mantap, "Aku akan menyelesaikan semuanya dulu, barulan aku boleh mati."

Ellea tersenyum mendengarnya.

Bagaimana pun juga, ini semua adalah utang yang ditoreh Ren. Ia harus membayarnya lunas dan menyelamatkan semua teman-temannya dari jurang kematian. Setelah melunasi semua utangnya itu, mati pun rasanya ia tak akan menyesal.

Note (dibaca: curhat):

Hola!

Satu bulan kurang enam hari sejak Lin terakhir kali update. Bukannya sengaja, tapi emang ada alasannya.

Readers: Lin mah selalu cari-cari alasan buat berkilah.

Hehe :') yang ini beneran kok. Karena nyamuk betina belang, Lin sakit selama hampir dua minggu. Semua tugas mendadak kacau karena Lin gak bisa kerjain. Boro-boro nulis, ulangan aja numpuk-numpuk. Dan yang paling berat adalah saat semua makanan kehilangan rasanya. Laper, tapi kalau makan kok rasa makanannya rusuh begini :')

Hadeh, yah itulah pengalaman paling gak mengenakan. Sakit itu gak enak. Jadi, jangan berdoa buat sakit untuk ngehindarin masalah ya (roman-romannya pada suka gini :v)

Intinya, part yang satu ini ditulis dengan sekuat tenaga wkwk. Tapi, pas nulisnya rasanya kek nulis cerita anak-anak. Apa karena tokohnya beralih jadi bocah? Hmm ...

Yah, sebenernya gak rela publish part yang satu ini karena satu rahasia besar dibeberin di sini (Lin kan paling pelit kalau masalah rahasia). Terjawab kan udahan? Iya, silahkan ketawa dulu. Tinggal satu masalah lagi yang belum kelar dan satu rahasia besar. Setelah itu, semuanya akan selesai /*ketawa jahat

Akhir-akhir ini Lin nemu pembaca baru yang maraton baca. Wah, makasih banget^^ Dan pembaca lama, selamat kalian berhasil bertahan dari seleksi alam /*wkwk/ dan untuk beberapa pesan baik pc, wall, atau komentar maaf belum sempat Lin jawab. Lin slow respon kalau di wattpad, kalau fast respon artinya kalian lagi hoki :')

Sekian, Terimakasih

Regard

AleenaLin

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top